• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Dispensasi Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teoretik

1. Konsep Dispensasi Perkawinan

Menurut KBBI, dispensasi berarti pengecualian dari peraturan umum untuk suatu keadaan khusus, pebebasan dari suatu kewajiban dan larangan. Dalam hal dispensasi dibenarkan apa-apa yang biasanya dilarang oleh pembuat Undang-Undang.21 Dispensasi juga dapat berarti suatu izin pemberian kebebasan dari suatu kewajiban ataupun larangan. Dengan kalimat lain, dispensasi merupakan kelonggaran terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak diperbolehkan untuk dilakukan atau dilaksanakan.22

Christine S.T. Kansil mengemukakan bahwa dispensasi merupakan suatu penetapan yang bersifat deklaratoir yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang memang tidak berlaku bagi kasus sebagai diajukan oleh seorang pemohon.23 Lebih lanjut Roihan A. Rasyid berpendapat bahwa dispensasi kawin adalah dispensasi aau izin yang dikabulkan oleh pihak Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, yaitu bagi pria yang belum mencapai 19 tahun dan belum mencapai 16 tahun bagi pihak

21Departemen Pendidikan Nasional-Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-4 (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), 335.

22Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2011), 88.

23C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Ilmu, Cet. ke-2 (Jakarta:

PT. Surya Multi Afika, 2001), 52.

wanita.24 Jika kedua calon mempelai sama-sama beragama Islam, maka keduanya dapat mengajukan permohonan dispensasi hanya dalam satu surat permohonan kepada Pengadilan Agama.

2. Batas Usia Minimal Calon Pengantin

a. Batas Usia Minimal Calon Pengantin dalam Pandangan Hukum Islam

Dalam soal usia perkawinan, Islam memberi ancar-ancar dengan persyaratan kemampuan (istitha’ah), yaitu kemampuan dalam segala hal, baik kemampuan memberi nafkah lahir dan batin kepada isteri dan anak-anaknya mapun kemampuan dalam mengendalikan gejolak emosi yang menguasai diri. Jika kemampuan telah ada, maka ajaran agama mempersilahkan seseorang untuk segera menikah, namun jika belum disarankan untuk memperbanyak berpuasa. Selain itu, sebelum melangsungkan perkawinan calon mempelai patut memiliki kemampuan dan kesediaan untuk merawat diri sendiri.25

Dalam kitab-kitab hukum keluarga lama disebutkan bahwa pria dapat melangsungkan perkawinannya kalau telah “mimpi” dan wanita juga telah menstruasi. Mimpi dan menstruasi adalah tanda kedewasaan atau aqil baligh. Tanda ini bersifat relatif dan tergantung pada kondisi dan situasi pada suatu daerah dan lingkungan masyarakat tertentu, namun umumnya kondisi ini berlangsung di usia 13 (tiga

24Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 32.

25Umar Abd al-Rahim, Islam dan KB, Terj. Muhammad Hasyim, Cet. ke-1 (Jakarta:

Lentera Basritama, 1997), 68.

belas) atau 14 (empat belas) tahun. Kini dalam masyarakat kontomporer, penentuan batas umur untuk dapat melangsungkan perkawinan, disandarkan pada kondisi negara masing-masing.26

Menurut pandangan mayoritas ulama Fiqh, masalah usia perkawinan sangat erat hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung jawab dan dibebani kewajiban- kewajiban tertentu. Maka, setiap orang yang akan berumah tangga diminta kemampuannya secara utuh. Kemampuan yang dihubungkan dengan hukum sebagai terjemahan dari kata ahliyah dalam bahasa Arab yang berari kesanggupan, kecakapan atau kewenangan yang ada.27

Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda.

Kedatangan tanda-tanda tersebut diatas tidak dalam usia yang sama antara pria dan wanita ada kemungkinan tidak sama pula. Tergantung kematangan fisik masing-masing, ada yang lebih cepat ada yang sedikit lambat dari yang lainnya. Berdasarkan uraian itu maka kedewasaan ditentukan dari mimpi dan rusyd. Akan tetapi umur mimpi dan rusyd terkadang tidak sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang

26Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet. ke-2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 96.

27Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Cet. ke-2 (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 156.

telah bemimpi adakalanya belum rusyd dalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan dalam perbuatan sehari-hari.28

Para ulama mazhab pada umumnya dahulu membolehkan seorang bapak sebagai wali mujbir menikahkan perempuannya yang masih di bawah umur seperti:

1) Perkawinan Nabi Muhammad Saw dengan ‘Aisyah yang masih belia. Dalam hadits disebutkan: “sesungguhnya Nabi menikahi (Aisyah) pada saat usia 6 tahun dan menggaulinya pada saat usia 9 tahun dan hidup bersama selama 9 tahun” (Riwayat al- Khamsah). Imam Muslim menambahkan “pada saat Nabi meninggal usia Aisyah saat itu adalah 18 tahun.”29

2) Diantara para sahabat Nabi Saw, ada yang menikahkan putra- putrinya atau keponakannya yang dianggap belia. Seperti Abu Bakar menikahkan anak perempuannya yang bernama Ummi Kultsum ketika itu juga masih belia.30

b. Batas Usia Minimal Calon Pengantin dalam Pandangan Hukum Positif

1) Batasan usia perkawinan atau perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 terdapat dalam Bab II Syarat-Syarat Perkawinan Pasal 6 Ayat (2) yaitu: “untuk melangsungkan perkawinan seseorang

28Helmi Karim, Problematika Hukum Islam Kontemporer: Kedewasaan untuk Menikah, Cet. ke-3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), 83.

29Manshur ‘Ali Nasif, al-Taj al-Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, Jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah), 259.

30Abu Muhammad bin Ahmad Muhammad Ibnu Qudamah, al-Mughiri, Juz IV (Beirut:

Dar al-Fikr, 1405H), 487.

yang belum mencapai usia atau umur 21 tahun haruslah dengan izin kedua orangtua.” Sedangkan pada Pasal 7 Ayat (1) yaitu:

“Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria telah mencapai umur 19 tahun sedangkan wanita telah mencapai usia 16 tahun.”

Sementara pada Ayat (2) yaitu: “Dalam hal penyimpangan dalam Ayat (1) pasal ini, maka dapat meminta dispensasi kepada pihak Pengadilan atau pejabat lain yang diminta atau diajukan oleh kedua orangtua baik pihak pria ataupun pihak wanita.”31

2) Batasan usia perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 15 Ayat (1) yaitu: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawian hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU No.

1 Tahun 1974.”32

3) Sedangkan batasan usia perkawinan menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPer), Bab IV perihal Perkawinan Pasal 29, yakni: “Laki-laki yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun penuh dan belum mencapai 15 (lima belas) tahun penuh bagi perempuan, maka tidak diperkenankan baginya untuk mengadakan perkawinan. Namun jika ditemukan alasan-alasan penting dan mendasar, maka pemerintah berkuasa menghapus larangan ini dengan memberi “Dispensasi”.33

31Aulia, Hukum Kompilasi Hukum, 82-83.

32Aulia, Hukum Kompilasi Hukum, 5-6.

33Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdata (Jakarta: Visimedia, 2008), 226.

3. Faktor Pendorong Perkawinan di Bawah Umur a. Faktor Pendidikan

Faktor pendidikan merupakan salah satu faktor utama sebagai penyebab atau pendorong terjadinya praktik perkawinan di bawah umur. Pendidikan yang rendah biasanya disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak menunjang sehingga berdampak terhadap ketidakmampuan seseorang untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi khususnya bagi keluarga dengan anggota yang relatif besar.

Selain itu kondisi sosial budaya pada suatu kelompok masyarakat juga mempengaruhi rendahnya pendidikan sehingga hal demikian menjadi kebiasaan dimana para remajanya enggan dan malas untuk menempuh pendidikan di jenjang yang lebih tinggi.34

Bagi seseorang dengan status pendidikan yang tinggi, maka hal tersebut berdampak terhadap tingkat kedewasaan dan pemahaman yang matang sebelum memutuskan suatu tindakan. Tentu saja ia tidak menghendaki jika hal buruk menimpa dirinya akibat dari pengambilan keputusan yang salah dan kurang tepat. Jika ia dihadapkan pada keputusan untuk menikah di bawah umur 20 tahun, maka secara emosi dan penuh pertimbangan ia akan lebih memilih untuk menemukan jati dirinya lebih mendalam.

34Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 182.

b. Faktor Psikologis

Menurut teori psikologis, seseorang dikatakan sudah memasuki usia remaja yaitu pada rentang usia 16 atau 17 tahun sampai dengan usia 21 tahun. Seseorang disebut mengalami masa remaja apabila memiliki kematangan seksual dan menyadari identitasnya sebagai individu yang terpisah dan berusaha mempersiapkan diri menghadapi tugas, menentukan masa depan dan mencapai usia matang secara hukum.

Selama periode peralihan, anak remaja banyak mengalami perubahan baik secara fisik, psikologis, atau sosial. Bentuk fisik remaja yang semakin sempurna dan mirip dengan orang dewasa.

Dengan demikian juga perkembangan intelektual, psikis, dan sosial.

Dia semakin ingin dapat status, bebas menentukan sikap, pendapat dan minat, ingin menolong dan ditolong orang lain, belajar bertanggung jawab dan pola pergaulannya yang sudah mengarah pada heteroseksual.35

c. Faktor Hamil sebelum Menikah

Jika orangtua mendapati kondisi anak perempuannya dalam keadaan hamil, maka para orangtua cenderung memiliki pemikiran untuk segera menikahkannya dengan laki-laki yang menghamilinya.

Bahkan banyak ditemukan sejumlah kasus, karena kondisi kehamilan anak gadisnya, maka dengan terpaksa orangtua menikahkan anak gadis

35Herri Zan Pieter, dkk, Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan, Cet. Ke-1 (Jakarta: Kencana, 2011), 90.

tersebut meskipun orangtuanya tidak setuju dan tidak suka dengan calon mantunya. Bahkan ada kasus, seorang gadis yang terlanjur hamil di luar nikah dengan rasa penuh terpaksa mengajukan permohonan dispensasi kawin, meskipun pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya.36

Hal tersebut tentu saja menjadi sesuatu yang sangat dilematis, baik bagi anak gadis, orangtua bahkan hakim yang menyidangkan.

Sudah dapat terbayangkan bahwa perkawinan yang dilaksanakan atas nama rasa cinta saja bisa goyah di kemudian hari, apalagi jika didasarkan keterpaksaan karena kehamilan. Kondisi seperti ini, jelas- jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana diamanatkan Undang-undang bahkan agama.

d. Faktor Ekonomi

Masih saja ditemukan kasus-kasus dimana orangtua terbelit permasalahan hutang yang tidak mampu lagi terbayarkan. Jika si orangtua tadi mempunyai seorang anak gadis, maka anak gadisnya akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” untuk melunasi hutangnya kepada orang yang memberi hutang sebagai syarat perkawinan anaknya.37

Di samping itu banyak juga para orangtua dari kalangan keluarga miskin memiliki suatu anggapan bahwa dengan menikahkan anaknya dapat mengurangi beban ekonomi keluarga tanpa berpikir

36Abu Zahlan, Kawin Usia Muda antara Citra Islam dan Keluarga Berencana (Rindang No. V Tahun XII), 12.

37Chadijah Nasution, Wanita Diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan, 84.

panjang terhadap dampok positif ataupun negatif, meskipun anaknya masih di bawah umur..

e. Faktor Perintah Orangtua

Pada kenyataannya, masih banyak orangtua yang melaksanakan keinginannya untuk mengawinkan anak-anaknya, padahal usianya masih relatif muda yaitu belum mencapai usia minimal untuk menikah yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Si anak tidak mempunya pilihan lain, kecuali mematuhi keinginan orangtua. Anak dinikahkan dengan laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya.38

Orangtua kerapkali memaksakan keinginannya untuk mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur dengan alasan untuk kebahagiaan anaknya. Agar tidak menjadi perawan atau perjaka tua. Mereka berasumsi menikah di atas usia ideal adalah aib, sebab ada kekhawatiran turunya minat pria menikahinya.

4. Teori Mas}lahah dalam Perspektif Ushul Fiqh (Teori Hukum Islam) tentang Perkawinan di Bawah Umur

a. PengertianMas}lahah

Dalam kajian teori hukum Islam (usûl al-fiqh), mas}lahah diidentifikasi dengan sebutan (atribut) yang bervariasi, yakni prinsip (principle, al-ashl, al-qâ‘idah, al-mabda’), sumber atau dalil hukum (source, mashdar, dalîl), doktrin (doctrine, al-dâbith), konsep

38Hilmam Adikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, 46.

(concept, al-fikrah), metode (tharîqah), dan teori (theory, al- nazariyyah).

Kata al-maslahah secara etimologis berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, dan kepatutan sebagai lawan kata (antonim) al-mafsadah yang berarti kerusakan.39 Sedangkan secara terminologis, konsep mashlahah telah dirumuskan oleh sejumlah ulama ushûl al-fiqh.

Al-Gazhâli (w. 505 H) mengatakan bahwa makna genuine dari mashlahah adalah menarik atau mewujudkan kemanfaatan;

menyingkirkan atau menghindari kemudaratan (jalb manfa‘ah atau daf‘ mudarrah). Menurutnya maslahah dalam arti terminologis – syar’i adalah memelihara dan mewujudkan tujuan syara’ mencakup memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan.

Ditegaskan olehnya bahwa segala sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut dapat dikategorikan sebagai mashlahah; sebaliknya, segala sesuatu yang dapat mengganggu dan merusaknya dapat dinilai sebagai mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang demikian dikategorikan sebagai mashlahah.40

‘Izz al-Dîn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H) mengungkapkan bahwa, mashlahah identik dengan al-khair (kebajikan), al-

39Lihat: Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr al-Ifrîqi, Lisân al-‘Arab, Juz ke-2 (Riyadh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1424 H/2003 M), 348.

40Abû Hâmid Muhammad al-Gazâli (selanjutnya disebut al-Gazâli), al-Mustasfa min

‘Ilm al-Usûl, Tahqîq wa Ta‘lîq MuhammadSulaimân al-Asyqar, Juz ke-1(Beirut: Mu’assasat al- Risâlah, 1417 H/1997 M), 416-417.

naf‘(kebermanfaatan), al-husn (kebaikan). Sedangkan Najm al-Dîn al- Tûfi (w. 716 H) memiliki pendapat bahwa, mashlahah dalam arti ‘urfi adalah sebab yang membawa kepada kebaikan dan kemanfaatan, sebagaimana halnya perniagaan (perdagangan) yang merupakan sebab yang membawa kepada laba atau untung, sedang dalam arti syar’i, maslahah ialah sebab yang membawa kepada tujuan syar’i, meliputi ibadah maupun muamalah.41 Tegasnya mashlahah masuk dalam cakupan maqâsid al-syarî‘ah.42

Eksistensi mashlahah dalam bangunan syari’ah Islam memang tidak bisa dinafikan karena al-mashlahah (ﺔﺤﻠﺼﻤﻟا) dan al- syarî‘ah (ﺔﻌﯾﺮﺸﻟا) telah bersenyawa dan menyatu, sehingga kehadiran al-maslahah meniscayakan adanya tuntutan al-syarî‘ah, maka mashlahah pada hakikatnya ialah sumbu peredaran dan perubahan hukum Islam, di mana interpretasi atas teks syari’ah dapat bertumpu padanya.43

b. Kategorisasi Mashlahah dan Relevansinya dengan Dispensasi Perkawinan

Menurut pandangan al-Gazâli, berdasarkan segi ada tidaknya ketegasan justifikasi Syara’ terhadapnya (syahâdat al-syar’i), mahslahah dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) mashlahah yang

41Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyrî’ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn al-Tûfi (t.tp.: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy,1384 H/1964 M), 211.

42Hamâdi al-‘Ubaidi, Ibn Rusyd wa ‘Ulûm al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Beirut: Dâr al- Fikr al-‘Arabiy,1991), 97.

43Lihat ‘Aliy Hasaballah, Usûl al-Tasyrî’ al-Islâmiy (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1383 H/1964 M), 257.

mendapat ketegasan justifikasi syara’ terhadap penerimaannya (mashlahah mu‘tabarah); (2) mashlahah yang mendapat ketegasan justifikasi Syara’ terhadap penolakannya (mashlahah mulghah); dan (3) maslahah yang tidak mendapat ketegasan justifikasi Syara’, baik terhadap penerimaannya maupun penolakannya (mashlahah mursalah).44

Di sisi lain juga, al-Gazhâli memberikan kualifikasi tingkat maslahah ditinjau dari sisi kekuatan substansinya (quwwatiha fi dzâtiha), di mana maslahah itu dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) maslahah level darûrât, (2) maslahah level hâjât, dan (3) maslahah level tahsînat/tazyînat. Masing-masing bagian disertai oleh maslahah penyempurna/pelengkap (takmilah/tatimmah). Pemeliharaan lima tujuan/prinsip dasar (al-usûl al-khamsah) sebagaimana disebutkan sebelumnya yang berada pada level darûrât merupakan level terkuat dan tertinggi dari maslahah.45

Dalam pemikiran ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H) mashlahah dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1) maslahah yang memuat urusan yang bersifat boleh/halal (mashâlih al-mubâhât), (2) maslahah yang terkandung memuat urusan yang bersifat sunnat (mashâlih al-mandûbât), dan (3) mashlahah yang memuat urusan yang bersifat wajib (mashâlih al-wâjibât). Sedangkan mafsadah lebih

44Abu Hâmid Muhammad al-Gazâli, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl, Juz ke-1 (Beirut:

Mu’assasatal-Risâlah, 1417 H/1997 M), 414.

45al-Gazâli, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl, Juz ke-1 ...., 417.

sederhana hanya dibedakan menjadi dua macam saja, (1) mafsadah yang memuat urusan yang bersifat makruh (mafâsid al- makrûhât) dan (2) mafsadah yang memuat urusan yang bersifat haram (mafâsid al- muharramât).46

Abû Bakr Ismâ‘îl Muhammad Mîqâ menandaskan bahwa dengan mengacu pada batasan mashlahah, dapat dibedakan dua kategori mashlahah. Pertama, maslahah ‘ammâh, yakni maslahah yang pemeliharaannya menentukan kebaikan dan kesejahteraan segenap masyarakat atau sebagian besar masyarakat, tanpa melihat pada satuan-satuan individu dari mereka. Kedua, maslahah khâssah, yakni maslahah yang pemeliharaannya menentukan kebaikan dan kesejahteraan yang bersifat individuil; dari yang bersifat individual ini akan mengarah kepada kebaikan dan kesejahteraan yang bersifat kolektif (publik).47

Dalam pemikiran Najm al-Dîn al-Tûfi membedakan maslahah itu menjadi dua macam: (1) mashlahah yang dikehendaki syâri’untuk hak-Nya, seperti aneka ibadah mahdah, dan (2) mashlahah yang dikehendakisyâri’untuk kebaikan makhluk-Nya dan keteraturan hidup mereka, seperti aneka bentuk muamalah.48

46Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salâm, Qawâ‘id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, Juz ke-1 (Beirut: Dâr alJail, 1400H/1980M), 9.

47Abû Bakr Ismâ‘îl Muhammad Mîqâ, al-Ra’yu waAtsaruhu fi Madrasat al-Madînah:

Dirâsah Manhajiyyah Tatbîqiyyah Tutsbitu Salâhiyyat al-Syarî‘ah li Kulli Zamân wa Makân (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1405 H/1985 M), 338.

48Lihat Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyrî’ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn al-Tûfi, (t.tp.: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1384 H/1964 M),211.

Dari uraian kategorisasi atau teorisasi konsep mashlahah diatas dapat disimpulkan bahwa mencari kemaslahatan merupakan tujuan yang seharusnya ditempuh. Perkawinan yang dilakukan oleh anak-anak di usia dini ataupun di bawah umur secara normatif tidak perlu dilakukan karena kemaslahatan yang diperoleh tidak lebih banyak daripada mudaratnya. Kemudaratan-kemudaratan yang ditimbulkan dari perkawinan di bawah umur disebabkan karena ketidaksiapan anak-anak dari aspek fisik dan psikis.

Hal ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat tujuan perkawinan ialah untuk membentuk keluarga yang kekal, sakinah, mawaddah dan rahmah. Namun berbeda seratus delapan puluh derajat halnya jikalau perkawinan atau perkawinan karena alasan tertentu yang sifatnya darurat sehingga harus segera dilaksanakan secara terpaksa seperti hamil di luar nikah atau pencegahan pergaulan seks bebas, maka perkawinannya harus dilaksanakan meskipun masih di bawah umur dengan rekomendasi dispensasi perkawinan dari Pengadilan Agama demi kemaslahatan pasangan tersebut baik dari sisi keagamaan maupun kenegaraan.

c. Kategorisasi Pembagian Maslahah berdasarkan Keberadaannya menurut Syara’

Menurut Mustafa asy-Syalabi guru besar Usul Fiqh Universitas al-Azhar, Cairo terdapat tiga bentuk maslahah berdasarkan segi keberadaan maslahah menurut syara' yaitu: 1) al-maslahah al-

mu’tabarah, 2) al-maslahah al-mulgah, dan 3) al-maslahah al-

mursalah.

1) Al-Maslahah al-Mu’tabarah

Al-Maslahah al-mu’tabarah adalah kemaslahatan yang mendapat dukungan oleh syar’, baik jenis maupun bentuknya Artinya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut Misalnya tentang hukuman atas orang yang meminum minuman keras. Bentuk hukuman bagi orang yang meminum minuman keras yang terdapat dalam hadis Rasulullah Saw. dipahami secara berlainan oleh ulama fikih Hal ini disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan Nabi Saw.

ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum minuman keras. Ada hadis yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan Rasulullah Saw. adalah sandal atau alas kakinya sebanyak 40 kali (HR. Ahmad bin Hanbal dan al-Baihaqi), sementara itu hadis lain menjelaskan bahwa alat pemukulnya adalah pelepah pohon kurma, juga sebanyak 40 kali (HR. Bukhari dan Muslim). Karenanya setelah Umar bin Khattab (sahabat Nabi Saw.) bermusyawarah dengan para sahabat lain, menetapkan hukuman dera bagi orang yang meminum minuman keras tersebut sebanyak 80 kali. Ia mengkiaskan orang yang meminum minuman keras kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina Logikanya adalah seseorang yang meminum minuman keras

apabila mabuk bicaranya tidak bisa terkontrol dan diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman untuk seseorang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah 80 kali dera sebagaiman tertuang dalam Q.S. An-Nur [24]: 4.









































Artinya:

dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama- lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.49

Karena adanya dugaan keras menuduh orang lain berbuat zina akan muncul dari orang yang mabuk, maka Umar bin Khttab dan Ali bin Abi Talib mengatakan bahwa hukuman orang yang\

meminum minuman keras sama hukumnya dengan orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Menurut ulama usul fikih, cara analogi seperti ini termasuk kemaslahatan yang didukung oleh syara'. Kemaslahatan yang mendapat dukungan oleh syara. baik jenis maupun bentuknya disebut al-maslahah al-mu'iabarah.

Menurut kesepakatan ulama, kemaslahatan seperti ini dapat dijadikan landasan hukum.50

49Q.S. Al-Nur [24]: 4.

50Abdul Azis Dahlan et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. III (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), 1.145.

2) al-Maslahah al-Mulgah

Al-Maslahah al-Mulgah adalah kemaslahatan yang ditolak oleh syara' karena bertentangan dengan ketentuan syara'’, misalnya: syara' menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari dalam bulan Ramadhan dikenakan hukuman memerdekakan budak, atau puasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan bagi 60 orang fakir miskin (HR. Bukhari dan Muslim). Al-Lais bin Sa'ad, ahli fikih mazhab Maliki di Spanyol, menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut- turut bagi seseorang (penguasa Spanyol) yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari dalam bulan Ramadhan. Ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadis Nabi Saw di atas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus diterapkan secara berurut. Apabila tidak mampu memerdekakan budak, baru dikenakan hukuman puasa dua bulan berturut-turut.

Karenanya, ulama usul fikih memandang mendahulukan hukuman puasa dua bulan berturut-turut dari memerdekakan budak merupakan kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syara', sehingga hukumnya batal (ditolak) syara'. Kemaslahatan seperti ini menurut kesepakatan ulama disebut al-maslahah al- mulgah.51

51Dahlan et al, Ensiklopedi Hukum Islam, 1.146.

Dokumen terkait