2.3.1. Pengertian Pola Asuh Ibu
Pola asuh adalah seperangkat keterampilan dan perilaku untuk mempersiapkan anak agar berfungsi dalam “situasi fisik, ekonomi, dan psikologis yang diterima secara sosial yang merupakan karakteristik budaya di mana mereka akan bertahan dan berkembang.” Perilaku pengasuhan kunci untuk periode anak usia dini meliputi: memastikan nutrisi dan aktivitas fisik yang memadai, memantau aktivitas anak-anak, mempromosikan keamanan, menggunakan disiplin yang tepat, menunjukkan kehangatan dan kepekaan, menetapkan rutinitas dan terlibat dalam respons kontingen dan interaksi interpersonal untuk membangun dan mempertahankan emosi (Schuster M.A., 2017).
Dari hasil penelitian Lia Okti Wardani, (2018) Pola asuh orang tua pada anak usia prasekolah di TK-RA Al-Husna Yogyakarta bahwa orang tua dengan pola asuh tertinggi pada pola asuh permisif yaitu 19 orang dengan persentase (59,4%), sedangkan pola asuh demokratis yaitu 7 orang
19
dengan persentase (21,9%), dan untuk pola asuh otoriter yaitu 6 orang dengan persentase (18,8%).
2.3.2. Jenis-Jenis Pola Asuh Ibu
Anak-anak menanggapi lingkungan mereka dengan berbagai cara.
Temperamen anak sangat berat mempengaruhi tanggapannya, tetapi gaya pengasuhan juga telah terbukti mempengaruhi anak dan menyebabkan respon perilaku tertentu. Gaya pengasuhan sering diklasifikasikan sebagai:
otoriter, permisif, dan otoritatif atau demokratis (marilyn hockenberry, 2017).
1. Pola asuh otoriter (parent centered)
Orang tua yang otoriter berusaha mengendalikan perilaku dan sikap anak-anaknya dengan perintah yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Mereka menetapkan aturan dan peraturan, atau standar perilaku, dan mengharapkan mereka untuk mengikutinya dengan ketat dan tanpa pertanyaan. Pesannya adalah: "Lakukan karena saya berkata begitu."
Hukuman tidak perlu fisik tetapi mungkin penarikan tegas cinta dan persetujuan. Pelatihan yang hati-hati sering kali menghasilkan penyesuaian yang kaku perilaku pada anak yang cenderung sensitif, pemalu, pemalu, pendiam, dan penurut. Mereka lebih cenderung sopan, setia, jujur, dan dapat diandalkan tetapi patuh. Perilaku ini lebih biasanya diamati ketika pengawasan dan kasih sayang yang ketat menyertai otoritas orang tua. Jika tidak, ini gaya pengasuhan dapat dikaitkan dengan perilaku menantang dan antisosial (marilyn hockenberry, 2017).
Orang tua yang otoriter menetapkan aturan yang ketat dan mengharapkan anak ikuti mereka “Karena saya bilang begitu,” sering menghukum karena tidak menurut, mengakibatkan seorang anak yang mungkin tampak mengikuti aturan tetapi menyimpan kemarahan di dalam, mengakibatkan kompetensi sosial, pengaturan diri, dan harga diri (Luxton, 2018).
2. Pola asuh permisif (children centered)
Orang tua yang permisif memberikan sedikit atau tidak ada kontrol atas tindakan anak-anak mereka. Mereka menghindari memaksakan standar perilaku mereka sendiri dan membiarkan anak-anak mereka mengatur aktivitas mereka sendiri sebanyak bisa jadi. Orang tua ini menganggap diri mereka sebagai sumber daya bagi anak-anak, bukan panutan. Jika aturan memang ada, orang tua menjelaskan alasan yang mendasarinya, memperoleh pendapat anak-anak, dan berkonsultasi mereka dalam prose pengambilan keputusan. Mereka menerapkan disiplin yang longgar dan tidak konsisten; jangan setel masuk akal batas;
dan jangan mencegah anak-anak mengganggu rutinitas rumah. Orang tua ini jarang menghukum anak-anak (marilyn hockenberry, 2017).
Dalam pola asuh permisif, orang tua bersikap hangat, ingin menjadi teman anak mereka, tetapi longgar dengan aturan, menyebabkan anak- anak mengalami kesulitan dalam pengaturan diri, cenderung agresif dan impulsif, dan lebih banyak masalah sosial. Orang tua yang tidak terlibat memenuhi kebutuhan dasar anak, tetapi menuntut sedikit dari anak dan tidak hadir atau responsif, mengakibatkan anak-anak kurang kontrol diri dan memiliki harga diri atau kepercayaan diri yang rendah (Luxton, 2018).
3. Pola asuh demokratis (autoritative)
Orang tua otoritatif menggabungkan praktik dari kedua gaya pengasuhan yang dijelaskan sebelumnya. Mereka mengarahkan perilaku dan sikap anak-anaknya dengan menekankan alasan aturan dan penyimpangan yang memperkuat secara negatif. Mereka menghormati individualitas setiap anak dan mengizinkan anak untuk menyuarakan keberatan terhadap standar atau peraturan keluarga. Kontrol orang tua tegas dan konsisten tetapi ditempa dengan dorongan, pengertian, dan keamanan. Kontrol difokuskan pada masalah, bukan pada penarikan cinta atau ketakutan akan hukuman. Orang tua ini mendorong
“pengarahan batin”, hati nurani yang mengatur perilaku berdasarkan perasaan bersalah atau malu karena melakukan kesalahan, bukan pada
21
rasa takut untuk ditangkap atau dihukum. Standar realistis orang tua dan harapan yang masuk akal menghasilkan anak-anak dengan harga diri tinggi yang percaya diri, tegas, ingin tahu, puas, dan sangat interaktif dengan anak lain (marilyn hockenberry, 2017).
Dalam pola asuh otoritatif, orang tua hadir dan menetapkan batasan tetapi tetap mendengarkan anak dan memberikan kehangatan dan dukungan, sehingga menghasilkan anak yang ramah, mandiri, dan mampu mengendalikan diri. Orang tua yang otoriter menetapkan aturan yang ketat dan mengharapkan anak untuk mengikutinya “Karena saya bilang begitu,” sering menghukum karena tidak mematuhi, mengakibatkan anak yang mungkin tampak mengikuti aturan tetapi menyimpan kemarahan di dalam, mengakibatkan kompetensi sosial yang lebih rendah, pengaturan diri , dan harga diri (Luxton, 2018) . 2.3.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Ibu
Beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh menurut Edward dalam Herlina yakni (Edward, 2013):
1. Tingkat pendidikan dan pengetahuan orangtua serta pengalaman sangat berharga dalam mengasuh anak.
2. Lingkungan, budaya, stress ibu dalam menjalankan pola asuh, hubungan suami istri yang kurang harmonis, aktivitas ibu yang sangat mempengaruhi hubungan dengan anggota keluarga termasuk anak.
3. Faktor usia karena terlalu muda ataupun tua menyebabkan tidak dapat menjalankan peran secara optimal
2.3.4. Pengukuran Pola Asuh Ibu
Ada beberapa alat ukur dalam mengukur pola asuh orangtua, antara lain : 1. The Parenting Style Inventory II (PSI II) oleh Nancy Darling Ph.D dan
Teru Toyokawa (1999). Alat ukur ini mengukur 15 item berdasarkan tiga dimensi : Responsivenees, autonomy granting dan Demandingness.
2. Parental Bonding Instrumen (PBI) oleh Gordon Parker, Hilary Tupling dan L.B.Brown (1979). Alat ukur ini mengukur 25 item berdasarkan 2
dimensi, yaitu dimensi Care yang terdiri dari 12 item dan dimensi Overprotections yang terdiri dari 13 item.
3. The Parental Authority Questionnaire (PAQ) oleh Buri (1991) Alat ukur ini mengukur 30 item berdasarkan 3 dimensi, yaitu dimensi Otoriter, dimensi Otoritatif dan dimensi Permisif (Rizawati, 2017).
kuesioner pola asuh yang peneliti gunakan adalah Kuesioner Parent Authority Questionnaire (PAQ) yang dikembangkan oleh Buri (1991) dengan mengacu pada konsep jenis pola asuh (yang diadopsi dari Baumrind, 1967 dan Amin & Harianti, 2018) yaitu authoritative, authoritarian, dan permissive. Kemudian diadaptasi oleh peneliti ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga lebih mudah dipahami oleh responden. PAQ dibagi menjadi dua bentuk, satu untuk mengukur pola pengasuhan ibu (PAQ For Mother), tetapi pernyataan yang diajukan dan cara pengisian bagi setiap bentuk adalah sama. PAQ berisi 30 items pernyataan untuk setiap bentuk (10 item authoritative, 10 item authoritarian, dan 10 item permissive).
23