BAB II TINAJUAN PUSTAKA
D. Konsep Ideal (Rekonstruksi Regulasi) Pengembalian Kerugian
Korupsi Berbasis Nilai Keadilan
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi pintu gerbang emas bagi bangsa Indonesia menuju pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Sejak prokamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 Indoensia memulai menata hukumnya. Oleh karena Indonesia baru terbentuk, maka dalam UUD 1945 dibuat aturan perahlian sebagaimana dalam Pasal II Aturan Peralihan menyebutkan :
“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.”
Ketentuan pasal II Aturan Peralihan dibuat atas dasar untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, dengan adanya Aturan Peralihan tersebut aturan-aturan yang berlaku pada masa penjajahan Belanda tetap diberlakukan sampai dibentuknya peraturan yang baru oleh pemerintah Indonesia.
Pasal II Aturan Peralihan menjadi landasan humum bagi Kitab Undang-undang Hukum PIdana (KUHP) berlaku di Indonesia. Melalui undang-undang nomor 1 tahun 1946 dan oleh karena berbagai perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat maka dibuatlah beberapa undang-undang pidana diluar KUHP. Kendati demikian tuntutan agar dilakukan perubahan-perubahan materi yang diatur dalam KUHP semakin hari semakin nyata. Oleh karena itu pembaharuan hukum pidana dipandang mendesak untuk segera dilaksanakan.
Urgensi untuk melakukan perubahan hukum pidana adalah bahwa KUHP dari Negara-negara Eropa Barat bersifat individualistis-kapitalistis dan hal tersebut berbeda dengan corak Negara-negara Eropa timur yang berdasarkan politik sosialis. Negara Indonesia berpandangan politik yang berdasarkan Pancasila, perlu disesuaikan, karena pandangan tentang hukum pidana erat sekali berhubungannya dengan pandangan umum tentang hukum, Negara, masyarakat dan kriminalitas (kejahatan).107
Perombakan hukum pidana perlu dilakukan terutama untuk menyesuaikan dengan asas-asas dan corak serta tata hukum Indonesia yang berpedoman kepada Pancasila.108 Asas-asas dan dasar-dasar hukum pidana yang berasal dari zaman Kolonial dipandang sudah tidak relevan lagi.
Begitupula dalam upaya penanggulangan kejahatan korupsi perlu dilakukan perubahan-perubahan hukum karena sering sekali aturan-aturan yang ada dipandang sudah tidak akomodatif lagi dalam kerangka penanggulangan kejahatan yang hendak diberantas oleh undang-undang tersebut.
Sebenarnya dalam pembaharuan hukum terkait erat dengan reformasi hukum (law reform). Berbicara mengenai law reform akan menjadi berbeda dengan pengertian legal reform. Dalam legal reform terjadi proses pembaharuan hukum yang memang disadari dan dikehendaki. Proses ini
107 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Op.cit hal. 60-61
108 Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.78.
merupakan proses politik yang progresif dan reformatif. Dalam kondisi demikian hukum dapat difungsikan sebagai alat atau sarana untuk membentuk atau merekayasa masyarakat (tool of social engineering)
Faktanya konsep tool of social engineering dapat dikatakan belum memberikan buah yang memuaskan. Konsep pembaharuan hukum demikian hanya melibatkan aktivitas legislative yang umumnya hanya melibatkan pemikiran para elit professional yang memiliki akses lobi. Oleh karena itu legal reform dianggap tidak memberikan hasil sehingga memunculkan aliaran untuk melahirkan law reform. Pengertian yang terkandung dalam law reform lebih luas dari makna yang terkandung dalam Legal Reform. Law diartikan sebagai produk aktivitas dari politik rakyat yang berdaulat, yang digerakan oleh kepentingan ekonomi mereka yang lugas, yang ikut diilhami dan atau dirujuk kenorma-norma sosial dan atau nilai-nilai ideal cultural.
Pandangan law reform ini sesuai dengan pengertian yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo dengan menggunakan istilah hukum progresif. Menurutnya bahwa bukan undang-undang yang mendapat tempat istimewa dalam pembaruan hukum, akan tetapi cara pandang, pemikiran, dan ide paradigma yang melandasi pembaharuan tersebut. 109 Ide Hukum Progresif lahir dari keprihatinan terhadap konstribusi yang
109 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, Dalam Ahmad Gunawan (Ed). Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar IAIN Walisongo Program doctor UNDIP; Semarang, 2006.
rendah oleh ilmu hukum di Indonesia dalam mencerahkan bangsa ini untuk keluar dari krisis, termasuk krisis bidang hukum.
Pemberantasn korupsi, tidak saja memerlukan legal reform tapi law reform. Kita melihat betapa undang-undang tentang pemberantasan korupsi yang ada dirasa kurang memadai sehingga masih ditemukan adanya celah yang menjadikan cita undang-undang tersebut tidak tercapai.
Khusus mengenai pengembalian kerugian Negara sulit tercapai merupakan gambaran lemahnya undang-undang korupsi yang ada saat ini. Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan hukum supaya pengembalian kerugian Negara (asset recovery) dapat tercapai.
Ide penerapan konsep sita jaminan merupakan bentuk pembaharuan hukum di Indonesia. Seperti yang dikemukakan diatas bahwa konsep sita jaminan adalah bentuk asas hukum yang dikenal dalam hukum acara perdata, penggabungan hukum perdata kedalam hukum pidana merupakan langkah pembaharuan dan perlu diterapkan dengan tujuan
Table
Rekonstruksi RegulasiPengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Berbasis Nilai
Keadilan
Pasal 18 (1) b dan ayat (2) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Sebelum di
Rekonstruksi
Kelemahan- Kelemahan
Setelah direkonstruksi Pasal 18 ayat (1)
huruf b UU Tipikor menyebutkan bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
Pembayaran uang penganti selama ini belum mewujudkan nilai- nilai keadilan disebabkan perhitungannya belum seimbang atau setara
Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor menyebutkan
bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
sebanyak-
banyaknya sama dengan harta
benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Pasal 18 ayat (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut
dengan kerugian keuangan negara. Tidak adanya keseimbangan dalam pengembalian kerugian keuangan negara, yang belum dengan memperhatikan kepentingan negara dan masyarakat yang mendasarkan pada nilai kesetaraan pembayaran uang pengganti dengan kerugian keuangan negara.
Kemudian sering pelaku setelah dihukum untuk
membayar uang
pengganti tidak mematuhinya dengan jalan mengalihkan harta benda dengan tujuan menghindar dari penyitaan
banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang disetarakan dengan nilai harga emas.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Jika terpidana tidak membayar uang pengganti ebagaimana dimaksud dalam ayat (1)huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.
Direkonstruksi dengan tambahan ayat 2 A menjadi, ”Pada saat ditetapkan sebagai tersangka maka terhadap seluruh harta benda baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang berwujud maupun tidak berwujud baik
ada dalam
kekuasaannya atau pihak lain berlaku status sita umum”
BAB VI