• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Terdahulu yang Relevan

BAB I PENDAHULUAN

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Untuk menjamin originalitas penelitian ini, peneliti melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan kajian ini. Adapun dalam penelusuran yang dilakukan terdapat beberapa penelitian yang sejenis dilihat dari disiplin atau cluster keilmuan yang

ditempuh peneliti dan peneliti-peneliti sebelumnya maupun pada kemiripan temanya dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Penelitian pertama oleh Uswatun Ni’ami berjudul: “Dispensasi Nikah di Bawah Umur (Studi Pandangan Masyarakat Kelurahan Buring Kecamatan Kedungkandang Kota Malang). Hasil dari penelitian ini memberi petunjuk bahwa masyarakat yang berada di Kelurahan Buring Kecaamtan Kedungkandang Kota Malang Provinsi Jawa Timur melakukan praktik perkawinan di bawah umur didasari oleh sejumlah alasan antara lain: a) sudah tidak bersekolah (tidak melanjutkan pendidikan) dan telah memiliki pekerjaan, b) dijodohkan, c) kekhawatiran akan terjadi perzinaan, dan d) sebab hamil di luar nikah. Alasan-alasan tersebut dilatarbelakangi oleh faktor agama, sosial, pendidikan, ekonomi, psikologis dan yuridis- administratif. Pasangan yang menikah di bawah umur 20 tahun mengalami sejumlah kendala, khususnya dari sisi ekonomi dan psikologi sehingga berimplikasi terhadap eksploitasi anak, terampasnya hak-hak anak, terjadinya bias gender, minimnya pendidikan bagi anak dan rendahnya kualitas SDM. Sedangkan mengenai pandangan terhadap dispensasi nikah ternyata masyarakat tidak mengetahuinya.16 Persamaan penelitian Uswatun Ni’ami dengan peneliti adalah sama-sama mengkaji tentang praktek perkawinan di bawah umur, sedangkan unsur perbedaannya sangat kental terasa bahwa penelitian Uswatun Ni’ami tidak termasuk jenis

16Uswatun Ni’ami, “Dispensasi Nikah di Bawah Umur (Studi Pandangan Masyarakat Kelurahan Buring Kecamatan Kedungkandang Kota Malang)”, Tesis (Malang: Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim, 2011), xii dalam http://etheses.uin-malang.ac.id/7774/, diakses pada tanggal 2 Nopember 2018.

penelitian dengan metode penelitian hukum sebagaimana yang digunakan oleh peneliti.

2. Penelitian kedua oleh Moh. Habib Al Kuthbi berjudul: “Dampak Perkawinan di Bawah Umur terhadap Hubungan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Purwodadi Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010-2013)”. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan sejumlah faktor yang melatarbelakangi terhadap maraknya perkawinan di bawah umur yang terjadi yaitu faktor ekonomi, pendidikan rendah, gadget atau teknologi, pariwisata, dan masih memegang adat terdahulu. Adapun dampak atau implikasinya ditemukan fakta di luar dugaan dimana para pasangan masih bisa mempertahankan kelanggengan rumah tangga dengan menjaga melalui komunikasi yang efektif baik diantara pasangan suami isteri, maupun keluarga besar kedua pasangan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa tidak semua perkawinan di bawah umur dapat berakhir pada ketidakharmonisan ataupun perceraian.17 Penelitian Al Kuthbi dengan peneliti memiliki unsur persamaan yaitu sama-sama mengkaji tentang praktek perkawinan di bawah umur, sedangkan unsur perbedaannya sangat kental terasa bahwa penelitian Al Kuthbi tidak termasuk jenis penelitian studi kasus tanpa ada unsur studi hukum dari Pengadilan Agama, sementara peneliti menggunakan metode penelitian hukum dalam studi kasusnya.

17Moh. Habib Al-Kuthbi, “Dampak Perkawinan di Bawah Umur terhadap Hubungan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Purwodadi Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkudul Tahun 2010-2013)”,Tesis (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2016), viidalamdigilib.uin-suka.ac.id/.../1420310095_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR,diakses pada tanggal 2 Nopember 2018.

3. Hasil studi ketiga oleh Safrin Salam berjudul: “Dispensasi Perkawinan Anak di Bawah Umur: Perspektif Hukum Adat, Hukum Negara & Hukum Islam”. Penelitian ini bertujuan agar mengetahui alasan-alasan permohonan dispensasi kawin oleh para pemohon dari perspektif Hukum Negara, Hukum Adat dan Hukum Islam serta pertimbangan Hukum Pengabulan Permohonan Dispensasi Kawin. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif, dengan mengedepankan data sekunder yaitu sejumlah data berupa bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan perundang-undangan berkaitan dengan kajian yang dibahas, serta menggunakan bahan kepustakaan yang relevan dengan kajian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan-alasan permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh orangtua pemohon ada dua yaitu belum cukup umur dan mempelai wanita telah hamil. Sedangkan dasar pertimbangan hukum dikabulkannya permohonan dispensasi kawin oleh pihak majelis hakim Pengadilan Agama Baubau didasarkan atas pertimbangan yuridis dan pertimbangan sosiologis. Saran dari tulisan ini adalah perkawinan anak di bawah umur melalui proses dispensasi kawin dalam sudut pandang atau perspektif UU No. 1 Tahun 1974, KHI dan Hukum Adat perlu menetapkan kriteria dasar dan pembatasan dispensasi kawin oleh anak di bawah umur.18 Penelitian Safrin Salam dengan peneliti memiliki unsur persamaan yaitu sama-sama mengkaji tentang dispensasi perkawinan di

18Safrin Salam, “Dispensasi Perkawinan Anak di Bawah Umur: Perspektif Hukum Adat, Hukum Negara & Hukum Islam”, Pagaruryuang Law Journal, Vol. 1, No. 1, Juli 2017, P- ISSN: 2580-4227, E-ISSn: 2580-698X, 110. Open Acces at:http://joernal.umsb.ad.id/index.php/

pagaruyuag/indexdiakses pada tanggal 2 Nopember 2018.

bawah umur, sedangkan unsur perbedaannya sangat kental terasa bahwa penelitian Safrin Salam hanya menggunakan pendekatan perundang- undangan atau pendekatan libary research, sedangkan peneliti selain menggunakan pendekatan perundang-undangan juga menggunakan pendekatan studi kasus atau field research dalam analisisnya.

4. Hasil studi keempat oleh Bagya Agung Prabowo berjudul: “Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Dispensasi Perkawinan Dini Akibat Hamil di Luar Nikah pada Pengadilan Agama Bantul”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan: pertama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai dasar pertimbangan hakim dalam penetapan dispensasi perkawinan dini, khususnya dispensasi perkawinan dini akibat hamil di luar nikah. Kedua, implikasi hukum terhadap penetapan dispensasi perkawinan usia dini akibat hamil di luar nikah pada Pengadilan Agama Bantul. Penelitian ini menggunakan metode survei lapangan dengan teknik wawancara, observasi, dan kajian pustaka. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, pertimbangan hakim dalam penetapan dispensasi perkawinan dini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pertimbangan hukum dan pertimbangan keadilan masyarakat. Pertimbangan hukum di sini berarti ketika hakim menjatuhkan penetapannya harus sesuai dengan dalil- dalil dan bukti-bukti hukum yang diajukan, sedangkan pertimbangan keadilan masyarakat karena seringkali perkawinan dinilai sebagai solusi alternatif bagi penyelesaian masalah sosial yang akan terjadi.

Pertimbangan hakim yang lainnya adalah agar yang akan menikahi adalah ayah biologis anak yang dikandung. Kedua, dispensasi perkawinan dini perlu diperketat karena perceraian akibat perkawinan di bawah umur semakin meningkat.19

5. Hasil studi kelima oleh Dwi Siswanto berjudul “Dinamika Dalil Hukum Hakim dalam Penetapan Permohonan Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Nganjuk Tahun 2015”. Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan tentang dalil hukum hakim, perbedaan penggunaan dalil hukum Hakim dan tinjauan hukum Islam terhadap penetapan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Nganjuk Tahun 2015. Proses penelitian yang dilakukan menemukan bahwa pertimbangan hukum hakim tidak hanya berpedoman pada ketentuan yang berlaku, melainkan menggunakan pendekatan metodologi pengkajian hukum Islam yang disebut maslahah mursalah terhadap wanita hamil di luar nikah. Mengenai terjadinya perbedaan penggunaan dalil hukum hakim hanya sebagai dasar hokum hakim dalam penetapannya dikarenakan pada permohonan tersebut menggunakan penasehat hukum dan ketentuan mengenai permohonan yang digugurkan dan dicabut. Dalil hukum hakim sesuai dengan Islam.

Kesimpulan yang diperoleh menyatakan bahwa pertimbangan hokum hakim tidak hanya berpedoman pada ketentuan yang berlaku, melainkan majelis hakim, menggunakan pendekatan metodologi pengkajian hokum

19Bagya Agung Prabowo “Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Dispensasi Perkawinan Dini Akibat Hamil di Luar Nikah pada Pengadilan Agama Bantul”,Jurnal Hukum IUS QUIA UISTUM No. 2 Vol. 20 April 2013, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 300.

Islam, maslahah mursalah, dan pertimbangan terhadap perlindungan dan kepastian hukum terhadap keberadaan anak, terhadap wanita hamil diluar nikah, mengenai terjadinya perbedaan penggunaan dalil hukum hakim hanya sebagai dasar hukum penetapan dikarenakan pada permohonan tersebut menggunakan penasehat hukum dan ketentuan mengenai permohonan yang digugurkan dan dicabut, dalil hukum hakim sudah sesuai dengan Islam, maka permohonan Pemohon patut diterima.20

Dari beberapa telaah pustaka yang relevan dengan penelitian tesis ini, disamping ditemukan unsur kesamaan kajiannya (objek formal) tentang perkawinan di bawah umur ataupun dispensasi perkawinan, namun terlihat sangat jelas penelitian-penelitian terdahulu di atas memiliki objek material yang berbeda dimana secara terperinci dapat dijabarkan bahwa penelitian pertama dan kedua merupakan bentuk studi kasus pada suatu masyarakat, penelitian ketiga merupakan bentuk studi kepustakaan, penelitian keempat merupakan bentuk studi kasus pengajuan dispensasi perkawinan karena faktor hamil di luar nikah yang ditangani Pengadilan Agama Bantul, dan penelitian kelima terkait dengan dinamika dalil hukum yang diterapkan oleh hakim dalam penetapan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Nganjuk tahun 2015, sedangkan penelitian tesis yang sedang peneliti garap ini merupakan bentuk studi kasus pada Pengadilan Agama se-pulau Lombok yaitu PA Mataram, PA Giri Menang Gerung Lombok Barat, PA Praya Lombok

20Dwi Siswanto, “Dinamika Dalil Hukum Hakim dalam Penetapan Permohonan Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Nganjuk Tahun 2015”, Jurnal AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN:2089-7480, 146-147.

Tengah, dan PA Selong Lombok Timur. Oleh karenanya dapatlah ditekankan bahwa penelitian tesis ini merupakan bentuk karya ilmiah yang original.

F. Kerangka Teoritik

1. Konsep Dispensasi Perkawinan

Menurut KBBI, dispensasi berarti pengecualian dari peraturan umum untuk suatu keadaan khusus, pebebasan dari suatu kewajiban dan larangan. Dalam hal dispensasi dibenarkan apa-apa yang biasanya dilarang oleh pembuat Undang-Undang.21 Dispensasi juga dapat berarti suatu izin pemberian kebebasan dari suatu kewajiban ataupun larangan. Dengan kalimat lain, dispensasi merupakan kelonggaran terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak diperbolehkan untuk dilakukan atau dilaksanakan.22

Christine S.T. Kansil mengemukakan bahwa dispensasi merupakan suatu penetapan yang bersifat deklaratoir yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang memang tidak berlaku bagi kasus sebagai diajukan oleh seorang pemohon.23 Lebih lanjut Roihan A. Rasyid berpendapat bahwa dispensasi kawin adalah dispensasi aau izin yang dikabulkan oleh pihak Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, yaitu bagi pria yang belum mencapai 19 tahun dan belum mencapai 16 tahun bagi pihak

21Departemen Pendidikan Nasional-Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-4 (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), 335.

22Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2011), 88.

23C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Ilmu, Cet. ke-2 (Jakarta:

PT. Surya Multi Afika, 2001), 52.

wanita.24 Jika kedua calon mempelai sama-sama beragama Islam, maka keduanya dapat mengajukan permohonan dispensasi hanya dalam satu surat permohonan kepada Pengadilan Agama.

2. Batas Usia Minimal Calon Pengantin

a. Batas Usia Minimal Calon Pengantin dalam Pandangan Hukum Islam

Dalam soal usia perkawinan, Islam memberi ancar-ancar dengan persyaratan kemampuan (istitha’ah), yaitu kemampuan dalam segala hal, baik kemampuan memberi nafkah lahir dan batin kepada isteri dan anak-anaknya mapun kemampuan dalam mengendalikan gejolak emosi yang menguasai diri. Jika kemampuan telah ada, maka ajaran agama mempersilahkan seseorang untuk segera menikah, namun jika belum disarankan untuk memperbanyak berpuasa. Selain itu, sebelum melangsungkan perkawinan calon mempelai patut memiliki kemampuan dan kesediaan untuk merawat diri sendiri.25

Dalam kitab-kitab hukum keluarga lama disebutkan bahwa pria dapat melangsungkan perkawinannya kalau telah “mimpi” dan wanita juga telah menstruasi. Mimpi dan menstruasi adalah tanda kedewasaan atau aqil baligh. Tanda ini bersifat relatif dan tergantung pada kondisi dan situasi pada suatu daerah dan lingkungan masyarakat tertentu, namun umumnya kondisi ini berlangsung di usia 13 (tiga

24Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 32.

25Umar Abd al-Rahim, Islam dan KB, Terj. Muhammad Hasyim, Cet. ke-1 (Jakarta:

Lentera Basritama, 1997), 68.

belas) atau 14 (empat belas) tahun. Kini dalam masyarakat kontomporer, penentuan batas umur untuk dapat melangsungkan perkawinan, disandarkan pada kondisi negara masing-masing.26

Menurut pandangan mayoritas ulama Fiqh, masalah usia perkawinan sangat erat hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung jawab dan dibebani kewajiban- kewajiban tertentu. Maka, setiap orang yang akan berumah tangga diminta kemampuannya secara utuh. Kemampuan yang dihubungkan dengan hukum sebagai terjemahan dari kata ahliyah dalam bahasa Arab yang berari kesanggupan, kecakapan atau kewenangan yang ada.27

Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda.

Kedatangan tanda-tanda tersebut diatas tidak dalam usia yang sama antara pria dan wanita ada kemungkinan tidak sama pula. Tergantung kematangan fisik masing-masing, ada yang lebih cepat ada yang sedikit lambat dari yang lainnya. Berdasarkan uraian itu maka kedewasaan ditentukan dari mimpi dan rusyd. Akan tetapi umur mimpi dan rusyd terkadang tidak sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang

26Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet. ke-2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 96.

27Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Cet. ke-2 (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 156.

telah bemimpi adakalanya belum rusyd dalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan dalam perbuatan sehari-hari.28

Para ulama mazhab pada umumnya dahulu membolehkan seorang bapak sebagai wali mujbir menikahkan perempuannya yang masih di bawah umur seperti:

1) Perkawinan Nabi Muhammad Saw dengan ‘Aisyah yang masih belia. Dalam hadits disebutkan: “sesungguhnya Nabi menikahi (Aisyah) pada saat usia 6 tahun dan menggaulinya pada saat usia 9 tahun dan hidup bersama selama 9 tahun” (Riwayat al- Khamsah). Imam Muslim menambahkan “pada saat Nabi meninggal usia Aisyah saat itu adalah 18 tahun.”29

2) Diantara para sahabat Nabi Saw, ada yang menikahkan putra- putrinya atau keponakannya yang dianggap belia. Seperti Abu Bakar menikahkan anak perempuannya yang bernama Ummi Kultsum ketika itu juga masih belia.30

b. Batas Usia Minimal Calon Pengantin dalam Pandangan Hukum Positif

1) Batasan usia perkawinan atau perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 terdapat dalam Bab II Syarat-Syarat Perkawinan Pasal 6 Ayat (2) yaitu: “untuk melangsungkan perkawinan seseorang

28Helmi Karim, Problematika Hukum Islam Kontemporer: Kedewasaan untuk Menikah, Cet. ke-3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), 83.

29Manshur ‘Ali Nasif, al-Taj al-Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, Jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah), 259.

30Abu Muhammad bin Ahmad Muhammad Ibnu Qudamah, al-Mughiri, Juz IV (Beirut:

Dar al-Fikr, 1405H), 487.

yang belum mencapai usia atau umur 21 tahun haruslah dengan izin kedua orangtua.” Sedangkan pada Pasal 7 Ayat (1) yaitu:

“Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria telah mencapai umur 19 tahun sedangkan wanita telah mencapai usia 16 tahun.”

Sementara pada Ayat (2) yaitu: “Dalam hal penyimpangan dalam Ayat (1) pasal ini, maka dapat meminta dispensasi kepada pihak Pengadilan atau pejabat lain yang diminta atau diajukan oleh kedua orangtua baik pihak pria ataupun pihak wanita.”31

2) Batasan usia perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 15 Ayat (1) yaitu: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawian hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU No.

1 Tahun 1974.”32

3) Sedangkan batasan usia perkawinan menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPer), Bab IV perihal Perkawinan Pasal 29, yakni: “Laki-laki yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun penuh dan belum mencapai 15 (lima belas) tahun penuh bagi perempuan, maka tidak diperkenankan baginya untuk mengadakan perkawinan. Namun jika ditemukan alasan-alasan penting dan mendasar, maka pemerintah berkuasa menghapus larangan ini dengan memberi “Dispensasi”.33

31Aulia, Hukum Kompilasi Hukum, 82-83.

32Aulia, Hukum Kompilasi Hukum, 5-6.

33Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdata (Jakarta: Visimedia, 2008), 226.

3. Faktor Pendorong Perkawinan di Bawah Umur a. Faktor Pendidikan

Faktor pendidikan merupakan salah satu faktor utama sebagai penyebab atau pendorong terjadinya praktik perkawinan di bawah umur. Pendidikan yang rendah biasanya disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak menunjang sehingga berdampak terhadap ketidakmampuan seseorang untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi khususnya bagi keluarga dengan anggota yang relatif besar.

Selain itu kondisi sosial budaya pada suatu kelompok masyarakat juga mempengaruhi rendahnya pendidikan sehingga hal demikian menjadi kebiasaan dimana para remajanya enggan dan malas untuk menempuh pendidikan di jenjang yang lebih tinggi.34

Bagi seseorang dengan status pendidikan yang tinggi, maka hal tersebut berdampak terhadap tingkat kedewasaan dan pemahaman yang matang sebelum memutuskan suatu tindakan. Tentu saja ia tidak menghendaki jika hal buruk menimpa dirinya akibat dari pengambilan keputusan yang salah dan kurang tepat. Jika ia dihadapkan pada keputusan untuk menikah di bawah umur 20 tahun, maka secara emosi dan penuh pertimbangan ia akan lebih memilih untuk menemukan jati dirinya lebih mendalam.

34Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 182.

b. Faktor Psikologis

Menurut teori psikologis, seseorang dikatakan sudah memasuki usia remaja yaitu pada rentang usia 16 atau 17 tahun sampai dengan usia 21 tahun. Seseorang disebut mengalami masa remaja apabila memiliki kematangan seksual dan menyadari identitasnya sebagai individu yang terpisah dan berusaha mempersiapkan diri menghadapi tugas, menentukan masa depan dan mencapai usia matang secara hukum.

Selama periode peralihan, anak remaja banyak mengalami perubahan baik secara fisik, psikologis, atau sosial. Bentuk fisik remaja yang semakin sempurna dan mirip dengan orang dewasa.

Dengan demikian juga perkembangan intelektual, psikis, dan sosial.

Dia semakin ingin dapat status, bebas menentukan sikap, pendapat dan minat, ingin menolong dan ditolong orang lain, belajar bertanggung jawab dan pola pergaulannya yang sudah mengarah pada heteroseksual.35

c. Faktor Hamil sebelum Menikah

Jika orangtua mendapati kondisi anak perempuannya dalam keadaan hamil, maka para orangtua cenderung memiliki pemikiran untuk segera menikahkannya dengan laki-laki yang menghamilinya.

Bahkan banyak ditemukan sejumlah kasus, karena kondisi kehamilan anak gadisnya, maka dengan terpaksa orangtua menikahkan anak gadis

35Herri Zan Pieter, dkk, Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan, Cet. Ke-1 (Jakarta: Kencana, 2011), 90.

tersebut meskipun orangtuanya tidak setuju dan tidak suka dengan calon mantunya. Bahkan ada kasus, seorang gadis yang terlanjur hamil di luar nikah dengan rasa penuh terpaksa mengajukan permohonan dispensasi kawin, meskipun pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya.36

Hal tersebut tentu saja menjadi sesuatu yang sangat dilematis, baik bagi anak gadis, orangtua bahkan hakim yang menyidangkan.

Sudah dapat terbayangkan bahwa perkawinan yang dilaksanakan atas nama rasa cinta saja bisa goyah di kemudian hari, apalagi jika didasarkan keterpaksaan karena kehamilan. Kondisi seperti ini, jelas- jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana diamanatkan Undang-undang bahkan agama.

d. Faktor Ekonomi

Masih saja ditemukan kasus-kasus dimana orangtua terbelit permasalahan hutang yang tidak mampu lagi terbayarkan. Jika si orangtua tadi mempunyai seorang anak gadis, maka anak gadisnya akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” untuk melunasi hutangnya kepada orang yang memberi hutang sebagai syarat perkawinan anaknya.37

Di samping itu banyak juga para orangtua dari kalangan keluarga miskin memiliki suatu anggapan bahwa dengan menikahkan anaknya dapat mengurangi beban ekonomi keluarga tanpa berpikir

36Abu Zahlan, Kawin Usia Muda antara Citra Islam dan Keluarga Berencana (Rindang No. V Tahun XII), 12.

37Chadijah Nasution, Wanita Diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan, 84.

panjang terhadap dampok positif ataupun negatif, meskipun anaknya masih di bawah umur..

e. Faktor Perintah Orangtua

Pada kenyataannya, masih banyak orangtua yang melaksanakan keinginannya untuk mengawinkan anak-anaknya, padahal usianya masih relatif muda yaitu belum mencapai usia minimal untuk menikah yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Si anak tidak mempunya pilihan lain, kecuali mematuhi keinginan orangtua. Anak dinikahkan dengan laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya.38

Orangtua kerapkali memaksakan keinginannya untuk mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur dengan alasan untuk kebahagiaan anaknya. Agar tidak menjadi perawan atau perjaka tua. Mereka berasumsi menikah di atas usia ideal adalah aib, sebab ada kekhawatiran turunya minat pria menikahinya.

4. Teori Mas}lahah dalam Perspektif Ushul Fiqh (Teori Hukum Islam) tentang Perkawinan di Bawah Umur

a. PengertianMas}lahah

Dalam kajian teori hukum Islam (usûl al-fiqh), mas}lahah diidentifikasi dengan sebutan (atribut) yang bervariasi, yakni prinsip (principle, al-ashl, al-qâ‘idah, al-mabda’), sumber atau dalil hukum (source, mashdar, dalîl), doktrin (doctrine, al-dâbith), konsep

38Hilmam Adikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, 46.

(concept, al-fikrah), metode (tharîqah), dan teori (theory, al- nazariyyah).

Kata al-maslahah secara etimologis berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, dan kepatutan sebagai lawan kata (antonim) al-mafsadah yang berarti kerusakan.39 Sedangkan secara terminologis, konsep mashlahah telah dirumuskan oleh sejumlah ulama ushûl al-fiqh.

Al-Gazhâli (w. 505 H) mengatakan bahwa makna genuine dari mashlahah adalah menarik atau mewujudkan kemanfaatan;

menyingkirkan atau menghindari kemudaratan (jalb manfa‘ah atau daf‘ mudarrah). Menurutnya maslahah dalam arti terminologis – syar’i adalah memelihara dan mewujudkan tujuan syara’ mencakup memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan.

Ditegaskan olehnya bahwa segala sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut dapat dikategorikan sebagai mashlahah; sebaliknya, segala sesuatu yang dapat mengganggu dan merusaknya dapat dinilai sebagai mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang demikian dikategorikan sebagai mashlahah.40

‘Izz al-Dîn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H) mengungkapkan bahwa, mashlahah identik dengan al-khair (kebajikan), al-

39Lihat: Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr al-Ifrîqi, Lisân al-‘Arab, Juz ke-2 (Riyadh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1424 H/2003 M), 348.

40Abû Hâmid Muhammad al-Gazâli (selanjutnya disebut al-Gazâli), al-Mustasfa min

‘Ilm al-Usûl, Tahqîq wa Ta‘lîq MuhammadSulaimân al-Asyqar, Juz ke-1(Beirut: Mu’assasat al- Risâlah, 1417 H/1997 M), 416-417.

Dokumen terkait