23
penyebab keharamnya.47
Akar kata yang menjadi sumber kata riba, digunakan dalam Al-Qur an sebanyak dua puluh kali (QS. Al-Baqarah [2]:
265, 275, 276, 278; [3]: 130; An- [4]: 161; Ar- Ra d [13]: 17; An-Nahl [16]: 92; Al-Isra [17]: 24; Al- Hajj [22]:
5; 23:50; 26:18; 30:39; 41:39; 69:10). Dari dua puluh itu, istilah riba digunakan delapan kali (QS. Al-Baqarah [2]: 275, 276, 278;
[3]: 130; An- [4]: 161; Ar-R m [30]: 39). Akar kata dalam Al-Qur an memiliki makna tumbuh (QS. Al- Hajj [22]: 5), menyuburkan (QS. Al-Baqarah [2]: 276; Ar-R m [30]: 39), mengembang (QS. Ar-Ra d [13]: 17), dan . (QS. Al-Isra [17]: 24; 26:18, menjadi besar dan banyak (QS. An-Nahl [16]: 92). Akar kata ini juga digunakan dalam arti dataran tinggi (QS. Al-Baqarah [2]: 265; 23:50).
Penggunaan-penggunaan tersebut tampak secara umum memiliki satu makna, yaitu
kualitasnya.48
Sedangkan secara terminologis, menurut ash-Shabuni, riba adalah tambahan yang diambil oleh pemberi hutang dari penghutang sebagai imbalan dari batasan waktu yang diberi.49 Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara bahasa maupun secara istilah menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan dalam suatu akad transaksi tertentu di mana pengambilan tambahan tersebut tanpa disertai imbangan tertentu.
Dengan bahasa lain, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok tanpa transaksi pengganti yang meligitimasi adanya penambahan tersebut.
47M. Quraish Shihab, Membumikan Al-
Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2013), h. 405.
48Abdul Ghofur, "Konsep Riba dalam Al-Qur'an Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Ekonomi Islam, Vol. 4, No. 1, Mei 2016, h. 4.
49Muhammad Ali ash-Sh b ni, Shafwah at- (Beirut: Daarul -Karim, 1981), Jilid 1, h. 368.
B. Pembagian Riba
Para Fuqaha membagi riba menjadi dua, yaitu riba fadhl (riba jual beli) dan riba (riba hutang/ pinjam-meminjam).
Riba Fadhl adalah tambahan pada salah satu dari dua alat tukar (barang) yang satu jenis.50
Jahiliyah adalah riba yang disebabkan oleh adanya penundaan (hutang) dan kelebihan yang terjadi pada harta riba. Sedangkan yaitu riba fadhl, riba dan riba yad. Namun pada substansinya, riba yad masuk dalam kategori riba fadhl.51
Ath-Thabari mengatakan, ada dua jenis riba, yakni pertama, riba jual beli, menurutnya riba ini termasuk riba yang dibolehkan, karena ada tambahan pada jual beli, yang tambahannya tidak bertambah, baik kalau dibayar dengan segera ataupun tidak (fadhl). Dan kedua, riba dengan penundaan pengembalian hutang disertai dengan sejumlah tambahan, menurutnya, riba ini termasuk riba yang diharamkan (riba yang berlipat ganda, dalam surah [3]: 130), karena mengandung tambahan serta adanya penundaan waktu ( ).52 Pendapat ini juga sama dengan yang dikemukakan Muhammad Rasyid Ridha, Ia haram karena asalnya memang haram, seperti riba , dan adakalanya haram karena bisa mengantarkan pada keharaman (sadd ad- ), seperti riba fadhl. Beliau berpandangan, bahwa sesuatu yang diharamkan, karena asalnya memang haram, tidak dibolehkan kecuali kalau ada keterdesakan (dharurat), seperti makan bangkai, daging babi dan minum minuman keras.
50Sulaemang L, Hukum Riba Dalam Perspektif Hadis Jabir RA. Jurnal Al- , Vol. 8, No. 1, Januari 2015, h. 162.
51Ade Jamarudin, dkk.,
Perspektif Al- Jurnal Shidqia Nusantara, Vol. 1, No. 1, Maret 2020, h. 105.
52Muhammad bin Jarir ath-Thabari, - -
at al- (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1994), h. 326.
Sedangkan yang diharamkan, karena sadd ad- , bisa dimubahkan karena adanya kebutuhan dan kepentingan mendesak. Karenanya, dia berpandangan, bahwa adanya kebutuhan saja bisa mengantarkan pada kebolehan jenis riba fadhl 53
Rasyid Ridha memandang bahwa riba mengandung kezhaliman, karena sifatnya yang berlipat ganda. Ini juga persis yang dikatakan gurunya, Muhammad Abduh, yang mengatakan, sejenis, yang pengambilannya dengan berlipat ganda pada Rasyid Ridha menambahkan, tambahan itu diberikan tidak didasarkan atas dasar suka sama suka, tetapi atas dasar keterpaksaan.54
Menurut u
dalam Al- -ayat riba dalam Al-
Qur'an, seperti surah Al-Baqarah dan menunjuk kepada pengertian riba ini. Hal ini sesuai dengan praktek yang berlaku pada zaman jahiliah, ketika ayat-ayat tersebut turun.55 Sedangkan riba fadhl keterangannya terdapat dalam hadis Nabi SAW., berbunyi:
-Khudri, Rasulullah bersabda dengan melarang jual beli (tukar menukar) emas dengan emas, tepung dengan tepung, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam kecuali sama dan seimbang.
53Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Dar al-Manar, 1376), Jilid IV, h. 125.
54Ibid., h. 108.
55Abdur Rahman al-Jaziri, al- - , (Beirut:
Dar al-Turats al- , 1990), Jilid II, h. 246.
Muslim).56
Hadis inilah yang kemudian menjadi dalil atas adanya riba fadl. Imam Ibnu Rusyd memberikan penafsiran atas hadits di atas dengan mengatakan bahwa maksud hadis tersebut ialah melarang setiap kelebihan atau penambahan barang sejenis dalam tukar menukar barang tersebut.57
l- Jauziyah bahwa riba itu ada dua macam, yaitu: jali (jelas) dan khafi (buram). Riba jali jelas diharamkan, karena adanya bahaya yang besar yang ada didalamnya. Riba jali adalah riba . Mengenai riba khafi yang juga diharamkan, karena bisa mengantarkan pada praktek riba jali. Jadi, diharamkannya yang pertama, itulah yang sebenarnya menjadi tujuan, sedangkan diharamkannya yang kedua karena menjadi prasarana (yang mengantarkan ke sana).58
-Shabuni mengatakan riba yang diharamkan itu ada dua riba dan riba fadhl.
Riba adalah seorang memberi pinjaman dengan bunga atas tempo tertentu dan riba fadhl adalah adanya tambahan atas barang yang ditukar (sejenis) dengan ditangguhkan.59
56Sulaemang L, Hukum Riba Dalam Perspektif Hadis Jabir RA. Jurnal Al- , Vol. 8, No. 1, Januari 2015, h. 159.
57Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Jakarta:
Akbar Media, 2017), Jilid II, h. 97.
58Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al- , (Bangil: al-Izzah, 1997), h. 183.
59 -
Min al- , Jilid 1, (Beirut: Muassasah Manahil al-Irfan, 1980), h. 396.
28 BAB IV
-SHABUNI TENTANG AYAT-AYAT RIBA DALAM KITAB SHAFWAH AT-
Di dalam Al-Qur'an, kata riba diulang sebanyak delapan kali dalam empat surah yang berbeda, yaitu sekali pada Surah Ar- R m ayat 39, sekali pada Surah An- ayat 161, sekali pada Surah ayat 130, pada Surah Al-Baqarah tiga kali yaitu pada ayat 275, 276 dan pada ayat 278.60 Keempat surah tersebut secara kronologis menjelaskan empat tahapan larangan riba dalam Al-Qur'an. Adapun analisis penafsiran Muhammad 'Ali ash- -ayat riba adalah sebagai berikut:
1. QS. Ar-
Riba yang kamu berikan agar berkembang pada harta orang lain, tidak akan berkembang dalam pandangan Allah.
Adapun zakat yang kamu berikan dengan niat memperoleh ridha Allah, (berarti) mereka adalah orang yang melipatgandakan
61
Menurut Muhammad Ali ash-Sh b ni barangsiapa yang memberi uang dengan cara riba agar uang tersebut bertambah, maka hal itu tidak akan bertambah dan tidak pula dilipatgandakan di sisi Allah, sebab itu adalah usaha yang buruk dan tidak diberkahi Allah SWT. kemudian sedekah dan kebaikan yang di berikan dengan ikhlas karena Allah, maka akan memperoleh
60M. Quraish Shihab, Membumikan Al-
Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2013), h. 405.
61Departemen Agama RI, Al- (Jakarta:
Departemen Agama, 2019), h. 308.
ganjaran pahala yang berlipat ganda. Dalam menafsirkan ayat ini Muhammad Ali ash-Sh b ni juga memberikan pernasiran yang sama seperti pada surah An-Nahl [16] ayat 67, diikarenakan tahapan dari pengahraman riba sama halnya dengan tahapan perngaraman khamar dan ayat ini merupakan tahapan pertama.62 Allah menurunkan surah Ar-R m ayat 39 di Mekkah yang pada prinsipnya tidak secara langsung menyatakan larangan riba, tetapi menunjukkan kemurkaan Allah terhadap riba dan tidak berpahala di hadapan Allah SWT.63
Sama halnya dengan Ibnu Jarir ath-Tabari menjelaskan ayat tersebut bahwa riba tidak bertambah di sisi Allah karena tidak dimaksudkan untuk mendapatkan ridha Allah SWT., kemudian zakat berarti memberi sedekah, maka orang yang bersedekah dengan hartanya karena ingin mencari ridha Allah SWT., dia akan mendapat pahala yang berlipat ganda.64 Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di memberikan permisalan, memberi dengan maksud agar dia akan memberimu imbalan lebih, maka amal seperti itu tidak berkembang di sisi Allah karena tidak ada syarat di dalamnya, yaitu keikhlasan. Amal yang di niatkan agar lebih dihormati manusia dan semua itu tidak bertambah di sisi Allah. Kemudian apa yang kamu berikan berupa zakat yaitu harta yang membersihkanmu dari akhlak tercela dan kesengsaraan serta terpenuhinyakebutuhan para penerimanya, yang kamu maksud dengan zakat adalah mengejar
62Muhammad Ali ash-Sh b ni, Shafwah at- (Beirut: Daarul -Karim, 1981), Jilid 2, h. 479.
63 -
- , Jilid 1, (Beirut: Muassasah Manahil al-Irfan, 1980), h.
389-390.
64Muhammad bin Jarir ath-Thabari, - -
at al- (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1994), h. 108.
ridha Allah, kamu adalah orang yang pahalanya dilipatgandakan.65
Beda halnya dengan Ibnu Katsir dan Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan dari ayat tersebut pemberian yang tidak baik adalah yang dijelaskan dalam firman Allah SWT.
Artinya:
(Al- Muddatstsir [74]: 6).66
Jangan memberikan hadiah dengan maksud mendapatkan imbalan lebih dari yang kamu berikan. Tindakan ini dilarang untuk Nabi Muhammad SAW., tapi halal dan diizinkan untuk orang lain selain Nabi SAW., yaikni tidak mendapat pahala. Ibnu Abbas dan ulama lainnya serta adz-Dhahak berkata:
semacam ini boleh dilakukan, walaupun tidak berpahala. Hanya saja Rasulullah SAW. dilarang melakukan hal ini secara khusus.67
Adapun pemberian yang baik dan pemberinya mendapat pahala, yaitu zakat sebagaimana dijelaskan lebih lanjut pada ayat berikutnya yaitu bersedekah dengan ikhlas dan murni karena Allah SWT. barulah baginya pahala yang dilipatgandakan dan pahala yang terbaik dari Allah SWT. firman-Nya di ayat lain, Artinya:
pinjaman yang baik, maka Allah akan mengembalikannya
berlipat- (Al-
Hadid [57]: 11).68
65Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di,
, (Riyadt: Darussalam, 2002), h. 506-507.
66Departemen Agama RI, Al- (Jakarta:
Departemen Agama, 2019), h. 575.
67Muhammad Nasib Ar- Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 769.
68Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 11, h. 116.
2. QS. An- -161
Artinya: -orang Yahudi, Kami
mengharamkan atas mereka (makanan-makanan) yang baik yang (dahulu) pernah dihalalkan bagi mereka; juga karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah, melakukan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya; dan memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang
69
Muhammad 'Ali ash- ayat ini
merupakan kecaman kepada kaum yahudi atas kezhaliman dan dosa berat yang dilakukan, setelah itu diharamkan segala jenis makanan enak yang sebelumnya dihalalkan bagi mereka, karena mereka menghalangi banyak orang untuk memeluk agama Allah., dan karena mereka memakan riba, padahal Allah telah melarang riba dalam Taurat. Orang-orang kafir mereka memakan harta orang dengan jalan bathil, yaitu melalui suap, korupsi dan cara- cara ilegal lainnya. Maka disiapkan siksaan yang berat untuk orang-orang kafir di antara orang Yahudi.70
Ayat ini adalah tahapan kedua dari pengharaman riba diturunkan di Madinah yang mengajarkan kepada kita tentang perilaku orang Yahudi yang dilarang melakukan riba tapi tetap melakukannya sehingga Allah memberi balasan yang keras
69Departemen Agama RI, Al- (Jakarta:
Departemen Agama, 2019), h. 103.
70Muhammad Ali ash-Sh b ni, Shafwah at- (Beirut: Daarul -Karim, 1981), Jilid 1, h. 318.
terhadap orang-orang Yahudi yang terus melakukan riba.71 Para ash-Shabuni terkait ayat tersebut bahwa Allah sudah mengisyaratkan riba itu dilarang atau diharamkan bagi orang Yahudi, tetapi belum ditemukan nash secara mutlak yang menjelaskan bahwa riba itu haram bagi kaum Muslim.72
Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan bahwasanya perbuatan aniayanya orang Yahudi, adalah telah melanggar perjanjiannya dengan Allah, kufur dengan ayat-ayat Allah, membunuh para , menganggap Maryam sebagai bukan perempuan suci, dan melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah kepada mereka dalam kitab-Nya (Taurat), yaitu berupa mencari sumber nafkah dengan cara yang tidak baik, maka makanan yang baik dan makanan lain yang telah dihalalkan bagi mereka Allah haramkan, sebagai bentuk siksaan bagi mereka lantaran kezhaliman mereka yang telah Allah informasikan di dalam kitab-Nya.73
3.
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada
74
Para Ulama menekankan pembahasan surah
ini pada kata (adh afah). Dari bahasan tersebut,
71 - al
- , Jilid 1, (Beirut: Muassasah Manahil al-Irfan, 1980), h.
390.
72Fitri Setyawati, Riba Dalam Pandangan Al- dan Hadis AL- INTAJ, Vol. 3, No. 2, September 2017, h. 258.
73Muhammad bin Jarir ath-Thabari, - al-
at al- (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1994), h. 607.
74Departemen Agama RI, Al- (Jakarta:
Departemen Agama, 2019), h. 66.
kemudian memunculkan dua kelompok besar, pertama, ulama yang memegang, bahwa penyebutan kata tersebut hanya merupakan informasi tentang perilaku orang jahiliyah (Arab pra- Islam), dan tidak menjadi syarat keharaman riba. Kedua,
sebaliknya, menjadikan adh afah)
sebagai syarat haramnya riba. Muhammad Ali ash-Sh b ni menjelaskan bahwa ayat ini merupakan larangan Allah kepada hamba-Nya yang beriman untuk tidak mengambil riba. Kemudian
adh afah) bukan untuk
membatasi dan bukan untuk syarat, akan tetapi itu semata-mata untuk menerangkan keadaan yang terjadi pada orang-orang masa Jahiliyah dan untuk mengecam mereka, bahwasanya transaksi yang mereka praktikkan dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk kezhaliman, yaitu mereka mengambil riba dengan melipat gandakan. Maka takutlah kalian akan siksa Allah dengan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Supaya kalian menjadi orang-orang yang beruntung.75
Berbeda halnya dalam pandangan Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha memahami bahwa tidak semua riba adalah haram. Riba yang diharamkan adalah bentuk riba yang dipraktikkan pada zaman pra-Islam yang cenderung berlipat ganda (adh afah). Oleh sebab itu, menurut mereka, penambahan yang pertama dalam suatu utang tertentu adalah halal, tetapi jika pada saat jatuh tempo, ditetapkan untuk menunda jatuh tempo tersebut dengan imbalan suatu tambahan lagi, maka tambahan kedua ini yang diharamkan.76
Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan juga rangkaian sejarah perilaku orang Arab pra-Islam tentang si penghutang yang belum
75Muhammad Ali ash-Sh b ni, Shafwah at- (Beirut: Daarul -Karim, 1981), Jilid 1, h. 229.
76Abdul Ghofur, "Konsep Riba dalam Al-Qur'an Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Ekonomi Islam, Vol. 4, No. 1, Mei 2016, h. 14.
inilah riba yang berlipat ganda (adh afah) yang diharamkan Allah. Untuk menguatkan pendapat ini, ath-Thabari mengutip sebuah hadits, yang salah satunya diriwayatkan Mujahid, yang menyatakan bahwa riba
adalah riba Jahiliyyah. Maka riba yang haram, menurutnya, hanyalah riba yang dipraktikan di masa Jahiliyyah, sedangkan riba jenis lain tidak diharamkan.77
Penulis lebih cenderung memilih pendapat dari penafsiran ash- i Menurut Muhammad 'Ali ash- i, ayat tersebut termasuk ayat Madaniyah, yang secara jelas menjelaskan larangan riba, tetapi bersifat juz'i (parsial) dan bukan kulli (menyeluruh). Karena larangan tersebut hanya ditujukan kepada riba al-fahisy atau riba yang paling buruk dan menjijikkan ( ), bukan untuk syarat, akan tetapi itu semata-mata untuk menerangkan keadaan yang terjadi pada orang-orang masa Jahiliyah.78
Menyikapi hal tersebut M. Quraish Shihab berkmentar bahwa sekalipun teks merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan adalah firman Allah wa dzaru ma baqiya min al riba (dan tinggalkanlah dari sisa-sisa riba) QS. Al-Baqarah [2]: 278, bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan Al- Maka berarti bahwa kata bukan syarat tetapi penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktekkan. Namun perlu digarisbawahi bahwa penambahan atau kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa
turunnya Al- -
77Muhammad bin Jarir ath-Thabari, - -
at al- (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1994), h. 327.
78 -
- , Jilid 1, (Beirut: Muassasah Manahil al-Irfan, 1980), h.
390.
Baqarah [2]: 279, yaitu latazhlimun wa latuzhlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).79
Kmudian ditinjau dari munasabah ayat Wahbah az- Zuhaili menjelaskan bahwa Allah SWT. menggabung larangan ini dengan perintah bagi orang beriman untuk bertakwa agar mereka selamat dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat.
Kemudian Allah SWT. lebih memperkuat larangan ini pada ayat selanjutnya QS. [3]: 131-133 dengan mengancam siksa api neraka dan memperingatkan mereka untuk melindungi diri dari siksa api neraka serta perintah untuk menaati Allah SWT dan Rasul-Nya seraya memohon ampunan kepada-Nya dan Al- Qur'an menyebutkan bahwa orang yang menafkahkan hartanya (di waktu lapang ataupun sempit), menahan amarah, memaafkan orang, dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik QS.
[3]: 134.80
4.
QS. Al-Baqarah [2] Ayat 275-281Artinya: Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang- orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
79M. Quraish Shihab, Membumikan Al-
Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2013), h. 413.
80Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, h. 418.
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 275)81
Muhammad Ali ash-Sh b ni menjelaskan bahwa orang- orang yang berinteraksi dengan riba sama seperti manusia yang menghisap darah kemudian mereka tidak dapat berdiri pada hari kiamat, melainkan menderita dan kesakitan. Mereka bangkit dan terjatuh dan tidak mampu berdiri dengan tegak, mereka berjalan sempoyongan. Itu merupakan balasan bagi mereka yang disebabkan karena mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. "Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." Allah menghalalkan jual-beli karena ada transaksi tukar menukar hal-hal yang bermanfaat dan mengharamkan riba karena dapat membahayakan individu dan masyarakat. Riba merupakan kelebihan harta hasil jerih-payah orang si penghutang.82
Dalam kitab Raw n Tafs r yat al Ahk m Min al- n, dijelaskan bahwa diserupakannya para pemakan riba dengan orang-orang yang kesurupan adalah suatu ungkapan yang halus sekali. Maksudnya, Allah SWT. memasukkan riba ke dalam perut mereka itu, sehingga memberatkan mereka hingga sempoyongan, bangun, dan jatuh lagi. Yang demikian itu akan menjadi tanda mereka nanti di hari kiamat sehingga semua orang akan mengenalnya.83
81Departemen Agama RI, Al- (Jakarta:
Departemen Agama, 2019), h. 47.
82Muhammad Ali ash-Sh b ni, Shafwah at- (Beirut: Daarul -Karim, 1981), Jilid 1, h. 174.
83 -
- , Jilid 1, (Beirut: Muassasah Manahil al-Irfan, 1980), h.
387.
Muhammad 'Ali ash-
orang-orang yang telah berhenti dari mengambil riba dikarenakan telah sampai kepadanya larangan Allah SWT. maka apa yang telah diambilnya dahulu sebelum diharamkan dan itu urusannya diserahkan kepada Allah. Jika Allah menghendaki, maka Allah akan mengampuninya dan jika Allah menghedaki, maka Allah akan menghukumnya. Akan tetapi jika orang itu kembali mengambil riba dan menghalalkannya setelah diharakamkan, maka orang itu akan kekal di neraka Jahanam.84
- al-
yang berbentuk dalam ayat ini merujuk pada riba yang . Oleh sebab itu yang diharamkan dalam ayat ini adalah riba yang dipraktikkan orang Arab pra-Islam (riba Jahiliyyah); tambahan jumlah hutang karena penundaan pembayaran yang diistilahkan dengan
Setidaknya ada tiga alasan; Pertama, dengan menggunakan kaidah bahasa bahwa pengulangan kosa kata yang menyatakan, apabila ada kosa kata yang menunjukkan pengkhususan ( ) diulang, maka pengertian kosa kata kedua sama
. Oleh sebab itu kata al- dalam ayat ini sama dengan kata yang ada pada QS.
[3]: 130. Kedua, memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Jadi, kata al- pada QS. Al-Baqarah [2]: 275 yang tidak bersyarat dipahami berdasarkan kata yang bersyarat ( ) pada QS.
[3]: 130. Ketiga, pembicaraan Al-Qur an tentang riba senantiasa dihubungkan dan dihadapkan dengan pembicaraan tentang shadaqah dan , yang dihubungkan dengan zhulum (penganiayaan dan penindasan).85
84Muhammad Ali ash-Sh b ni, Shafwah at- (Beirut: Daarul -Karim, 1981), Jilid 1, h. 175.
85Muhammad Rasyid Ridha, -
Mu -115.
Dari penjelasan tersebut hemat penulis menyimpulkan bahwa yang penting untuk diingat kembali adalah konsep riba sebelum turunnya ayat ini dikalanga berbeda pendapat seperti ash-Shabuni mengharamkannya dan sebagian masih mendapatkan legitimasi akan kebolehannya apabila tidak terdapat unsur berlipat ganda . Dengan turunnya QS. Al-Baqarah 275 ini memberi dampak bagi pelaku riba yang menyerupai orang yang dirasuki oleh setan, sulit untuk menghindari dari jebakan bathil, karena bagi mereka ada anggapan bahwa antara melakukan amaliah jual beli dan memberikan pinjaman uang dengan harapan kompensasi utang (rentenir) adalah sama dalam sama-sama dapat menghasilkan keuntungan yang halal.86 Untuk itulah, maka Allah SWT.
membantah dengan tegas bahwa kedua profesi itu tidak sama.
Allah SWT. menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Selanjutnya Allah SWT. menjelaskan riba dan sedekah dalam firman-Nya:
Artinya: Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS. Al-Baqarah [2]: 276)87
Muhammad Ali ash-Sh b ni menjelaskan bahwa secara zhahir harta dari hasil riba memang terlihat lebih, akan tetapi Allah menghilangkannya dan memusnahkan kebaikannya, maka hanya keburukan yang akan diperoleh. Kemudian Allah memperbanyak jalan shadaqah dan menyuburkannya meski secara zhahir harta akan kelihatan berkurang, akan tetapi harta
86 -
Min al- , Jilid 1, (Beirut: Muassasah Manahil al-Irfan, 1980), h.
391.
87Departemen Agama RI, Al- (Jakarta:
Departemen Agama, 2019), h. 47.