• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surah al-Hujurat Ayat 9

BAB IV ANALISIS KONSEP AL-SHULHU DALAM Q.S AL-NISA

A. Tafsiran Ayat

2. Surah al-Hujurat Ayat 9

َ ْتَغَبَ ْْۢنِاَفَ ۚاَمُهَنْيَبَاْىُح ِلْصَاَفَاْىُلَخَخْقاَ َنْيِىِمْؤُْلْاَ ًَِمَ ِنٰتَفًِٕۤاَطَ ْنِاَو

َا َمُهى ٰد ْحِا

َ ْث َءۤاَفَ ْنِاَفَۖ ِ ّٰاللَّٰ ِر ْم َاَ ىٰٓلِاَ َءْۤيِفَجَ ىّٰتَحَ ْي ِغْبَجَ ْيِتَّلاَ اىُلِجاَقَفَ يٰرْخُْالَْ ىَلَع

َ َنْي ِط ِس ْق ُ ْلْاَ ُّب ِحُيََ ّٰاللَّٰ َّنِاَۗاْىُط ِسْقَاَوَ ِلْدَعْلاِبَاَمُهَنْيَبَاْىُح ِلْصَاَف ٩

َ

“Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin yang berperang, maka damaikanlah diantara keduanya, jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembai kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 9).

93 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan al-Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, dkk, Jilid, 3 (Jakarta: Gema Insani, 2002), cet. Ke- 1, hlm. 91-92.

48 a. Asbabun Nuzul

Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Anas bahwa Nabi SAW menunggangi keledai lalu berangkat menuju Abdullah bin Ubay. Ia berkata, “Menyingkirlah dariku. Demi Allah, bau busuk keledaimu telah menggangguku. “seorang lelaki Anshar berkata, “Demi Allah keledai beliau lebih wangi darimu,” Lantas seorang dari suku Abdullah bin Ubay marah dan masing-masing anggota kabilah marah sehingga terjadi saling pukul di antara dua kelompok ini dengan menggunakan senjata pelepah kurma, tangan, dan sandal sehinggga turunlah ayat tentang mereka, “Dan apabila ada dua golongan orang mukmin yang berperang, maka damaikanlah anatara keduanya.”

Said bin Manshur dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Malik, ia berkata, “Ada dua orang lelaki muslim yang saling mencela sehingga kaum yang satu marah terhadap kaum yang lain, lalu terjadilah saling baku hantam dengan tangan dan sandal, dan Allah pun menurunkan firmannya, “dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah anatara keduanya.”

Ibnu Jarir dan Ibnu hatim meriwayatkan dari as-Suddi, iaberkata,

“Ada seorang lelaki Anshar bernama Imran yang menikah dengan seorang wanita bernama Ummu Zaid. Wanita ini ingin mengunjungi keluarganya, namun suaminya memanahnya dan menyekapnya di kamar lotengnya. Lantas wanita itu mengirimkan utusan kepada keluarganya maka datanglah mereka dan menurunkannya untuk membawa pergi. Pada saat itu sang suami keluar dan meminta bantuan kepada keluarganya. Lantas datanglah anak-anak pamanya untuk menahan wanita itu dari keluarganya sehingga mereka pun saling dorong dan saling baku hantam dengan sandal. Karena itu, turunlah ayat mengenai mereka, “dan apabila ada dua golongan orang mukmin yang berperang, maka damaikanlah antara keduanya”.

Rasulullah SAW mengutus seseorang kepada mereka untuk mendamaikannyahingga mereka kembali kepada perintah Allah.”94 b. Tafsiran

inilah kaidah hukum yang praktis untuk memelihara masyarakat mukmin dari pemusuhan dan perpecahan di bawah kekuatan dan pertahanan. Kaidah ini bertujuan untuk meneguhkan kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Pilar utama bagi semua ini adalah

94 Imam Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat al-Qur‟an, Terj. Ali Nurdin, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hlm. 141-142

49

ketakwaan kepada Allah dan harapan akan rahmat-Nya dengan menegakkan keadilan dan perdamaian.95

Al-Qur‟an mencegah terjadinya perang yang terjadi antar kedua belah pihak yang sama-sama mukmin. Mungkin salah satunya berlaku zalim terhadap kelompok lainnya, atau mungkin keduanya berlaku zalim dalam salah satu aspek. Naamun, Allah mewajibkan kaum mukmin lain yang tidak bertikai supaya mengupayakan perdamaian di antara kedua kelompok yang bertikai tersebut. Jika salah satunya berlebihan dan tidak mau berdamai, atau misalkan keduanya menolak adanya perdamaian atau menolak hukum Allah sebagai jalan penyelesaian maka kaum mukminin hendaknya memerangi mereka yang zalim tersebut dan terus memeranginya hingga mereka kembali kepada “perkara Allah”.

“perkara Allah yang dimaksud ialah menghentikan permusuhan di antara kaum mukmin dan menerima ketetapan Allah dalam menyelesaikan apa yang mereka pertentangkan. Jika pihak yang zalim tadi telah menerima ketetapan Allah sebagai penyelesaian atas perselisihan mereka secara penuh, kaum mukminin hendaknya menyelenggarakan perdamaian yang berlandaskan keadilan dan wujud ketaatan kepada Allah serta mencapai ridhaan-nya.

“...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

(al-Hujurat: 9)

Seruan dan hukum di atas diikuti atas kerelaan hati orang-orang yang beriman dan kewajiban agar menghidupkan hubungan yang kuat di antara mereka. Yaitu hubungan yang menyatukan mereka setelah tercerai-berai, yang menyatukan hati mereka setelah berselisih mengingatkan mereka agar menjaga ketaatan kepada Allah, dan mengisyaratkan perolehan rahmatnya yang diraih dengan ketakwaan,

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah di antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Alla supaya kamu mendapat rahmat,” (al-Hujurat:10)

Implikasi dari persaudaraan ini ialah menjadikan rasa cinta, perdamaian, kerja sama dan persatuuan menjadi landasan bermasyarakat untuk umat muslim. Hendaklah perselisihan atau

95 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal Qur‟an: Di Bawah Naungan al-Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, dkk, Jilid. 10, (Jakarta: Gema Insani, 2004), cet. Ke-1, hlm. 416

50

peperangan merupakan penyimpangan yang mesti dikembalikan pada landasan tersebut begitu suatu kasus terjadi. Dibolehkan memerangi kaum mukminin lain yang zalim agar kembali kepada barisan muuslim. Juga agar mereka melenyapkan penyimpangan itu berdasarkan kaidah dan hukum Islam itulah penanganan yang tepat,

Tuntunan kaida di atas tidak bermaksud merugikan atau melukai orang dalam rangka penegakan hukum, tidak membunuh tawanan, tidak menghukum orang yang melarikan diri dari perang, dan tidak mengambil harta ghanimah dari orang yang melampaui batas tersebut.

Sebab, tujuannya bukan menghancurkan tetapi menyadarkan mereka agar kembali kepada ketetapan Islam.

Prinsip utama dalam sistem umat Islam hendaknya memiliki satu kepemimpinan sehingga setelah berbaiat kepada imam, maka imam yang kedua wajib diibunuh, sebab dia dan para pendukungnya dianggap sebagai pemberontak terhadap kelompok lain (bughat).

Kaum mukminin hendaknya memerangi kelompok itu di bawah kepemimpinan imam. Berdasarkan atas prinsip ini Imam Ali r.a bangkit untuk memerangi bughat dalam perang jamal dan perang sifin.

Imam Ali r.a memerangi mereka bersama kelompok sahabat Nabi SAW. lainnya yang mulia. Namun, sebagian mereka ikut berperang, di antaranya Sa‟ad, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan Ibnu Umar. Mereka tidak ikut serta dikarenakan bagi mereka belum jelas sisi kebenarannya pada saat itu, sehingga mereka memandangnya sebagai fitnah. Atau, karena mereka beralasan seperti yang ungkapkan Imam al-Jashash, “mungkin karena mereka memandang cukup atas Imam Ali r.a dan tentaranya, sehingga tidak membutuhkan kesertaan dirinya, kemudian mereka memilih berpangku tangan dari masalah itu”.

Kemungkinan pertama lebih shahih. Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah riwayat tentang pernyataan mereka. Juga ditunjukkan oleh keterangan yang meriwayatkan bahwa Ibnu Umar menyesal karena tidak ikut berperang bersama Imam Ali r.a.

Meskipun prinsip di atas lebih ditegakkan, nash al-Qur‟an memngkinkan penerapan prinsip ini dalam berbagai situasi dengan beberapa pengecualian yang memungkinkan adanya dua imam atau lebih di wilayah negara umat Islam yang berlaian dan berjauhan. Ini adalah kondisi darurat dan pengecualian dari prinsip di atas.

Kewajiban kaum muslimin ialah memerangi kelompok pemberontak, jika kelompok ini memerangi imam yang satu dan jika kelompok muslim membangkang pemimpin muslim lain, tetapi tidak

51

memeranginya. Kewajiban kaum muslimin ialah memerangi pemberntak, jika mereka unjuk kekuatan pada salah seorang imam muslim lain tak kala adanya beberapa imam sebagai bentuk pengecualian. Para imam hendaknya bersatu untuk memerangi kelompok ini hingga dia kembali kepada hukum Allah.

Sistem ini merupakan sistem penegakan hukum dan penyerangan terhadap kelompok pemberontak agar dia kembali kepada Allah.

sistem ini memiliki kesempurnann dan jauh dari kekurangan. Sistem inipun bersih, amanah, dan benar-benar adil. Karena penetapan keputusan kepada hukum Allah tidak terkontaminasi oleh kepentingan pribadi dan hawa nafsu serta tidak terkait dengan kekurangan an keterbatasan.96

B. Analisis Konsep Al-Shulhu Dalam Tafsir Fī Zhilāl al-Qur’ān 1. Surah al-Nisa ayat 128

Setelah mengamati penafsiran Sayyid Quthb dalam q.s al-Nisa ayat 128 terdapat konsep atau makna al-Shulhu dalam ruang lingkup keluarga.

Maka dari itu Sayyid Quthb merincikan dalam penafsirannya cara untuk mencapai al-Shulhu (perdamaian) dalam berumah tangga antara lain sebagai berikut:

a. Bersifat Kooperatif antara suami dan istri

ََرْعِاَ ْو َاَاًزْى ُشُوَاَهِلْعَبَ ًِْْۢمَ ْتَفاَخٌَةَاَرْماَ ِنِاَو

َا َح ِل ْصُّيَ ْن َآَاَمِهْيَلَعََحاَىُجَ َلََفَاًضا

َۗ ٌرْي َخَ ُح ْل ُّصلا َوَۗا ًح ْل ُصَا َمُهَنْيَب

َ

“dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka.” (Q.S al-Nisa [4]: 128).

Islam telah mengatur perihal masalah rumah tangga ini pada ayat di atas yang menunjukan bahwa setiap permasalahan yang dialami oleh

96 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan al-Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, dkk, Jilid, 3 (Jakarta: Gema Insani, 2002), cet. Ke- 1, hlm. 416-417.

52

manusia bagaimanapun kondisinya Islam tidak pernah menyuruhnya untuk bersikap semena-mena. Akan tetapi Islam menuntun manusia untuk mempertimbangkan dan memikirkan segala urusan yang dihadapinya.

Oleh karena itu, selalu ada jalan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan baik dalam ruang lingkup kecil maupun besar.

Berkaitan dengan ayat di atas al-Qur‟an telah memberi solusi agar kedua belah pihak melakukan kerja sama untuk mencapai perdamaian.

karena upaya perdamaian merupakan sesuatu yang diridhai oleh Allah SWT sebagaimana telah dijelaskan pada ayat lain di dalam surah al-Nisa ayat 114 yaitu:

َ ٍْۢح َ

لَ ْصِاَ ْو َاَ ٍفْوُرْعَمَ ْوَاَ ٍتَقَدَصِبَ َرَمَاَ ًَْمَ َّ ِالَْْمُهىٰىْجَّهَ ًِّْمٍَرْيِثَكَْيِفَ َرْيَخَ َلَ

َاًر ْجَاَ ِهْيِجْؤُهَ َفْى َسَفَ ِ ّٰاللَّٰ ِثاَضْرَمَ َءۤاَغِخْباَ َكِلٰذَ ْلَعْفَّيَ ًَْمَوَ ِۗساَّىلاَ َنْيَب

َا ًمْي ِظَع ٨٨٢

َ

tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami akan memberinya pahala yang besar”.

Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munir terkait ayat di atas menjelaskan bahwa setiap muslim diperintahkan agar melakukan perkara- perkara yang baik seperti menyuruh manusia untuk bersedekah,

53

menyerukan berbuat kebajikan, dan menyuruh untuk melakukan perdamaian di antara manusia yang berselisih.97

Perintah untuk mengadakan perdamaian dalam hal ini bersifat umum, meliputi kekerasan fisik, harta benda, kehormatan, dan setiap hal yang di dalamnya terjadi perselisihan dan persengketaan.98

Annas bin Malik berkata, “Barang siapa yang mendamaikan di antara dua orang , Allah SWT memberinya pahala..”

Sebagaimana ditegaskan juga dalam firmannya Allah SWT mengatakan: “Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suam-istri itu. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (al-Nisa: 53).99

b. Berbuat Ihsan

َاًرْيِب َخَ َنْىُلَمْعَحَاَمِبَ َناَكََ ّٰاللَّٰ َّنِاَفَاْىُقَّخَجَوَاْىُى ِسْحُجَ ْنِاَو ٨٢١

“Jika kamu bergaul dengan istrimu seccara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesunggunya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Q.S. al-Nisa [4]:

128).

Penafsirannya: Maka, ihsan (berbuat baik) dan takwa inilah pada akhirnya yang menjadi sandaran. Tidak akan ada sesuatu pun yang diabaikan, karena Allah Maha Mengetahui apa saja yang dilakukan oleh jiwa, Maha Mengetahui motivasinya dan apa yang tersimpan di dalamnya. Bisikan kepada jiwa yang beriman untuk berbuat kebaikan dan ketakwaan, dan ajakan terhadapnya dengan nama Allah yang Maha Mengetahui apa saja yang dilakukannya, sungguh merupakan bisikan yang mengesankan dan ajakan yang positif dan bersambut.

97 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir..., hlm. 265

98 Ibid., hlm. 268

99 Ibid., hlm. 269

54

Bahkan, hanya ia saja yang merupakan bisikan yang mengesankan dan seruan yang diterima.100

Mengenai penjelasan di atas M. Quraish Shihab di dalam tafsirnya al- Misbah menerangkan kata tuhsinū berasal dari akar kata yang sama dengan ihsan, kata ihsan memiliki dua makna, pertama memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua perbuatan baik. Bahkan makna ihsan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna “adil” karena adil ialah

“memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya terhadap anda”

sedangkan ihsan ialah “memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap anda”. Adil adalah mengambil semua hak anda atau memberi semua hak oraag lain, sedang ihsan ialah memberi lebih banyak dari pada yang harus anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang semestinya anda ambil. 101

Kemudian di dalam tafsir al-Azhar juga di jelaskan mengenai ihsan bahwasannya suami dan istri disuruh untuk berbuat baik, saling mengalah dan berkorban. Karena jika kedua belah pihak saling memiliki sifat tersebut maka akan terciptalah suatu rumah tangga yang bahagia. Apalagi perbuatan kebaikan dijadikan adat kebiasaan dan perangai serta dipatriakan dengan takwa kepada Allah SWT. Maka Allah akan memberi bimbingan dan perlindungannya, sebab Allah maha mengetahui segala sesuatu. Oleh karena itu selain dari mempertahankan hak masing-masing, ada lagi yang lebih tinggi, yaiu tawakal kepada Allah.102

100 Sayyid Quthb, Tafsir..., hlm. 92

101 M. Quraish Shihab, Tafsir..., hlm. 606.

102 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Depok: Gema Insani,2015), cet. Ke-1, hlm. 476.

55

Peneliti menyimpulkan, bahwa konsep al-Shulhu yang terdapat pada ayat di atas adalah dengan adanya sifat keterbukaan antara dua belah pihak, berbuat baik, saling berkorban serta bertakwa kepada Allah SWT, sehingga menjadi tanda adanya sifat perdamaian dalam keluarga.

2. Surah al-Hujurat ayat 9-10

Dalam penafsirannya Sayyid Quthb menjelaskan definisi al-Shulhu yang berbeda dalam penafsiran q.s al-Hujurat ayat 9. Jika dalam q.s al- Nisa dijelaskan Shulhu dalam rumah tangga maka dalam ayat ini berbicara tentang Shulhu dalam ranah hubungan antar muslim. Berikut adalah cara- caranya:

a. Menjadi Mediator Yang Bersikap Adil

Keadilan merupakan syarat mutlak bagi seseorang atau suatu kelompok yang hendak memediasi atau menjadi penengah antara dua kelompok muslim yang berseteru. Keadilan ini dibutuhkan agar menciptakan perdamaian yang bermanfaat, bermartabat dan menguntungkan kedua belah pihak yang bertikai.

Adapun jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan perdaamaian ini maka diperlukan negosiasi antar kedua belah pihak yang berseteru dan pihak mediator yang tentunya harus memiliki sikap keadilan. Jika cara ini tidak menemukan titik temu maka sayyid quthb menawarkan alternatif lain yaitu memerangi mereka.

56

b. Memerangi mereka yang bersikeras tidak mau berdamai

Berperang adalah alternatif lain untuk mendamaikan dua kelompok yang berseteru jika jalan negosiasi tidak menemukan titik temu.

Namun, perang yang dimaksud bukanlah perang yang bertujuan untuk menumpas atau menghabisi. Melainkan perang yang bertujuan untuk mengembalikan mereka kepada hukum Allah.

Ada beberapa ketentuan yang membatasi peperangan ini, dimana peperangan ini tidak mengambil ghanimah atau harta rampasan perang dan hanya bertujuan untuk mengembalikan pihak yang bersikeras tidak mau berdamai kepada jalan Allah SWT.

Setelah tercapainya perdamaian, sayyid quthb menjelaskan cara yang ditempuh untuk menjaga perdamaian ini di antaranya adalah bersikap toleransi dan tolog menolong.

c. Bersikap Toleransi

Toleransi meupakan sikap untuk tidak memaksakan diri dan menerima berbagai pendapat atau pendirian yang beranekaragam meskipun tidak sependapat dengannya.103 Jika merujuk pada definisi tersebut maka sikap toleransi dapat menjadi landasan dalam berkehidupan bermasyarakat. Karena dengan sikap ini akan muncul rasa persaudaraan, kasih sayang, dan saling pengertian.

Firman Allah SWT:

103 Dewi Murni, “Toleransi Dan Keebebasan Beragama Dalam Perspektif Al-Qur‟an”, Jurnal Syahadah, Vol. 6, Nomor 2, Oktober 2018, hlm. 73.

57

ََ َن ْى ُم َحْرُجَ ْم ُكَّلَع َ

لَ َ ّٰاللَّٰاى ُقَّجا َوَ ْم ُكْي َى َخَاَ َنْيَبَا ْى ُح ِل ْص اَفٌَة َى ْخ ِاَ َن ْىُى ِمْؤُ ْلْاَاَمَّهِا َ ٨١

َ

“sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antar kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”. (Q.S. al-Hujurat [49]: 10)

M.Quraish Shihab menguatkan terkait ayat di atas, beliau menjelaskan bahwa orang mukmin dihimpun atau bersatu oleh keimanan walau tidak satu keturunan. Keimanan ini membuat mereka terikat satu sama lain maka sudah semestinya agar masing-masing dari mereka menjaga diri satu sama lain agar tidak ditimpa bencana maupun pertikaian supaya mendapat rahmat yaitu rahmat persatuan dan kesatuan.104

d. Saling Tolong-Menolong

Manusia sebagai makhluk sosial, semestimnya menyadari bahwa kehidupannya akan memiliki makna apabila menjalin hubungan interaksi sosial yang didasari sikap tolong-menolong terlebih antar masyarakat muslim. Kita tidak dapat berbuat banyak tanpa orang lain.

Itulah sebabnya Islam menganjurkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong dan saling bahu-membahu. Dalam al-Qur‟an sendirI Allah SWT memerintah kepada umat Islam untuk saling tolong- menolong demi mengokohkan dan menguatkan umat Islam dengan itu maka Islam akan lebih berjaya, disegani, dan dihormati oleh golongan lainnya

104 M. Quraish Shihab, Tafsir..., hlm. 598-599.

58 Firman Allah SWT:

ََ ّٰاللَّٰ َّن ِاَۗ َ ّٰاللَّٰاى ُقَّجا َوَۖ ِناَو ْدُع ْ

لا َوَ ِم ْث ِْالَْىَلَعَاْىُهَواَعَحَ َلََوَ ۖيٰىْقَّخلاَوَ ِّرِبْلاَىَلَعَاْىُهَواَعَحَو

َ

َ ِبا َقِعْلاَُدْيِد َش ٢

َ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlahkamu tolong-menolong dalan berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat besar siksaannya”. (Q.S. al-Maidah [5]: 2).

59 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN

Melalui uraian di atas dapat di tarik beberapa kesimpulan

1. Al-Shulhu Menurut Ath- Thabari yaitu mengadakan perdamaian terhadap orang yang berselisih. Al-Shulhu menurut tafsir al-Azhar yaitu mencari jalan yang terbaik bagi mereka yang berselisih. Menurut M. Quraish Shihab kata al-Shulhu memiliki makna mendamaikan dalam segala hal termasuk urusan rumah tangga. Al-Shulhu menurut Wahbah Zuhaili ialah kesepakatan damai. Al-Shulhu menurut al- Qurtubi memiliki makna mendamaikan orang yang berseteru dalam bidang apapun dengan ketentuan adanya kesediaan antar kedua belah pihak yang berseteru agar mau berdamai demi mendatangkan kebaikain yang lebih besar untuk mendapatkan kehidupan yang lebih harmonis dan penuh keberkahan.

2. Konsep al-Shulhu (perdamaian) menuruit sayyid Quttub yang terdapat dalam QS. al-Nisa ayat 128 adalah perdamaian dalam rumah tangga yang mana beliau menjelaskan bahwa perdamaian dalam rumah tangga ini dapat dicapai dengan adanya kerja sama antara suami dan istri yang berseteru karena tidak mungkin terjadi perdamaian jika hanya sebelah pihak yang mengupayakannya maka dari itu diperlukan sikap kooperatif untuk mewujudkannya. Selain itu, kedua belah pihak harus senantiasa berbuat ihsan dan kembali kepada ketentuan Allah.

60

Dalam QS. al-Hujurat ayat 9 Sayyid Quttub lanjut menjelaskan mengenai makna al-Shulhu (perdamaian) sesama muslim yang mana dapat dicapai dengan beberapa langkah. Langkah pertama yang dapat ditempuh adalah menengahi dengan adil kedua belah pihak muslim yang sedang berseteru, kemudian berusaha menemukan jalan keluar terbaik dan menyeru kedua belah pihak untuk kembali pada hukum Allah, jika tidak berhasil maka jalan yang ditempuh adalah memeranginya hiongga kembali kepada jalan Allah, bersifat toleransi dan saling tolong menolong.

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian skripsi dengan judul konsep al-Shulhu dalam surah al-Nisa ayat 128 dan surah al-Hujurat ayat 9 (studi penafsiran sayyid quhb dalam kitab tafsir fī zhilāl al-Qur‟an, Peneliti memberikan saran kepada pembaca agar diadakan penelitian lebih lanjut terkait dengan konsep al-Shulhu menurut mufassir lain dan menggunakan metode yang lain, dan peneliti berharap hasil penelitian ini bisa menjadi acuan bagi para peneliti selanjutnya.

61

DAFTAR PUSTAKA

A.Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan, Jakarta: Kencana, 2017.

A. Thoha Husein dan A. Atho‟ilah Fathoni al-Khalil, Kamus al-Waafi, Depok:

Gema Insani, 2016.

Abdul Azis Dahlan. Eniklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Abd. Halim, “Budaya Perdamaian Dalam Al-Qur‟an”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al- Qur‟an dan Hadits, Vol. 15, Nomo 1, Januari 2014, hlm. 24.

Abdul Wahid Haddade, “Konsep Al-Ishlah Dalam Al-Qur‟ān ”, Tafsere, Vol. 4, Nomor 1, Tahun 2016, hlm. 13.

Abu „Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an, Jilid. 5, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993

Abu al-Husain, Mu‟jam Maqāyis al-Lugah, Juz III, Beirut: Dār al-Fikr, 1979.

Abu Bakar Adnan Siregar, “Analisis Kritis Terhadap Tafsir Fi Zhilal al-Qur‟an Karya Sayyid Quthb”, Ittihad, Vol. 1, Nomor 2, Juli-Desember 2017, hlm.

257.

Agus Sulistiantono, “Perdamaian dalam Perspektif Al-Qur‟ān Kajian Atas Penafsiran Nusantara”, Skripsi, Fakultas Uhuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2019.

Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung; Tafakur, 2013.

Amirullah Kandu, Ensiklopedi Dunia Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Amroeni Drajat, Ulumul Qur‟an:Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur‟ān , Depok:

Kencana, 2017.

Andi Rosa, Tafsir Kontemporer: Metode dan Orientasi Modern dari Para Ahli dalam Menafsirkan Ayat al-Qur‟an, Serang: Depdikbud Banten Press, 2015.

Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme, Jakarta Selatan: Friedrich Nauman Stiftung, 2011.

62

Dewi Murni, “Toleransi Dan Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Al-Qur‟an”, Jurnal Syahadah, Vol. 6, Nomor 2, Oktober 2018, hlm. 73.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟ān dan Terjemahnya Juz 1-Juz 30, Surabaya: CV. Aisyah, 1998.

Departemen Agama Republik Indonesia, Hubungan Antar Umat Beragama:

Tafsir Al-Qur‟an Tematik, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2008.

Faisal Ismail, Islam Doktrin dan Isu-Isu Kontemporer, Yogyakarta: IRCiSoD, 2016.

Faydullah bin Musa al-Hasani, Fath Al-Rahman Li Thalib Ayat Al-Qur‟an, Lebanon: Dar Al-Kutub Al-„Ilmiyah, 2012

Fikri “Transformasi Nilai Al-Islah Terhadap Keberagaman Konflik: Epistemologi Hukum Islam dalam Al-Qur‟ān”, Al-Risalah, Vol. 16, Nomor 2, Desember 2016, hlm. 201.

Hamka, Tafsir al-Azhar, Depok: Gema Insani, 2015, cet. Ke-1.

Hayuni Malia, “Konsep Al-Hubb dalam Surah at-Taubah ayat 71 dan Surah al- Balad Ayat 17 (Studi Penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilal al- Qur‟an), Skripsi, FUSA UIN Mataram, Mataram, 2021.

Husnatul Mahmudah. “Etika Islam Untuk Perdmaian Perspektif Fikih”. Jurnal IAI Muhammadiyah Bima. Vol. IX,Nomor 2, Desember 2016, hlm. 359.

Imam Taufiq. Al-Qur‟ān Bukan Kitab Teror, Yogyakarta: Bintang Pustaka, 2016.

Imam Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat al-Qur‟an, Terj. Ali Nurdin, Jakarta: Qisthi Press, 2017

Ilmia Alif Rosyidah, “Konsep Mahabbatullah Penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilal Al-Qur‟an”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2019.

Ilyas Hasan, Para Perintis Zaman Baru Islam, Terjemah, Bandung: Mizan, 1995.

Jamaluddin ibn Manzur, Lisānul Arāb, Beirut: Darul Ma‟arif, 2008

M. Prakoso Aji dan Jerry Indrawan “Memahami Studi Perdamaian Sebagai Bagian dari Ilmu Hubungan Internasional”, Jurnal Pertahanan dan Bela Negara, Vol. 9, Nomor 3, Desember 2019, hlm. 69.

Dokumen terkait