نوُلِهَٰ َج ۡلٱ
B. Saran-Saran
87 PENUTUP A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan mengenai tawâdhu’ dalam tafsir al-Jailânî dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Tawâdhu’ merupakan akhlak mulia yang terpancar dari keimanan, sebab bila keimanan telah bersemayam dalam hati dan mengakar dalam qalbu, maka ia akan mengusir sifat keangkuhan dan kesombongan. Menurut pandangan Syekh Abdul Qâdir al-Jailânî, Tawâdhu’ mengandung konsekuensi tidak menolak kebenaran dari orang lain, apapun itu, kemudian menjalankan kebenaran tersebut.
Tawâdhu’ juga meniscayakan pelakunya untuk memandang dirinya dengan pandangan minor (kecil) demi menghilangkan kecenderungan sombong dan angkuh. Sebaliknya, ia dituntut untuk memandang orang lain dengan pandangan apresiatif (penuh penghormatan) agar tidak ada hasrat untuk berbuat zalim (semena- mena) terhadap mereka. Kemudian tawâdhu’nya seorang hamba terhadap Tuhannya adalah ketika seseorang mampu menentukan posisinya di hadapan keagungan Allah SWT., yaitu bahwa dirinya adalah nol dan tidak ada artinya di hadapan Dzat yang Maha Mutlak dan tak terbatas.
2. Hendaknya para pengkaji tafsir untuk memperluas kajiannya kepada topik-topik lain di dalam tafsir para ulama mutaqaddim yang telah memberikan kontribusinya terhadap keilmuan Islam, sehingga dapat diketahui pandangan ulama terhadap topik-topik sentral tersebut dan akan memunculkan keutuhan suatu pandangan dari para mufassir.
89 Nasional Pte Ltd, 1990.
Abidu, Yunus Hasan, Tafsir Al-Qur`an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Abu Faqih, Khazin, Tangga Menuju Kemuliaan Tawadhu‟, Jakarta: Al- I’tishom Cahaya Umat, 2007
Al-‘Afifi, Thaha Abdullah, Sifat dan Pribadi Muhammad saw, Jakarta:
Senayan Publishing, 2007.
Akhyar, Fathia, dkk, Mencari berkah dari Tawadhu‟, Tawakkal, dan Ikhlas, Bekasi: Al-Maghfirah, t.t.
Atailah, Ahmad, Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010.
Audah, Ali, Konkordansi Qur‟an: Paduan kata dalam mencari Al-Qur`an, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1996.
bin Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Beirut: Dar al-Fikr.
Bin ‘Ied al-Hilali, Salim, At-Tawâdhu‟ fî Dhau-il Kitâb was-Sunnah, terj.
Zaki Rahmanawan, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2007.
bin Musfir al-Qathani, Said, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Bekasi, Darul Falah, 2011.
Daud, Ma’mur, Terjemah Hadis Shahih Muslim, Malaysia: Klang Book Centre, 1990.
Departemen agama RI, Al-Qur`an dan Tafsirnya, Jakarta: Depag RI, 2009.
Fidiyanti, Latifah, “Sabar dan Syukur menurut Syaikh „Abd Al-Qadir Al- Jilani”, Skripsi diajukan ke program sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2008.
Gulen, Muhammad Fethullah, Tasawuf Untuk Kita Semua, Jakarta:
Republika, 2013.
Hadhiri SP, Choiruddin, Akhlak & Adab Islami, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2015.
Al-Hafidz, Ahsin W., Indeks Al-Qur`an, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006.
Hajjaj, Muhammad Fauqi, Tasawuf Islam dan Akhlak, Jakarta: Amzah, 2011.
Hawa, Sai’id, Menyucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun-Nafs, Jakarta: Robbani Press, 1998.
as-Sakandari, Ibn ‘Atha’illah, Kitab Al-Hikam, terj. Ismail Ba’adillah, Jakarta: Khatulistiwa Press, 2012.
Hidayat, Mohammad, “Penafsiran ayat-ayat mutashabihat dalam tafsir Al- Jilani karya Syakh „Abd Al-Qadir Al-Jilani”, Skripsi diajukan ke program sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2012.
Ichwan, Muhammad Nor, Tafsir „Ilmi, Yogyakarta: Menara Kudus dan Rasail, 2004.
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999.
Irawan, Prasetyo, dkk, Metode Penelitian, Jakarta: Universitas Terbuka, 2009.
Iskandar, Arief B., Percikan Cahaya Ilahi: Petuah-Petuah Syekh Abdul Qodir al-Jailani, Bandung: Pustaka Hidayah, 1988.
al-Jailani, Abdul Qadir, Fathur Rabbany, terj. Achmad Sunarto, Bandung:
Penerbit Husaini, 1995.
al-Jailani, Abdul Qadir, Al-Fath ar-Rabbani wa al-Faidh ar-Rahmani, terj.
Abu Hamas M. Sasaky, Jakarta: Khatulistiwa Press, 2009.
al-Jailani Al-Hasani, Mohamed Fadil, Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Depok: Keira Publishing, 2016.
al-Jailani, Abdul Qadir, Tafsir al-Jailani, terj. Muhammad Fadhil Jailani al- Hasani, Jakarta: Penerbit Salima Publik & Markaz al-Jailani.
al-Jailani, Abdul Qadir, Tafsir al-Jailani, Istanbul: Markaz al-Jailani li al- Buhuts al-Ilmiah, 2009.
al-Jailani, Abdul Qadir, Sir al-Asrar fi ma Yahtaju Ilaihi al-Abrar, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002.
al-Jailani, Abdul Qadir, Futuh Al-Ghayb, terj. Syamsu Basarudin, Bandung:
Penerbit Mizan, 1981.
al-Jailani, Abdul Qadir, Al-Fathur Rabbani Wal Faidhurrahmani, terj. Al- Katib Hamid Salmani, Surabaya : Citra Pelajar, 1997.
al-Kailani, Abdul Razzaq, Syaikh Abdul Qadir Jailani Guru Para Pencari Tuhan, terj. Aedhi Saleh, Rakhman, Bandung: Mizan Pustaka, 2009.
Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur`an al-„Azhim, Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
Khalid, Amer, Buku Pintar Akhlak, Jakarta: Zaman, 2012.
Murad, Musthafa, Minhajul Mukmin: Pedoman Hidup Seorang Mukmin, Solo: Pustaka Arafah, 2011.
Muslim ibn al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Abu al-Husain, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Jalil.
Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Nata, Abudin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Insani, Jakarta: Gema Insani, 1995.
Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS, Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2011.
Quthb, Sayid, Fi Zhilal Al-Qur`an, Kairo: Dar al-Syuruq, 1998.
Rohmah, Maftuhatur, “Konsep Tawadhu‟ dalam perspektif Al-Qur`an”, Skripsi diajukan ke program sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta: 2012.
Sahrodi, Jamali, Metodologi Studi Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.
Sanwani, Arif, 45 Wejangan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Bandung: CV.
Bintang Pelajar, 1995.
Shefaa’, Khuloud, “Tawakal dalam Tafsir Al-Jailani” , Skripsi diajukan ke program sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta: 2012.
Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur`an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur`an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999.
Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Sukarja, Ahmad, dkk, Ensiklopedia Al-Qur`an Kajian Kosakata dan Tafsirnya, Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002.
Asy-Syami, Shalih Ahmad, Nasehat Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Jakarta:
Pustaka Imam Ahmad, 2002.
Yanggo, Huzaemah T., dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta, Jakarta: IIQ Press, 2011.
1. Berdoa dengan sikap rendah hati (tawadhu’) kepada Allah SWT. Bentuk ketawâdhu’an kepada Allah tersebut dapat diwujudkan dengan bentuk merendahkan diri dengan penuh kekhawatiran dihadapan Allah SWT. mengakui dan merasakan dengan sadar bahwa seorang hamba tidak akan mampu berbuat apa-apa tanpa pertolongan Tuhan-Nya.
2. Berdoa dengan suara lembut, yaitu dengan tidak bersuara, khusyu’ di dalam hati, dan tidak menggerakan dengan lisan secara berlebihan. Lisan yang berlebihan yaitu yang melampaui batas dalam mengeraskan suara di dalam berdoa, sebab dengan demikian itu, ia memberitahukan kondisinya tersebut dalam berdoa, yang pada akhirnya mengakibatkan sikap sombong di dalam dirinya.
Pada ayat tersebut menjelaskan seruan kepada manusia untuk senantiasa mengingat Allah SWT kapanpun dan dimanapun manusia berada.
• Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani bahwa setiap orang hendaknya sadar dan senantiasa mengingat Allah (zikrullâh) di waktu siang dan malam, baik secara zahir maupun secara batin.
Berdzikir mengingat Allah disetiap gerak dan detik, setiap berdiri dan duduk, setiap berjalan dan berbaring, karena perbuatan itu menambah taqarrub atau kedekatan kepada Allah. Dan hal itu dilakukan dengan cara tawadhu’ dan rasa takut, menyadari bahwa segala gerak-gerik kita diawasi oleh Allah SWT.
• Menurut Hamka merendah diri, yang disebut tadharru’ ini adalah meyadari bahwa diri ini hina dihadapan Allah SWT. kita ini tidak lebih daripada ‘Abid yaitu hamba dihadapan Allah yang Maha Mulia, Maha Kaya dan Maha Kuasa. Kita serahkan diri bulat-bulat kepada Allah SWT.
• Sedangkan Sayid Quthb dalam penjelasannya menerangkan bahwa bentuk tadharru’ atau ketundukan seorang hamba dihadapan Tuhannya adalah dengan cara ikhlas menerima semua ketetapan Allah di dalam agama, dan menetapkan penghambaan diri secara mutlak hanya kepada-Nya
•
Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani Intisari pada ayat di atas yaitu ada 2 sebab mengapa Allah mengutus seorang Nabi dalam suatu Negeri, Pertama, karena negeri tersebut sudah rusak penduduknya, maka Allah timpakan kepada mereka kesempitan dan penderitaan, kesempitan berupa adanya pemimpin yang dzalim, peniadaan pihak lain atas mereka, serta petaka yang diakibatkan oleh peperangan. Penderitaan seperti kemiskinan, penyakit serta krisis yang beragam, Kedua, Bukti Allah mengutus Nabi pada suatu negeri yaitu agar penduduknya sadar dan rendah diri (tunduk) kepada Allah SWT. Maka dari itu harapan Allah mengutus Nabi pada suatu negeri yaitu menyadarkan manusia dan agar manusia merasa tawâdhu’ dihadapan Allah SWT.
• Pendapat al-Jailânî sejalan dengan pendapat Hamka bahwa kesusahan dan kemelaratan yang ditimpakan Allah kepada mereka hendaknya menyebabkan mereka itu merendahkan diri dan
Pada ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang kafir mempunyai ketakaburan yang luar biasa,
• menurut Syekh Abdul Qâdir al-Jailânî sombongnya mereka kepada Allah, mereka tidak
memperhatikan sama sekali ancaman-ancaman dari Allah, Syariat Allah dianggap suatu hal yang remeh, dan tidak mau mengamalkannya. Padahal Allah sudah memberikan 3 ancaman kepada orang-orang kafir yaitu berupa kegersangan tanah, kekurangan hujan dan kematian mereka pada perang badar, akan tetapi kesombongan mereka semakin menjadi-jadi, akibat
kesombongan tersebut hilanglah rasa tunduk dan rendah hati mereka kepada Allah, sesungguhnya Allah memberikan 3 ancaman tersebut untuk menyadarkan mereka bahwa mereka harus tunduk dan rendah diri kepada Allah SWT.
• Menurut Quraish Shihab, ayat ini menyatakan bahwa mereka tidak bergeming mengubah sikap mereka untuk tunduk kepada Tuhan yang selama ini berbuat baik kepada mereka. Dan bahkan mereka bersikap angkuh dan terus menerus tidak memohon kepada Allah dengan merendahkan diri sambil bertaubat atas kedurhakaan mereka apalagi setelah bencana itu Allah lenyapkan.
• Ayat tersebut menjelaskan tentang tawâdhu’ nya seorang anak kepada kedua orangtuanya. Di dalam tafsir al-Jailânî dijelaskan bahwa seorang anak diperintahkan untuk bersikap rendah diri (tawâdhu’) dihadapan orangtuanya, yang didorong oleh rasa kasih sayang kepada keduanya, tanpa menguranginya sedikitpun.
• Menurut Quraish Shihab ayat ini memerintahkan anak untuk merendahkan diri terhadap kedua orang tua, hal tersebut didorong oleh rahmat kasih sayang kepada keduanya, bukan karena takut atau malu dicela orang bila tidak menghormatinya
• Menurut tafsir al-Jailânî ayat ini perintah untuk berendah hati kepada orang yang beriman, yakni orang yang mengikuti Nabi sebab kekosongan hatinya, bersihnya tingkah mereka yang tidak tercampuri sifat riya dan sum’ah dan juga kotoran hawa nafsu yang rusak.
• Adapun menurut Quraish Shihab bahwa kata rendah hati disana mengilustrasikan sikap dan perilaku seseorang seperti halnya seekor burung yang merendahkan sayapnya pada saat ia hendak mendekat dan bercumbu kepada betinanya, demikian juga bila ia melindungi anak- anaknya. Sayapnya terus dikembangkan dengan merendah dan merangkul serta tidak beranjak meninggalkan tempat dalam keadaan demikian sampai berlalunya bahaya. Dari sini, ungkapan itu dipahami dalam arti kerendahan hati, hubungan harmonis dan perlindungan, dan ketabahan bersama kaum beriman, khususnya pada saat-saat sulit dan krisis.
perbuatan itu termasuk di antara sifat orang sombong, yang muka mereka akan diasah oleh Allah dengan api jahanam.1
Orang yang mengaku berilmu hanya menjadi jelas pengakuannya bila disertai amal, ikhlas, sabar ketika menerima cobaan, tidak gelisah dan tidak mengadu kepada sesama manusia. Kamu buta mengapa mengaku melihat, kamu sulit menerima mengapa berkata mampu memahami.
Bertaubatlah dari pengakuan yang palsu itu, kembalilah kepada Allah bukan kepada yang lain.
Palingkan perasaanmu dari keberadaan ini dan carilah pencipta yang menciptakan semua makhluk ini. Kamu harus memelihara sikap kekuasaan jiwamu sampai memperoleh ketentraman dan sampai mengenal Alloh SWT. carilah kedamain dunia dan akhirat, kamu harus selalu bertaqwa kepada- NYA
Sangatlah beruntung jika kamu memasang butir butir mutiara ikhlas dalam jiwa, termasuk butir butir taqwa, sabar, dan syukur. Rendahkanlah dirirmu di hadapan Allah, jangan berbuat sombong karena kesembongan itu meneyebabkan kehancuran jangan kamu merasa dirimu lebih berharga, lebih mulia, lebih terhormat, lebih kuat, lebih gagah dan lebih pandai daripada orang lain, karena sifat sifat yang demikian adalah merupakan kesemongan, dan karena memiliki sifat merasa lebih inilah akhirnya menolak kebenaran dan merendahkan kepada orang lain .2
Takut kepada Alloh merupakan sikap mental yang mendorong orang bersikap zuhud, sebab dengan timbulnya sifat ini manusia akan merasa bahwa segala gerak geriknya itu selalau dalam pengawasan Alloh. Ibnu Qudama AL-Muqoddasi menerangkan bahwa takut kepad Alloh itu mendorong orang untuk mempraktekan ilmu dan mendorong orang untuk melakukan banyak kebaikan karena denga ilmu dan amal orang bisa mendakatkan dirinya kepada Alloh
1 Al-Katib Hamid Salmani, 50 Fatwa/ Wejangan Syekh Abdul Qadir Jailani, terj. Al-Fathur Rabbani Wal Faidhurrahmani, (Surabaya, Citra Pelajar, 1997), hal. 215-216
2 Al-Katib Hamid Salmani, 50 Fatwa/ Wejangan Syekh Abdul Qadir Jailani, terj. Al-Fathur Rabbani Wal Faidhurrahmani, hal.217-218
kemaksiatan kemudian tunduk dan patuh terhadap syariat Alloh SWT.
Abu Kasim AL-kasim berkata “barang siapa yang takut dari sesuatu, maka ia lari dari suatu yang di takuti itu, akan tetapi takut kepada Alloh, maka harus lari kepadaNYA” artinya setiap orang yang takut kepad aAlloh maka bertambahlah taatnya kepada Alloh dan selalau menjauhkan dirinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak di ridhoiNYA. Demikianlah orang yang takut kepada Alloh namaoak selalu berdxikir kepadaNYA, tidak banyak bicara yang tidak bermanfaat.
Orang yang takut kepada Alloh akan memeperoleh kedudukan yang terhotmat di hari kiamat nanti.3
Hendaklah kalian di awasi sama Alloh, baik di dalam kesendirian atawpun ditengah keramaian.
Hendaklah engkaw menjadikan matamu seolah olah melihatNYA. Apabalia tidak mampu melihatnya maka sesungguhnya Alloh melihatmu. Barang siapa yang mengingat Alloh dengan hatinya, maka dia benar benar telah mengingatnya. Sebaliknya barang siapa yang tidak mengingatNYA dengan hatinya berarti dia tidak benar benar mengingatNYA. Sebab liasan adalah anak kandung hati, lisan mengikuti hati dan hendaklah kalain membiasakan diri untuk mendengar berbagai nasehat sebab bila hati kosong dari berbagai nasehat, maka ia akan buta .4
3 Al-Katib Hamid Salmani, 50 Fatwa/ Wejangan Syekh Abdul Qadir Jailani, terj. Al-Fathur Rabbani Wal Faidhurrahmani, hal.133-135
4 Arief B. Iskandar, percikan cahaya ilahi : petuah petuah syekh abdul qodir jaelani, (Bandung:pustaka hidayah, 1988), hal. 143-144