36
akulturasi budaya ke dalam tradisi Islam. Kendatipun demikian, pada saat ini kedua aliran tersebut terus berdampingan seiring perkembangan zaman. Setra guru berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti mantra mulia, sedangkan aliran „Dukun malaikat‟
muncul setelah Islam masuk. Hingga kini, dalam dalam komunitas perkampungan jumlah dukun kampung mencapai ratusan.
37
bertanggung jawab. Selanjutnya nilai “Nété tarajé nincak hambala” (ketertiban dan kedisiplinan dalam mencapai suatu maksud). Jadi, orang Sunda berkeyakinan sangat penting untuk menjaga ketertiban dan kedisiplinan dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian nilai “Bentik curuk balas nunjuk, capétang balas miwarang” (telunjuk lentik karena menunjuk, pandai berbicara karena menyuruh).
Dari nilai tersebut, diketahui nilai budaya masyarakat yaitu dinilai rendah sekali seseorang yang hanya pandai menyuruh suatu pekerjaan yang dia sendiri tidak mau dan pandai mengerjakannya, karena hal itu akan berpotensi memunculkan konflik, sedapat mungkin agar masyarakat terhindar dari sifat yang demikian.
c. Nilai kearifan lokal yang mencerminkan kejujuran. “Ngadék sacékna, nilas saplasna” (ketetapan dan kesesuaian), yang dapat dimaknai bahwa segala sesuatu hendaknya harus berkesesuaian dengan keadaan, tidak dikurangi dan tidak ditambahkan.
d. Nilai kearifan lokal yang mencerminkan sikap sopan santun. “Ulah nyeungseurikeun upih ragrag” (jangan menertawakan sesuatu yang akan terjadi).
Terdapat kandungan nilai dalam peribahasa tersebut, yaitu sikap hormat dan sopan santun terhadap seseorang yang lebih tua. Hal ini tentu saja sangat penting dilakukan karena merupakan sikap terpuji dan jauh dari hal yang berpotensi memunculkan konflik.
e. Nilai kearifan lokal yang mencerminkan rasa kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama. “Ulah cara ka kembang malati, kudu cara ka picung” (jangan seperti kembang melati, harus seperti pada keluak). Peribahasa ini sering diucapkan oleh orang tua kepada anaknya, agar tidak lekas jemu atau bosan dalam menjalin hubungan, harus tetap terpelihara walaupun usia semakin senja. “Meungpeun carang ku ayakan” (menutup wajah dengan alat untuk mengayak). Dari kalimat tersebut tercermin nilai kearifan masyarakat Sunda yang mengajarkan untuk senantiasa peduli dan saling mengingatkan satu sama lain, karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. “Paheuyeuk-heuyeuk leungeun” (sikap saling tolong menolong). Kalimat ini mengekspresikan pentingnya kerjasama dalam kehidupan, karena kerja sama merupakan suatu usaha bersama yang membuat pekerjaan akan terasa ringan dan akan cepat selesai.
f. Nilai kearifan lokal yang mencerminkan keadilan. “Landung kandungan laér aisan” (panjang ke bawah kandungan, panjang ke bawah gendongan). Peribahasa
38
ini dimaknai, sebagai sikap keadilan yang dipedomani oleh masyarakat Sunda, karena seseorang harus menerapkan sikap besar pertimbangan, bijaksana, dan adil.
g. Nilai kearifan lokal yang mencerminkan sikap baik dan rendah hati. “Ati putih badan bodas” (hati yang bersih dan badan yang bersih). Kalimat ini menunjukan bahwa masyarakat Sunda hendaklah memiliki hati yang baik dan tidak pernah berniat jahat kepada siapapun.
h. Nilai kearifan lokal yang mencerminkan sikap toleransi, cinta damai, dan persatuan. “Nangtung di kariungan, ngadeg di karageman” (berdiri diperkumpulan, berdiri dikekompakan). Kata kariungan dikonotasikan sebagai musyawarah yang berarti kegiatan berunding atau berembuk untuk mengambil putusan bersama. Kemudian kata karageman dikonotasikan bermakna mufakat.
Selanjutnya, nilai “Hérang caina beunang laukna” (menangkap ikan tanpa mengeruhkan airnya). Kalimat ini mencerminkan kepribadian masyarakat Sunda yang cinta damai. Jadi sangat terpuji orang yang bijaksana dalam menyelesaikan perselisihan tanpa merugikan pihak manapun. Kemudian nilai “bengkung ngariung bongkok ngaronyok” (melengkung berkumpul, bungkuk berkumpul).
Mekanisme dalam Penyelesaian Konflik
Dinyatakan dalam (Rahmatiani et al., 2020) bahwa salah satu alternatif yang dilakukan oleh elite desa dalam mengatasi konflik yang terjadi adalah dengan menggunakan prinsip yang dipedomani oleh masyakat Sunda, yaitu silih asah, silih asuh, silih asih. Hal ini selaras dengan pandangan hidup orang Sunda yang menganjurkan agar rukun, mendahulukan kebersamaan “karageman”, mempunyai pertimbangan yang adil, mempunyai pandangan ke depan, sehingga selalu siap kalau pada suatu waktu menghadapi kesukaran, harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, harus bijaksana ketika timbul ketegangan atau kekeruhan, suka tolong-menolong, hemat serta pandai mengatur rezeki, tahu diri, tahu aturan, kalau berkata tidak sembarangan sehingga tak mudah berubah-ubah, sabar dan tekun dalam mengerjakan sesuatu dan lain-lain. Adapun penjelasan prinsip di atas, sebagai berikut:
a) Silih asah adalah mekanisme penyelesaian suatu konflik masyarakat dimana dengan mengedepankan rasa silih asah, yaitu rasa saling belajar, belajar dalam hal untuk menjaga kelestarian alam, agar alam Sunda senantiasa indah lestari.
Pandangan yang demikian mengandung tafsiran agar manusia harus bisa hidup
39
berdampingan dan membawa kebaikan untuk kehidupan.
b) Silih asuh hadir dalam penyelesaian konflik kepercayaan yang tumbuh di masyarakat. Rasa silih asuh menitiberatkan pada rasa saling menjaga, masyarakat harus saling menjaga persudaraan dengan sesama kelompok masyarakat. Untuk dapat mengedepankan rasa perdamaian secara kekeluargaan, masyarakat menjaga kerukunan dan keragaman dengan saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
c) Silih asih, merupakan mekanisme ketiga dalam resolusi konflik yang koheren dengan prinsip sebelumnya, yang mengajarkan masyarakat untuk menumbuhkan rasa saling menyayangi. Sebagai pribadi, seyogyanya manusia Sunda menjaga hubungan pribadi dengan alam dan masyarakat yang diinternalisasikan dalam bentuk kasih sayang.
Para Pihak yang Bertanggung Jawab dalam Menyelesaikan Konflik
Masyarakat Adat dalam menyelesaikan konflik menyerahkan sepenuhnya kepada Tokoh Adat. Tokoh adat inilah yang berfungsi sebagai hakim/pemutus atau penengah/
mediator. Peran Mediator dalam prosesi mediasi memperlihatkan sejumlah sikap yang mencerminkan tipe mediator. Sikap mediator dapat dianalisis dari dua sisi dimana mediator melakukan suatu tindakan semata-mata ingin membantu dan mempercepat proses penyelesaian sengketa. Pada sisi lain, tindakan mediator dalam melakukan negosiasi tidak seluruhnya dapat memuaskan para pihak yang bersengketa (Busroh, 2017).