لاَبي لۡٱ ۡ
A. Definisi Tawâdhu’
2. Menurut Istilah
Salah satu akhlak mulia yang menjadi fokus perhatian kaum sufi adalah tawâdhu’. Mereka antusias menerapkannya pada diri mereka sebagai bentuk peneladanan terhadap Rasulullah saw yang merupakan model utama kaum mukmin dalam masalah tawâdhu’. As-Suhrawardi mengatakan: “Salah satu kebaikan budi pekerti kaum sufi adalah tawâdhu’.”3 Menurut istilah, tawâdhu’
1 Fathia Akhyar, dkk, Mencari berkah dari Tawâdhu’, Tawakkal, dan Ikhlas, (Bekasi: Al-Maghfirah, t.t), h. 3
2 Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, At-Tawâdhu’ fî Dhau-il Kitâb was-Sunnah, terj.
Zaki Rahmanawan, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2007), h. 5
3 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), cet.
1, h. 330
berarti “merendahkan diri dan santun terhadap sesama”, tawâdhu’
juga berarti “engkau tidak melihat dirimu memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah SWT. yang lainnya.” Jadi, tawâdhu’
adalah tunduk dan patuh kepada otoritas kebenaran, serta kesediaan menerima kebenaran itu dari siapa pun yang mengatakannya, baik dalam keadaan ridha maupun marah.4
Seorang muslim itu haruslah memiliki sifat tawâdhu’ tanpa merendahkan dan menghinakan diri. Tawâdhu’ merupakan salah satu akhlak yang tinggi dan mulia, yang pantas diteladani oleh siapapun. Lain halnya dengan sombong, seorang muslim tidak boleh memilikinya, tidak pantas baginya untuk menyandangnya.
Seorang muslim itu tawâdhu’ agar diangkat derajatnya di sisi Allah SWT., dan tidak sombong hingga menjadi rendah dan hina.5
Masyarakat akan senang dan tidak ragu bergaul dengannya.
Bahkan lebih dari itu derajatnya di hadapan Allah SWT. semakin tinggi. Di samping mengangkat derajatnya, Allah memasukkan orang-orang yang tawâdhu’ ke dalam kelompok hamba-hamba yang mendapatkan kasih sayang dari Allah yang Maha Penyayang.6
Sikap tawâdhu’ sangat dekat dengan sifat ikhlas.
Keikhlasan seorang hamba ada pada ketawâdhu’annya. Orang yang mampu bersikap tawâdhu’ berarti keikhlasan telah bersarang dalam hatinya. Tawâdhu’ hubungannya bersifat horizontal karena tawâdhu’ hubungannya manusia secara sosial. Sedangkan ikhlas, lebih bersifat vertikal karena langsung berhubungan dengan Allah.
4 Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, At-Tawâdhu’ fî Dhau-il Kitâb was-Sunnah, terj.
Zaki Rahmanawan, h. 6
5 Musthafa Murad, Minhajul Mukmin: Pedoman Hidup Seorang Mukmin, (Solo:
Pustaka Arafah, 2011), h. 256
6 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999), h. 124
Tawâdhu’ bukan berarti menghinakan diri, tapi merupakan bentuk penghambaan terhadap Allah SWT. yang sesungguhnya.7
Sebenarnya tawâdhu’ itu hanyalah sifat terpuji yang tersimpan dalam hazanah kalbu seorang hamba Allah. Ia tidak menunjukkan sifat-sifatnya itu, ia hanya meneladani akhlak Rasulullah. Ia sendiri tidak merasa memiliki sifat tersebut karena yang dipakai dan ditiru adalah sifat Rasulullah saw. kekuasaan Allah adalah sifat yang ada pada-Nya, Dia bersifat Maha Kuasa.
Selama manusia tidak memperhatikan sifat-sifat kemuliaan yang ada pada Allah, selama itu pula ia merasa lebih dari manusia lainnya, dan dengan sifat itu ia telah takabur.8
Sesungguhnya tawâdhu’ yang benar adalah ketika seseorang mampu menentukan posisinya di hadapan keagungan Allah SWT., yaitu bahwa dirinya adalah nol dan tidak ada artinya di hadapan Dzat yang Maha Mutlak dan tak terbatas. Selain itu, ia juga harus memiliki jati diri yang mampu merefleksikan hal itu.
Orang-orang kamil yang memiliki kepribadian yang telah terjalin dengan pemahaman semacam itu, mereka mampu mencapai fitrah, dan mereka adalah orang-orang yang tawâdhu’ dalam hubungan mereka dengan manusia yang juga memilki ketenangan yang sempurna.9 Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami menemukan kedermawanan didalam takwa,
7 Fathia Akhyar, dkk, Mencari berkah dari Tawâdhu’, Tawakkal, dan Ikhlas, h. 4
8 Syekh Ahmad Atailah, Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), Cet. I, h. 547
9 Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kita Semua, (Jakarta: Republika, 2013), cet. 1, h. 155
kecukupan di dalam keyakinan, dan kemuliaan di dalam tawâdhu’.”10
Tawâdhu’ merupakan perilaku mulia di antara dua perilaku nista atau tengah-tengah antara sombong dan rendah hati. As- Suhrawardi mengatakan, “Tawâdhu’ adalah menjaga keseimbangan antara sikap tinggi hati (al-Kibr) dan rendah hati (adh-Dhi’ah). Tinggi hati berarti meninggikan diri melebihi kadarnya, sementara rendah hati berarti menempatkan diri pada posisi yang membuatnya dicemooh dan bisa berakibat pada penyia-nyiaan haknya.”
Selanjutnya As-Suhrawardi mengemukakan beberapa contoh sikap tawâdhu’ Rasulullah saw. ia mengatakan:
“Aktualisasi sikap tawâdhu’ Rasulullah saw antara lain, beliau mau memenuhi undangan orang tanpa pandang bulu, apakah ia berstatus orang merdeka atau budak, dan berkenan menerima hadiah, meskipun hanya seteguk susu atau sepotong paha kelinci, lalu memakannya dan membalas hadiah tersebut. Beliau juga tidak sungkan-sungkan untuk memenuhi undangan budak perempuan dan orang miskin.”11
Dzunnun al-Mishri mengatakan “Indikator tawâdhu’ ada tiga: mengecilkan diri karena tahu akan aib dan kekurangan, hormat terhadap orang lain sebagai bentuk penghormatan pada tauhid (yang mereka genggam), dan mau menerima kebenaran dan nasihat dari siapapun.”12
10 Sai’id Hawa, Menyucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun-Nafs, (Jakarta: Robbani Press, 1998), cet. I, h. 183
11 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, h. 330-331
12 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, h. 331
Fudhail bin ‘Iyadh, pernah ditanya oleh seseorang tentang tawâdhu’. Ia menjawab: “Tawâdhu’ berarti kau bersedia tunduk pada kebenaran dan mematuhinya, mau menerimanya dari orang yang mengatakannya dan mau mendengarkannya.”13 Dalam kesempatan lain juga ia berkata: “Siapa yang merasa dirinya berharga, maka ia tidak mendapat bagian dari sifat tawâdhu’.”
Menurut Khazin Abu Faqih, tawâdhu’ adalah lawan kata dari kesombongan. Berasal dari lafazh adh-dha’ah, yang berarti
“kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah dari kedudukan yang semestinya ia peroleh, atau rendah hati terhadap orang yang seiman, lemah lembut terhadap sesama muslim, terhindar dari sifat ghurur (tertipu) terhadap diri sendiri dan mau menerima kebenaran apapun bentuknya dan dari siapapun asalnya.”14
Tawâdhu’ itu termasuk salah satu sarana tazkiyatun-nafs, karena ia dapat menjauhkan jiwa dari kesombongan dan ujub. Al- Ghazali berkata, Rasulullah saw bersabda: “Berbahagialah orang yang tawâdhu’ tanpa menghinakan diri, menginfakkan harta yang dikumpulkannya kepada hal yang tidak bermaksiat, mengasihi orang yang merendah dan hina, dan bergaul dengan ahli fiqih dan hikmah.” (H.R. al-Baghawi, Ibnu qani’, Thabrani, dan al- Bazzar).15
Dikatakan kepada Abdul Malik bin Marwan, “Siapakah orang yang paling utama?” Ia berkata, “Orang yang tawâdhu’
pada saat berkuasa, zuhud pada saat berambisi, dan tidak
13 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, h. 331
14 Khazin Abu Faqih, Tangga Menuju Kemuliaan Tawâdhu’, (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2007), cet. 3, h. 1
15 Sai’id Hawa, Menyucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun-Nafs, Cet. I, h. 181-182
membalas pada saat kuat melakukannya”. Ziad an-Namir berkata,
“Orang zuhud tanpa tawâdhu’ seperti pohon yang tidak berbuah.”16
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata: “Tawâdhu’
adalah mengakui kekuasaan Allah SWT. dengan merendahkan diri, tunduk dan patuh kepada-Nya, serta menghambakan diri kepada-Nya”. Ia juga mengatakan: “Engkau tidak akan mendapatkan derajat tawâdhu’ sehingga mau menerima kebenaran dari orang yang kau cintai dan yang engkau benci, mau menerimanya dari musuh sebagaimana menerimanya dari kekasih.”17
Menurut Syaikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) di dalam kitabnya yaitu Al-Hikam menjelaskan “Siapa yang merasa dirinya tawâdhu’ (rendah hati), berarti ia orang yang sombong (takabur). Sebab, anggapan diri tawâdhu’ tidak akan muncul kecuali dari sikap tinggi hati. Maka, saat engkau menyandangkan keagungan (tinggi hati) itu pada dirimu, berarti engkau benar-benar orang yang sombong.18
Sikap tawâdhu’ terhadap sesama manusia adalah sifat mulia yang lahir dari kesadaran akan Kemahakuasaan Allah SWT. atas segala hamba-Nya. Manusia adalah makhluk lemah yang tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT. Manusia membutuhkan karunia, ampunan dan rahmat dari Allah. Tanpa rahmat, karunia
16 Sai’id Hawa, Menyucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun-Nafs, h. 182
17 Khazin Abu Faqih, Tangga Menuju Kemuliaan Tawâdhu’, h. 2
18 Syaikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikâm, terj. Ismail Ba’adillah (Jakarta: Khatulistiwa Press, 2012), h. 253
dan nikmat dari Allah, manusia tidak akan bisa bertahan hidup, bahkan tidak akan pernah ada di atas permukaan bumi ini.19
Orang yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri, karena rendah diri berarti kehilangan kepercayaan diri. Sekalipun dalam praktiknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan dirinya di hadapan orang lain, tapi sikap tersebut bukan lahir dari rasa tidak percaya diri.20
Orang yang tawâdhu’ menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk rupa yang cantik atau tampan, ilmu pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan dan lain-lain sebagainya, semuanya itu adalah karunia dari Allah SWT.. dalam QS. An-Nahl [16]: 53 Allah SWT.. berfirman:
اَمَو َنِمَف ٖةَمۡعِ ن نِ م مُكِب هِّللٱ
ُمُك ّسَم اَذِإ ّمُث ُ ُضّلٱ
ۡجَت ِهۡ َلَِإَف َ وُرُو
٥٣
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, Maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.”
Dengan kesadaran seperti itu sama sekali tidak pantas bagi dia untuk menyombongkan diri sesama manusia, apalagi menyombongkan diri terhadap Allah SWT.21
Tawâdhu’ mempunyai dua arti: pertama, engkau tunduk dan menerima kebenaran dari siapapun. Sebab, diantara kita ada yang hanya mau menerima kebenaran dari orang yang lebih tua.
Bila kebenaran itu datang dari yang lebih muda, atau lebih rendah
19 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999), h. 123
20 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, h. 123
21 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, h. 123
kedudukannya, ia tidak menerimanya. Sifat tawâdhu’ tidaklah demikian. Bila tawâdhu’ engkau mau menerima kebenaran dari siapa pun, baik kaya maupun miskin, kalangan terhormat maupun rakyat jelata, orang kuat maupun lemah, musuh maupun teman.
Kedua, tawâdhu’ berarti merendahkan sayap kepada manusia.
Maksudnya, engkau ramah dan lembut saat bergaul dengan orang lain, siapa pun dia. Entah pembantu, pelayan, orang terhormat, orang biasa, orang rendahan, ataupun orang besar.22
Kita harus bersikap rendah hati di hadapan semua manusia, namun lebih harus lagi di hadapan kedua orang tua, guru dan orang-orang mukmin. Sikap tawâdhu’ di hadapan orang-orang beriman adalah salah satu tanda orang beriman. Kita sebagai manusia ini lemah, tercipta dari tanah dan sperma, dan kelak akan menjadi bangkai. Maka dari itu kita tidak boleh bersikap sombong karena kita tidak pantas untuk bersikap seperti itu.
Seseorang belum dikatakan tawâdhu’ kecuali bila telah melenyapkan kesombongan, keangkuhan, dan rasa bangga diri yang ada dalam hatinya. Semakin kecil sifat-sifat tersebut dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawâdhu’annya.23
Oleh karena itu, sifat tawâdhu’ perlu dimiliki oleh setiap muslim yang saleh, akan tetapi tempat tawâdhu’ itu di dalam hati.
Jika tawâdhu’ itu nampak di luar diri seseorang, itulah akhlak mahmudah. Karena tawâdhu’ adalah termasuk akhlak terpuji bagi manusia beriman.24 Sifat tawâdhu’ harus terus menerus dibina dan dikembangkan agar menjadi suatu watak dan kepribadian. Sifat ini bukanlah mengurangi kehormatannya, tetapi justru akan
22 Amer Khalid, Buku Pintar Akhlak, (Jakarta: Zaman, 2012), cet. VI, h. 53-54
23 Khazin Abu Faqih, Tangga Menuju Kemuliaan Tawâdhu’, h. 2
24 Syekh Ahmad Atailah, Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam, Cet. I, h. 545
menambah ketinggian derajatnya. Dan semakin banyak ilmu yang dimiliki akan semakin menambah rasa tawâdhu’. Seperti pribahasa ilmu bagaikan padi, semakin berisi semakin merunduk.25