• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Al-Shulhu Menurut Para Mufassir

BAB III KONSEP AL-SHULHU

C. Makna Al-Shulhu Menurut Para Mufassir

40

Berdasarkan ayat diatas bahwa bersumpah dengan menyebut nama Allah, bahwa seseorang tidak akan melakukan kebaikan, ketaqwaan dan tidak akan menciptakan kedamaian diantara manusia, merupakan tindakan yang salah dan tidak dibenarkan oleh al-Quran. Karena kebaikan, ketaqwaan dan perdamaina merupakan tiang utama kehidupan umat islam dalam masyarakat yang majemuk yang diajarkan oleh al- Qur‟an.84

C. Makna al-Shulhu Menurut Para Mufassir

41

dalam rumah tangga yang cenderung merugikan salah satu pihak baik suami maupun istri. Ath-Thabari menukil dari Abu Ja‟far menganjurkan diadakannya perdamaian yang sebenar-benarnya dalam rumah tangga tanpa jalan perceraian. Karena, perceraian dapat menyebabkan mudharat yang lebih besar seperti renggangnya hubungan antar keluarga, anak yang berpotensi terkena dampak psikologis dari perceraian, dll.

2. Al-Qurtubi

Menurut al-Qurtubi kata al-Shulhu adalah kata umum yang memiliki maksud perdamaian yang menentramkan jiwa dan menghilangkan perselisihan secara keseluruhan diantara dua orang yang berseteru. Karena untuk memperbaiki suatu hubungan atau ikatan adalah dengan meninggalkan kebencian.86

Esensi kata al-Shulhu menurut al-Qurtubi di atas mencoba untuk menyampaikan bahwa melakukan perdamaian atau memperbaiki suatu hubungan adalah dengan meninggalkan sifat-sifat kebencian. Hal ini mengindikasikan bahwa jalan yang lebih baik dalam menghindari perselisihan adalah dengan cara mencegahnya.

3. Wahbah az-Zuhaili

Makna al-Shulhu terdapat dalam penafsirannya menjelaskan bahwa Sulhu adalah kesepakatan damai atau upaya untuk melakukan perdamaian antar pihak yang berseteru.87

86 Abu „Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, al-Jami‟ li Ahkam al- Qur‟an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jilid 5, hlm. 961.

87 Wahbah az-Zuhaili. Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid, 3, cet, 1 (Jakarta: Gema Insani, 2016), hlm. 292.

42

Menurut penulis, Wahbah az-Zuhaili berusaha untuk menjelaskan bahwa perdamaian perlu dilakukan secara lebih internal antara pihak yang berseteru. Hal ini dikarenakan, mereka yang berseteru lebih memahami masalah yang dialami.

4. Tafsir al-Azhar

Makna al-Shulhu menurut tafsir al-Azhar ialah mencari jalan yang baik bagi mereka yang sedang berselisih tanpa ada yang keberatan hati terhadap keputusan yang dibuat.88

Pendapat ini menggambarkan bahwa apabila terjadi perselisihan diantara suami dan istri. Maka, keduanya wajib mencari solusi dengan ketentuan adanya kerelaan dari kedua belah pihak atas keputusan yang akan diambil.

5. M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab dalam tafsirnya mengenai ayat al-Shulhu yang terdapat pada q.s al-Nisa ayat 128 beliau menjelaskan bahwa al-Shulhu (perdamaian) yang dimaksud adalah perdamaian dalam segala hal tidak terikat pada satu bidang tertentu (general) hal ini juga berlaku pada kasus berumah tangga yang mana dikhawatirkan akan terjadinya Nusyuz dalam rumah tangga dengan upaya apapun selama tidak melanggar ketentuan Allah SWT.

88 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Gema Insani, 2015), cet. Ke-1, hlm. 475.

43

Perdamaian ini tentu dilakukan dengan tulus oleh kedua belah pihak baik dari suami maupun istri yang bertujuan untuk menjaga keberlangsungan rumah tangga. 89

Selain itu ada ayat yang turut membincangkan soal perdamaian ataupun al-Shulhu yaitu q.s al-Hujurat ayat 9. Ulama ini menjelaskan bahwa perdamaian merupakan upaya menghentikan sebuah kerusakan atau upaya meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak.90

Indikasi dari pendapat di atas adalah mengupayakan al-Shulhu atau prdamaian dalam segala aspek dan bidang. Tidak terpaut hanya sekedar dalam ruang lingkup rumah tangga.

89 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. Ke-1, hlm. 604

90 Ibid., hlm. 596.

44 BAB IV

ANALISIS KONSEP AL-SHULHU DALAM Q.S.AL-NISA’ AYAT 128 DAN Q.S AL-HUJURAT AYAT 9 PADA TAFSIR FĪ ZHILĀL AL-QUR’ĀN

A. Tafsiran Ayat

1. Surah an-Nisa ayat 128

َا َح ِل ْصُّيَ ْن َآَاَمِهْيَلَعََحاَىُجَ َلََفَاًضاَرْعِاَْوَاَاًزْى ُشُوَاَهِلْعَبَ ًِْْۢمَ ْتَفاَخٌَةَاَرْماَ ِنِاَو

ََوَۗا ًح ْل ُصَا َمُهَنْيَب

َا ْى ُقَّخَج َوَا ْىُى ِس ْحُجَ ْنِاَوَ َّۗح ُّشلاَ ُسُفْهَ ْالَْ ِثَر ِضْحُاَوٌَۗرْيَخَُحْلُّصلا

َاًرْيِب َخَ َنْىُلَمْعَحَاَمِبَ َناَكََ ّٰاللَّٰ َّنِاَف ٨٢١

“jika seorang wanita khawatir akan nusuz, atau sikap tidak acu dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. an-Nisa [4]: 128)

a. Asbabun Nuzul

Abu Dawud dan al-Hakim meriwayatkan dari Aisyah,ia berkata,

“saudah khawatir Rasulullah SAW menceraikannya ketika usianya sudah tua. Lantas ia berkata, “giliranku untuk Aisyah.” Allah pun menurunkan firmannya, “dan jika seorang peremouan khawatir suaminya akan nusyuz.”

At-Tirmidzi meriwayatkan hadis serupa dengan Ibnu Abbas.

Said bin Manshur meriwayatkan dari Said bin Musayyab bahwa putri Muhammad bin Maslamah menikah dengan Rafi‟ bin Khudaij.

Ternyata ia tidak menyukai suatu hal dari istrinya, entah karena sudah tua atau hal lainnya. ia ingin menceraikan istrinya itu. Istrinya berkata,

“janganlah engkau ceraikan aku, berilah aku jatah sesuai keinginannmu.” Lantas Allah menurunkan firmannya, “dan jika seorang perempuan khawatir”.

Hadis ini memiliki penguat yang maushul.

Al-Hakim meriwayatkan hadis serupa dari jalur Ibnul Musayyab dari Rafi‟ bin Khudaij. Al-Hakim meriwayatkan dari Aisyah ia

45

berkata, “ayat berikut, “dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka),” turun berkenaan dengan seorang lelaki yang menikahi seorang perempuan dan telah dianugerahi anak-anak. Lelaki itu ingin menceraikannya dan menikah lagi dengan wanita lain. Ternyata istrinya meminta kerelaan suami itu agar tetap bersamanya meskipun ia tidak mendapatkan giliran.”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Said bin Jubair, ia berkata, “ayat berikut, “dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tak acuh,” turun, seorang wanita dan berkata,

“aku ingin mendapatkan jatah nafkah darimu.” Padahal dulu ia sudah rela untuk tidak diberi nafkah dan tidak diceraikan serta tidak digauli.

Lantas Allah menurunkan firmannya, “walaupun manusia itu tabiatnya kikir.”91

b. Tafsiran

Manhaj ini sebelumnya telah mengatur masalah nusyuz‟

meninnggalkan kewajiban bersuami-istri yang datang dari pihak istri, dan tindakan-tindakan yang perlu diambil untuk memelihara eksistensi keluarga. Maka diaturlah persoalan nusyuz dan sikap tidak acuh yang dikhawatirkan terjadi dari pihak suami, sehingga mengancam keamanan istri dan kehormatannya, juga keamanan keluarganya.

Karena hati itu berbolak-balik dan perasaan itu sering berganti, sedangkan Islam Merupakan manhaj kehidupan yang dapat memecahkan tiap-tiap persoalan dalam urusan ini dan setiap persoalan yang dihadapkan kepadanya, dalam bingkai prinsip-prinsip dan pengarahannya, dan mengikat masyarakat yang ditumbuhkannya.92

Apabila si isri khawatir dipelakukan dengan kasar dan kekasaran ini mengarah kepada terjadinya perceraian (sesuatu yang halal tapi dibenci oleh Allah SWT) atau si suami bersikap tidak acuh terhadapnya dan membiarkannya terkatung-katung, tidak sebagai istri dan tidak pula terceraikan, maka tidak mengapa baginya dan bagi suaminya untuk melepaskan sebagian dari tugas-tugas keharta- bendaanya atau tugas-tugas kehidupannya, seperti melepaskannya dari sebagaian atau keseluruan kewajiban nafkahnya. Atau melepaskan giliran malamnya, kalau dia (si suami) mempunyai istri lain yang lebih diutamakannya, sedangkan dia (si istri) sudah kehilangan gairah

9191 Imam Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat al-Qur‟an, Terj. Ali Nurdin, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hlm. 147-148.

92 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan al-Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, dkk, Jilid, 3 (Jakarta: Gema Insani, 2002), cet. Ke- 1, hlm. 90.

46

hidupnya dalam pergaulan suami-istri atau sudah kehilangan gaya tariknya. Semua ini apabila dia (si istri) melihat, dengan segenap usaha dan perkiraannya terhadap semua kondisinya, bahwa yang demikian itu lebih baik dan lebih mulia baginya daripada bercerai.

jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya...”

Inilah perdamaian yang kami isyaratkan di atas. Kemudian disudahilah ketetapan ini dengan penjelasan bahwa perdamaian secara mutlak itu lebih baik daripada perselisihan, tindak kekerasan, nusyuz, dan talak,

“...perdamaian itu lebih bgaik (bagi mereka)...”

Maka, meresaplah ke dalam hati yang diliputi kekerasan dan kekeringan itu resapan embun dan ketenangan, serta keinginan untuk selalu menjalin hubungan suami-istri dan ikatan kekeluargaan.

Islam mengajak jiwa dengan seluruh realitasnya. Maka ia berusaha dengan segala sarana yang mengesankan untuk mengangkat jiwa manusia ke posisi yang tertinggi yang telah disiapkan oleh tabiat dan fitrahnya. Akan tetapi, pada waktunya ia tidak bersikap masa bodo terhadap batas-batas tabiat dan fitrahnya, dan ia tidak berupaya memaksanya atas sesuatu yang di luar kemampuannya, Islam tidak pernah mengatakan kepada manusia, “Beturkanlah kepalamu ke dinding karena aku menghendaki kamu begini! Wassalam! Baik kamu mampu melakukannya maupun tidak mampu!”.

Islam tidak pernah mengajarkan manusia untuk berdiam diri atas kelemahan dan keterbatasannya saja, dan tidak pernah mengajarkan kebencian terhadap manusia yang telah jatuh ke lembah kehinaan dengan alasan bahwa itu adalah realitas jiwa ini. Akan tetapi, Islam itu moderat, Islam adalah fitrah, Islam adalah idealisme yang realistis, atau realitas yang ideal. Islam memperlakukan manusia dengan eksistensinya sebagai manusia.

Dalam hukum ini Islam memperlakukan manusia, dan menjelaskan suatu kekhususan dari sekian kekhususan manusia,

“...Dan manusia itu menurut tabiatnya kikir...

47

Yaitu, sifat kikir senantiasa ada di dalam jiwa manusia dengan segala macam jenisnya. Bagaimanapun keadaan manusia dengan segala permasalahannya Islam tidak mengajarkan untuk bersikap semena-mena. Akan tetapi, Islam memperkenankan manusia bertindak dan memberikan kebebasan untuk memikirkan dan mempertimbangkan urusanya itu.

“Jika kamu bergaul dengan istrimu seccara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesunggunya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,”

Maka, ihsan (berbuat baik) dan takwa inilah pada akhirnya yang menjadi sandaran. Tidak akan ada sesuatu pun yang diabaikan, karena Allah Maha Mengetahui apa saja yang dilakukan oleh jiwa, Maha Mengetahui motivasinya dan apa yang tersimpan di dalamnya.

Bisikan kepada jiwa yang beriman untuk berbuat kebaikan dan ketakwaan, dan ajakan terhadapnya dengan nama Allah yang Maha Mengetahui apa saja yang dilakukannya, sungguh merupakan bisikan yang mengesankan dan ajakan yang positif dan bersambut. Bahkan, hanya ia saja yang merupakan bisikan yang mengesankan dan seruan yang diterima.93

2. Surah al-Hujurat ayat 9

َ ْتَغَبَ ْْۢنِاَفَ ۚاَمُهَنْيَبَاْىُح ِلْصَاَفَاْىُلَخَخْقاَ َنْيِىِمْؤُْلْاَ ًَِمَ ِنٰتَفًِٕۤاَطَ ْنِاَو

َا َمُهى ٰد ْحِا

َ ْث َءۤاَفَ ْنِاَفَۖ ِ ّٰاللَّٰ ِر ْم َاَ ىٰٓلِاَ َءْۤيِفَجَ ىّٰتَحَ ْي ِغْبَجَ ْيِتَّلاَ اىُلِجاَقَفَ يٰرْخُْالَْ ىَلَع

َ َنْي ِط ِس ْق ُ ْلْاَ ُّب ِحُيََ ّٰاللَّٰ َّنِاَۗاْىُط ِسْقَاَوَ ِلْدَعْلاِبَاَمُهَنْيَبَاْىُح ِلْصَاَف ٩

َ

“Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin yang berperang, maka damaikanlah diantara keduanya, jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembai kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 9).

93 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan al-Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, dkk, Jilid, 3 (Jakarta: Gema Insani, 2002), cet. Ke- 1, hlm. 91-92.

48 a. Asbabun Nuzul

Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Anas bahwa Nabi SAW menunggangi keledai lalu berangkat menuju Abdullah bin Ubay. Ia berkata, “Menyingkirlah dariku. Demi Allah, bau busuk keledaimu telah menggangguku. “seorang lelaki Anshar berkata, “Demi Allah keledai beliau lebih wangi darimu,” Lantas seorang dari suku Abdullah bin Ubay marah dan masing-masing anggota kabilah marah sehingga terjadi saling pukul di antara dua kelompok ini dengan menggunakan senjata pelepah kurma, tangan, dan sandal sehinggga turunlah ayat tentang mereka, “Dan apabila ada dua golongan orang mukmin yang berperang, maka damaikanlah anatara keduanya.”

Said bin Manshur dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Malik, ia berkata, “Ada dua orang lelaki muslim yang saling mencela sehingga kaum yang satu marah terhadap kaum yang lain, lalu terjadilah saling baku hantam dengan tangan dan sandal, dan Allah pun menurunkan firmannya, “dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah anatara keduanya.”

Ibnu Jarir dan Ibnu hatim meriwayatkan dari as-Suddi, iaberkata,

“Ada seorang lelaki Anshar bernama Imran yang menikah dengan seorang wanita bernama Ummu Zaid. Wanita ini ingin mengunjungi keluarganya, namun suaminya memanahnya dan menyekapnya di kamar lotengnya. Lantas wanita itu mengirimkan utusan kepada keluarganya maka datanglah mereka dan menurunkannya untuk membawa pergi. Pada saat itu sang suami keluar dan meminta bantuan kepada keluarganya. Lantas datanglah anak-anak pamanya untuk menahan wanita itu dari keluarganya sehingga mereka pun saling dorong dan saling baku hantam dengan sandal. Karena itu, turunlah ayat mengenai mereka, “dan apabila ada dua golongan orang mukmin yang berperang, maka damaikanlah antara keduanya”.

Rasulullah SAW mengutus seseorang kepada mereka untuk mendamaikannyahingga mereka kembali kepada perintah Allah.”94 b. Tafsiran

inilah kaidah hukum yang praktis untuk memelihara masyarakat mukmin dari pemusuhan dan perpecahan di bawah kekuatan dan pertahanan. Kaidah ini bertujuan untuk meneguhkan kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Pilar utama bagi semua ini adalah

94 Imam Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat al-Qur‟an, Terj. Ali Nurdin, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hlm. 141-142

49

ketakwaan kepada Allah dan harapan akan rahmat-Nya dengan menegakkan keadilan dan perdamaian.95

Al-Qur‟an mencegah terjadinya perang yang terjadi antar kedua belah pihak yang sama-sama mukmin. Mungkin salah satunya berlaku zalim terhadap kelompok lainnya, atau mungkin keduanya berlaku zalim dalam salah satu aspek. Naamun, Allah mewajibkan kaum mukmin lain yang tidak bertikai supaya mengupayakan perdamaian di antara kedua kelompok yang bertikai tersebut. Jika salah satunya berlebihan dan tidak mau berdamai, atau misalkan keduanya menolak adanya perdamaian atau menolak hukum Allah sebagai jalan penyelesaian maka kaum mukminin hendaknya memerangi mereka yang zalim tersebut dan terus memeranginya hingga mereka kembali kepada “perkara Allah”.

“perkara Allah yang dimaksud ialah menghentikan permusuhan di antara kaum mukmin dan menerima ketetapan Allah dalam menyelesaikan apa yang mereka pertentangkan. Jika pihak yang zalim tadi telah menerima ketetapan Allah sebagai penyelesaian atas perselisihan mereka secara penuh, kaum mukminin hendaknya menyelenggarakan perdamaian yang berlandaskan keadilan dan wujud ketaatan kepada Allah serta mencapai ridhaan-nya.

“...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

(al-Hujurat: 9)

Seruan dan hukum di atas diikuti atas kerelaan hati orang-orang yang beriman dan kewajiban agar menghidupkan hubungan yang kuat di antara mereka. Yaitu hubungan yang menyatukan mereka setelah tercerai-berai, yang menyatukan hati mereka setelah berselisih mengingatkan mereka agar menjaga ketaatan kepada Allah, dan mengisyaratkan perolehan rahmatnya yang diraih dengan ketakwaan,

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah di antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Alla supaya kamu mendapat rahmat,” (al-Hujurat:10)

Implikasi dari persaudaraan ini ialah menjadikan rasa cinta, perdamaian, kerja sama dan persatuuan menjadi landasan bermasyarakat untuk umat muslim. Hendaklah perselisihan atau

95 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal Qur‟an: Di Bawah Naungan al-Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, dkk, Jilid. 10, (Jakarta: Gema Insani, 2004), cet. Ke-1, hlm. 416

50

peperangan merupakan penyimpangan yang mesti dikembalikan pada landasan tersebut begitu suatu kasus terjadi. Dibolehkan memerangi kaum mukminin lain yang zalim agar kembali kepada barisan muuslim. Juga agar mereka melenyapkan penyimpangan itu berdasarkan kaidah dan hukum Islam itulah penanganan yang tepat,

Tuntunan kaida di atas tidak bermaksud merugikan atau melukai orang dalam rangka penegakan hukum, tidak membunuh tawanan, tidak menghukum orang yang melarikan diri dari perang, dan tidak mengambil harta ghanimah dari orang yang melampaui batas tersebut.

Sebab, tujuannya bukan menghancurkan tetapi menyadarkan mereka agar kembali kepada ketetapan Islam.

Prinsip utama dalam sistem umat Islam hendaknya memiliki satu kepemimpinan sehingga setelah berbaiat kepada imam, maka imam yang kedua wajib diibunuh, sebab dia dan para pendukungnya dianggap sebagai pemberontak terhadap kelompok lain (bughat).

Kaum mukminin hendaknya memerangi kelompok itu di bawah kepemimpinan imam. Berdasarkan atas prinsip ini Imam Ali r.a bangkit untuk memerangi bughat dalam perang jamal dan perang sifin.

Imam Ali r.a memerangi mereka bersama kelompok sahabat Nabi SAW. lainnya yang mulia. Namun, sebagian mereka ikut berperang, di antaranya Sa‟ad, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan Ibnu Umar. Mereka tidak ikut serta dikarenakan bagi mereka belum jelas sisi kebenarannya pada saat itu, sehingga mereka memandangnya sebagai fitnah. Atau, karena mereka beralasan seperti yang ungkapkan Imam al-Jashash, “mungkin karena mereka memandang cukup atas Imam Ali r.a dan tentaranya, sehingga tidak membutuhkan kesertaan dirinya, kemudian mereka memilih berpangku tangan dari masalah itu”.

Kemungkinan pertama lebih shahih. Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah riwayat tentang pernyataan mereka. Juga ditunjukkan oleh keterangan yang meriwayatkan bahwa Ibnu Umar menyesal karena tidak ikut berperang bersama Imam Ali r.a.

Meskipun prinsip di atas lebih ditegakkan, nash al-Qur‟an memngkinkan penerapan prinsip ini dalam berbagai situasi dengan beberapa pengecualian yang memungkinkan adanya dua imam atau lebih di wilayah negara umat Islam yang berlaian dan berjauhan. Ini adalah kondisi darurat dan pengecualian dari prinsip di atas.

Kewajiban kaum muslimin ialah memerangi kelompok pemberontak, jika kelompok ini memerangi imam yang satu dan jika kelompok muslim membangkang pemimpin muslim lain, tetapi tidak

51

memeranginya. Kewajiban kaum muslimin ialah memerangi pemberntak, jika mereka unjuk kekuatan pada salah seorang imam muslim lain tak kala adanya beberapa imam sebagai bentuk pengecualian. Para imam hendaknya bersatu untuk memerangi kelompok ini hingga dia kembali kepada hukum Allah.

Sistem ini merupakan sistem penegakan hukum dan penyerangan terhadap kelompok pemberontak agar dia kembali kepada Allah.

sistem ini memiliki kesempurnann dan jauh dari kekurangan. Sistem inipun bersih, amanah, dan benar-benar adil. Karena penetapan keputusan kepada hukum Allah tidak terkontaminasi oleh kepentingan pribadi dan hawa nafsu serta tidak terkait dengan kekurangan an keterbatasan.96

B. Analisis Konsep Al-Shulhu Dalam Tafsir Fī Zhilāl al-Qur’ān 1. Surah al-Nisa ayat 128

Setelah mengamati penafsiran Sayyid Quthb dalam q.s al-Nisa ayat 128 terdapat konsep atau makna al-Shulhu dalam ruang lingkup keluarga.

Maka dari itu Sayyid Quthb merincikan dalam penafsirannya cara untuk mencapai al-Shulhu (perdamaian) dalam berumah tangga antara lain sebagai berikut:

a. Bersifat Kooperatif antara suami dan istri

ََرْعِاَ ْو َاَاًزْى ُشُوَاَهِلْعَبَ ًِْْۢمَ ْتَفاَخٌَةَاَرْماَ ِنِاَو

َا َح ِل ْصُّيَ ْن َآَاَمِهْيَلَعََحاَىُجَ َلََفَاًضا

َۗ ٌرْي َخَ ُح ْل ُّصلا َوَۗا ًح ْل ُصَا َمُهَنْيَب

َ

“dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka.” (Q.S al-Nisa [4]: 128).

Islam telah mengatur perihal masalah rumah tangga ini pada ayat di atas yang menunjukan bahwa setiap permasalahan yang dialami oleh

96 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan al-Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, dkk, Jilid, 3 (Jakarta: Gema Insani, 2002), cet. Ke- 1, hlm. 416-417.

52

manusia bagaimanapun kondisinya Islam tidak pernah menyuruhnya untuk bersikap semena-mena. Akan tetapi Islam menuntun manusia untuk mempertimbangkan dan memikirkan segala urusan yang dihadapinya.

Oleh karena itu, selalu ada jalan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan baik dalam ruang lingkup kecil maupun besar.

Berkaitan dengan ayat di atas al-Qur‟an telah memberi solusi agar kedua belah pihak melakukan kerja sama untuk mencapai perdamaian.

karena upaya perdamaian merupakan sesuatu yang diridhai oleh Allah SWT sebagaimana telah dijelaskan pada ayat lain di dalam surah al-Nisa ayat 114 yaitu:

َ ٍْۢح َ

لَ ْصِاَ ْو َاَ ٍفْوُرْعَمَ ْوَاَ ٍتَقَدَصِبَ َرَمَاَ ًَْمَ َّ ِالَْْمُهىٰىْجَّهَ ًِّْمٍَرْيِثَكَْيِفَ َرْيَخَ َلَ

َاًر ْجَاَ ِهْيِجْؤُهَ َفْى َسَفَ ِ ّٰاللَّٰ ِثاَضْرَمَ َءۤاَغِخْباَ َكِلٰذَ ْلَعْفَّيَ ًَْمَوَ ِۗساَّىلاَ َنْيَب

َا ًمْي ِظَع ٨٨٢

َ

tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami akan memberinya pahala yang besar”.

Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munir terkait ayat di atas menjelaskan bahwa setiap muslim diperintahkan agar melakukan perkara- perkara yang baik seperti menyuruh manusia untuk bersedekah,

53

menyerukan berbuat kebajikan, dan menyuruh untuk melakukan perdamaian di antara manusia yang berselisih.97

Perintah untuk mengadakan perdamaian dalam hal ini bersifat umum, meliputi kekerasan fisik, harta benda, kehormatan, dan setiap hal yang di dalamnya terjadi perselisihan dan persengketaan.98

Annas bin Malik berkata, “Barang siapa yang mendamaikan di antara dua orang , Allah SWT memberinya pahala..”

Sebagaimana ditegaskan juga dalam firmannya Allah SWT mengatakan: “Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suam-istri itu. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (al-Nisa: 53).99

b. Berbuat Ihsan

َاًرْيِب َخَ َنْىُلَمْعَحَاَمِبَ َناَكََ ّٰاللَّٰ َّنِاَفَاْىُقَّخَجَوَاْىُى ِسْحُجَ ْنِاَو ٨٢١

“Jika kamu bergaul dengan istrimu seccara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesunggunya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Q.S. al-Nisa [4]:

128).

Penafsirannya: Maka, ihsan (berbuat baik) dan takwa inilah pada akhirnya yang menjadi sandaran. Tidak akan ada sesuatu pun yang diabaikan, karena Allah Maha Mengetahui apa saja yang dilakukan oleh jiwa, Maha Mengetahui motivasinya dan apa yang tersimpan di dalamnya. Bisikan kepada jiwa yang beriman untuk berbuat kebaikan dan ketakwaan, dan ajakan terhadapnya dengan nama Allah yang Maha Mengetahui apa saja yang dilakukannya, sungguh merupakan bisikan yang mengesankan dan ajakan yang positif dan bersambut.

97 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir..., hlm. 265

98 Ibid., hlm. 268

99 Ibid., hlm. 269

Dokumen terkait