• Tidak ada hasil yang ditemukan

ROAD MAP PENELITIAN NON-SASTRA

C. Pembahasan

(domestik), saat ini adalah menulis skripsi dan suaminya dalah seorang pegarang. Dalam cerpen ini pengarang terlibat dalam penceritaan dan menampilkan dirinya sebagai (tokoh aku) da, menyabug ayam dn pengarang juga menempatkan dirinya menjadi pengamat jalannya cerita.

Dalam cerpen ini pengarang terlibat dalam penceritaan dan menampilkan dirinya sebagai (tokoh aku), menyabung ayam dan pengarang juga menempatkan dirinya menjadi pengamat jalannya cerita. Kehidupan kedua tokoh tambahan ini harmonis. Suami tokoh aku sering membantu pekerjaan seperti: mencuci, memandikan anak, dan tidak banyak tuntutan.

Tokoh Umi digambarkan sebagai seorang janda dan mempunyai seorang anak laki-laki yang bandel dan masih duduk di bangku SMP. Pekerjaan Umi adalah tukang pijat, dan mencuci pakaian sambil berdagang jamu dan kosmetik murahan dari rumah- ke rumah sambil membual tentang cerita dan gossip yang belum tentu kebenarannya. Umi adalah sorang pembuat gossip, pembual, tidak jujur, dan sering menjelek-jelekkan orang, terutama Teh Nining.

Cerpen ini sarat dengan ketimpangan gender, yang selalu menempatkan perempuan pada ranah rendah dan menempatkan laki-laki pada ranah yang tinggi dan memilki kuasa penuh pada perempuan, yang menjadikan seorang suami memiliki kekuasaan penuh terhadap istri yang dapat diperlakukan semena-mena termasuk memaksakan kehendak, tidak peduli dengan keinginan istri bahkan membatasi kebebasan seorang istri untuk bergaul dengan masyarakat.

Perjuangan Juminten untuk mendapatkan hak- haknya dalm cerpen ini nampaknya sia-sia. Juminten dalam cerpen ini digambarkan sebagai perempuan desa dan sepertinya berpendidikan rendah membuatnya tidak mampu untuk memperjuangkan keinginannya, tidak mampu mempertahankan pendapat dan tidak mampu membela diri dari dominisi suaminya. Lagi-lagi Panuwun menunjukkan kekuasaannya untuk memaksa Jumnten supaya patuh pada suami.

Tujuan pengarang mengangkat cerpen ini adalah untuk membuat mata masyarakat terbuka dan memandang perempuan tidak hanya sebelah mata, tetapi menginginkan masyarakat bersikap adil dan menghargai perempuan sebagai sosok yang setara dengan laki-laki baik didalam melaksanakan kewajibannya di dalam Rumah tangga maupun di masyarakat. Perempuan perlu diberikan haknya dan penghargaan dalam berpendapat dan berprestasi, agar ia merasa bahagia dan tidak menderita batinnya. Selain itu, pengarang juga menginginkan masyarakat mengubah pandangannya dan menerima kehadiran perempuan dalam hal ini diwakili oleh tokoh Juminten yang keberadaannya perlu diperhitungkan dan bukan hanya sebagi pelengkap

penderita. Dalam kontesk keluaga harusnya tidak muncul istilah satu lebih tinggi dari yang lain, salah satu di antara anggota keluarga tidak boleh ada yang tersakiti, baik lahir maupun batin. karena Rumah Tangga dibina haruslah dengan bersama-sama dan satu tujuan untuk membina keluarga yang harmonis.

b) Analisis Ketidakadilan Gender

Berdasarkan hasil analisis terhadap cerpen

“Rambutnya Juminten”, peneliti menemukan ketidakadilan perlakuan seorang suami Panuwun terhadap istrinya Juminten. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

“Kamu bersolek untuk suami, iya, kan?” (hal. 78).

“Saya tidak akan mengizinkan kamu memotong semodel Marni. Sebagai suami saya kan tahu model apa yang pantas untuk istriku. Ten, kau dandan untukku!” (hal. 79)

Pernyataan di atas menggambarkan Panuwun sebagai seorang suami yang berkuasa, otoriter, kemauannya harus selalu dituruti. Hal ini terlihat saat Panuwun meminta Juminten untuk memanjangkan rambutnya, padahal Juminten sangat ingin memotong rambutnya. Tokoh Juminten digambarkan sebagai istri yang sangat patuh dan taat kepada suami dan mencoba memperjuangkan haknya untuk memiliki keinginan “memiliki rambut pendek seperti teman-temannya yang lain yang mengikuti trend rambut pendek, tetapi Juminten terpaksa mengalah karena tidak ingin ribut dengan suaminya, meskipun itu bertentangan dengan keinginan hatinya.

“Sore ini waktunya Panuwun pulang ke rumah. Sejak tadi, dia sudah memasak masakan kesukaan Panuwun, dan meminyaki rambutnya.” (hal. 79).

“Meminyaki rambut dengan obat penyubur rambut bagi Juminten sama artinya dengan memasak makanan kesukaan suaminya. Apa pun yang disukai suaminya, pasti akan dipenuhi dan dilakukan. Bahkan… kalau saja dia tahan dengan bau obat rambut itu… mungkin seumur-umur hidupnya, dia akan memakai obat rambut itu. (hal 80).

“Sementara itu semua perempuan di desa ini memotong rambutnya semodel Marni, Juminten yang tidak tahan terhadap aroma rambut itu ingin memotong rambutnya semodel Marni” (hal. 79).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Juminten selalu berusaha menyenangkan suami dan menuruti kata-kata suaminya walaupun ia tidak setuju dengan kehendak suaminya ia tetap mengalah. Tokoh Juminten mewakili sosok kehidupan masyarakat sebagai perempuan Indonesia yang berwatak penurut, mengalah, dan pasif.

Dalam novel ini Juminten mewakili streotip perempuan dalam masyarakat yang dihendaki masyarakat patriarkis.

Akibat streotipnya yang penurut, pengalah dan pasrah, serta perannya sebagai seorang ibu rumah tangga dan pelayan bagi suami yang posisinya subordinat dan tidak punya kekuatan. Juminten tidak berdaya di depan suaminya, yang dikuatkan posisinya oleh nilai-nilai dan kehendak masyarakat.

Sebagai seorang istri yang baik, dibenak Juminten telah tertanam anggapan bahwa perempuan harus mampu menjadi Ibu Rumah Tangga yang baik. Istilah Ibu Rumah Tangga yang melekat pada istri berkonotasi pada pengabdian dan pelayanan meskipun dirinya harus tertekan, (Juminten tersubordinasi).

c) Kesimpulan

Cerpen ini menggambarkan ketidakberdayaan perempuan (istri) di adapan suami. Ketidakberdayaan ini terjadi akibat kuatnya norma masyarakat yang mengharuskan perempuan patuh pada suaminya. Norma ini disampaikan lewat ucapan-ucapan Panuwun, bahwa istri bersolek untuk suami. Norma ini lebih menguntungkan pihak laki-laki (suami), sehingga suami Panuwun bisa bertindak semena- mena pada istri. Juminten dimunculkan sebagai korban yang tidak berdaya untuk menentang sistem nilai masyarakat (obyek penceritaan). Ketidakadilan yang dialami oleh tokoh Juminten adalah ketidakadilan secara psikologis dan itu berpengaruh pada hati Juminten yang terpaksa dan terkesan pasrah menerima keadaannya, walaupun sebenarnya sebagai seorang istri ia boleh mempunyai keinginan dan ia boleh megajukan pendapatnya tetapi hal itu tidak dilakukan karena ia takut menghadapi resiko dari perlawanannya. Tindakan dan ungkapan yang diucapkan Panuwun kepada Juminten menunjukkan kekuasaan Panuwun untuk mengatur, mengontrol hingga membatasi akses Juminten terhadap sumber- sumber sosial, monitoring secara ketat mobilitas istri termasuk tindakan- tindakan lain yang menimbulkan rasa takut.

Cerpen “Rambutnya Juminten” buah karya Ratna Indaswari Ibrahim patut diacungi jempol. Tema yang diangkat sangat sederhana dan ada dalam kehidupan sehari- hari, tetapi jika diperhatikan lebih teliti, didalamnya terdapat fenomena yang erat kaitannya dengan kultur agama dan budaya yang tercipta di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di pulau Jawa, sesuai dengan latar cerita ini, yang dikenal denga istilah “konco wingking‟,

artinya perempuan harus selalu di belakang suami, yang menunjukkan stereotip perempuan. Seorang istri haruslah patuh terhadap kehendak suaminya tanpa pretense. Konco wingking tidak memberi ruang pada perempuan untuk bernegosiasi sebagai seorang subyek, dalam hal ini perempuan hanya diposisikan sebagai inferior tanpa cela.

Tokoh Juminten dalam cerpen ini hanya berperan sebagai supporting system dan pengambil keputusan adalah kepala keluarga yang berperan sebagai seorang panglima perang atau tokoh sentral yang memegang kekuasaan penuh dan dapat memilih apapun yang diinginkannya, meskipun zaman sudah berubah, tetap saja pemikiran yang kolot dan kuno ini tumbuh dengan subur di kalangan masyarakat Jawa dan beberapa masyarakat lain yang ada di Indonesia. Wanita hanya menjadi bawahan laki-laki dan tidak punya hak atas dirinya sendiri, wanita harus berada di lingkungan domestik dan mengatur semua kebutuhan rumah tangga. Secara tidak sadar kita menganut paham patriaki. Kaum laki-laki berkuasa atas semuanya, sedangkan wanita hanya menunggu perintah laki-laki.

2. Analisis Kesetaraan dan Ketidakadilan gender Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun karya Lea Pamungkas

a) Analisis Kesetaraan Gender

“Mbok Nah 60 Tahun”, Mbok Nah ditampilkan sebagai subyek penceritaan. Mbok Nah sebagai perempuan dijadikan sebagai bahan penceritaan, Ia pandai berjualan jamunya. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan berikut:

Mbok Nah yang masih montok pandai merayu tukang becak dan kuli bangunan: “Ayo Mas biar badannya kuat dan bojone di rumah puas, pokoke coba dulu, sampean

pasti bangga,” atau “Iya lho Jeng, suami Mbok kan dua puluh tahun lebih muda, gara-gara sari rapet ini dia tambah hari tambah rapet. Jamu yang ini bikin badan singset ndak bau, laki kan ndak suka. Kalau sudah begitu kan bisa repot.”

(hal. 93).

Dari kutipan di atas tergambar bahwa Mbok Nah pandai berjualan jamu, sehingga memiliki banyak pelanggan.

Mbok Nah pandai mempromosikan jamunya dengan para tukang becak dan kuli bangunan, dengan sedikit rayuan. Di hadapan para wanita Mbok Nah yang tiap hari berjualan jamu dan minum jamu, mempromosikan manfaat jamu sari rapet buat para istri. Ia menjadikan dirinya sebagai subyek yang patut ditiru.

Perempuan sejak dini sudah dipola oleh budaya masyarakatnya, yaitu harus bisa menjaga diri dan merias diri untuk menyenangkan suami serta melayani suami. Jamu singset dan sari rapet Mbok Nah ini memang manjur terbukti banyak langganan-langganannya yang bercerita sambil cekikikan pada Mbok Nah tentang pengalaman dan kepuasan berhubungan dengan suaminya (hal. 95).

Pemerian dari monolog di atas mendeskripsikan bagaimana pentingnya jamu bagi seorang lelaki pekerja keras tetapi tetap dapat membuat kuat sehingga istrinya merasa puas, istri merasa puas hal ini tentu saja menimbulkan rasa bangga pada suami karena dapat menunjukan kejantanannya. Secara kultural, dalam cerpen ini laki-laki dikondisikan secara kultural mempunyai stereotip yang kuat, rasional, gagah, jantan dan perempuan punya kewajiban untuk menjaganya, salah satunya lewat jamu kuat lelaki dan jamu sari rapet yang dijual Mbok Nah.

Berdasarkan hasil analisis pada cerpen Mbok Nah 60 Tahun, sudah terlihat kesetaraan gender. Tokoh Mbok Nah berperan ganda, memiliki pekerjaan di ranah publik sebagai penjual jamu gendong dan juga berpearan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus kepentingan keluarga. Mbok Nah berperan sebagai subyek penceritaan. Mbok Nah berjualan jamu gendong untuk membantu suami sebagai penarik becak yang kadang ada hasil dan kadang tidak. Dari hasil jualan jamu gendongnya yang selalu habis dibeli pelanggannya Mbok Nah dapat mencukupi kebutuhan keluarga.

Cerpen ini ditulis pengarang dengan tujuan membuka mata masyarakat agar tidak menagabaikan peran seorang tukang jamu yang berumur 60 tahun Mbok Nah berperan ganda, bekerja di ranah publik dan juga di ranah domestik.

Usia Mbok Nah memang sudah tua tetapi Mbok Nah bertanggung jawab pada keluarga, menghidupi suami yang pemalas dan manja, juga mengurus Rumah Tangga dan suami dengan baik. Melalui cerpen ini pengarang ingin menunjukan kepada masayarakat, peran laki-laki yang diagung-agungkan sebagai sosok hebat, kuat dan gagah, yang harusnya bekerja di ranah publik sudah bergeser, peran tanggung jawab sebagai pencari nafkah sudah digantikan perempuan.

Situasi seperti ini banyak terjadi di kehidupan nyata.

Suami yang maunya santai, ongkang-ongkang kaki, maunya bersenang-senang, pemalas tidak mau bekerja, dan menumpang hidup dengan perempuan banyak dan tumbuh subur di masyarakat terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sebagai suami yang tidak mampu menghasilkan apa-apa untuk mencukupi kebutuhan dan

membayar sewa harusnya Marno sadar dan bersedia berganti peran dengan Mbok Nah mengurus Rumah Tangga, dan tidak membiarkan Mbok Nah mengerjakan tugas gandanya sendiri. Meskipun Mbok Nah sudah tua tetapi tetap saja Ia perlu dihargai dan tidak diberikan beban berat dalam Rumah Tangga.

b) Analisis Ketidakadilan Gender

Dalam cerpen ini pengarang mendeskripsikan tokoh utama cerpen“Mbok Nah 60 tahun” sebagai perempuan tua yang memiliki peran ganda baik di ranah domestik maupun di ranah publik. Mbok Nah hidup dalam lingkungan kultur yang yang manut pada suami („konco wingking‟).

Dalam budaya Jawa, perempuan tidak boleh menyatakan perasaannya kepada suami, dalam arti harus nrimo, pasrah, dan tidak boleh brepretensi apa-apa, suami adalah panutan.

Mbok Nah mempunyai seorang suami yang usianya 20 tahun lebih muda dari Mbok Nah. Dalam cerpen ini Marno, suami Mbok Nah di deskripsikan sebagai suami yang manja, dan kurang bertanggung jawab, mau bersenang-senang, dan tidak peduli dengan perasaan Mbok Nah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Loh, ndak berangkat toh Mas…, nanti ndak bisa ngantar anak- anak yang mau sekolah,” lembut Mbok Nah menyapa.

Kopi dan goreng pisang yang disuguhkan sudah ludas.

“Nanti, sebentar lagi Nah.”

“Ya sudah,” Mbok Nah tak bisa menunggu sampai Marno pergi,” (hal.96-97).

Dari pemeriaan dan dialog pendek antara Mbok Nah dan Marno, tergambar bahwa Marno mempunyai niat jelek

kepada Mbok Nah. Dia kelihatan bahagia apabila Mbok Nah telah bersiap-siap pergi menjajakan jamu termasuk kepada Meri yang selanjutnya diketahui bahwa Marno berselingkuh dengan Meri. “Mbok Nah tak menaruh curiga, ketika setiap kali ia mengetuk pintu kamar Meri (waria yang kos di depan rumahnya) dan Meri ke luar dari kamarnya, Marno suaminya selalu tersenyum malu-malu. “Halo Mbok Nah, dagg Mas marno.” Begitu setiap pagi dan Mbok Nah tak tahu apa yang terjadi kemudian. Yang pasti pendapatan Marno dua minggu terakhir ini surut banyak. Mbok Nah harus ngutang sana-sini untuk makan atau bahan pembuat jamu.” (hal.98).

Frase tersenyum malu-malu mengandung makna bahwa hati Marno sedang berbahagia karena akan berkencan dengan Meri, bukan dengan Mbok Nah, walau sebenarnya Mbok Nah sangat juga sangat ingin mendapatkan kembali senyum malu-malu Marno yang membuatnya kesengsem (hal. 98), sayang sekali, ternyata senyum itu bukan buat Mbok Nah, tetapi buat Meri, dan hal ini membuat Mbok Nah tersubordinasi, terdiskrimnasi, terepresi dan termarginalisasi.

Konflik mulai muncul dalam cerpen ini, saat Mbok Nah melihat keanehan dan merasakan kebingungan dalam 2 minggu terakhir. Mbok Nah melihat gelagat Mas Marno suaminya, tidak menarik becak sebagaimana biasanya, padahal sudah berpakaian rapih. Kebingungan Mbok Nah akibat sikap suaminya ini memunculkan konflik dalam cerpen ini. Mbok Nah tersubordinasi dan terepresi.

“Yang bikin bingung, ya ini, Mas Marno, Si Kuku Bimanya.

Hati Mbok Nah kebat kebit. Mas Marno tersayang kini

sering berangkat menarik becak lebih siang. Padahal pagi- pagi dia sudah dandan. Rambutnya sudah lengket berkilat oleh pomade, celana pendek jins juga sudah dipakainya.

Becak pun sudah di pinggir jalan. Tapi Marno Cuma duduk- duduk di amben depan rumah. Wajahnya jernih kekanakan menatap ke depan.”

Dari kutipan di atas menunjukkan tokoh Marno yang berposisi superior dan Mbok Nah berposisi inferior, padahal sifat Marno itu tidak mempresentasikan ideologi gender, jadi Marno berkuasa secara psikis atas Mbok Nah, bukan secara biologis.

Pada suatu sore Mbok Nah melihat becak Marno sudah nangkring di bawah pohon jambu klutuk depan rumah…. Dari kamar belakang dia mendengar suara Marno dan suara Meri. Suara-suara itu mengingatkan Mbok Nah pada malam-malam kebersamaannya dengan Marno.Mbok Nah tercenung….Pandangannya jatuh pada tangannya yang keriput dan legam.Mbok Nah menarik nafas. (hal 100-101).

Marno yang diceritakan sebagai orang yang kekanak- kanakan, dalam pemeriaan di atas tergambar sebagai seorang suami yang punya kekuasaan untuk menyakiti istrinya Mbok Nah. Tega-teganya Marno berselingkuh dengan waria yang terang-terangan dilakukan di rumah Mbok Nah.

“Suara-suara itu mengingatkan Mbok Nah pada malam- malam kebersamaannya dengan Marno.” (hal 102).

Kutipan di atas membuat Mbok Nah tercenung, dia merasa tersubordinasi, terdiskriminasi, dan terepresi. Dia melihat pada dirinya sendiri yang sudah berumur 60 tahun, tangannya telah keriput dan legam, apalagi wajahnya.

Kalimat “Mbok Nah menarik nafas,” menunjukan bahwa dia sudah tua, sudah tidak menarik lagi bagi Marno

Larut malam ketika kentongan berbunyi dua kali Mbok Nah masih menunggu Marno. Cuma dengkuran dari kamar sebelah yang didengarnya (hal.100).

Sikap mbok Nah yang memilih pergi saat melihat Marno dan Meri tersenyum malu-malu. Mbok Nah berusaha menyimpan perasaannya dan tidak mengungkapkan secara terbuka untuk mencegah terjadinya konflik. Sikap ini mencerminkan perempuan ideal yakni perempuan yang bersifat pasif, menderita tanpa protes, kuat perasaannya, dan tak pernah menyatakan hal- hal negatif, semuanya dipendam di hati. Mbok Nah tidak bersikap terbuka dan mendiamkan persoalan. Hal ini membuat Mbok Nah kembali mendapat represi dari suaminya.

Meri yang merasa bersalah dengan Mbok Nah berusaha meminta maaf, tetapi Mbok Nah tidak menanggapinya bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Mbok Nah berusaha memaklumi dan memaafkan perselingkuhan itu dengan cara menganggap Meri dan Marno sebagai bocah-bocah. Saat keesokan harinya Mbok Nah berjalan ke luar. Pintu kamar belakang terkuak sedikit, dilihatnya Meri tidur dengan muka penuh riasan. Di sisi ketiaknya Marno meringkuk seperti bayi. “Bocah-bocah turu kabeh,” desahnya, (hal. 103).

“Meri tengah memasukkan botol-botol jamunya ke dalam bakul dan rambut Mas Marno basah, keduanya tersenyum malu-malu. Mbok Nah tak berkata apa-apa. Ia menghirup kopi dan pergi.” (hal.101).

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana perasaan Mbok Nah yang tersubodinasi, terdiskriminasi, dan terepresi.

Melihat gelagat Meri dan suaminya Marno, hati Mbok Nah teriris dan ia merasa lebih baik pergi dari rumah. Sepanjang jalan ketika berjualan jamu, Mbok Nah tak bisa melupakan perselingkuhan suaminya dengan Meri. Betapa pedih hati Mbok Nah diperlakukan seenaknya oleh suaminya yang berselingkuh terang-terangan di depan matanya. Dia merasa rendah diri karena dia merasa lebih tua dari suaminya, dan kenyataannya memang tua, sudah berumur 60 tahun dan suaminya baru 40 tahun. Badan Mbok Nah masih tetap montok, tetapi kulitnya sudah mulai keriput dan legam, karena kepanasan ketika menjajakan jamunya. Akibat peristiwa ini Mbok Nah enggan pulang. Namun rasa lapar tak bisa ditahannya membuat ia terpaksa pulang.

Sikap Mbok Nah yang memilih disakiti dan seolah tidak terjadi apa- apa merupakan suatu bentuk ketidakadilan.

Harusnya sebagai seorang istri Mbok Nah marah dan tidak membiarkan hal ini terjadi, tetapi malah bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Dan Mbok Nah menunggu keduanya untuk meminta maaf.

“Mbok Nah ini pikirannya piye toh. Apa ndak melihat kelakuan si Meri sama Mas Marno. Pikun apa Mbok Nah ini…. Mas Marno juga wis gendeng apa, punya gendakan kok banci,” kata Mbakyu Surti, yang terkenal ceplas-ceplos (hal.102).

Kutipan di atas dapat diketahui bahwa tetangga- tetangga Mbok Nah sudah mengetahui perselingkuhan Marno dan Meri. Mereka menyayangkan sikap Mbok Nah yang terlalu baik pada Meri dan mengherankan Marno

mempunyai gendakan banci. Mbok Nah sebetulnya tak ingin bertemu dengan tetangga, tetapi tak bisa, karea semua tetangganya langganannya. Ia akhirnya menjawab pertanyaan tetangganya yang memerahkan telinganya dan membuat sakit hati perasaannya. Mbok Nah terepresi.

“Mbok Nah terbangun ketika terdengar ketukan halus pada pintu. Mbok Nah mengira Mas Marno, ia gelagapan. Tak tahu kira-kira apa yang harus dikatakannya. Ia tak yakin apakah ia marah dengan peristiwa kemarin sore. Jika berlagak marah ya salah, tetapi jika tidak mengatakan apa-apa juga salah. Akhirnya Mbok Nah Cuma menunggu.” (hal.102- 103).

“Mbok…, kemarin sore…, Meri tampak gugup dan tersendat

“Meri…, anu Mbok, nuwun sewu…. Mas Marno, Meri…,”

(hal.103).

“Wis Nduk, wis… tidur sana”, kata Mbok Nah setengah mengantuk. Mbok Nah Tidur lagi.” (hal.103).

Kutipan di atas menunjukkan kebesaran hati Mbok Nah. Apalagi dia melihat ketulusan hati Meri yang sengaja dating untuk meminta maaf atas perselingkuhannya dengan Marno. Hati Mbok Nah mencair dan dia merasakan kehangatan atas kehadiran Meri di rumahnya. Meri yang sudah dianggapnya sanaknya sendiri tiba-tiba muncul dalam kehidupannya dan berselingkuh dengan suaminya. Menyadari perselingkuhan. antara suaminya dengan Meri, Mbok Nah tidak menyalahkan suaminya, malah dia melihat ke dirinya, bahwa suaminya wajar berbuat selingkuh karena dia sudah tua, sudah tak menarik lagi. Pengakuan perasaan ini menjadikan sikap Mbok Nah yang mempermasalahkan perselingkuhan itu. Dengan cara

ini Mbok Nah menghindari sakit hatinya dan mengobati perasaannya.

Tokoh “Mbok Nah” digambarkan sebagai perempuan Jawa sederhana, berwatak halus, lembut, sabar, telaten, tak pernah berprasangka buruk kepada orang lain. Marno, suami Mbok Nah, usianya 20 tahun lebih muda. Sebagai perempuan Jawa Ia selalu ingin menyenangkan suaaminya, senantiasa taat dan setia pada suaminya, ditakdirkan harus manut pada suami, hanya diam tak berdaya melihat kelakuan suami yang berani berselingkuh di depan mata Mbok.

Dalam kultur Jawa sikap Mbok Nah diartikan sebagai sikap yang pasrah dan nrimo‟ atas perlakuan suami. Ia harus

„nrimo‟, pasrah, dan tidak boleh berprestasi apa-apa. Suami adalah panutan. Mbok Nah berusaha berbuat taat dan setia pada suaminya. Meskipun Mbok Nah memergoki Marno suaminya berselingkuh dengan Meri, tetapi Mbok Nah hanya berdiam diri menerima keadaan dan menyadari ketidakmampuannya menyenangkan suami yang 20 tahun lebih muda usianya, Mbok Nah terepresi.

Sebagai seorang istri Mbok Nah adalah manusia biasa.

Tak ada istri di dunia ini rela menyaksikan perselingkuhan antara Marno dan dan Meri, Mbok Nah marah, Mbok Nah tersinggung, hatinya sakit, dan Mbok Nah berencana untuk meninggalkan Marno, Ia sadar dengan posisinya, sebagai orang Jawa, Mbok Na memegang teguh budaya “konco wingking‟ yang sudah diajarkan orangtuanya sejak Mbok Nah masih kecil. Hal inilah yang kemudian membuat Mbok Nah berusaha menerima keadaan ini dengan diam, dan pura- pura tidak tahu, menutup mata dan telinganya dengan perlakuan

Dokumen terkait