• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil analisis dari empat cerpen yang dijadikan sebagai sumber data penelitian ini, keempat tokoh utama perempuan; Juminten (Rambut Panjang Juminten), Mbok Nah (Mbok Nah 60 tahun), Ida (warung Pinggir Jalan, Teh Nining (Ruang Belakang) semua digambarkan sebagai korban yang tidak berdaya untuk menentang sistem nilai masyarakat. dan tidak dapat memerankan dirinya sendiri dan keempat tokoh utama perempuan. Ketidakadilan gender dalam keempat cerpen ini adalah subordinasi perempuan, steriotipe negatif terhadap peempuan dan beban kerja ganda. Ketidakadilan ini disebabkan budaya patriarki.

Tokoh Juminten dalam cerpen Rambut Panjang Juminten menjadi objek penceritaan, sedangkan tokoh Panuwun menjadi subjek penceritaan. Tiga tokoh perempuan lain menjadi subyek penceritaan yang memiliki beban kerja ganda, bekerja di ranah publik dan juga domestik.

Tokoh Mbok Nah digambarkan sebagai perempuan yang memiliki beban kerja ganda dan menjadi subyek penceritaan, namun tidak mendapatkan penghargaan dari lingkungan masyarakat yang menganut budaya patriarki. Sementara Marno yang digambarkan sebagai obyek penceritaan tetapi memiliki kekuasaan untuk untuk bertindak sewenang-sewenang.

Tokoh Emak dan Ida dalam Warung Pinggir Jalan digambarkan sebagai perempuan mandiri, dan juga memeliki beban kerja ganda Teh Nining digambarkan sebagai subyek penceritaan yang memiliki beban kerja ganda juga tokoh yang rumit.

Bertahan hidup dengan dadang, laki-laki pengangguran, pemalas, jorok, suka berjudi, pemabuk, tidak tahu diri dan sering memukuli Teh Nining apabila melakukan kesalahan kecil sekalipun, tetapi minta dilayani sebaik- baiknya oleh istrinya. Meskipun sering diperlakukan tidak semestinya, tetapi tokoh Nining tetap bertahan dan berusaha menjaga nama baik keluarga dan

menyembunyikan aib keluarga, padahal orang lainpun sudah tahu mengenai prilaku suamianya, sampai saatnya hilang kesabaran Teh Nining saat Ia difitnah dan Dadang memukulinya hingga babak belur. Teh Nining menyerah dan mengajak anakya meninggalkan Dadang.

Melalui cerpen ini pengarang ingin mengajak masyarakat untuk membuka mata, melihat dan menghargai perempuan yang memiliki beban kerja ganda. Di satu sisi diberikan kesempatan untuk bekerja di ranah publik tetapi juga tetap dibebani dengan pekerjaan di ranah domestik mengurus keluarga dan urusan rumah tangga juga. Waktu istirahat bagi perempuan sangatlah sedikit. Apa yang dialami perempuan dengan beban gandanya tentunya berbeda dengan laki-laki yang di ranah publik. Laki-laki tidak punya beban untuk mengerjakan pekerjaan di ranah domestik. Ketimpangan dan ketidaksetaraan yang terjadi pada perempuan di sektor domestik maupun publik harusnya tidak perlu terjadi apabila laki-laki maupun perempuan paham dengan perannya masing-masing dan keduanya saling mampu memposisikan diri sebagai mitra yang saling mempercayai, saling mendukung, saling membantu menyelesaikan suatu permasalahan secara bersama- sama.

Bagi kaum feminis yang memperjuangkan terjadinya kesetaraan bagi kaum perempuan dituntut utuk mengupgrade mindsetnya dirinya terlebih dahulu. Perlu dialkukan kerjasama dengannkaum laki-laki sebagai partner perempuan, karena merekalah sebagai sumber masalah. Laki-laki dengan hegmoninya memiliki peran yang sangat penting dalam menyelesaikan masalah kehidupan perempuan. Upaya menanamkan kesadaraan dan menganggap penting peran laki- laki sangat diharapkan sebagai ikhtiar untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang selama ini telah diperjuangkan namun tidak memberikan dampak positif pada kesetaraan dan keadilan gender. Tidak mudah untuk mewujudkan keinginan mulia “kesetaraan dan keadilan gender bagi kaum perempuan Indonesia”, karena kita juga dibatasi oleh adat dan budaya ketimuran yang tidak bisa kita abaikan begitu saja. Tuntutan kesetaraan dan keadilan gender yang diperjuangkan oleh kaum feminisdunia tidak bisa kita terima sepenuhnya,

dan harus disesuaikan dengan adat budaya kita yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama.

Banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama dari kaum laku-laki yang akan mempertahankan kekusaan mereka atas perempuan selama ini. Konstruk sosial dapat dilakukan dengan memberikan sudut pandang dari diri laki-laki sendiri dan pendapatnya tentang hubunganaya dengan perempuan.

Perlu duduk bersama antara masyarakat yang berkepentingan dengan budaya patriarki, dan dukungan pemerintah yang responsif gender sangat diharapkan untuk mengarahkan opini publik melalui media, misalnya membentuik kelompok- kelompok kecil di tiap kelurahan dang melibatkan laki-laki yang melek gender dan dan mampu mensosialisasikannya kepada masyarakat untuk memperbaiki kehidupan perempuan, dan menempatkan laki-laki tidak lagi menjadi subyek, dan perempuan tidak lagi menjadin objek, namun keduanya setara dan berkeadilan gender.

BAB VI

LUARAN YANG DICAPAI

Luaran hasil penelitian ini berupa pemikiran yang dipublikasikan sudah di submit dan sudah sesuai dengan apa yang telah peneliti janjikan yaitu artikel hasil penelitian yang telah di submit ke jurnal Humanus: Jurnal ilmiah ilmu-ilmu Humaniora, International open acces peer-reviewed online jurnal inhumanity studies published by Pusat Kajian Humaniora FBS Universitas negeri Padang- Indonesia ISSN 1410-8062, e-ISSN 2528-3936. Sinta 2.

IDENTITAS JURNAL

1. Nama Jurnal HUMANIORA FBS

Universitas Negerei Padang

2. Website Jurnal

http://ejournal.unp.ac.id/index.php/humanus

3. Status Submited

4. Jenis Jurnal Jurnal Internasional

terkreditasi Sinta 2

5. Tanggal Submited 3 November 2020

A. Bukti Screen shoot Submited

Luaran tambahan adalah prosiding nasional UHAMKA, in review.

Bukti makalah terlampir.

I

DENTITAS SEMINAR

1. Nama Jurnal HUMANIORA FBS

Universitas Muhammadiyah Profesor Dr HAMKA

2. Website Jurnal

http://ejournal.unp.ac.id/index.php/humanus

3. Status Makalah In Review

4. Jenis Prosiding Prosiding Nasional

5. Tanggal Submit -

6. Bukti Screenshoot Submit - 7. Pemakalah di seminar -

BAB VII

RENCANA TINDAK LANJUT

Cerpen yang telah diteliti dan dijadikan sebagai sumber data penelitian dengan judul Kesetaraan dan Ketidakadilan Gender terhadap Tokoh Perempuan Karya Pennulis perempuan Indonesia, adalah potret realita kehidupan bagaimana perlakuan budaya patriarki disukai dan dilestarikan oleh kaum laki-laki dan terpelihara di masayarakat sehingga menjadi suatu budaya yang tentu saja tidak dapat dihilangkan hanya denga teriakan perempuan yang menentang budaya patriarki ini.

Praktek budaya patriarki yang di tangkap oleh mata dan hati penulis perempuan Indonesia yang digaungkan dalam kerya sastra (cerpen, novel, puisi) merupakan bentuk protes dari ketidakberpihakan kaum laki-laki terhadap perempuan yang sudah membudaya selama berab-abad, dan tanpa disadari juga dinikmati oleh kaum perempuan itu sendiri.

Kesempatan untuk menyuarakan rasa yang ada pada penulis perempuan perlu diberikan wadah besar agar mereka lebih leluasa bergerak dan lebih berani menyurakan kebenaran nurani perempuan Indonesaia melalui pengungkapan ide- ide pada puisi, novel, maupun cerpennya. Tulisan-tulisan yang disajikan dengan Bahasa yang menarik dari hasil pemikiran yang brilliant akan ditangkap oleh para peneliti sebagai ide-ide yang baru yang perlu diteteliti untuk mencari akar penyebabnya dan menguraikan jalan keluarnya secara ilmiah dalam forum-forum diskusi atau seminar ilmiah, sehingga apa yang haya tersimpan dalam puisi, novel, ataupun cerpen yang hanya dinikmati ole kalangan penikmat sastra yang sangat terbatas jumlahnya dapat di suarakan pada forum-forum ilmiah.

Sehebat apapun perempuan memainkan pern gendernya, tidak akan memberikan efek yang banyak jika hanya melulu perempuan yang diangkat sebagai obyek penderita yang perlu dikasihani, tetapi perlu melibatkan peran gender laki- laki untuk bekerjasama, saling bahu-membahu dengan masyakat penikmat budaya patriarki, dengan pemerintah setempat dan campur tangan

negara agar budaya patriarki yang banyak merugikan perempuan sudah saatnya dikurangi.

Dengan mengurangi dominasi kekuasan para laki-laki terhadap perempuan.

Apa yang tertulis di dalam sebuah cerpen mewakili kejadian-kejadian yang ada di masyarakat di dunia. Tidak mudah memang menghapus budaya patriarki dan streotip yang melekat pada perempuan sebagai hasil rekayasa budaya yang hidup di masayarakat, tetapi melalui penelitian dan karya sastra perempuan Indonesia yang mewakili suara kaum perempuan yang termarginalkan dan terhegmoni di masyarakat perlu dikurangi karena sangat merugikan kaum perempuan.

Penelitian ini perlu ditindak lanjuti dengan mengembalikan citra kaum perempuan di mata para laki-laki, agar kesetaraan dan keadilan gender dapat ditegakkan di bumi pertiwi, Indonesia jaya. Untuk penelitian yang akan datang peneliti akan mengangkat tema Citra Sosial Perempuan dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Berlipstik Kapur, Tinjauan Kritik Sastra Feminis.

Abbas. (2011). Gender Dalam Satra. makassar: Universitas Hasanudin.

Antrobus, Peggy. (2004). The Global Womens's Movement. The Global Womens's Movement: The University Press.

Ch, Mufidah. (2006). Rekonstruksi Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Konteks

Sosial Budaya dan Agama. Egalita,

1,16.doi:https://doi.org/10.18860/egalita.v0i0.1910

Fakih, M. (2008) Analisis Gender dan Transformasi Sosial: Yogyakarta: Pustaka.

Gani, Rusna. (2018, November ). ISLAM DAN KESETARAAN GENDER. AL- WARDAH, 12 , 116. doi:http://dx.doi.org/10.46339/al-wardah.v1212.139

Hasan, Nanang Susanto. (2015, Juni). Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender dalam Budaya Patriarki. Muwazah, 7, No.2, 120-129.

Hasibuan, Liliana. (2017). Antara Emansipasi dan Peran Ganda Perempuan (Analisa Fakta Sosial teradap Kasus Ketimpangan Gender. Hikmah, 11, No.2.

Retrieved Oktober 2020, from https://doi.org/10.24952/ik.v11i2.752

Khomisah, M.A. (2017). Rekonstruksi Sadar Gender: Mengurai Masalah Beban Ganda (Double Bulder) Wanita Karier Indonesia. Al-Tsaqafah, 14, No.02, 397-411.

Sanderson, Julia Hallgren. 2018. Such a thing to waste words on: Genus, sexualitetoch Beloved.

Walbi, S. (2014). Teorisasi Patriarki (Terjemahan Mustika Prasela). Yogyakarta:

Jalasutra.

Tri, Purwani Siwi.2016 Persfektif Gender dalam Kumpulan cerpen Karya Djenar maesa Ayu.Wacana: Jurnal Bahasa, seni dan pengajaran. Oktober 2016, Volume 1 Nomor 1:80.

Zuhriyah, Lailatuzz.2017. Relasi Gender dan Rekonstruksi Kritis Pemikiran Pendidikan Islam. Martabat, Jurnal Perempuan dan Anak. (p)ISSN:2581- 2076; ISSN (e)2581-0472 Vol.4 No 1 (2020), 41-

64.DOI:dx.doi.org/1021274/martabat.2020.4.1.41-64.

Hikmawati, Ilmi. 2012. Kesetaraan Gender dalam Cerpen Celemek Raka pada Majalah BoboTaun 2012. FPBS: Universitas Pendidikan Indonesia.

Tinjauan Antropolinguistik. Jurnal terakreditasi Kemenristekdikti.

Moleong, Lexy J. 2017. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja:

Rosdakarya.

Nurgiantoro, Burhan.(2019. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.

Nurhayati, Enung. 2019. Cipta Kreatif Karya sastra. Bandung. Yrama Widya.

Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

LAMPIRAN

Rekonstruksi Gender dalam Cerpen Warung Pinggir Jalan Karya Lea pamungkas dengan Pendekatan Feminis

Nur Amalia, Nawawi

FKIP Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Prof. DR HAMKA

Abstract

This research, which is “Kesetaraan dan Ketidakadilan Gender dalam Cerpen Warung Pinggir Jalan”, aims to provide feminist literary criticism that is focused on feminist reconstruction in literature. This short story tells the tale of the establishment of roadside stalls that not only trade in drinks but also sex. Community behavior that is overshadowed by a patriarchal culture makes men superior beings who have full and free rights in treating women as they wish. The condition of the community that no longer cares about norms and religion has an impact on Ida's aspirations, who originally wanted to become a doctor, turned into a prostitute like Mira. Ida does not see prostitution as a form of violence (repression) committed by society against women, because women are exploited as objects for certain interests.

Ida's character, who was affected by the construction of the reservoir, made Ida turn her original dream of being a doctor into a prostitute like Mira. Ida idolizes Mira and wants to be like Mira because Mira is different from other women in her village.

"Mira has many clothes, lots of shoes, always happy, has various lipstick colors, always smells good and attractive." Emet's harassment was something Ida had fantasized about so far. As a victim of the environment, especially her mind which is greatly influenced by Mira. Ida was "repressed" by Emet and by the surrounding community. When Ida‟s virginity was taken by Emet, Ida felt happy, she didn't have any regrets. Ida believes that now she can do whatever she wants, including going out in the evening and going home in the dusk like what Mira did. Ida became a prostitute because of her own will. which resulted in Mother being “mute”. Emak and Ida's life are both repressed.

Keywords: reconstruction, gender, feminist approach PENDAHULUAN

Permasalahan perempuan selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan, karena keberadaan perempuan dalam tataran struktur masyarakat ialah perempuan yang harus taat pada aturan, hukum, adat istiadat, bahkan peraturan agama. Berakar dari hal tersebut, perempuan kemudian menjadikan dirinya sebagai mahluk yang lemah dan tidak dapat bebas dari segala aturan yang mensubordinasi dirinya. Realitasnya perempuan sering menjadi sasaran empuk sebagai objek eksploitasi dari aspek ekonomi, politik, kesehatan, psikilogis dan biologis.

Perempuan adalah makhluk yang terpasung dalam ruang domestik dengan pelimpahan semua urusan dalam rumah tangga, mulai dari memasak, mencuci,

melahirkan, mengurus anak-mengurus suami, tak peduli dengan banyaknya pekerjaan

(triple burden).

TINJAUAN PUSTAKA

Pembagian kerja di ranah publik dihargai tinggi sedangkan pembagian kerja di ranah domestik sama sekali tidak dihargai, dan menimbulkan anggapan bahwa pekerjaan perempuan yang berat dalam rumah tangga dianggap rendah, karena tidak menghasilkan income. Hal tersebut seringkali memunculkan ketimpangan dan ketertindasan (Khomisah, M.A., 2017). Pendapat lain membagi patriarki ke dalam enam struktur 1) patriarki dalam ranah domestik, berupa pelimpahan tugas secara penuh dalam urusan rumah tangga; 2) patriarki dalam publik, berupa perbedaan dalam pekerjaan dan upah yang sangat minim bagi perempuan, berupa pemisahan posisi kerja perempuan dan laki-laki; 3) patriarki dalam keterlibatan perempuan dalam urusan hukum dan pemerintahan, berupa pembatasan posisi penting di pemerintahan dan hukum dan politik; 4) patriarki dalam seksualitas, perempuan dianggap sebagai pemenuh layanan seksual dan layanan emosional (penyedia kasih sayang penuh) bila dibutuhkan; 5) patriarki

yang berkaitan kekuasaan laki-laki dalam bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, ataupun verbal; 6) patriarki dalam budaya yang menuntut „feminism ideal‟

(kesempurnaan purna) dalam keluarga, pendidikan, agama, maupun media masa (Walbi, S, 2014).

Posisi perempuan dalam hal ini tidak terlepas dari konstruksi lingkungan sosial dan budaya yang sarat dengan konsep paternalistik. Tentu saja hal ini berimplikasi pada ferioritas perempuan sebagai objek segala bentuk persoalan dalam kehidupan bermasyarakat sekaligus menjadikannya sebagai objek kesetaraan dan ketidakadilan Konstruksi sosial ini mengubah keadaan yang seolah‐olah kodrati, dan hal ini sudah berlangsung dari satu generasi ke genarasi berikutnya, sehingga susah untuk membedakan mana kodrat dan mana konsrtruk budaya, sebagai hasil ciptaan manusia (Hasan, Nanang Susanto, 2015) Konstruksi gender yang menyatakan bahwa laki-laki adalah kepala keluarga, pencari nafkah, dominan, sedangkan perempuan hanya konco wingking, (Zuhriyah, Lailatuzz, 2017).

Gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kutural, mencakup penampilan fisik, misalnya perempuan dikatakan cantik, lemah lembut, emosional, keibuan sedangkan laki- laki dikatakan gagah, perkasa, kuat, tangguh adalah sifat atau ciri yang dapat

dipertukarkan tempatnya. Semua sifat yang dapat dipertukarkan tempatnya dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan tempatnya, dan berbeda dari satu kelas ke kelas yang lainnya, (Fakih 1997:8-9).

Perbedaan peran yang menanggapi masalah perempuan menjadi hal yang yang penting dalam gerakan feminisme. Melalui analisis gender banyak sekali ditemui berbagai manifestasi ketidakadilan, misalnya banyak perempuan mengalami

terbentuk oleh beberapa teori dasar: (1) nature atau kodrat,

(2) teori nurture, (3) teori psikoanalisis, (4) teori konflik, dan (5) teori fungsionalis struktural. (Sanderson, 1995: 409).

Teori Nature

Teori Nature atau kodrat memandang perbedaan psikologis yang ada pada laki-laki dan perempuan disebabkan perbedan fisiologis dan biologis, laki-laki mempunyai penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki rahim, kelenjar susu, dan memproduksi indung telur. Kodrat secara biologis dan fisiologis ini berpengaruh pada kondisi psikis dan fisik masing- masing. Perempuan yang secara kodrati fisiknya disiapkan untuk melahirkan, tentu saja beririsan kepada perangainya dan secara psikologis dibutuhkan untuk melahirkan dan mengasuh anak, membutuhkan sifat yang halus, lemah lembut, penyayang, sabar dan keibuan, sementara laki-laki memiliki fisik yang kuat, berpengruh kepada perangai yang kasar dan tegar, misal laki-laki tidak boleh menangis. Kodrat fisik dan psikologis yang melekat pada laki-laki dikonstruksi bekerja di sektor publik dan sekaligus menajadi pelindung bagi pihak yang lemah, yaitu perempuan. Dari teori ini, maka terbentuklah kesetaraan dan ketidakadilan gender yang bersifat biner. Laki-laki dideskripsikan sebagai makhluk yang kuat, agresif, aktif, eksploratif, dan rasional, sebaliknya perempuan dideskripsikan sebagai mahluk pasif, lemah, submisif, emosional, dan ketergantungan.

Teori Nurture.

Teori ini dimunculkan sebagai bantahan terhadap teori nature. Teori ini tidak setuju pada pemindahan peran dari posisi laki-laki dan perempuan yang diyakini sebagai kodrat alam, Faktor biologis tidak menunjukan keunggulan laki- laki terhadap perempuan, pemilahan sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki disebabkan elaborasi kebudayaan terhadap biologis masing-masing (Sanderson, 1995: 409). Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang tumbuh di masyarakat lebih bersifat politis, pengelompokan antara maskulinitas dan feminitas adalah hasil konstruksi sosio budaya.

Teori Psikoanalisis Teori psikoanalisis yang diperkenalkan oleh Freud melalui konsep penis envy, mengatakan bahwa perempuan selalu dihinggapi histeris dan neurosis dan akan menimbulkan rasa penyesalan seumur hidupnya, karena perempuan memendam perasaan iri terhadap laki-laki. Teori ini melahirkan bantahan dan lahirlah teori feminis yang menyatakan bahwa perempuan iri pada status sosial kaum laki-laki dan kebebasan dan bukan pada ciri biologis laki-laki. Kecemburuan pada kepemilikan penis digambarkan sebagai bentuk kekecewaan perempuan pada hak istimewa yang dimiliki laki-laki, de Beauvoir (Humm, 2002: 337). Ketiadaan penis membuat perempuan mengalami inferior complex (Yulianeta, 2003: 36).

Perwujudan perasaan rasa rendah diri bermacam-macam bentuknya, mulai dari usaha

seorang perempuan karena anak-laki-laki membawakan kelamin yang diidam- idamkannya.

Teori Konflik

Menurut teori perbedaan posisi maupun peran laki-laki dan perempuan tidak semata disebabkan karena perbedaan biologis, tetapi lebih kepada bentuk penindasan dari kelas yang dianggap superior ke inferior dalam relasi yang diterapkan sebagai konsep keluarga. Hubungan yang terjalin antara suami dan istri seperti halnya hubungan antara kaum borjuis dan kaum proletar, hubungan antara tuan dan hamb`a, atau hubungan antara pemeras dan yang diperas. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan gender di masyarakat, bukan disebabkan oleh faktor biologis, namun terjadi karena faktor konstruksi masyarakatnya, (Umar, 1999: 61). Implikasinya, laki- laki bekerja di sektor publik sedangkan perempuan bekerja di sektor domestik.

Teori Fungsionalis Struktural

Pemilahan peran laki-laki dan perempuan seperti yang terjadi saat ini merupakan pengaturan yang paling harmonis dan menguntungkan masyarakat secara keseluruhan, menurut teori ini pembagian kerja seksual mutlak dibentuk demi menjaga keharmonisan dan keseluruhan sistem, (Sugihastuti, 2010: 47).

Berdasarkan teori di atas dapat disimpukan gender merupakan suatu rancangan/ nilai/ konsep/ sistem hubungan sosial yang dibedakan berdasarkan fungsi maupun peran perempuan dan laki-laki yang disebabkan oleh perbedaan biologis, dan kemudian dibakukan oleh masyarakat sebagai suatu budaya yang dikuatkankan oleh faktor ekonomi, hukum, ideologi dan lain-lain. Gender dapat dikatakan sebagai hasil konstruksi oleh masyarakat dan sudah berurat berakar sehingga sulit untuk mengubah budaya ini, (Gani, Rusna, 2018) Kesetaraan dan Ketidakadilan Gender yang hidup dan berkembang di masyarakat, baik pada kaum perempuan maupun kaum laki-laki dapat diantisipasi dengan cara melibatkan laki- laki dalam menyuarakan kesetaraan gender, karena laki-laki sebagai kontributor terbesar dalam masalah ini.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk menganalisis cerpen yang berlatar kesetaraan dan ketidakadilan yang dialami oleh tokoh utama perempuan dengan

ketidakadilan terhadap perempuan yang tumbuh subur di kalangan masyarakat baik di desa, di kota dan mungkin di rumah kita. Data kesetaraan dan ketidakadilan diperoleh dari hasil bacaan dan catatan yang penulis lakukan pada saat membaca cerpen yang berlatar kesetaraan dan ketidakadilan yang dialami tokoh utama, kemudian dianalisis untuk mengetahui gambaran tindak kesetaraan dan ketidakadilan yang diterima oleh tokoh utama. Tahap berikutnya, penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Peneliti mengamati data secara alamiah sesuai dengan konteksnya, data tindakan kesetaraan dan ketidakadilan pada tokoh utama yang sudah diteliti berdasarkan status sosial masyarakat yang berada di sekitar tokoh utama, selanjutnya dicari bentuk-bentuk kesetaraan dan ketidakadilan yang meliputi kesetaraan dan ketidakadilan fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi yang dialami tokoh utama, kemudian dilakukan pencatatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Feminisme dalam Karya Sastra

“Warung Pinggir Jalan” karya Lea Pamungkas menceritakan tentang efek dari pembangunan waduk di daerah Jawa Barat yang mengakibatkan terjadinya pemiskinan, pekerjaan yang tersedia hanya diperuntukkan bagi laki-laki, sementara pekerjaan perempuan yang selama ini bertani, kehilangan mata pencaharian.

Kantong-kantong kemiskinana terbuka lebar dan biasanya warga akan melakukan apa saja untuk mendukung tumbunya perekonomian Mata pencaharian penduduk di daerah ini pada mulanya adalah bertani, tetapi proyek pembangunan waduk telah mengubah pola hidup pertanian menjadi perdagangan. Sebagian masyarakat ada memanfaatkan kodisi dengan bekerja sebagai kuli bangunan ini dengan mendirikan warung di daerah pembanguan proyek sepanjang jalan yang dibangun. Hal ini merupakan upaya yang dilakukan masyarakat untuk bertahan hidup dengan jalan memenuhi kebutuhan makan minum para sopir truk yang membawa bahan-bahan bangunan untuk keperluan pembangunan waduk. Usaha Warung Pinggir jalan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan makan minum para sopir truk tetapi juga merambah sebagai tempat memenuhi kebutuhan seks sopir truk yang berbulan-bulan tidak pulang. Warung Pinggir jalan inipun berubah fungsi menjadi tempat prostitusi.

Di antara warung yang baru berdiri di pinggir jalan lokasi pembangunan waduk, terdapat warung “tokoh.

Emak”, yang menjual gulai dan satai. Selama 14 tahun sejak kepergian suaminya Emak mengurus warung ini bersama Ida anaknya yang kini berusia 14 tahun. Tokoh Ida di dalam cerpen ini dideskrpsikan sebagai perempuan muda yang polos dan belia. Dengan usianya yang masih sangat muda Ida seharusnya mengenyam pendidikan di sekolah bersama mimpi-mimpi indahnya di masa depan, dan tidak merajut mimpi menjadi pelacur seperti Mira, yang diam-diam menginspirasi tokoh Ida.

Tokoh Emak yang dideskripsikan pengarang sebagai perempuan mandiri,

Dokumen terkait