DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
DISUSUN OLEH : HENDRI EDISON NIM. 10302000375
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2023
ABSTRAK
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi meliputi berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan permasalahan serius, karena dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, mengganggu proses pembangunan sosial ekonomi, stabilitas politik dan moralitas bangsa.
Tujuan dalam penelitian ini adalah Untuk menganalisis dan menemukan regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang belum berbasis nilai keadilan. Dalam melakukan analisis adalah untuk menemukan kelemahan-kelemahan regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi pada saat ini.
Kemudian Untuk menemukan rekonstruksi regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berbasis nilai keadilan. Adapun dalam melakukan penelitian digunakan Paradigma Konstruktuivisme, dengan pendekatan penelitian social legal research, data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teori yang digunakan teori keadilan restoratif, penegakan hukum dan teori hukum progresif.
Bahwa dari hasil penelitian ditemukan (1) Regulasi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Belum Berbasis Nilai Keadilan, disebabkan adanya pengaburan dalam penormaan pada Pasal 18 (1) b dan ayat (2) dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Pelaksanaannya ternyata pembayaran uang pengganti tersebut tidak sesuai dengan jumlah kerugian keuangan negara. Hal tersebut dapat di lihat dalam beberapa keputusan hakim, begitu juga pada Pasal 18 ayat (2) dirasa kurang efektif karena banyaknya terpidana yang telah dihukum pidana berupa membayar uang pengganti pada akhirnya tidak mau melaksanakannya dan kemudian menghilangkan atau mengalihkan harta bendanya sehingga mengakibatkan terjadinya tunggakan pembayaran pidana uang pengganti. Artinya putusan pengadilan tidak bias dilaksanakan, (2) Kelemahan-kelemahan Rekonstruksi Regulasi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi saat ini, memiliki kelemahan baik kelemahan pada substansi hukum, seperti ketentuan yang mengatur pidana uang pengganti ada dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), akan tetapi tidak jelas bagaimana mekanisme pelaksanaan pidana uang pengganti karena tidak djelaskan atau dituar lebih lanjut dalam pasal 18 tersebut. Sementara dalam praktek sering berbenturan dengan
mekanisme pelaksanaannya seperti bagaimana jika terpidana telah lebih dahulu mengalihkan harta bendanya sehingga saat akan dilakukan penelusuran aset tidak ada lagi. Sedangan kelemahan pada struktur hukum (aparatur penegak hukum) adalah terkait dengan administrasi yang ada di kejaksaan. Sebab kejaksaan adalah lembaga yang akan melaksanakan pidana uang pengganti yang diputus oleh Hakim. Ternyata masih banyak kelemahan dalam pelaksanaan pidana uang pengganti sehingga sampai saat ini terus menjadi tunggakan bagi kejaksaan. Terakhir kelemahan pada legal culture (budaya hukum masyarakat) yang masih lemah yaitu seprti terpidana yang sudah dihukum membayar uang pengganti justru berusaha menyembunyikan harta bendanya dan membiarkan menjalankan pidana tambahan, artinya kurangnya kesadaran hukum terpidana untuk melaksanaan sanksi pembayaran uang pengganti, lebih memilih alternatif yaitu penjara. Selanjutnya diperlukan adanya Rekonstruksi Regulasi dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi yang Berbasis Nilai Keadilan, diantaranya rekonstruksi norma hukum pada ketentuan Pasal 18 (1) b dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, menjadi Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor menyebutkan bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang disetarakan dengan nilai harga emas, dan Kemudian terkait dengan Pasal 18 ayat (2) perlu ditambahkan satu ayat lagi menjadi ketentuan tentang sita umum yang berbunyi,
“Pada saat ditetapkan sebagai tersangka maka terhadap seluruh harta benda baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang berwujud maupun tidak berwujud baik ada dalam kekuasaannya atau pihak lain berlaku status sita umum” dengan tujuan supaya saat dihukum membayar uang pengganti menjadi jaminan untuk dilelang jika terpidana menolak membayar pidana uang pengganti.
Penetapan sita umum terhadap harta yang berlaku sejak ditetapkan sebagai tersangka sebagai jaminan pengembalian kerugian keuangan negara bisa lebih efektif. .
Kata Kunci: Rekonstruksi;pembayaran:uang;Pengganti:keadilan
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan Disertasi Daftar Isi
Abstraksi
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah ... 1
B. RumusanMasalah ... 19
C. TujuanPenelitian ... 20
D. KegunaanPenelitian ... 21
E. Kerangka Konsep……….. 22
F. KerangkaTeori ... 33
G. Kerangka Pemikiran……… 59
H. Orisinalitas Penelitian... 60
I. Metode Penelitian ... 61
J. Sistematika Penulisan ... 71
BAB II TINAJUAN PUSTAKA A. Pengertian Rekonstruksi Hukum... 73
B. Penegakan Hukum... 76
C. Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi... 81
KEUANGAN NEGARA DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak PidanaKorupsi ... 141 B. Pengaturan Pidana Uang Pengganti dan Implementasinya dalam Penegakan Hukum Pidana... 202 C. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam
Sistem Peradilan Pidana ... 209 BAB IV KELEMAHAN HUKUM PENGEMBALIAN KERUGIAN
KEUANGAN NEGARA DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI SEHINGGA BELUM MEWUJUDKAN KEADILAN
A. Belum Optimalnya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi ... 227 B. Faktor-faktor yang menghambat Pelaksanaan Pidana Uang
Pengganti ... 233
BAB V KONSEP IDEAL (REKONSTRUKSI REGULASI) PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI BERBASIS NILAI KEADILAN
A. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Perspektif Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
... 285
B. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Berbagai Negara ... 289
C. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Menurut Hukum Islam ... 294
D. Konsep Ideal (Rekonstruksi Regulasi) Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Berbasis Nilai Keadilan ... 302
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 316
B. Saran ... 319
C. Implikasi Kajian Disertasi ... 319
DAFTAR PUSTAKA ... 321
RINGKASAN A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan di segala bidang untuk membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Tujuan bangsa Indonesia, sebagaimana Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alenia ke 4, yakni melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Perlindungan terhadap segenap bangsa dan tumpah darah melalui perangkat hukum yang berlaku merupakan hal yang mutlak diwujudkan, tidak ada artinya melindungi segenap bangsa dan tumpah darah jika ternyata masih ada penderitaan yang dirasakan rakyat berupa ketimpangan hak ekonomi yang mencerminkan ketidaksejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.1
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum2, sehingga setiap kegiatan manusia atau masyarakat yang merupakan aktivitas hidupnya harus berdasarkan pada peraturan yang ada dan norma yang berlaku dalam masyarakat.3
1 Ridwan, Kebijakan Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jurnal Jure Humano, Volume1 Nomor 1, 2009, hal 74.
2 Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sebagai negara hukum minimal harus mempunyai cirri khas atau unsur yang terdiri dari : Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; Jaminan hak asasi manusia (warga negara); Pembagian kekuasaan (distribution of power) dalam negara; Pengawasan dari badan peradilan. Sri Sumantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hal 4, sebagaimana dikutip Mien Rukmini, Perlindungan Hak Asasi Manusia Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2005, hal 37.
3 Hukum tidak lepas dari kehidupan manusia karena hukum merupakan aturan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan, karena tanpa hukum tidak dapat membayangkan akan seperti apa nantinya negara ini.
Tindak pidana Korupsi4 telah menjadi masalah global antar negara, tergolong kejahatan transnasional5. Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Korupsi merupakan permasalahan serius, tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan
4 Korupsi sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Semua lapisan masyarakat bahkan telah fasih mengatakan suatu perbuatan merupakan korupsi. Seseorang yang menyembunyikan uang bukan miliknya dapat dikatakan korupsi. Padahal mereka tidak mengetahui secara jelas maksud dan arti kata korupsi menurut pandangan hukum. Korupsi sudah sangat melekat dalam kehidupan masyarakat. Untuk di Indonesia kata korupsi telah dikenal sejak zaman hindia belanda, dimana asal kata dari bahasa belanda yakni corruptie (korruptie). Jadi tidak heran kata korupsi telah diketahui dan menjadi kata sehari-hari. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 4. Transparency International Indonesia (TII) menggunakan definisi korupsi menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadi. Dari definisi tersebut terdapat tiga unsur : Menyalahgunakan kekuasaan, kekuasaan yang dipercayakan (baik sektor publik ataupun swasta); memiliki akses bisnis dan keuntungan materi, dan keuntungan pribadi (yang tidak selalu diartikan hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarga atau teman-temannya). J. Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, hal 6. Dengan dikenalnya korupsi oleh masyarakat, menandakan praktik korupsi telah lama terjadi bahkan sebelum kata korupsi dikenal luas. Korupsi disebabkan beberapa hal yang bervariasi dan beraneka ragam. Salah satu penyebab korupsi adalah tindakan korupsi dilakukan dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi/keluarga/kelompok/golongannya sendiri. Dengan mendasarkan pada motif keuntungan pribadi atau golongan ini, jika korupsi terdapat dimana-mana dan terjadi kapan saja karena masalah korupsi terkait motif yang ada pada setiap insan manusia untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau golongan, I. G. M. Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi : Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal 31.
5 Dalam Resolusi Corruption in Government (Hasil Kongres PBB ke-8 Tahun 1990) dinyatalan korupsi tidak hanya terkait berbagai kegiatan Economic Crime, tetapi juga dengan Organized Crime, illicit drug trafficking, money laundering, political crime, top hat crime, dan bahkan transnational crime.
pembangunan sosial ekonomi6, dan juga membahayakan secara politik7, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat tahun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya.8 Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.9
Berdasarkan hal itulah penulis hendak melakukan penelitian hukum terkiat dengan upaya menemukan formulasi yang tepat dan berbasis keadilan tentang ketentuan tentang pembayaran pidana uang pengganti sebagaimana amanat dalam UUPTK. Ketentuan Pasal 18 dipandang belum sepenuhnya dapat ditampung dan sering kali dalam praktek mengalami kendala. Berdasarkan hal tersebut kami melakukan penelitian dan mengangkat judul tulisan ini dengan : Rekonstruksi Regulasi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Berbasis Nilai Keadilan.
6 Banyak sebab terus meningkatnya kasus korupsi di Indonesia. Seperti dikemukakan B. Soedarso, pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab paling gampang dihubungkan misalnya kurang gaji pejabat, buruknya ekonomi, mental pejabat kurang baik, administrasi dan manajemen yang kacau yang menghasilkan adanya prosedur berliku dan sebagainya. Andi Hamzah, Op, Cit, hal 12.
7 Korupsi di negara Indonesia sudah dalam tingkat kejahatan korupsi politik. Kondisi Indonesia sangat memprihatinkan, karena korupsi menyerang dunia politik serta perekonomian bangsa. Korupsi politik dilakukan orang atau institusi yang memiliki kekuasaan politik atau oleh konglomerat yang melakukan hubungan transaksional kolutif dengan pemegang kekuasaan. Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal 1.
8 Kejahatan akan terus bertambah dengan cara berbeda bahkan dengan peralatan semakin canggih dan modern sehingga kejahatan semakin meresahkan masyarakat
9 Tindak pidana korupsi mendapat perhatian lebih dibandingkan tindak pidana lain di berbagai negara karena dapat menimbulkan dampak negatif yang meluas di suatu negara. Dampak yang ditimbulkan menyangkut berbagai aspek kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan politik, serta merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Ibid, hal 3.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka permasalahan yang hendak diteliti dalam tulisan ini adalah terkait dengan beberapa pertanyaan yang menjadi problem guna ditemukan solusinya. Adapun permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagi berikut :
1. Mengapa regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi belum berbasis nilai keadilan?
2. Apa saja kelemahan-kelemahan regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi saat ini?
3. Bagaimana rekonstruksi regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi berbasis nilai keadilan ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan perumusan masalah sebagaimana disebutkan di atas, maka tujuan penelitian disertasi ini adalah :
1. Untuk menganalisis dan menemukan regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi belum berbasis nilai keadilan.
2. Untuk menganalisis dan menemukan kelemahan-kelemahan regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi saat ini.
3. Untuk menemukan rekonstruksi regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi berbasis nilai keadilan.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini nantinya diharapkan berguna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum pidana baik dari sisi teoritis dan praktek dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dapat dikemukakan, bahwa hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan teoritis dan keguaan praktis.
1. Kegunaan teoritis
Adapun yang diharapkan darihasil penelitian ini kiranya memiliki arti yang cukup penting dan berguna bagi penemuan konsep-konsep hukum untuk lebih mengoptimalkan penerapan sanksi pidana tambahan berupa pidana uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, pertama-tama hasil penelitian ini diharapkan berguna dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana di Indonesia.
Sementara kegunaan secara pribadi bagi penulis adalah untuk memperdalam pemahanan secara teoritis tentang hukum pidana dan
sistem peradilan pidana, sehingga mampu menunjang pekerjaan penulis sebagai aparat penegak hukum.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi masyarakat dan terutama pemerintah lewat aparat penegak hukum dalam upaya optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara, dan juga sebagai tambahan pemahaman tentang segi-segi hukum pidana dan sistem peradilan pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
E. Kerangka Konsep
Kata rekonstruksi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah mengembalikan sebagai semula atau penyusunan (penggambaran) kembali.10 Kata rekontruksi berasal dari bahasa Inggris, Recontruction”
yang berarti pengembalian seperti semula atau penyusunan (penggambaran) kembali. Dalam Black Law Dictionary, menyebutkan, reconstruction is the act of process of rebuilding, recreating, or reorganizing something.11 Disini rekonstruksi dimaknai sebagai suatu proses untuk membangun kembali, menciptakan kembali atau mengorganisasikan kembali sesuatu.
10 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, hal. 942.
11 Bryan A. Garner, Black Law Dictionary, ST. Paul Minn, 1999, West Group, hl.
1278.
Bahwa dari kamus politik yang disusun oleh BN Marbun, memberikan pengertian tentang rekonstruksi sebagai pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula, penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula.12 Dari pengertian tersebut diatas, secara istilah rekontruksi adalah perumusan atau penyusunan kembali suatu konsep untuk dikembalikan kepada asalnya.
Pengertian kerugian keuangan negara adalah istilah yang ada dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.
Bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan sebagai berikut : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 3 disebutkan sebagai berikut : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
12 B.N. Marbun, Kamus Politik, Jakarta, 1996, Pustaka Sinar Harapan , hal. 469
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UUPTPK sebagaimana disebutkan diatas, memformulasikan tindak pidana korupsi dengan unsur kerugian keuangan negara. Bahwa apa yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara dalam UUPTPK tidak ada dijelaskan. Adanya kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi, namun UUPTPK tidak memberikan definisi tentang apa itu kerugian keuangan Negara. Maka untuk melihat apa yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara dapat dilihat dalam ketentuan lain.
F. Kerangka Teori
Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan. Teori merupakan pengetahuan dalam alam pikiran dan tidak dihubungkan dengan kegiatan praktis untuk melakukan sesuatu. Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting.
Teori memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan Teori memberikan penjelasan
dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.13
Sebagai kerangka teori untuk pembahasan disertasi yang membahas tentang konsep ideal (rekonstruksi hukum) pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi berbasis nilai keadilan, akan menggunakan 3 (tiga ) teori, yaitu pertama Teori Keadilan restoratif sebagai Grand Theory , kedua Teori Penegakan Hukum sebagai Middle Theory, dan ketiga Teori viktimologi, sebagai Aplication Theory.
1. Grand Theory : Teori Keadilan Restoratif
Munculnya teori keadilan restoratife atau restorative justice adalah jawaban atas kelemahan dalam penyelesaian perkara pidana secara konvensional yang mengutamakan pendekatan represif. Dalam sistem peradilan pidana konvensional pendekatan yang digunakan dalam penegakan hukum adalah pendekatan represif. Kelemahan pendekatan represif sebagai penyelesaian terhadap perkara pidana karena berorientasi pada pembalasan berupa pemidanaan dan pemenjaraan pelaku sementara korban tidak mendapat tempat sehingga dirasakan tidak memberi rasa adil bagi korban.
Penyelesaian perkara pidana lewat tindakan represif, justru tidak menyelesaikan perkara secara tuntas, karena antara pelaku dan korban
13 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, 2000, Penerbit Citra Aditya Bakti hal.
35
tidak terlibat dalam penyelesaian perkara, dan ini akan melahirkan rasa dendam berkepanjangan yang ujungnya bisa menimbulkan prilaku kriminal baru. Sebab dalam penyelesaian perkara secara konvensional yang diselesaikan melalui pendekatan represif dalam pengambilan keputusan tidak melibatkan antara pelaku dengan pihak korban serta lingkungannya. Padahal sejatinya penyelesaian suatu perkara harus memberikan kontribusi keadilan bagi mereka yang berperkara.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu Undang-undang nomor 8 tahun 1981 memperkenalkan sistem peradilan pidana terpadu yang menganut prinsip “diferensiasi fungsional”. Artinya masing-masing lembaga yang disebut sebagai penegak hukum diberi tugas dan kewenangan masing-masing.
Sehingga kegiatan dalam sisten peradilan pidana terpadu tersebut dapat disebut sebagai bentuk gabungan secara kolektif dari petugas penegak hukum, mulai dari Penyidik (kepolisian), Penuntut Umum (kejaksaan), Persidangan (hakim) dan terakhir Lembaga Pemasyarakatan. Lebih luas lagi menurut Mardjono Reksodiputro merupakan fungsi gabungan (collection of function) dari: 1) Legislator;
2) Polisi; 3) Jaksa; 4) Pengadilan; 5) Penjara; 6) Badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya.14
14 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana (buku kelima), Jakarta, 2007, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, hlm. 8.
KUHAP merupakan ketentuan hukum acara dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia yang menggantikan ketentuan sebelumnya yaitu Het Herzienne Inlandsch Reglement (HIR) Stbld. Tahun 1941 N0.44. Sejak berlakunya KUHAP ada hal penting yang menjadi pembeda dengan HIR yaitu asas penting dalam penyelenggaraan peradilan pidana yaitu:
a. Perlakuan yang sama di muka umum;
b. Praduga tidak bersalah;
c. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
d. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
e. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
f. Peradilan yang bebas, dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
g. Peradilan yang terbuka untuk umum;
h. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus dilakukan berdasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
i. Hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;
j. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya;
Jika diperhatikan kesepuluh asas tersebut, dapat dikatakan KUHAP menganut due process of law. Bahwa proses hukum yang adil pada intinya adalah hak seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar
pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi.15 Akan tetapi jika dilihat dari kesepuluh prinsip tadi tidak ada satupun perhatian pada korban, sehingga terkesan korban tidak diperhitungkan hak-haknya.
Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan restoratif yang menempatkan peran korban sebagai pihak yang memiliki andil dan hak untuk
mendapatkan konstribusi dalam proses peradilan.
1. Middle Theory : Teori Penegakan Hukum
Sejarah peradaban manusia telah membuktikan bahwa kehidupan manusia sebagai suatu kelompok atau masyarakat akan melahirkan kepentingan yang mana kepentingan tersebut akan berbeda satu dengan lainnya, sehingga untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan, maka oleh manusia lewat kesepakatan diciptakanlah aturan yang merupakan hukum itu sendiri. Hukum itu ibarat pagar pembatas yang akan membatasi gerak setiap orang dan menjadi kewajiban bagi siapa saja untuk mentaati aturan yang telah dicpitakan tersebut.
Jika hukum tidak dibentuk maka benturan kepentingan tadi akan melahirkan ketidak harmonisan yang pada akhirnya terjadi kekacauan dalam kehidupan berkelompok atau masyarakat. Oleh karena itu menjadi penting dibentuknya hukum. Sebagaimana diketahui tujuan dari pembentukan hukum yang dikemukakan oleh Ahmad Ali dilihat dari tiga sudut pandang yaitu dari sisi yuridis dogmatif hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum, dari sudut filsafat yaitu untuk
15 Romli Atmasasmita, “Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme)”, Bandung, 1996, Bina Cipta, Hal. 42
mewujudkan keadilan dan dari sisi sosiologis untuk mewujudkan kemanfaatan.16
Disamping itu hukum juga memiliki fungsi. Menurut Roesco Pound sebagai penganut aliran pragmatic legal realism menyatakan hukum sebagai suatu kenyataan, jadi bukan dalam teks yang termuat dalam Undang-undang, melainkan apa yang dilakukan oleh aparat penyelenggara hukum dan atau siapa saja yang melaksanakan fungsi pelaksanaan hukum dengan konsep hukumnya, yaitu hukum dapat berperan sebagai sarana perubahan masyarakat (law as a tool of social engineering).17
Pada saat hukum diberlakukan, maka keberadaan hukum tersebut harus dipertahankan lewat kekuasaan. Hukum tanpa kekuasaan adalah tidak mungkin. Sebab hukum memerlukan kekuasaan agar hukum dapat ditegakan melalui alat-alat penguasa. Proses pembentukan hukum oleh kekuasaan sejalan dengan pemikiran Jhon Austin penganut ajaran positivisme hukum yang mengatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa.18 Penguasa disini adalah pemegang kekuasaan atau kedaulatan tertinggi.
Di Indonesia bila mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) setelah amandemen, kekuasaan legislatif (pembuat
16 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian filosofis dan Sosiologis), Jakarta 2002 PT Toko Gunung Mulia, hal.72.
17 Roscoe Pound, Contemporary Juristic theory Claremont CA: Pamona College, 1940, hal.80
18 Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung 2001 , Cetakan Ke VIII, Citra Aditya Bakti, hal. 58
undang-undang) berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dimana sebelum amandemen Kekuasaan membuat Undang-undang berada ditangan Presdien dengan persetujuan DPR. Saat ini Presiden sesuai dengan isi Pasal 5 ayat (1) menyebutkan, “Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Sedangkan Pasal 20 UUD 1945 menyebutkan, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang- undang.19
2. Aplicht Theory : Teori Viktimologi
Pada awalnya hukum pidana dalam mengatasi kejahatan adalah pemberian sanksi pidana bagi pelaku kejahatan. Hukum pidana berfokus pada pelaku tindak pidana, sehingga keberadaan korban dari akibat tindak pidana kurang menjadi perhatian dari hukum pidana.
Bahkan dalam perkembangannya dalam mencari sebab-sebab meningkatkan kriminalitas baik kwantitas maupun kwalitasnya melahirkan ilmu yang mempelajari sebab-sebab kejahatan yang dikenal dengan nama kriminologi.
Kriminologi lahir dari perkembangan hukum pidana yang dianggap tidak efektif, sehingga melahirkan pemikiran tentang sebab-sebab kejahatan tidak lagi pada aturan-aturan hukum mengenai kejahatan atau bertalian dengan pidana. Dengan ruang lingkup, obyek dan
19 Undang-undang Dasar 1945 setelah amandemen ke IV Pasal 5 (1) dan Pasal 20 (1)
metode tersendiri memisahkan diri dari disiplin ilmu hukum. Pakar- pakar kriminologi telah memberikan banyak sumbangan bagi hukum pidana baik materil maupun formal dalam rumusan-rumusan norma- norma mengenai tanggungjawab hukum pidana, sansi pidana, hak-hak tersangka/terdakwa, pembinaan dan bimbingan narapidana dalam rangka resosialisasi.20
Kedudukan korban dalam hukum pidana hampir terbaikan, bahkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidaa (KUHAP) yang di berlakukan sejak tahun 1981dan menjadi hukum hukum formil dalam proses peradilan mulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi) tergambar bahwa hak- hak tersangka/terdakwa sebagai pelaku kejahaan lebih dominan diperhatikan. Oleh karena disadari bahwa masalah korban adalah masalah universal kemanusiaan, maka telah mulai diperbincangkan secara internasional pada simposium mengenai korban/victimologi yang diadakan di Jerusalem pada tahun 1973 dalam Firs International Symposium on victimology, selanjutnya di Boston pada tahun 1976.21
Apabila hendak menanggapi kejahatan, delikuensi dan deviasi secara proporsional, maka keberadaan korban tidak bisa diabaikan dalam terjadinya kejahatan. Sebab korelasi pelaku kejahatan dengan korban sejak adanya kejahatan telah ada, hanya saja dalam hukum
20 H.R.Abdussalam, Victimology, Jakarta, 2020, PTIK Press , hal.24-25/
21 Arif Gosita, Masalah Kroban Kejahtan Kumpulan Karangan, Jakarta 1993 Akedemi Pressindo, , hal. 62.
Pengembalian kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi belum
efektif dan berbasis nilai keadilan
GRAND THEORY
Teori Keadilan Restoratif
MIDDLE THEORY
Teori Penegakan Hukum
KOLABORASI KONSEP PIDANA DAN
PERDATA
seringkali keberadaan korban bukan menjadi bagian yang dikaji, sehingga terkesan korban tidak menjadi bagian dari terjadinya kejahatan.
Kendati kriminologi telah memberikan banyak sumbangan pemikiran terhadap hukum pidana, ternyata perkembangan kejahtan semakin meningkat. Dari hasil penelitian victimologi diperoleh konstelasi kenapa kejahatan semakin meningkat baik kwalitas maupun kwantitasnya adalah karena hukum pidana dalam memberikan perlindungan hukum hanya lebih mengutamakan kepentingan hak tersangka/terdakwa dan lemah perlindungan hukum bahkan cendrerung dilalaikan kepentingan hak korban, baikpelapor dan hak saksi oleh aparat penegak hukum.22 G. Kerangka Pemikiran
22 H.R.Abdussalam, op.cit, hal 26.
Teori Victimology
APLICATION
THEORY
H. Orisinalitasi Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan terkait dengan beberapa penelitian terkait dengan Pengembalian kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi telah ada yang melakukan dengan fokus yang berbeda-beda.
Terhadap penelitian Konsep Ideal (Rekonstruksi Hukum) Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Berbasis Nilai Keadilan menurut penulis belum ada yang melakukan penelitian terkhusus penerapan sita umum bagi harta tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu penulis berpendapat penelitian yang Penulis lakukan adalah penelitian yang orisinal.
Adapun beberapa disertasi yang berfokus pada penelitian terkait dengan pidana uang pengganti adalah sebagai berikut :
Nama Penulis
Judul Permasalahan
KONSEP IDEAL (REKONSTRUKSI HUKUM) PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PENEGAKAN HUKUM
TINDAK PIDANA KORUPSI BERBASIS NILAI KEADILAN KONSEP SITA UMUM
UNTUK JAMINAN PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN
NEGARA
SANKSI PIDANA TAMBAHAN BERUPA
PIDANA UANG
PENGGANTI
Robertson Pidana Uang Pengganti Sebagai Kebijakan Pidana (Penal Policy) untuk Memulihkan
Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus : Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah).
Tahun 2021
a. Bagaimana esensi kehadiran pidana uang pengganti dalam kebijakan pidana (penal policy) untuk memulihkan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi pada pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia;
b. Bagaimana implementasi pembayaran uang pengganti pada tindak pidana korupsi di sektor pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia;
c. Bagaimana pembaharuan hukum pidana ke depan terhadap pidana uang pengganti.
Pius Bere Reformulasi Sanksi Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti
Dalam Undang
Undang Tindak Pidana Korupsi
(tahun 2016)
a. Mengapa diperlukan sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam undang- undang pemberantasan tindak pidana korupsi?;
b. Bagaimana formulasi/rumusan sanksi pidana tambahan pembayaran
uang pengganti dalam undang undang pemberantasan tindak pidana korupsi?
c. Bagaimana sebaiknya formulasi / rumusan sanksi pidana pembayaran uang pengganti dalam undang- undang pemberantasan tindak pidana korupsi perspektif ius constituendum?
I. Metode Penelitian
Metode berasal dari bahasa Yunani “Greek”, yakni “Metha” berarti melalui ,dan “Hodos” artinya cara, jalan, alat atau gaya. Dengan kata lain, metode artinya jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan
tertentu.23 Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer pengertian metode adalah cara kerja yang sistematis untuk mempermudah sesuatu kegiatan dalam mencapai maksudnya.24
Sedangkan pengertian penelitian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penelitian didefinisikan sebagai kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsipprinsip umum.25 Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari metode penelitian adalah suatu cara kerja yang sistematis berupa kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data untuk mengembangkan suatu ilmu pengetahuan, terutama dalam memecahkan suatu problem.
1. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah segala sesuatu landasan berpikir, konsep dasar atau landasan berpikir yang digunakan atau dianut sebagai model atau konsep dasar para ilmuwan dalam melakukan studinya.26 Paradigma merupakan seperangkat konsep, keyakinan, asumsi, nilai, metode,
23 H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, 1987, Bumi Aksara, hal. 97
24 Peter Salim, et-al, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta, 1991, Modern English, hal. 1126
25 Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 1988, Balai Pustaka.
26 Thomas Kuhn dan Howard Zehr, Restorative Justice, dalam Changing Lenses, 2002, halaman 21, Dikutip dari artikel online, Guru Pendidikan. 22 November 2019, “18 Pengertian Paradigma Menurut Para Ahli Terlengkap”.Seputar ilmu.
https://seputarilmu.com/2019/11/paradigma-menurut-para-ahli.html . Tanggal akses 24 Juli 2020
atau aturan yang membentuk kerangka kerja pelaksanaan sebuah penelitian.27 Paradigma menurut Harmon, paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas.28
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme, yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan.
Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaning ful action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka.29 Paradigma konstruktivisme menekankan pada pengetahuan yang didapat dari pengalaman atau penelitian, kemudian dikonstruksikan sejauh pengalaman atau penelitian yang dimilikinya. Proses konstruksi ini akan berjalan terus-menerus karena ditemukannya suatu paham yang baru, yang kemudian dapat dijadikan landasan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam mengembangkan paradigma kontruksivisme harus didasarkan pada aspek filosofis dan metodologis yang meliputi dimensi
27 Dikutip dari website, NN, Paradigma Penelitian, Universitas Kristen Indonesia.
https://parlindunganpardede.wordpress.com/class-
assignment/research/articles/paradigma-penelitian/ tanggal Akses 26 Juli 2020.
28 Moleong Lexy J. 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya
29 Dedy N. Hidayat, 2003, Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik, Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 3.
ontologis, epistemologis, metodologis, dan aksiologis.30 Nilai, etika dan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu penelitian.31 Fungsi ontologi dipahami sebagai realitas kebenaran dari pada konstruksi sosial bersifat relatif. Relatifitas kebenaran yang dianggap relevan dengan fakta sosial sebagai fakta empiris, kaitannya dengan epistemologi mengenai temuan dari suatu proses penelitian dipahami sebagai hasil interkasi antara objek diteliti dengan subjek yang melakukan kegiatan penelitian. Sedangkan metodologi yang berangkat dari interaksi antara peneliti dengan responden dimaksudkan untuk melakukan konstruksi realitas sosial melalui metode kualitatif dengan menggunakan participant observation untuk mengetahui sejauhmana temuan refleksi yang autentik dari sebuah realitas yang dihayati oleh peneliti. Aksiologi yang berangkat dari nilai etika dan moral yang tidak boleh dipisahkan dari kegiatan penelitian, Metodelogi, hermeneutis dan dialektis. Sifat variable dan personal (intramental) dari konstruksi sosial menunjukan bahwa konstruksi individu hanya dapat diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi di antara peneliti dengan para responden. Beragam konstruksi ini diinterpretasikan menggunakan teknik-teknik hermenetik konvensional dan dikomparasikan serta diperbandingkan melalui pertukaran dialektis. Tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan sebuah konstruksi konsensus yang lebih matang dan canggih daripada semua konstruksi sebelumnya (termasuk, tentu saja, konstruksi etika peneliti).32
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Adapun penelitian hukum normatif adalah penelitian terhadap asas-asas hukum, keselarasan hukum, sistematika hukum dan perbandingan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian hukum empiris atau sosiologis adalah
30 Agus Salim, 2001, Teori Dan Paradigma Penelitian, Tiara Wacana, Yogya, hlm.
110 dan 111.
31 Bahan Kuliah Prof. Gunarto. http://profgunarto .files.wordpress.com/2012/12/filsafat-6.pdf..
32 Norman K. Denzin, Yvonna S. Lincoln, 2009, Handbook of Qualitative Research, diter-jemahkan oleh Dariyatno, Badrus Samsul Fata, Abi, John Rinaldi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 137.
penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektifivitas hukum didalam kehidupan sosial masyarakat.33
Terkait dengan sumber-sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data primair berupa Undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait, sedangkan data sekunder adalah berupa sumber dari literatur kepustakaan berupa buku-buku, jurnal, dan putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Permasalahan pertama dan kedua dalam disertasi ini akan dijawab melalui metode pendekatan penelitian hukum normatif, sedangkan jawaban untuk permasalahan ketiga akan menggunakan metode hukum empiris sosiologis.
3. Metode Pendekatan
Pendekatan penelitian yuridis normatif dan empiris ini oleh Soerjono Soekanto disebut sebagai socio legal research, yakni memandang hukum sebagai law in action yang menyangkut pertautan antara hukum dengan pranata sosial.34 Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mendekati masalah dan norma hukum yang berlaku.
Norma hukum yang berlaku berupa norma hukum positif tertulis.
Penelitian hukum normatif diartikan sebagai suatu proses menemukan aturan hukum, prinsip hukum maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum normatif disebut
33 Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum, Jakarta, 2006, UI Press, hal.
51.
34 Ibid.
juga dengan penelitian hukum doktrinal yakni yang berfokus pada peraturan yang tertulis (law in book), yang beranjak dari adanya kelemahan yang terdapat di dalam Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya yang berkenaan dengan rekonstruksi regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi berbasis nilai keadilan
4. Spesifikasi Penelitian
Pengertian spesifikasi adalah hal yang berkaitan dengan syarat adanya sesuatu.35 Oleh karena itu di dalam spesifikasi penelitian ini konsentrasinya dititik-beratkan kepada segala persyaratan yang harus dipenuhi di dalam suatu penelitian, yaitu didekatkan kepada jenis penelitian yang akan dilakukan, maka harus dilihat jenis penelitian apa yang akan digunakan dalam menganalisis segala permasalahan yang diajukan dalam disertasi.36
Spesifikasi penelitian dapat dilihat dari sudut sifatnya, yang terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu: penelitian eksploratoris, penelitian deskriptif, dan penelitian eksplanatoris. Suatu penelitian deskriptifdimaksudkan untuk
35 Spesifikasi (specification) berarti perincian built to spesification dibangun menurut perencanaan yang terperinci dan diartikannya juga syarat, perincian (of contract). John M.
Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hlm 544.
36 Penjelasan mengenai metode penelitian yang akan digunakan dalam menuntaskan penelitian sebuah disertasi merupakan hal yang sangat penting. Berkaitan dengan ini, Allen Kent, mengatakan: This part of the proposal should identify for the reader the one or more research methods the student plans to use…,bagian ini harus menunjukkan kepada para pembaca satu atau lebih metode penelitian yang akan digunakan. Allen Kent, Guide to the Succesful Thesis and Dissertation, The University of Western Ontario, Pittsburgh, 1993, page 112. Lihat juga Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hlm 2.
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala lainnya.37 Deskriptif berarti bahwa analisis data bersifat deduktif berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data atau menunjukkan komparasi/hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya.38 Sesuai pembagian jenis penelitian berdasarkan sifatnya seperti ini, maka penelitian ini bersifat deskriptif, maksud-nya untuk memberikan gambaran atau keadaan hukum tentang rekonstruksi regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi berbasis nilai keadilan.
Selain dari sudut sifatnya, maka suatu penelitian dapat pula dilihat dari sisi bentuknya, yang dibedakan dalam 3 (tiga) jenis penelitian, yaitu: penelitian diagnostik, penelitian preskriptif dan penelitian evaluatif. Penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai hal yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu, disebut sebagai penelitian preskriptif,39 dan berhubung penelitian ini pada dasarnya untuk mendapatkan pemecahan masalah terhadap rekonstruksi regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi berbasis nilai keadilan, maka bentuk penelitian ini adalah preskriptif.
5. Jenis Data
37 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hlm 9.
38 Bambang Sunggono, Op, Cit, hlm 38.
39 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Loc. Cit.
Jenis data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua sumber yaitu sebagai berikut :
a. Data Primiar
Sebagai data primair dalam penelitian ini diperoleh secara langsung melalui wawancara ke sumber-sumber seperti penegak hukum yang menyidangkan perkara tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Disamping itu juga melakukan penelitian data dilapangan berupa jumlah penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, dengan melakukan perbandingan terhadap jumlah pidana uangpengganti yang dijatuhkan dengan realisasi dari pembayaran uang pengganti oleh terpidana.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari bahan-bahan berupa arsip, peraturan perundang-undangan serta buku-buku kepustakaan yang melakukan pengkajian terkait dengan pelaksanaan pidana uang pengganti. Untuk Bahan data sekunder ini, dalam penelitian hukum didapat dari dua sumber bahan yaitu :
1) Bahwan hukum primair, yaitu berupa undang-undang serta peraturan perundang-undangan lainnya yang sifatnya mengikat seperti :
a)Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
b)Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
c) Kitab Undang-undang Hukum Perdata
d)Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU nomor 8 tahun 1981).
e)Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku hukum yang ditulis oleh penelitia dan pakar dibidangnya yang memberikan penjelasan dan uraian terkait dengan bahan hukum primair. Adapun sumber bahan sekunder adalah berupa :
a)Bahan atau buku-buku yang terkait dengan materi penelitian.
b)Tulisan-tulisan hasil seminar, lokakarya, simposiun, dan pelbagai tulisan imiah yang ada kaitannya dengan materi penelitian.
3) Bahan Hukum tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang menjadi bahan pelengkap dengan karakteristik sebagai pemberi petunjuk atau penjelasan tambahan terhadap sesuatu bahan yang ada dalam bahan hukum primair maupun sekunder. Adapun yang disebut sebagai bahan hukum tersier dalam penlitian ini yang akan digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut :
a)Kamus hukum
b)Kamus besar Bahasa Indonesia.
6. Metode Pengumpulan Data
Jenis penelitian ini menggunakan data primer dan data skunder, untuk memperoleh data primair dilakukan dengan cara :
a. Studi lapangan
b. Observaasi lapangan dan c. wawancara
Untuk memperoleh data sekunder diperoleh dengan studi dokumen atau studi kepustakaan dilakukan sehubungan dengan jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, sehingga dilaksanakan dengan mengumpulkan literatur terkait yang diperoleh dari dokumen, baik nasional maupun internasional, yurisprudensi (putusan pengadilan), serta ajaran para sarjana (doktrin) di Indonesia dan di negara lain yang terdapat dalam buku-buku, artikel, jurnal ataupun dari internet.
7. Analisa Data
Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti, sebelum analisis data dilakukan, terlebih dahulu diadakan pengumpulan data, kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif dan ditafsirkan secara logis dan sistematis.
Dengan menggunakan kerangka berpikir deduktif dan induktif yang dapat membantu menjawab permasalahan penelitian, khususnya dalam taraf konsistensi dan konseptual sesuai dengan prosedur atau tata cara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh asas-asas hukum
yang berlaku umum menurut peraturan perundang-undangan.
Sehubungan hal ini, kesimpulan tentunya harus sesuai identifikasi masalah yang dirumuskan.
J. Sistematika Penulisan
Berdasarkan permasalahan dan pembahasan maka disertasi ini akan dibagi kedalam enam bab yaitu sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan, terdiri dari : Latar Belakang Permasalahan, rumusan masalah, tujuan penulisan, kegunaan penelitian berupa kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, kerangka teori yang terdiri grand theori yaitu teori keadilan restoratif, middle theori berupa teori penegak hukum dan aplicht theori berupa teori victimology, Selanjutnya kerangka konssep, kerangka pemikiran, orisinalitasi penelitian, metode penelitian yaitu berupa metode penelitian, spesifikasi penelitian, teknik pengumpulan data dan analisa data, dan terakhir sistimatika penulisan.
Bab II : Pada bab ini membahas mengenai Tinjauan Pustaka yang terdiri dari pengertian rekonstruksi hukum, Pengertian tentang Keuangan Negara dalam tindak pidana korupsi yaitu berupa keuangan negara, kerugian keuangan negara dan tindak pidana korupsi.
Bab III : Membahas tentang regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi belum berbasis nilai keadilan yang terdiri dari Kebijakan hukum pidana
dalam penanggulangan korupsi, pengaturan uang pengganti dan implementasinya dalam penegakan hukum pidana serta pengembalian kerugian keuangan negara dalam sistem peradilan pidana.
Bab IV : Bahwa pembahasan pada Bab ini tentang kelemahan-kelemahan regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi saat ini terdiri dari tidak optimalnya pengembalian keugian keuangan negara dan kasus terkait pengembalian kerugian keuangan negara.
Bab V Bahwa pembahasan pada Bab ini tentang rekonstruksi regulasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi berbasis nilai keadilan, dimana pembahasan terdiri dari beberapa hal yaitu Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Persfektif Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Berbagai Negara, Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Menurut Hukum IslaKonsep Ideal (Rekonstruksi Hukum) Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Berbasis Nilai Keadilan.
Bab VI : Pada bab ini merupakan bab Penuntup yang terdiri dari Kesimpulan, Saran dan Implikasi kajian disertasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Rekonstruksi Hukum
Kata rekonstruksi terdiri dari dua kata yaitu re dan konstruksi. Jadi sebelum membahas apa itu rekonstruksi, terlebih dahulu dibahas apa yang dimaksud dengan konstruksi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘konstruksi’ diartikan sebagai pembangunan , sedangkan kata ‘re’
pada kata konstruksi menjadi ‘rekonstruksi’ bermakna pengembalian seperti semula.40 Berangkat dari pengertian sebagaimana di kutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka pengertian rekonstruksi adalah upaya membangun kembali dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya.
Rekonstruksi atau membangun kembali yang dimaksud disini adalah hukum. Hukum itu sendiri menurut Utrecht adalah himpunan peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.41 Jadi disini yang dimaksud dengan rekonstruksi hukum adalah membangun kembali suatu peraturan yang dianggap belum mampu menjadi solusi untuk
40 Departemen Pendidikan Nasional, Loc.cit
41 C.S,T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, 1989, Balai Pustaka, hal. 38
menyelesaikan suatu persoalan hukum yang ada. Merekonstruksi hukum yang dimaksud disini adalah membuat konsep yang ideal terkait dengan persoalan pengembalian kerugian keuangan negara.
Hukum itu dalam sejarah perjalanannya selalu berkembang dan berusaha menemukan bentuk hukum yang tepat. Perubahan hukum tersebut terjadi karena banyak faktor dan salah satunya adalah faktor perkembangan masyarakat itu sendiri. Apalagi dengan perkembangan kemajuan teknologi informasi yang mana segala aktivitas manusia berlangsung dengan cepat, transparan serta tanpa dibatasi wilayah (borderless).42 Sehingga perubahan hukum dipandang perlu dan keharusan, apalagi hukum yang ada dianggap sudah tidak mampu lagi memecahkan persoalan, maka perlu ditemukan hukum yang lebih tepat dan efisien, dan hal ini lah yang membuat perlu adanya reformasi hukum dengan cara merekonstruksi hukum itu sendiri untuk menemukan konsep ideal dari hukum.
B. Penegakan Hukum
Pada saat Indonesia meredeka tahun 1945, salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah menjadikan Indonesia sebagai Negara hukum. Cita-cita Negara hukum tersebut diamanatkan dalam Pembukaan UUD maupun dalam Batang Tubuh UUD 1945. Undang-Undang Dasar negara kita menyebutkan bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah Negara Hukum
42 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung, 2005, Refika Aditama, hal. 17.
yang demokrasi (democratische rechtstaat) dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama lain43 Dalam naskah perubahan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa paham negara hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (3) berkaitan erat dengan paham negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materiil sesuai dengan bunyi alenia keempat Pembukaan dan Ketentuan Pasal 34 UUD 1945. Pelaksanaan paham negara hukum materiil akan mendukung dan mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia44
Penyebutan istilah Negara hukum adalah bertujuan bahwa Indonesia bukan Negara kekuasaan (machtstaat). Disini juga mengandung pemahaman bahwa Negara Indonesia hukum sebagai supremaasi. Adanya pemisahaan dan pembatasan kekuasan yang diatur dalam konstitusional, adanya jaminan hak asasi manusia, adanya konsep peradilan yang mandiri dan bebas yaitu tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang.
Negara hukum Indonesia memiliki konssep Negara hukum yang dilandasi oleh Pancasila. Dimana Pancasila dipahami sebagai nilai-nilai dasar bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun nilai-nilai menjadi dasar
43 Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim dalam Sistim Penegakan Hukum, Makalah disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema “Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan” Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI. Denpasar, 14 -18 Juli 2003, hlm. 3.
44 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Hasil Perubahan dan Naskah Asli UUD 1945, dalam Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2005), hlm. 46
kehidupan bangsa Indonesia tersebut adalah Ketuhanan Yang Maha Esa;
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya bahwa dalam menjalankan Negara hukum Indonesia harus memperhatikan aspek aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan.
C. Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi 1. Keuangan Negara
Istilah keuangan negara dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia pertama kali tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945, tepatnya pasal 23 ayat (4) dan ayat (5). Ayat (5) menyebutkan sebagai berikut :
Untuk memeriksa tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Persoalan yang muncul adalah apakah yang dimaksud dengan keuangan negara? Sebab Undang Undang Dasar 1945 sendiri tidak memberikan defenisi apa yang dimaksud dengan keuangan negara tersebut. Ketentuan diatas hanya menyebutkan tugas untuk memeriksa keuangan negara dilakukan oleh suatu badan yang diberi nama Badan Pemeriksa Keuangan. Istilah badan Pemeriksa Keuangan Negara merupakan terjemahan dari Algemene Rekenkamer. Hal ini dapat dilacak
dari pendapat yang disampaikan oleh Supomo dalam rapat besar Dokurtzu Wyunbi Coosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 15 Juli 1945, yaitu sebagai berikut :
“Untuk memeriksa tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang dulu dinamakan Rekenkamer, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang.”45
Apabila dipahami secara terbatas, pengertian keuangan negara yang disebutkan dalam Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 terbatas pada Anggaran Pendapat Belanja Negara. Pertanyaannya bagaimana dengan keuangan yang ada pada badan-badan hukum lain atau keuangan yang dikelola daerah? Apakah termasuk juga keuangan negara sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 tersebut? Menjawab permasalahan ini akan kita lakukan penafsiran secara sistematis yaitu sebagai berikut :
Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 sebelum diamandemen menyebutkan : Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan
45 Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Jakarta, 1959, Penerbit Yayasan Prapantja, hal. 311.
anggaran tahun lalu. Selanjutnya pada ayat (4) menyebutkan Hal keuangan negara selanjutnya iatur dengan undang-undang.
Setelah diamandemen Pasal 23 menjadi 3 ayat yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Sementara itu untuk Pasal 23 ayat (4) dalam amandemen UUD 1945 berubah menjadi Pasal 23 C yang isi lengkapnya menjadi : Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang. Sehingga apabila diperhatikan secara seksama, maka keuangan negara dalam Anggaran Pendapat dan Belanja Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, sementara perihal keuangan negara diatur
dengan undang-undang. Disini terlihat ada perbedaan dengan penggunaan istilah ditetapkan dengan diatur. Hal ini melahirkan penafsiran apakah Anggaran pendapat dan Belanja Negara dan keuangan negara sesuatu yang berbeda atau sama. Menurut A. Hamid S.Attamimi46 jika memang dua hal yang berbeda tentu tidak perlu diatur dalam ayat (1) dan ayat (4) secara terpisah, cukup satu ayat saja. Jadi pada ayat (1) undang- undang yang menetapkan APBN tersebut bersifat formal sedangkan pada ayat (4) undang-undang yang mengatur tersebut disamping formal juga bersifat material.
Lebih jelasnya bisa dilihat dalam penjelasan ayat (5) yang mengatakan bidang konkret tanggungjawab pemerintah dalam keuangan negara (cara mempergunakan uang belanja negara yang sudah disetujui DPR agar sepadan dengan UU APBN). Karena ayat (5) yang menyebutkan tentang keuangan negara itu oleh penjelasannya disebut bidang konkret penggunaan APBN dalam pengertian keuangannegara sebagai mana terdapat dalam ayat (4) dan demikian juga dengan ayat (5) yang pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan keuangan negara adalah antara lain APBN. Dengan perkataan lain, pengertian keuangan negara meliputi APBN.47
2. Kerugian Keuangan Negara
46 A. Hamid S.Attamimi, Pengertian Keuangan Negara Menurut UUD 1945 Pasal 23 yang dimuat oleh Arifin P.Soeria Atmadja dalam Bukunya, Keuangan Publik dalam Persepektif Hukum, teori, Praktik dan Kritik, Edisi Ketiga, Jakarta, 2013, PT RajaGrafindo Persada, hal.10
47 Ibid hal. 11