• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Barang Temuan

D. Metode

A.6. Konsep Barang Temuan

61

lain gagal memenuhi kewajiban kontrak. Tidak jarang pengadilan diminta untuk menyelesaikan sengketa mengenai penyitaan properti berdasarkan kontrak pribadi. Kasus seperti ini diperiksa untuk melihat apakah penyitaan itu adil dan bukan hasil dari paksaan, penipuan atau taktik jahat lainnya.

Adapun yang mengilhami para ahli penyitaan untuk berdiskusi di Amerika Serikat adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Negara Bagian (Federal). Dalam hal penegakan hukum, Kongres (legislatif) dan Negara (pemerintah) mempertahankan Undang-Undang yang memungkinkan untuk merebut properti karena diduga terkait kegiatan kriminal tertentu. Dalam banyak kasus, penyitaan yang dilakukan oleh pemerintah terjadi tanpa penuntutan pidana.101

62 dikenakan penyitaan adalah:

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Prinsip hukum dalam penyitaan benda sebagaimana dimaksud Pasal 39 KUHAP ini adalah adanya batasan tentang benda yang dapat dikenakan penyitaan, yaitu:

1. Barang Sitaan atau Benda Sitaan sebagai Pidana Tambahan (menurut Pasal 10 KUHP)

Jan Remmelink berpendapat bahwa benda sitaan mempunyai lingkup yang terbatas yakni hanya menyangkut pada harta benda atau kekayaan (vermogenstraaf)1. Bahkan dalam Straftrecht (Sr) turut diatur dalam Pasal 33 bahwa benda yang dapat disita diantaranya mencakup:

a. benda yang dimiliki oleh terpidana secara keseluruhan maupun sebagian yang dipergunakan sendiri atau diperolehnya dari perbuatan kejahatan;

b. benda yang dipergunakan untuk kejahatan;

c. benda dengan bantuan untuk perbuatan kejahatan;

63

d. benda dengan bantuan untuk menghalangi penyidikan;

e. benda yang akan digunakan untuk perbuatan kejahatan; dan

f. hak atas kebendaan.

Maka hal ini bisa terjadi peralihan kepemilikan dari personal ke negara.

Penyitaan terhadap benda merupakan bagian dari pidana tambahan bagi pelaku pidana diantaranya adalah dengan perampasan barang- barang tertentu, hal ini diatur dalam Pasal 10 KUHP. Menurut R. Sugandhi bahwa barang rampasan tersebut termasuk pula binatang, selain itu diantaranya adalah berupa barang:

a. Yang diperoleh dengan kejahatan misalnya uang palsu misalnya uang palsu yang diperoleh dengan melakukan kejahatan memalsukan uang, kejahatan suap dan lain–

lain. Apabila diperoleh dengan pelanggaran, barang- barang itu hanya dapat dirampas dalam hal–hal yang ditentukan misalnya perbuatan:

1. Ternak di lahan orang lain (Pasal 549 ayat (2));

2. pembuatan uang palsu (Pasal 519 ayat (2)); dan

3. berburu tanpa izin (Pasal 502 ayat (2)).

b. Yang dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan, misalnya; golok atau senjata api yang dipakai untuk melakukan pembunuhan dengan sengaja, alat–alat yang

64

dipakai untuk menggugurkan kandungan dan sebagainya. Barang-barang ini dapat dirampas juga, akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat bahwa barang-barang itu kepunyaan terhukum dan digunakan untuk melakukan kejahatan-kejahatan dengan sengaja.

Dalam hal kejahatan-kejahatan tidak dengan sengaja dan pelanggaran-pelanggaran, maka barang- barang itu hanya dapat dirampas apabila ditentukan dengan khusus misalnya dalam perbuatan:

1. Penggunaan barang-barang yang berbahaya (Pasal 205 ayat (3));

2. berburu tanpa izin (Pasal 502 ayat (2));

3. pembuatan uang palsu (Pasal 519 ayat (2));

dan

4. Ternak di lahan orang lain (Pasal 549 ayat (2)).

R. Sugandhi juga menegaskan bahwa barang- barang yang disita merupakan milik terhukum.

Kepemilikan di sini dapat dimaksudkan bahwa masih milik terhukum disaat peristiwa pidana dilakukan atau pada waktu perkara diputus.102

2. Benda sitaan untuk keperluan proses peradilan Barang sitaan yang dalam ketentuan acara pidana juga disebut dengan benda sitaan demikian yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Sebagaimana yang telah diatur

102 R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, (Jakarta: Usaha Nasional, 1980) hlm. 43.

65

dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP, lingkup dari barang sitaan tersebut adalah:

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana;

b. benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

dan

e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Selain itu dalam ayat (2) menyebutkan pula bahwa benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Dari penjelasan di atas dapat diartikan bahwa benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda-benda yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan terjadinya suatu tindak pidana.

Jadi, apabila ada benda yang sempat diambil oleh penyidik, namun ternyata tidak berhubungan dengan tindak pidana, maka benda tersebut akan segera dikembalikan kepada orang yang berhak.

66

Sedangkan akibat hukum dari penyitaan terhadap benda tersebut, menurut ketentuan Pasal 44 KUHAP disebutkan:

(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.

(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapa pun juga.

Penyimpanan ini hanya bersifat sementara, sampai benda tersebut dianggap sudah tidak diperlukan lagi dalam proses pemeriksaan atau menunggu perkara berkekuatan hukum tetap.

Dalam Pasal 46 KUHAP disebutkan:

(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;

b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;

c. Perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda

67

yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Pada tahap penyidikan barang bukti tersebut dapat dipinjam pakai pihak yang berhak. Dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2010 Pasal 23, disebutkan bahwa: Barang bukti yang disita dan disimpan di tempat khusus hanya dapat dipinjam pakaikan kepada pemilik atau pihak yang berhak.

Jadi, berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap barang yang disita akan dikembalikan kepada orang yang berhak. Tetapi jika benda tersebut dianggap berbahaya, akan disita oleh negara untuk dimusnahkan ataupun dirusakkan agar tidak lagi dapat dipakai.

Dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI No.

M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan, memberi pengertian benda sitaan dan barang rampasan, yaitu:

1. Benda Sitaan/Benda Sitaan Negara (disingkat Basan) adalah benda yang disita oleh penyidik, penuntut umum atau pejabat yang karena jabatannya mempunyai wewenang untuk menyita barang guna keperluan barang

68

bukti dalam proses peradilan.

2. Barang Rampasan/Barang Rampasan Negara (disingkat baran) adalah barang bukti yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dirampas untuk Negara yang selanjutnya dieksekusi dengan cara:

− dimusnahkan;

− dilelang untuk negara;

− diserahkan kepada instansi yang ditetapkan untuk dimanfaatkan; dan

− diserahkan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN) untuk barang bukti dalam perkara lain.

3. Sedangkan Barang Temuan adalah barang- barang hasil temuan yang diduga berasal dari tindak pidana dan setelah diumumkan dalam jangka waktu tertentu tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya.

Ketentuan yang mengatur mengenai barang temuan juga ditemukan dalam Lampiran II B Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tanggal 7 Juli 1997 Tentang Jenis Dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Padakejaksaan Agung, yaitu terdiri dari:

a. Penerimaan dari penjualan barang rampasan.

b. Penerimaan dari penjualan hasil sitaan/rampasan.

c. Penerimaan dari ganti rugi dan tindak pidana korupsi.

d. Penerimaan biaya perkara.

e. Penerimaan lain-lain, berupa uang temuan,

69

hasil lelang barang temuan dan hasil penjualan barang.

f. bukti yang tidak diambil oleh yang berhak.

g. Penerimaan denda.

Ketentuan lain ditemukan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 Angka 6. Pasal ini menyebutkan bahwa: Barang temuan sebagai barang bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang ditinggalkan atau ditemukan masyarakat atau penyidik karena tersangka belum tertangkap atau melarikan diri dan dilakukan penyitaan oleh penyidik.