• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Koordinasi Pemerintah dalam Pemberdayaan PKL

3. Kompetensi

a. Ada tidaknya pejabat yang berwenang terlibat

b. Ada tidaknya ahli dibidang pembangunan yang terlibat 4. Kesepakatan, komitment, dan insentif koordinasi

a. Ada tidaknya bentuk kesepakatan b. Ada tidaknya pelaksana kegiatan

c. Ada tidaknya sanksi bagi pelanggar kesepakatan d. Ada tidaknya insentif bagi pelaksana koordinasi 7. Prinsip-prinsip Koordinasi

Ada beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam pelaksanaan koordinasi seperti dikemukakan oleh Sugandha dalam Daeng Jimo (2011:14) sebagai berikut:

1. Adanya kesepakatan dan kesatuan pengertian mengenai sasaran yang harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama.

2. Adanya kesepakatan mengenai kegiatan atau tindakan yang harus dilakukan oleh mesing-masing termasuk target dan jadwalnya.

3. Adanya ketaatan dan loyalitas dari setiap pihak terdapat bagian tugas masing- masing serta jadwal yang telah ditetapkan.

4. Adanya saling tukar informasi dari semua pihak yang bekerja sama mengenai kegiatan dan hasilnya pada suatu saat tertentu termasuk masalah-masalah yang dihadapi masing-masing.

5. Adanya koordinator yang memimpin dan menggerakkan serta memonitor kerjasama tersebut serta memimpin pemecahan masalah bersama.

6. Adanya informasi dari berbagai pihak yang mengalir kepada koordinator sehingga koordinator dapat memonitor seluruh pelaksanaan kerjasama dan mengerti masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh semua pihak.

7. Adanya saling hormat menghormati terhadap wewenang fungsional masing- masing pihak sehingga tercipta semangat untuk saling membantu.

8. Fungsi Koordinasi

Menurut Handayaningrat (1989:119-121) menjelaskan fungsi koordinasi adalah sebagai berikut:

a. Sebagai salah satu fungsi manajemen, disamping adanya fungsi perencanaan, penyusunan pegawai, pembinaan kerja, motivasi dan pengawasan. Dengan kata lain koordinasi adalah fungsi organik dari pimpinan.

b. Untuk menjamin kelancaran mekanisme prosedur kerja dari berbagai komponen dalam organisasi. Kelancaran mekanisme prosedur kerja harus dapat terjamin dalam rangka pencapaian tujuan organisasi dengan menghindari seminimal mungkin perselisihan yang timbul antara sesama komponen organisasi dan mengusahakan semaksimal mungkin kerjasama di antara komponen-komponen tersebut.

c. Sebagai usaha yang mengarahkan dan menyatukan kegiatan yang mengandung makna adanya keterpaduan (integrasi) yang dilakukan secara serasi dan simultan/singkronisasi dari seluruh tindakan yang dijalankan oleh organisasi, sehingga organisasi bergerak sebagai kesatuan yang bulat guna melaksanakan seluruh tugas organisasi yang diperlukan untuk mencapai tujuannya. Hal itu sesuai dengan prinsip koordinasi, integrasi, dan singkronisasi.

d. Sebagai faktor dominan dalam kelangsungan hidup suatu organisasi pada tingkat tertentu dan ditentukan oleh kualitas usaha koordinasi yang dijalankan.

Peningkatan kualitas usaha koordinasi merupakan usaha yang perlu dilakukan secara terus-menerus karena tidak hanya masalah teknis semata tetapi

tergantung dari sikap, tindakan, dan langkah dari pemegang fungsi organik dari pimpinan.

e. Untuk melahirkan jaringan hubungan kerja atau komunikasi. Jaringan hubungan kerja tersebut berbentuk saluran hubungan kerja yang membutuhkan berbagai pusat pengambilan keputusan dalam organisasi. Hubungan kerja ini perlu dipelihara agar terhindar dari berbagai rintangan yang akan membawa organisasi ke situasi yang tidak berfungsi sehingga tidak berjalan secara efektif dan efisien.

f. Sebagai usaha untuk menyelaraskan setiap tindakan, langkah dan sikap yang terpadu dari para pejabat pengambil keputusan dan para pelaksana. Dalam organisasi yang besar dan kompleks, pertumbuhan organisasi akan menyebabkan penambahan beban kerja, penambahan fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan dan penambahan jabatan yang perlu di koordinasikan.

g. Untuk penataan spesialisasi dalam berbagai keanekaragaman tugas. Karena timbulnya spesialisasi yang semakin tajam merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

9. Hambatan Dalam Pelaksanaan Koordinasi

Menurut Handayaningrat (1989:129) berbagai faktor yang dapat menghambat tercapainya koordinasi itu adalah sebagai berikut:

a. Hambatan-hambatan dalam koordinasi vertikal (struktural)

Dalam koordinasi vertikal (struktural) sering terjadi hambatan-hambatan disebabkan perumusan tugas, wewenang dan tanggungjawab tiap-tiap satuan kerja (unit kerja) kurang jelas. Disamping itu adanya hubungan dan tata kerja serta prosedur kurang dipahami oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan kadang-kadang timbul keragu-raguan diantara mereka. Sebenarnya hambatan-

Pemberdayaan merujuk pada pengertian perluasan kebebasan memilih dan bertindak. Bagi masyarakat miskin, kebebasan ini sangat terbatas karena ketidak mampuan bersuara (voicelessness) dan ketidak berdayaan (powerlessness) dalam hubungannya dengan negara dan pasar. Karena kemiskinan adalah multi dimensi, masyarakat miskin membutuhkan kemampuan pada tingkat individu (seperti kesehatan, pendidikan, dan perumahan) dan pada tingkat kolektif (seperti bertindak bersama untuk mengatasi masalah). Memberdayakan masyarakat miskin dan terbelakang menuntut upaya menghilangkan penyebab ketidak mampuan mereka meningkatkan kualitas hidupnya. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal Suharto (2010).

1. Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun.

2. Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.

Beberapa ahli mengemukakan defenisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan:

a. Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung Ife dalam Suharto (2010).

b. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagai pengontrolan atas, dan mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya Persons dalam Suharto (2010).

c. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengelokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial Swift dan Levin dalam Suharto (2010).

d. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya Rappaport dalam Suharto (2010).

Fenomena Pedagang Kaki Lima yang saat ini ada di kota-kota besar menjadi tugas pemerintah daerah setempat untuk mengatur penertibannya sebagaimana Rasyid dalam Muhaddam (2011:32) membagi fungsi pemerintah menjadi empat bagian, yaitu pelayanan (public service), pembangunan (develoment), pemberdayaan (empowering), dan pengaturan (regulation) sedangkan menurut Sondang dalam administrasi pembangunan (2012:142), peran pemerintah dalam pembangunan nasional yaitu peran selaku stabilsator, peran selaku inovator, peran selaku modernisator, dan peran pelaku pelaksana sendiri. Sementara itu dari aspek

manajemen, pemerintahan terkait dengan fungsi-fungsi memimpin, memberi petunjuk memerintah, menggerakkan, koordinasi, pengawasan dan motifasi dalam hubungan pemerintahan. Dari pengertian diatas sudah jelas bahwa pemerintahlah yang harus bertindak dikarenakan kehadiran pedagang kaki lima yang semakin hari semakin meningkat jumlahnya sehingga perlu untuk diberdayakan.

Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidak berdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi esternal (misalnya ditindas oleh struktur sosial tidak adil). Guna melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah dan ketidak berdayaan yan dialaminya. Beberapa kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi:

1. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis.

2. Kelompok lemah khusus, seperti menula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.

3. Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi atau keluarga.

Pemberdayaan pada hakikatnya merupakan sebuah konsep yang fokusnya adalah hal kekuasaan. Pemberdayaan secara subtansial merupakan proses memutus atau breakdown dari hubungan antara subyek dan obyek. Proses ini mementingkan pengakuan subyek akan kemampuan atau daya (power) yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya mengalirnya

daya dari subyek ke obyek. Pemberdayaan pada intinya adalah pemanusiaan.

Menurut Tjandraningsih (1996), pemberdayaan mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk meraih keberdayaannya. Oleh karena itu pemberdayaan sangat jauh dari konotasi ketergantungan.

Didalam studi dan teori tentang pembangunan dan kemiskinan, pemberdayaan merupakan istilah yang relatif baru. Ditengah pengaruh kuat teori modernisasi, kegagalan pembangunan, keterlambatan sekelompok masyarakat merespon kemajuan dan masih merebaknya persoalan kemiskinan cenderung hanya dicari dan bersumber dari kesalahan mental dan nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang miskin itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan proses untuk membuat masyarakat menjadi berdaya.

Setiap anggota masyarakat dalam sebuah komunitas sebenarnya memiliki potensi, gagasan serta kemampuan untuk membawa dirinya dan komunitasnya untuk menuju ke arah yang lebih baik.

Inklusi berfokus pada pertanyaan siapa yang diberdayakan, sedangkan partisipasi berfokus pada bagaimana mereka diberdayakan dan peran apa yang mereka mainkan setelah mereka menjadi bagian dari kelompok yang diberdayakan. Menyediakan ruang partisipasi bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam pembangunan adalah memberi mereka otoritas dan kontrol atas keputusan mengenai sumber-sumber pembangunan. Partisipasi masyarakat miskin dalam menetapkan prioritas pembangunan pada tingkat nasional maupun daerah diperlukan guna menjamin bahwa sumber daya pembangunan (dana, prasarana/sarana, tenaga ahli, dll) yang terbatas secara

nasional maupun pada tingkat daerah dialokasikan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masyarakat miskin tersebut. Partisipasi yang keliru adalah melibatkan masyarakat dalam pembangunan hanya untuk didengar suaranya tanpa betul-betul memberi peluang bagi mereka untuk ikut mengambil keputusan. Pengambilan keputusan yang partisipatif tidak selalu harmonis dan seringkali ada banyak prioritas yang harus dipilih, oleh sebab itu mekanisme resolusi konflik kepentingan harus dikuasai oleh pemerintah guna mengelola ketidaksepakatan.

Ada berbagai bentuk partisipasi, yaitu:

a. Secara langsung, (langsung melihat lapangan yang akan di teliti),

b. Dengan perwakilan (yaitu memilih wakil dari kelompok-kelompok masyarakat),

c. Secara politis (yaitu melalui pemilihan terhadap mereka yang mencalonkan diri untuk mewakili mereka),

d. Berbasis informasi (yaitu dengan data yang diolah dan dilaporkan kepada pengambilan keputusan),

e. Berbasis mekanisme pasar yang kompetitif (misalnya dengan pembayaran terhadap jasa yang diterima).

Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Berbicara tentang pendekatan, bila dilihat dari proses dan mekanisme perumusan program pembangunan masyarakat, pendekatan pemberdayaan cenderung mengutamakan alur dari bawah ke atas atau lebih dikenal pendekatan bottom-up. Pendekatan ini merupakan upaya melibatkan semua pihak sejak awal, sehingga setiap keputusan

yang diambil dalam perencanaan adalah keputusan mereka bersama, dan mendorong keterlibatan dan komitmen sepenuhnya untuk melaksanakannya.

Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka perencanaan dan penentuan kebijakan, atau dalam pengambilan keputusan. Model pendekatan dari bawah mencoba melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pembangunan.

Pendekatan yang dilakukan tidak berangkat dari luar melainkan dari dalam.

Seperangkat masalah dan kebutuhan dirumuskan bersama, sejumlah nilai dan sistem dipahami bersama. Model bottom up memulai dengan situasi dan kondisi serta potensi lokal.

Dengan kata lain model kedua ini menempatkan manusia sebagai subyek.

Pendekatan “bottom up” lebih memungkinkan penggalian dana masyarakat untuk pembiyaan pembangunan. Hal ini disebabkan karena masyarakat lebih merasa

“memiliki”, dan merasa turut bertanggungjawab terhadap keberhasilan pembangunan, yang nota bene memang untuk kepentingan mereka sendiri. Betapa pun pendekatan bottom up memberikan kesan lebih manusiawi dan memberikan harapan yang lebih baik, namun tidak lepas dari kekurangannya, model ini membutuhkan waktu yang lama dan belum menemukan bentuknya yang mapan.

Partisipasi secara langsung oleh masing-masing anggota masyarakat adalah tidak realistik, kecuali pada masyarakat yang jumlah penduduknya sedikit, atau untuk mengambil keputusan-keputusan kenegaraan yang mendasar melalui referendum. Yang umum dilakukan adalah partisipasi secara tidak langsung, oleh wakil-wakil masyarakat seperti lembaga riset, LSM, organisasi keagamaan dll.

Mempunyai peran yang penting dalam membawa suara masyarakat miskin untuk

didengar oleh pengambil keputusan tingkat nasional dan daerah. Walaupun keterwakilan sudah dilakukan dengan benar, proses partisipasi masih belum benar jika pelenggaraannya dilakukan secara tidak sungguh-sungguh. Upaya yang dilandasi niat jujur untuk menampung pendapat masyarakat terhadap kebijakan yang menyangkut ruang hidup mereka dapat menjadi tidak berhasil, jika pendapat wakil-wakil masyarakat yang diharapkan mewakili kepentingan semua unsur masyarakat itu kemudian hanya diproses sekedarnya saja, tanpa upaya memahami pertimbangan apa dibalik pendapat yang diutarakan wakil-wakil tersebut.

Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang dijalanan pada umumnya.

Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan colonial Belanda.

Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.

Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 mengatakan, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Jadi jelas tertulis PKL ini memiliki hak yang sama terhadap pekerjaan yang dikerjakan tanpa diganggu gugat oleh siapapun termasuk pemerintah. Potret realitas yang kontras ini ternyata kehadirannya bener-bener merefleksikan adanya rasionalitas

hubungan antara pemerintah dengan masyarakat kecil seperti PKL ini. Dalam konteks realitasnya PKL menjadi kelompok yang losser, yakni pihak yang dikalahkan. Didasari atau tidak, pemerintah dikatakan gagal mengemban daulat rakyat dalam menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Peran pemerintah sangat rentan dalam mengahadapi masalah ini. Pemerintah harus memikirkan dan memberikan solusi yang jelas dan kongkret serta kebijakan yang adil dalam menyelesaikan persoalan PKL.

Sejalan dengan itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat (miskin) untuk berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengendalikan kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung-gugat (accountable) demi perbaikan kehidupannya. Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice). Karena itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses terencana guna meningkatkan skala/upgrade utilitas dari obyek yang diberdayakan.

Dasar pemikiran suatu obyek atau targetgroup perlu diberdayakan karena obyek tersebut mempunyai keterbatasan, ketidak berdayaan, keterbelakangan dan kebodohan dari berbagai aspek. Oleh karenanya guna mengupayakan kesetaraan serta untuk mengurangi kesenjangan diperlukan upaya merevitalisasi untuk mengoptimalkan utilitas melalui penambahan nilai. Penambahan nilai ini dapat

mencakup pada ruang bidang aspek sosial, ekonomi, kesehatan, politik dan budaya.

Tentang hal ini, World Bank (2001) memberikan beberapa alternatif dalam fasilitasi pemberdayaan (facilitating empowerment) yang dapat dilakukan pemerintah melalui:

1. Basis politik dan hukum yang transparan, serta memberikan ruang gerak bagi demokratisasi dan mekanisme partisipatip dalam pengambilan keputusan, dan pemantauan implementasi kegiatan.

2. Peningkatan pertumbuhan dan pemerataan administrasi publik yang bertanggung-gugat (accountability) dan responsif terhadap penggunanya.

3. Menggerakkan desentralisasi dan pengembangan masyarakat yang memberikan kesempatan kepada “kelompok miskin” untuk melakukan kontrol terhadap semua bentuk layanan yang dilaksanakan.

4. Desentralisasi itu sendiri harus mampu bekerjasama dengan mekanisme lain untuk menggerakkan partisipasi masyarakat serta pemantauan lembaga pemerintah oleh setiap warganegara.

5. Menggerakkan kesetaraan gender, baik dalam kegiatan ekonomi maupun dalam kelembagaan politik.

6. Memerangi hambatan sosial (social barrier), terutama yang menyangkut bias- bias etnis, rasial, dan gender dalam penegakan hukum.

7. Mendukung modal sosial yang dimiliki kelompok miskin, terutama dukungan terciptanya jejaring agar mereka keluar dari kemiskinannya. Dalam hubungan

ini, lembaga pemerintah perlu meningkatkan aksesibblitas kelompok miskin terhadap : organisasi perantara, pasar global, dan lembaga-lembaga publik.

Bentuk, jenis dan cara pemberdayaan masyarakat atau penguatan masyarakat (strengthening community) sangat beragam, yang hanya berwujud jika ada kemauan untuk mengubah struktur masyarakat Adam Malik dalam Alfian, (1980). Karena itu, usaha untuk mengentaskan masyarakat dari lembah kemiskinan secara hakiki sama sulitnya dengan usaha memberdayakan mereka.

Tugas itu bukanlah pekerjaan mudah yang bersifat instant (segera dapat dilihat hasilnya). Pengalaman menunjukkan, upaya-upaya pengentasan kemiskinan seringkali menghadapi kendala-kendala yang sangat besar, yang berupa:

a. Usaha-usaha untuk menghambat usaha-usaha untuk membela orang kecil atau orang miskin, yaitu:

1) Lemahnya komitmen (khususnya) aparat pemerintah untuk memihak dan membela orang miskin.

2) Rendahnya kepedulian untuk memperhatikan orang miskin

3) Ketidak-mampuan memahami (kehidupan) orang miskin, terutama yang terkait dengan persepsi dan asumsi-asumsi tentang “karakteristik” orang miskin.

b. Kendala yang ada di (lingkungan) orang miskin, yaitu:

1) Kendala fisik alamiah, yang menyangkut kondisi sumberdaya alam tempat mereka (orang miskin) tinggal, seperti : kesuburan lahan, rawan bencana alam dll.

2) Kendala struktural yang bersumber (terutama) pada struktur sosial dalam masyarakatnya; dan kendala kultural yang (seolah-olah) menyerah terhadap nasib Alfian, (1980).

3) Kendala sistematik dari kemiskinan, yaitu berlangsungnya sumber pola- pola (pengontrolan) tertentu terhadap sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang berlaku dalam masyarakat, yang disadari atau tidak, justru tidak selalu menguntungkan pihak-pihak yang telah berada pada posisi diuntungkan, seperti: kebijakan swa-sembada pangan (beras), kebijakan

“pangan murah”, prioritas pembangunan perkotaan.

Sehubungan dengan adanya Perpes nomor 125 tahun 2012 dan Permendagri nomor 41 tahun 2012, maka Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten wajib melakukan penataan dan pembinaan PKL diwilayahnya masing-masing.

Adapun yang terkait dalam Perda Nomor 01 Tahun 2009 tentang rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten Enrekang Tahun 2009-2013 pasal 3 ayat 1 , tentang prosedur penyelenggaraan dan pembinaan di bidang pengelolaan perindustrian dan perdagangan serta penyelenggaraan dan pembinaan di bidang Usaha Kecil dan Menengah (UKM) , maka dengan adanya peraturan tersebut di atas maka pemerintah Kabupaten Enrekang khususnya di Kecamatan Baraka wajib melakukan penyelenggaraan dan pembinaan atau pemberdayaan terhadap para pedagang kaki lima (PKL) dimana pedagang kak lima ini termasuk dalam kategori Bidang Usaha Kecil dan Menengah (UKM), maka wajib untuk diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat daerah tersebut.

Salah satu amanat yang tercantum didalam Permendagri nomor 41 tahun 2012 adalah Bupati/Walikota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukannya sebagai lokasi tempat kegiatan usaha pedagang kaki lima.

Penetapan lokasi atau kawasan tempat kegiatan usaha pedagang kaki lima dilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Lokasi tempat kegiatan usaha pedagang kaki lima merupakan lokasi binaan Bupati/Walikota yang bersifat permanen atau sementara dan telah dilengkapi dengan papan nama lokasi dan rambu atau tanda yang menerangkan batasan jumlah pedagang kaki lima sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, Bupati/Walikota juga diwajibkan untuk melakukan pemberdayaan terhadap pedagang kaki lima melalui peningkatan kemampuan berusaha: fasilitasi akses permodalan, fasilitasi bantuan sarana dagang, penguatan kelembagaan, fasilitasi peningkatan produksi, pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi, dan pembinaan dan bimbingan teknis. Sedangkan pemberdayaan pedagang kaki lima yang membutuhkan fasilitasi kerjasama antar Kabupaten/Kota dilakukan oleh gubernur.

Upaya melakukan pemberdayaan PKL, Bupati/Walikota dapat melakukan kerjasama atau kemitraan dengan dunia usaha melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk penataan peremajaan tempat usaha PKL;

peningkatan kemampuan berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan permodalan; promosi usaha dan event pada lokasi binaan; dan berperan aktif

dalam penataan PKL di kawasan perkotaan agar menjadi lebih tertib, bersih, indah, dan nyaman.

C. Pemberdayaan dan Strategi Penanggulangan Pedagang Kaki Lima

Manusia adalah ciptaan Tuhan yang mulia dimana martabat melekat didalam kehidupannya, baik secara pribadi maupun berbangsa dan bernegara. Di dalamnya juga tidak luput dari hak asasi manusia yakni, hak hidup, hak untuk bebas, hak untuk sejahtera dan hak untuk bahagia. Pedagang Kaki Lima juga memiliki hal demikian karena ia adalah manusia yang memiliki martabat dan hak yang sama. Untuk itu pemerintah seharusnya memberikan solusi dan strategi penanggulangan bagi pedagang kaki lima ini agar dapat menghirup udara segar tanpa diburu rasa ketidaktenangan karena penggusuran.

Sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah singapura terhadap pemberdayaan dan strategi penanggulangan pedagang kaki lima ini terbukti efektif dan terkordinir. Singapura diakui sebagai negara yang bersih dan jauh dari pedagang kaki lima liar. Pedagang kaki lima disana mendapat perhatian khusus dari pemerintahnya dan sangat terkoordinasi. Hal ini menunjukkan tidak ada sulit untuk menuntaskan persoalan pedagang kaki lima jika pemerintah serius menanganinya.

Pemerintah pusat ataupun pemerintah kota setempat melakukan suatu koordinasi dan kerjasama dalam membuat atau merumuskan suatu kebijakan pemberdayaan dan penanggulangan pedagang kaki lima. Artinya ada aturan dan langkah-langkah yang ditempuh sehingga dapat terealisasi.

Pertama, pemerintah melakukan pendataan terhadap pedagang kaki lima.

Misalnya Kota jakarta, pemerintah kotanya yang melakukan pendataan langsung hingga persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para PKL ini. Setelah dilakukan pendataan maka langkah selanjutnya pemerintah kota tersebut bersinergis dengan pemerintah pusat melakukan pengelompokkan-pengelompokkan untuk dibina dan diberi pelatihan dan pembelajaran dalam ilmu-ilmu pengelolaan barang dagangan.

Kedua, setelah pengelompokkan selesai maka pemerintah bekerjasama dengan pihak-pihak transmigrasi untuk menyebarkan para pedagang kaki lima ini ke daerah-daerah yang jarang penduduknya. Dengan bekal pelatihan dan bimbingan selama di pembinaan, para pedagang kaki lima bisa mampu survive tanpa menumpuk di jakarta atau di kota-kota besar yang sudah padat penduduknya.

Ketiga, pemerintah juga membuat anggaran untuk melakukan pembinaan ini dimana para pedagang kaki lima ini dimodali sesuai dengan standar yang diberikan oleh pemerintah sendiri. Dengan demikian para PKL bisa ditertibkan dan mendapat penghidupan yang layak serta hak yang sama untuk hidup dan sejahtera.

Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice). Karena itu, pemberdayaan diartikan sebagai proses terencana guna meningkatkan skala/upgrade kualitas dari obyek yang diberdayakan. Dasar pemikiran suatu obyek atau targetgroup perlu

Dalam dokumen koordinasi pemerintah dalam pemberdayaan (Halaman 34-57)

Dokumen terkait