• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komite Perbankan Syariah (KPS)

BAB V. HUBUNGAN KERJASAMA DOMESTIK DAN INTERNASIONAL 5.1. KERJASAMA LEMBAGA DOMESTIK

D. Lembaga Terkait Lainnya

5.1.3. Komite Perbankan Syariah (KPS)

103 Selama tahun 2013, WGPS sebagaimana tahun sebelumnya melalui serangkaian kajian dan pembahasan yang menghadirkan berbagai nara sumber telah menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi mengenai topik-topik permasalahan yang berkaitan dengan operasional perbankan syariah sebanyak tujuh topik melampaui jumlah topik yang ditargetkan semula hanya empat untuk dikeluarkan rekomendasinya yang sebagian besarnya sudah ditindaklanjuti dengan keluarnya fatwa DSn MUI. Ketujuh rekomendasi tersebut yaitu;

1. Pembiayaan KPR Indent Syariah 2. Pembiayaan Sindikasi Syariah 3. Sekuritisasi Aset Bank Syariah

4. Refinancing Berdasarkan Prinsip Syariah

5. Islamic Negotiable Certificate of Deposit (NCD Syariah)/Sertifikat Investasi Syariah)

6. Pengalihan Piutang Pembiayaan Antar Lembaga Keuangan Syariah (LKS) 7. Implementasi Produk Musyarakah Mutanaqishah

104 Berdasarkan keputusan Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK, Nomor 120/MS1/2013 tgl 18 Desember 2013, Dewan Komisioner OJK menyetujui pembentukan KPJKS di OJK yg efektif sejak tanggal 31 Desember 2013. Untuk itu OJK juga telah menerbitkan PDK No. 47/PDK.02/2013 tgl 30 Desember 2013 tentang KPJKS di OJK. Dalam PDK tersebut diatur bahwa KPJKS bertanggung jawab kepada Dewan Komisioner OJK. Anggota KPJKS terdiri dari unsur OJK, Kementerian Agama, MUI, dan unsur masyarakat lainnya dengan komposisi berimbang.

Anggota KPJKS harus memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi.

Persyaratan Integritas mencakup: (1) memiliki akhlak dan moral yang baik; (2).

memiliki komitmen untuk mengembangkan jasa keuangan syariah; (3). memiliki visi dan misi untuk mengembangkan jasa keuangan syariah; (4). memiliki waktu yang cukup bagi pelaksanaan tugas sebagai anggota KPJKS. Adapun persyaratan kompetensi mencakup: (1). memiliki pemahaman yang baik di bidang syariah mu’amalah dan/atau di bidang ekonomi, keuangan dan industri jasa keuangan; (2).

memiliki pemahaman yang baik atas peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Tujuan pembentukan KPJKS adalah membantu OJK dalam mengimplementasikan fatwa MUI dan mengembangkan jasa keuangan syariah.

Adapun tugas KPJKS adalah membantu OJK dalam: (1) Menafsirkan fatwa MUI yang terkait dengan jasa keuangan syariah; (2) Memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa ke dalam POJK; (3) Melakukan pengembangan industri jasa keuangan syariah. Hasil pelaksanaan tugas KPJKS disampaikan kepada OJK dalam bentuk rekomendasi KPJKS. Dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan tugasnya, KPJKS dibantu oleh Tim Kerja KPJKS yang terdiri dari internal OJK dan ekternal OJK dari berbagai keahlian dan kepakaran terkait.

Selama tahun 2013, KPS telah melaksanakan rapat sebanyak lima kali. Topik utama yang dibahas dan direkomendasikan serta telah ditindaklanjuti antara lain mencakup:

1) Leveraging Layanan Perbankan Syariah dan Bank Induk Konvensional

2) Permasalahan Standarisasi Kontrak dalam Perjanjian Produk Perbankan Syariah 3) Wakalah Interbank Certificate

4) Implementas Fatwa Musyarakah Mutanaqishah dalam Produk Bank Syariah 5) Cetak Biru Perbankan Syariah

6) Kodifikasi Produk Perbankan Syariah

7) Global Financial Crisis from Islamic Economic Perspective

8) Makna dan Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 93/PUU- X/2012 yang membatalkan Pasal 55 ayat 2 UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penjelasan mengenai pembahasan atas keputusan MK akan dijelaskan tersendiri dalam Boks.

105 KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

ATAS PENGUJIAN UU NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA*)

Latar Belakang :

Adanya permohonan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi atas UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bahwa apa yang diatur dalam Bab IX mengenai penyelesaian sengketa yaitu Pasal 55 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) menimbulkan kontradiksi dan dapat menyebabkan adanya ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dimana dalam ayat (1) menyebutkan secara tegas jika terjadi sengketa dalam Perbankan Syariah maka harus dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Agama, sedangkan ayat (2) memberi pilihan kepada para pihak yang terikat dalam suatu akad untuk memilih akan dilaksanakan di lingkungan peradilan mana jika terjadi sengketa serta memberikan pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) yang menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili oleh karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

Sedangkan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama secara tegas menyatakan bahwa peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah termasuk sengketa ekonomi syariah.

Keputusan Mahkamah Konstitusi :

Pada tanggal 29 Agustus 2013, Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara tersebut dengan Amar putusan diantaranya “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian yaitu: Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penjelasan Pasal 55, ayat (2) Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut : (i) musyawarah, (ii) mediasi perbankan, (iii) melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau (iv) melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Makna Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) :

Putusan MK menyatakan penjelasan Pasal 55 ayat (2) bertentangan dengan konstitusi dan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sedangkan norma Pasal 55 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tetap konstitusional.

Pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah sebagaimana penjelasan Pasal 55 ayat (2) baik melalui non litigasi (musyawarah, mediasi perbankan, arbitrase syariah) dan pilihan litigasi (Peradilan Umum) dinyatakan inkonstitusional.

Meskipun penjelasan Pasal 55 ayat (2) dinyatakan inkonstitusional sehingga pembatasan pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, namun demikian tidak berarti penyelesaian non litigasi di luar Peradilan Agama tidak dimungkinkan, karena dengan adanya putusan tersebut maka segala ketentuan dari penyelesaian sengketa perbankan syariah hanya berdasarkan pada Pasal 55 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dimana dalam ayat (2) memungkinkan adanya pilihan forum, apabila para pihak menghendaki hal tersebut dalam akad secara tertulis dan jelas serta dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Dualisme kewenangan lembaga peradilan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum tidak ada lagi karena Peradilan Agama merupakan satu satunya lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah dan ekonomi syariah umumnya..

Putusan MK berlaku ke depan sehingga semua perselisihan di bidang perbankan syariah yang sedang ditangani berdasarkan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) harus tetap dilanjutkan. Selanjutnya semua perselisihan di bidang perbankan syariah harus diselesaikan sesuai putusan MK.

*) diambil dari rapat Komite Perbankan Syariah (KPS) Bank Indonesia tanggal 18 September 2013

106 5.2. KERJASAMA LEMBAGA INTERNASIONAL

Semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia kedalam perekonomian regional maupun global, dan tren semakin membesarnya pangsa perbankan dan keuangan syariah di berbagai jurisdiksi, membuat perbankan dan keuangan syariah Indonesia sedikit banyak mesti mengikuti perkembangan keuangan syariah internasional, dan bila memungkinkan turut terlibat dalam pengembangan dan pengambilan kebijakan terkait ekonomi dan keuangan syariah internasional. Oleh karena itu menjadi bermanfaat bagi keuangan dan perbankan syariah Indonesia untuk dapat melakukan kerjasama dengan berbagai institusi keuangan syariah internasional, dalam rangka berpartisipasi untuk pengembangan keuangan syariah internasional. Selain itu juga, dalam masterplan perbankan tercakup didalamnya mengenai pengaturan dan pengawasan perbankan yang memberi ruang kepada proses penyusunan dan adaptasi standar internasional kedalam pengaturan dan pengawasan perbankan di Indonesia., dimana hal ini dapat dicapai antara lain dengan membangun aliansi strategis baik dengan lembaga domestik maupun lembaga internasional. Aliansi strategis dalam lingkup internasional yang diikuti dapat dilaksanakan melalui keterlibatan dalam perumusan kebijakan keuangan syariah internasional, harmonisasi pengaturan dan standarisasi berbagai aspek kegiatan perbankan syariah internasional dalam menghadapi tantangan perekonomian dunia yang mengarah kepada integrasi dan interkonektivitas sistem keuangan global.

Peran serta Indonesia dalam berbagai kegiatan institusi internasional bidang keuangan dan perbankan syariah, diharapkan dapat memberikan kemanfaatan antara lain yaitu: (i) berkontribusi dalam mendorong harmonisasi regulasi, pengembangan infrastruktur pendukung dan perumusan standar best practices bagi operasional perbankan syariah internasional, (ii) memperoleh akses informasi mengenai perkembangan terkini, kecederungan arah harmonisasi regulasi dan standar best practices keuangan syariah global, (iii) mengukuhkan eksistensi Indonesia sebagai salah satu pemain penting dalam keuangan dan perbankan syariah internasional, dan (iv) memanfaatkan keterlibatan dalam lembaga internasional untuk peningkatan kompetensi dan pengetahuan regulator dan pelaku pasar domestik agar dapat mengambil kemanfaatan dari berbagai kemajuan dalam perkembangan keuangan syariah global. Implementasi berbagai kegiatan tersebut selama tahun 2013 telah dilakukan otoritas perbankan dan jasa keuangan Indonesia dengan lembaga-lembaga terkait keuangan dan perbankan syariah seperti Islamic Development Bank (IDB), Islamic Financial Services Board (IFSB) dan International Islamic Financial Market (IIFM).