• Tidak ada hasil yang ditemukan

SINDROMA KORONER AKUT

E. Diagnosis dan Tatalaksana SKA 1. Pengertian

5. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya tanda nekrosis miokard seperti CK-MB, Troponin T dan I, serta mioglobin dipakai untuk menegakkan diagnosis SKA. Troponin lebih dipilih karena lebih sensitif dari pada CK-MB.

Troponin berguna untuk diagnosis, stratifikasi risiko, dan menentukan prognosis.

Troponin yang meningkat akan meningkatkan risiko kematian. Pada pasien SKA dengan ST elevasi, reperfusi tidak boleh ditunda hanya untuk menunggu enzim jantung.

CK-MB merupakan isoenzim dari creatinin kinase, dengan konsentrasi terbesar terdapat pada miokardium. Dalam jumlah kecil CK-MB dapat dijumpai di otot rangka, usus kecil atau diafragma. CK-MB mulai meningkat 3 jam setelah infark dan mencapai puncaknya setelah 12-14 jam. CK-MB akan mulai menghilang dari darah 48-72 jam setelah infark.

Troponin mengatur interaksi kerja aktin dan myosin dalam otot jantung dan lebih spesifik dari CK-MB. Ada dua bentuk yaitu troponin T dan I. Enzim ini mulai meningkat pada jam 3 setelah onset nyeri dada. mencapai puncaknya pada jam ke-12 hingga 24, serta kadarnya masih meningkat sampai beberapa hari ke

7 – 14 (trop I). Peningkatan enzim ini menjadi bukti adanya nekrosis miokard dan menunjukkan prognosis yang buruk

pada SKA. Pengukuran enzim jantung troponin bersama dengan pemeriksaan EKG secara serial merupakan bagian dari evaluasi pasien dengan tanda dan gejala yang mencurigai adanya SKA. Petugas medis perlu mengetahui onset dari gejala sebelum melakukan pemeriksaan enzim jantung, karena troponin maupun CK- MB baru meningkat 3 jam setelah onset iskemik.

Pada pedoman tahun 2015, penggunaan biomarkers high sensitive-cardiac Troponin I (hs-cTnI) dan high sensitive-cardiac Troponin T (hs-cTnT) dianjurkan bila tersedia, mengingat biomarker ini lebih sensitif untuk mendeteksi adanya nekrosis miokard lebih awal. Deteksi peningkatan troponin (Tn) diatas nilai persentil 99 batas atas, sangat sensitif dan spesifik menunjukkan adanya nekrosis miokard. Ambang batas deteksi untuk hs-cTnI 0,056 mcg/L sedangkan untuk hs- cTnT 14 ng/L. Pedoman tahun 2015 juga merekomendasikan untuk tidak melakukan pemeriksaan hs-cTnI atau hs-cTnT pada jam ke-0 dan jam ke-2 tanpa melakukan stratifikasi risiko klinis untuk menyingkirkan diagnosis SKA. Hasil pengukuran hs-cTnI dengan nilai kurang dari persentil 99 pada jam 0 dan jam ke-2 bersama dengan nilai stratifikasi risiko klinis yang rendah (skor TIMI 0 atau 1) memprediksi angka kejadian major adverse cardiac event (MACE) dalam 30 hari kurang dari 1%.

Bila tidak tersedia pemeriksaan hs-cTnT atau hs-cTnI, pemeriksaan troponin T atau troponin I yang negatif pada saat datang dan antara 3 sampai 6 jam dari onset iskemik dapat digunakan bersamaan dengan stratifikasi risiko yang sangat rendah (TIMI skor 0, low risk Vancouver rule, North American chest pain score 0, dan usia < 50 tahun atau HEART score risiko rendah) dapat memprediksi kurang dari 1% MACE dalam 30 hari

Gambar 7.6 Pemeriksaan enzim jantung pada sindrom koroner akut

Tatalaksana umum SKA

Secara umum, tata laksana infark miokard akut dengan ST elevasi (IMA EST) dan infark miokard akut tanpa ST elevasi (IMA NEST) hampir sama, baik pra rumah sakit maupun saat di rumah sakit. Perbedaan terdapat pada strategi terapi reperfusi, dimana IMA EST lebih ditekankan untuk segera melakukan reperfusi, baik dengan medikamentosa (fibrinolisis) atau intervensi (intervensi koroner perkutan - IKP).

a. Tatalaksana Pra Rumah Sakit

Tindakan-tindakan pra rumah sakit dilakukan oleh emergency medical service (layanan gawat darurat) sebelum pasien tiba di rumah sakit, biasanya dilakukan di dalam ambulans. Bila dicurigai SKA, segera lakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan dan berikan pemberitahuan ke RS bila ada rencana untuk dilakukan tindakan fibrinolisis atau IKP primer.

Pemeriksaan EKG dengan pembacaan oleh mesin komputer tanpa konfirmasi dengan dokter atau petugas medis terlatih tidak dianjurkan mengingat tingginya hasil pembacaan positif palsu.

Tindakan yang dilakukan pada layanan gawat darurat adalah:

 Monitoring, amankan ABC (airway, breathing, circulation). Persiapkan diri untuk melakukan RJP dan defibrilasi

 Berikan aspirin. Pertimbangkan pemberian oksigen, nitrogliserin, dan morfin jika diperlukan

 Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan interpretasi. Jika terdapat ST elevasi, informasikan rumah sakit dan catat waktu onset serta kontak pertama dengan tim medis

 Lakukan pemberitahuan ke RS untuk melakukan persiapan penerimaan pasien dengan SKA

 Bila akan diberikan fibrinolitik pra rumah sakit, lakukan checklist kontraindikasi fibrinolitik

Aspirin dapat diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan kecurigaan SKA sehingga dapat diberikan pra rumah sakit secara dikunyah dengan dosis 160 - 320 mg. Sebelum memberikan aspirin, pastikan tidak terdapat alergi aspirin pada pasien.

b. Tata Laksana Awal di Rumah Sakit 1. Oksigen

Pada pedoman 2010, oksigen diberikan pada semua pasien dengan sesak napas, tanda gagal jantung, syok, atau saturasi oksigen <94%.

Monitoring SpO2 akan sangat bermanfaat untuk mengetahui perlu tidaknya diberikan oksigen pada pasien. Konsensus 2015 memuat beberapa pendapat yang mempersoalkan tentang perlu tidaknya terapi oksigen pada pasien SKA dengan SpO2 yang normal. Pedoman 2015 merekomendasikan untuk mempertimbangkan penundaan terapi oksigen pada pasien dengan kecurigaan atau terbukti SKA dengan SpO2 yang normal. Indikasi terapi oksigen adalah pada kondisi:

 Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau hemodinamik tidak stabil

 Pasien dengan tanda bendungan paru (gagal jantung akut)

 Pasien dengan saturasi oksigen <90%

2. Aspirin

Aspirin dapat menurunkan reoklusi koroner dan berulangnya kejadian iskemik setelah terapi fibrinolitik. Penggunaan aspirin supositoria dapat

gangguan pada saluran pencernaan atas. Dosis pemeliharaan 80-100 mg/hari.

Obat anti-inflamatorik non steroid (OAINS) baik yang selektif maupun nonselektif tidak boleh diberikan pada SKA selama di RS karena dapat meningkatkan risiko kematian, reinfark, gagal jantung, hipertensi, dan ruptur miokard.

3. Nitrat

Tablet nitrogliserin sublingual dapat diberikan sampai 3 kali dengan interval 3- 5 menit jika tidak terdapat kontraindikasi. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil yaitu tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg lebih rendah dari pemeriksaan tekanan darah awal (jika dilakukan), bradikardia <50 x/menit atau takikardia

>150x/menit tanpa adanya gagal jantung, dan adanya infark ventrikel kanan.

Nitrogliserin adalah venodilator dan penggunaannya harus berhati-hati pada keadaan pasien yang menggunakan obat penghambat fosfodiesterase (contoh: sildenafil) dalam waktu <24 jam (48 jam pada tadalafil). Dosis untuk nitrogliserin adalah 400 mikrogram, sedangkan ISDN adalah 5 mg secara sublingual.

4. Analgetik

Analgetik terpilih pada pasien SKA adalah morfin. Pemberian morfin dilakukan jika tidak ada respons terhadap pemberian nitrogliserin sublingual atau semprot. Morfin merupakan pengobatan yang cukup penting pada SKA oleh karena:

 Menimbulkan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivasi neurohumoral dan menyebabkan pelepasan katekolamin

 Menyebabkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan mengurangi kebutuhan oksigen

 Menurunkan tahanan vaskular sistemik, sehingga mengurangi afterload ventrikel kiri

 Membantu redistribusi volume darah pada edema paru akut

Tata laksana ST Elevasi 1. Pengertian

IMA EST merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis IMA EST ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.

Inisiasi tata laksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.

Dokumen terkait