BAB III METODE PENELITIAN
3.4 Metode Analisis
Dalam mengelolah dan menganalisa hasil penelitian, alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, uji asumsi klasik dan analisis regresi linear berganda dengan menggunakan data panel yang merupakan kumpulan dari data time series. Analisis ini akan dibantu dengan menggunakan bantuan program SPSS windows.
34
1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel independen dan variabel dependen yang digunakan dalam menganalisis data dengan membuat gambaran data-data yang terkumpul tanpa membuat generalisasi dari hasil penelitian tersebut.
Dalam analisis ini dilakukan pembahasan mengenai bagaimana pengaruh indeks pembangunan manusia dan inflasi terhadap tingkat kemiskinan, dengan rumus sebagai berikut:
a. Rata-rata Hitung (Mean)
Mean merupakan teknik penjelasan kelompok yang didasarkan atas nilai rata-rata dari kelompok tersebut.
Rata-rata hitung (mean) dapat di rumuskan sebagai berikut :
𝑋 =
Σ𝑋𝑖𝑛
Keterangan
𝑋 =
Mean ( Rata-rata)Σ 𝑋
𝑖=
Jumlah nilai X ke I sampai ke n𝑛 =
Jumlah sampel atau banyak datab. Standar deviasi
Standar deviasi atau samping baku dari data yang telah disusun dalam tabel distribusi frekuensi atau data bergolong, dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
𝑆 = Σ f𝑖 𝑋𝑖− 𝑋)2 𝑛 − 1
Keterangan :
S = Simpang Baku Xi = Nilai X ke i sampai n X = Rata-rata nilai n = Jumlah sampel
2. Uji asumsi klasik
Mengingat data penelitian yang digunakan adalah data sekunder, maka untuk memenuhi syarat yang ditentukan sebelum uji hipotesis melalui uji t dan uji F maka perlu dilakukan pengujian atas beberapa asumsi klasik yang digunakan yaitu normalitas, mulltikolinieritas, autokolerasi, dan heteroskedastisitas yang secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah sampel yang digunakan mempunyai distribusi normal atau tidak. Dalam model regresi linier, asumsi ini ditunjukkan oleh nilai error yang berdistribusi normal. Model regresi yang baik adalah model regresi yang dimiliki distribusi normal atau mendekati normal, sehingga layak dilakukan pengujian secara statistik. Pengujian normalitas data menggunakan Test of Normality Kolmogorov-Smirnov dalam program SPSS.
Menurut Singgih Santoso (2012:293) dasar pengambilan keputusan bisa dilakukan berdasarkan probabilitas (Asymtotic Significance), yaitu:
1) Jika probabilitas > 0,05 maka distribusi dari model regresi adalah normal.
36
2) Jika probabilitas < 0,05 maka distribusi dari model regresi adalah tidak norma
b. Uji Multikolonealaritas
Uji multikolinearitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan ada atau tidaknya korelasi antara variabel bebas. Jika terjadi kolerasi, maka dinamakan terdapat problem multikolinierita. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi kolerasi diantara variabel independen. Jika terbukti ada multikolinieritas, sebaiknya salah satu independen yang ada dikeluarkan dari model, lalu pembuatan model regresi diuang kembali (Singgih Santoso, 2010:234). Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas dapat dilihat dari besaran Variance Inflation Factor (VIF) dan Tolerance. Pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinieritas adalah mempunyai angka tolerance mendekati 1.
Batas VIF adalah 10, jika nilai VIF dibawah 10, maka tidak terjadi gejala multikolinieritas (Gujarati, 2012:432).
c. Uji Heterokedastisitas
Heterokedastisitas diuji dengan menggunakan grafik Scatterplot. Jika titik-titik yang ada membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang), maka terjadi heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas, titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Santoso, 2003).
3. Analisis Regresi Linier
Analisis linier berganda digunakan untuk mengetahui besarnya hubungan dan pengaruh variabel bebas (Indeks pembangunan manusia dan inflasi) terhadap variabel terikat (Tingkat kemiskinan). Dalam melakukan analisis penulis menggunakan bantuan program SPSS windows. Maka metode regresi berganda yang digunakan :
Y = a+b X1+b1- X2+e Dimana :
Y = Tingkat Kemiskinan
X1 = Indeks pembangunan manusia X2 = Inflasi
a = Konstanta
b1-b2 = koefisien Regresi e = Standart error
Melalui persamaan regresi tersebut diatas akan diketahui pengaruh variabel bebas (X) tehadap variabel terikat (Y).
4. Uji Hipotesis
Uji hipotesis digunakan pada penelitian ini adalah:
a. Identifikasi Determinan (R2)
Identifikasi determinan digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel bebas terhadap variavel terkait. Dengan variabel bebas yang diteliti yaitu indeks pembangunan manusia dan inflasi terhadap tingkat kemiskinan sebagai variabel terikatnya. Jika
38
determinan (R2) semakin besar atau mendekati satu maka, variabel bebas (indeks pembangunan manusia dan inflasi) terhadap variabel terikat (tingkat kemiskinan) semakin kuat. Jika determinan (R2) semakin kecil atau mendekati nol maka, variabel bebas (indeks pembangunan manusia dan inflasi) terhadap variabel terikat (tingkat kemiskinan) semakin kecil.
b. Signifikan simultasi (Uji – F )
Uji-F dilakukan untuk menguji secara bersama-sama apakah ada pengaruh positif dan signifikan dari variabel bebas indeks pembangunan manusia (X1) dan inflasi (X2) terhadap tingkat kemiskinan (Y). kriteria pengujiannya adalah sebagai berikut :
a) Ho : b1=b2= 0 artinya secara serentak tidak terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel bebas (indeks pembangunan manusia dan inflasi) tehadap variabel terikat (tingkat kemiskinan).
b) Ha : b1≠b2≠0 artinya, secara serentak terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel bebas (indeks pembangunan manusia dan inflasi) terhadap variabel terikat (tingkat kemiskinan).
Kriteria pengambilan keputusan:
Ho diterima jika F hitung < F tabel pada α =5%
Ha diterima jika F hitung > F tabel pada α =5%
c. Uji signifikan parsial (Uji-T)
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (indeks pembangunan manusia dan inflasi) terhadap variabel
terikat (tingkat kemiskinan) secara parsial (individual). Kriteria pengujiannya adalah sebagai berikut :
a) Ho : b1= 0 = artinya secara parsial tidak terdapt pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel bebas terhadap variabel terikat.
b) Ha : b1≠0 artinya secara parsial terdapt pengaruh yang positif dan segnifikan dari variabel bebas terhadap variabel terikat.
Kriteria pengambilan keputusan
Ho diterima jika F terhitung < F table pada α =5%
Ha diterima jika F terhitung < F table pada α =5%
3.5 Defenisi Operasional
a. Indeks Pembangunan manusia (IPM) atau disebut juga dengan Human Development Index (HDI). Indeks Pembangunan Manusia adalah indeks komposit untuk mengukur pencapaian kualitas pembangunan manusia untuk dapat hidup secara lebih berkualitas, baik dari aspek kesehatan, pendidikan, maupun aspek ekonomi. Dalam penelitian ini satuan data Indeks Pembangunan Manusia adalah dalam persen. Semakin tinggi angka Indeks Pembangunan Manusia, maka kualitas pembangunan manusia untuk dapat hidup akan semakin baik.
b. Inflasi adalah suatu gejala di mana tingkat harga umum mengalami kenaikan secara terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat dikatakan inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya.
40
c. Tingkat kemiskinan menurut BPS adalah presentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Kabupaten Maros. Garis kemiskinan yang merupakan dasar perhitungan jumlah penduduk miskin ditentukan dua kriteria yaitu pengeluaran konsumsi perkapita per bulan yang setara dengan 2100 kalori perkapita per hari dan nilai kebutuhan minuman komoditi bukan makanan.
41 4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian
4.1.1 Letak Geografis Kabupaten Maros
Kabupaten Maros secara geografis terletak bagian Barat Provinsi Sulawesi Selatan yaitu pada 40°45’ hingga 50°07’ Lintang Selatan, dan 109°20’ hingga 129°12’ Bujur Timur. Kabupaten Maros dengan ibu kota Turikale dengan memiliki luas wilayah sekitar 1.619,12 km2. Daerah ini terdiri dari 14 kecamatan dengan 103 desa/kelurahaan yang terbagi menjadi 80 desa dan 23 kelurahaan. Dengan batas-batas, yaitu :
1. Sebelah Utara adalah Kabupaten Pangkep 2. Sebelah Selatan adalah Kota Makassar 3. Sebelah Timur adalah Kabupaten Bone 4. Sebelah Barat adalah Selat Makassar
Gambar 2. Peta Wilayah Kabupaten Maros
42
Luas wilayah Kabupaten Maros adalah 1.619,12 km2 atau sekitar 3,54% dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Selatan (45.764,53km2). Panjang pantai Kabupaten Maros adalah 31 Km dengan batasan luas 4 mil dari bibir pantai Karakteristik pantai di Kabupaten Maros adalah pantai berpasir putih yang membentang. Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah pada tahun 2001, maka daerah pemerintahan Kabupaten Maros terdiri 14 Kecamatan yang terdiri dari 80 Desa dan 23 Kelurahan. Dari 14 Kecamatan tersebut terdapat 89 lingkungan dan 320 dusun. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Mallawa dengan luas wilayah 235,92 km2 atau 14,57% dari luas wilayah Kabupaten. Sedangkan Kecamatan terkecil adalah Kecamatan Turikale (Ibukota Kabupaten) dengan luas 29,93 km2 (1,85% dari luas wilayah kabupaten). Dari 14 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Maros masih terdapat 22 Desa/Kelurahan swadaya dan 22 Desa/Kelurahan Swakarya, sedangkan sisanya sebanyak 59 Desa telah termasuk kategori Desa Swasembada.
TABEL 4.1
LUAS WILAYAH KABUPATEN MAROS DIRINCI BERDASARKAN JUMLAH DESA/KELURAHAAN DI KABUPATEN MAROS
No Nama Kecamatan Luas (Ha)
(1) (2) (3)
1 Mandai 49.11
2 Moncongloe 46.87
3 Maros Baru 53.76
4 Marusu 73.83
5 Turikale 29.93
6 Lau 53.73
(1) (2) (3)
7 Bontoa 93.52
8 Bantingmurung 173.70
9 Simbang 105.30
10 Tanralili 89.45
11 Tompobulu 287.66
12 Camba 145.36
13 Cenrana 180.97
14 Malawa 235.92
Maros 1,619.12
Sumber : Kabupaten Maros dalam Angka , BPS 2019
Berdasarkan data pada table tersebut diatas, Nampak Kecamatan Tompobulu merupakan kecamatan paling terbesar dengan luas 287,66 Ha.
Sedangkan kecamatan yang paling terkecil wilayahnya yaitu Kecamatan Turikale dengan luas 29,93 Ha.
Dengan melihat luas wilayah kabupaten Maros yang cukup luas, maka seharusnya kabupaten ini proses pembangunannya sangat cepat, dan pemerintah harus lebih mengoptimalkan proses pembangunan dengan mengeluarkan beberapah kebijakan terutama kebijakan tentang penataan wilayah dan dimana kebijakan ini pemerintah sudah menetapkan dalam bentuk peraturan daerah (PERDA) untuk menentukan zona-zona kegiatan masyarakat seperti misalnya pada wilayah mana merupakan wilayah pendidikan, perkantoran, perdagangan, permukiman, industry dan pergudangan, zona olahraga, zona rekreasi, dan zona terbuka hijau.
44
Pentingnya penataan kota seperti ini, agar kabupaten Maros lebih terarah pembangunannya dan apabila dikemudian kelak telah terjadi tingkat kepadatan penduduk, maka pemerintah daerah tidak sukar dalam mengatur kembali dalam pembagian zona kegiatan masyarakat.
4.2 Deskriptif Data
4.2.1 Tingkat Kemiskinan Kabupaten Maros
Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Tingkat kemiskinan menjadi masalah yang krusial di Negara berkembang seperti Indonesia. Persoalan kemiskinan merupakan salah satu permasalahan pokok yang dihadapi bangsa Indonesia sejak dulu hingga sekarang dan sampai saat ini belum penyelesaian yang tepat yang terlihat dari pemerintah. Meskipun berbagai perencanaan, kebijakan serta program pembangunan yang telah dan akan dilakasanakan pada intinya adalah mengurangi jumlah penduduk miskin. Begitupun dengan kondisi di beberapa daerah yang ada di Indonesia, Kabupaten Maros merupakan salah satu contoh daerah yang masih mengalami permasalahan kemiskinan, persoalan kemiskinan sebagai fokus utama Kabupaten Maros untuk dituntaskan.
Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dengan meningkatnya pertumbuhan pada sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja dan efektif menurunkan kemiskinan, dan melakukan penyuluhan dan bimbingan sosial, pelayanan sosial, penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha, penyediaan akses
pelayanan kesehatan dasar, penyediaan akses pelayanan pendidikan. Berikut jumlah dan persentase penduduk miskin di Kabupaten Maros.
TABEL 4.2
JUMLAH DAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KABUPATEN MAROS TAHUN 2010-2017
Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Ribu/Jiwa)
Persentase Penduduk Miskin (%)
2010 46.66 14,61
2011 42.44 13,17
2012 40.89 12,57
2013 43.06 12,94
2014 40.13 11,93
2015 40.08 11,85
2016 39.02 11,41
2017 38.12 11,14
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Maros, 2019
Menurut hasil survey dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Maros bahwa tampak selama kurun waktu tahun 2010 sampai 2017 jumlah dan persentase penduduk miskin di Kabupaten Maros cukup fluktuasi, pada tahun 2010 persentase penduduk miskin mengalami kenaikan terhadap jumlah penduduk miskin sebesar 14,61%, turun menjadi 13,17% pada tahun 2011.
Pada tahun 2012 sebesar 12,57%, turun menjadi 12,94% pada tahun 2013.
Pada tahun 2014 tingkat kemiskinan sebesar 11,93%, menurun menjadi 11,85% pada tahun 2015. Pada tahun 2016 kemiskinan turun lagi dari angka 11,41% menjadi 11,14% pada tahun 2017. Penduduk yang dikategorikan miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapitan di bahwa garis kemiskinan. Jadi dari hasil diatas bahwa kemiskinan Kabupaten Maros selalu mengalami penurunan.
46
4.2.2 Indeks Pembangunan Manusia
Indeks pembangunan manusia merupakan suatu jawaban untuk menilai tingkat kinerja pembangunan manusia secara keseluruhan dari tingkat pencapaian pembangunan manusia. Indeks pembangunan manusia mencerminkan capaian kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Indeks pembangunan manusia merupakan indikator komposit yang dibentuk oleh indeks kesehatanyang dicerminkan angka harapan hidup, indeks pendidikan yang terdiri dari rata-rata lama sekolah dan angka harapan lama sekolah, serta indeks hidup layak yang digambarkan melalui pengeluaran perkapitan yang disesuaikan. Indikator ini juga secara mudah dapat memberikan posisi kinerja pembangunan (output pembangunan) yang dicapai oleh suatu daerah. Makin tinggi nilai IPM suatu daerah, maka makin tinggi pula tingkat kinerja pembangunan yang dicapai wilayah tersebut.
TABEL 4.3 TARGET CAPAIAN IPM KABUPAT
Tahun
IPM Indeks Pembangunan
Manusia
Angka Harapan
Hidup (Tahun)
Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)
Angka Harapan
Lama Sekolah (Tahun)
Pengeluaran Rill/Kapitan
(Rp.000)
2010 64,07 68,35 7,2 11,39 9.125
2011 64,95 68,44 7,8 11,42 9.144
2012 65,50 68,47 7,12 11,57 9.155
2013 66,06 68,49 7,14 11,96 9.258
2014 66,65 68,50 7,17 12,37 9.355
2015 67,13 68,55 7,19 12,67 9.468
2016 67,76 68,58 7,20 12,96 9.758
2017 68,42 68,59 7,22 13,20 9.850
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016
Perkembangan IPM Kabupaten Maros dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan , yaitu dari dari 64,07 pada tahun 2010 menjadi 68,59 pada tahun 2017. Jika dilihat dari indikator penyusunanya, pada tahun 2017 Kabupaten Maros mencatat Angka Harapan Hidup sebesar 68,59 tahun, Angka Harapan Lama Sekolah 13,20 tahun, Rata-rata Lama Sekolah 7,22 tahun, dan pengeluaran perkapitan 9.850 Rupiah pertahun.
4.2.3 Inflasi
Inflasi merupakan suatu keadaan dimana terjadinya kenaikan harga secara signifikan dan terus menerus. Nilai inflasi yang tinggi dapat disebabkan karena tingginya permintaan suatu barang. Sesuai dengan hukum permintaan, jika permintaan naik maka harga akan ikut naik. Jika permintaan terhadap barang naik, maka produsen akan berlomba-berlomba untuk menaikan jumlah produksinya dengan jalan menambah jumlah tenaga kerja.
TABEL 4.4
INFLASI KABUPATEN MAROS 2010-2017 Tahun Inflasi
2010 2,11
2011 0,68
2012 0,6
2013 3,03
2014 2,95
2015 3.25
2016 3,18
2017 3,37
Sumber: Badan Pusat Statistik Makassar 2016
48
Berdasarkan tabel 4.3 inflasi terendah pada Kabupaten Maros dan Kota Makassar pada tahun 2012 sebesar 0,6 persen, sedangkan laju inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2017 yaitu sebesar 3,37 persen. Hal tersebut merupakan masalah cukup serius yang harus dihadapi Kabupaten Maros dan Kota Makassar karena tidak dapat menjaga kestabilan dalam sisi moneter. Laju inflasi Kabupaten Maros dan Kota Makassar masih tergolong ringgan karena masih dibahwa angka 10 persen. Kenaikan harga-harga barang tidak dirasakan oleh masyarakat sehingga kesejateraan masyarakat tidak akan terpengaruh tetap mampu membeli barang-barang kebutuhan dan tingkat kemiskinan dapat turun.
4.3 Analisis Data
4.3.1 Analisis Deskriptif Variabel Penelitian
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk memberikan deskripsi atas variabel-variabel penelitian secara statistik berupa nilai minimal, maksimal, nilai rata-rata (mean), dan standard deviation (simpangan baku).
Hasil analisis deskriptif dapat di lihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Statistik Deskriptif Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
IPM 8 64.07 68.42 66.3175 1.46033
Inflasi 8 .60 3.37 2.3963 1.14976
Tingkat kemiskinan
8 11.14 14.61 12.4525 1.12546
Valid N (listwise)
8
Sumber: Hasil Olah Data 2019
Berdasarakan output hasil olah data di atas, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat diketahui bahwa dari 8 data yang ada, variabel IPM mempunyai nilai minimum sebesar 64,07 dan nilai maksimum sebesar 68,42. Nilai rata-rata atau mean sebesar 66,3175 dan standar deviasi sebesar 1,46033. Nilai mean/rata-rata lebih besar dari standar deviasi yaitu 66,3175 > 1,46033 menandakan bahwa sebaran nilai IPM baik.
b. Inflasi
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat diketahui bahwa dari 8 data yang ada, variabel Inflasi mempunyai nilai minimum sebesar 0,60 dan nilai maksimum sebesar 3,37. Nilai rata-rata atau mean sebesar 2,3963 dan standar deviasi sebesar 1,14976. Nilai mean/rata-rata lebih besar dari standar deviasi yaitu 2,3963 > 1,14976 menandakan bahwa sebaran nilai Inflasi adalah baik.
c. Tingkat Kemiskinan
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat diketahui bahwa dari 8 data yang ada, variabel Tingkat Kemiskinan mempunyai nilai minimum sebesar 11,14 dan nilai maksimum sebesar 14,61. Nilai rata-rata atau mean sebesar 12,4525 dan standar deviasi sebesar 1,12546. Nilai mean/rata-rata lebih besar dari standar deviasi yaitu 12,4525 > 1,12546 menandakan bahwa sebaran nilai Tingkat Kemiskinan baik.
50
4.3.2 Hasil Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik ini dilakukan agar memperoleh model regresi yang dapat dipertanggungjawabkan. Uji asumsi klasik dalam penelitian ini menggunakan uji normalitas data, uji multikolinieritas, dan uji heteroskedastisitas.
a. Uji Normalitas
Untuk menguji atau mendeteksi normalitas ini, diketahui dari tampilan normal probability plot. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. Berdasarkan grafik normal probability plot seperti yang disajikan pada gambar berikut ini :
Gambar 3. Grafik Normal Probability Plot.
Sumber : data primer diolah 2019
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa data berdistribusi normal.
b. Uji Multikolinearitas
Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan melihat VIF (Variance Inflation Factors) dan nilai tolerance. Jika VIF < 10 dan nilai tolerance > 0,10 maka dinyatakan tidak terjadi korelasi sempurna antara variabel independen dan sebaliknya (Ghozali, 2006). Hasil Uji multikolinieritas dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.6 Uji Multikolinieritas
Variabel bebas Toleransi VIF Keterangan
IPM (X1) 0,495 2,020 Non Multikol
Inflasi (X2) 0,495 2,020 Non Multikol Sumber : data primer diolah 2019
Berdasarkan Table 4.6 dapat diketahui bahwa angka tolerance dari variabel independen mempunyai nilai tolerance lebih dari 0,10. Sementara itu, hasil perhitungan nilai Variance Inflation Factor (VIF) juga menunjukkan hal yang sama. Tidak ada satupun variabel independen yang memiliki nilai VIF lebih dari 10. Dengan demikian dapat disimpulkan dalam model regresi tidak terjadi multikolinieritas antara variabel independen tersebut.
52
c. Uji heteroskedastisitas.
Heterokedastisitas diuji dengan menggunakan grafik Scatterplot. Jika titik-titik yang ada membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang), maka terjadi heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas, titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Santoso, 2003). Hasil uji heteroskedastisitas ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 3. Grafik Scatterplot.
Sumber : data primer diolah 2019
Berdasarkan gambar tersebut tampak bahwa sebaran data tidak membentuk pola yang jelas, titik-titik data menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas dalam model regresi.
4.3.3 Analisi Regresi Berganda
Analisis regresi linear berganda digunakan apabila ingin meramalkan pengaruh dua variabel atau lebih variabel bebas (X) terhadap sebuah variabel terikat (Y) atau untuk membuktikan bahwa terdapat atau tidak terdapatnya hubungan antara dua variabel atau lebih variabel bebas dengan sebuah variabel terikat. Analisis regresi linear berganda dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 4.7
Analisis Regresi Linear Ganda
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
B Std. Error Beta
1 (Constant) 72.523 5.852
IPM -.918 .091 -1.191
Inflasi .326 .116 .333
a. Dependent Variable: Tingkat kemiskinan Sumber : Hasil Analisis Data 2019
Tabel 4.7 menunjukkan hasil olah data regresi atas IPM dan Inflasi sebagai variabel bebas dan Tingkat Kemiskinan sebagai variabel terikat. Hasil persamaan regresi linear berganda dari model penelitian ini yaitu :
Y = 72,523 – 0,918 X1 + 0,326X2
Berdasarkan hasil persamaan regresi linear berganda tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Konstanta bo = 72,523. Nilai konstanta 72,523 menunjukkan bahwa jika variabel independen IPM dan Inflasi konstan, maka tingkat kemiskinan sebesar Y = 72,523.
2. b1 = -0,918. Koefisien konstanta IPM = -0,918, artinya jika variabel IPM
54
(X1) ditingkatkan, maka Tingkat kemiskinan di Kabupaten Maros akan turun sebesar 0,918 dengan asumsi variabel Inflasi konstan. Tanda negatif menunjukkan hubungan yang tidak searah antara IPM dengan Tingkat Kemiskinan.
3. b2 = 0,326. Koefisien konstanta Inflasi = 0,326, artinya jika variabel Inflasi (X2) ditingkatkan, maka tingkat kemiskinan akan naik sebesar 0,326 dengan asumsi variabel IPM konstan.
4.3.4 Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan secara simultan dengan menggunakan Uji koefisien determinasi dan secara simultan Uji–F serta Uji-t. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut :
1) Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk menerangkan seberapa besar pengaruh dari seluruh variabel independen IPM (X1) dan Inflasi (X2) terhadap variabel dependen Tingkat Kemiskinan (Y). Nilai koefisien determinasi dapat dilihat pada Tabel 4.8
Tabel 4.8
Nilai Koefisien Determinasi (R2) Mode
l
R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the Estimate
1 .983a .965 .952 .24784
a. Predictors: (Constant), Inflasi, IPM b. Dependent Variable: Tingkat kemiskinan Sumber: Hasil Analisis Data 2019
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa hasil pengujian determinasi (R2) adalah 0,952. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pengaruh variabel
independen yaitu IPM dan Inflasi terhadap variabel dependen yaitu Tingkat Kemiskinan di kabupaten Maros adalah sebesar 95,2 persen, sedangkan sisanya 4,8% persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
2) Pengujian Hipotesis Secara Simultan (Uji-F)
Pengujian hipotesis secara simultan bertujuan untuk melihat pengaruh secara bersama-sama variabel independen IPM (X1) dan Inflasi (X2) terhadap variabel dependen Tingkat Kemiskinan (Y). Hasil pengujian hipotesis secara simultan dapat dilihat pada Tabel 4.9
Tabel 4.9
Hasil Pengujian Hipotesis Secara Simultan (Uji F) ANOVAa
Model Sum of
Squares
Df Mean
Square
F Sig.
1 Regression 8.559 2 4.280 69.676 .000b
Residual .307 5 .061
Total 8.867 7
a. Dependent Variable: Tingkat kemiskinan b. Predictors: (Constant), Inflasi, IPM Sumber : Hasil Analisis Data 2019
Tabel 4.9 menunjukkan bahwa nilai F hitung yang diperoleh adalah F hitung 69,676 > F tabel 5,79 dengan tingkat signifikan 0,000 yang lebih kecil dari tingkat signifikan α 0,05 atau (0,000 < α 0,05). Nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel maka disimpulkan bahwa secara bersama-sama IPM (X1) dan Inflasi (X2) berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Maros.
56
3) Pengujian Hipotesis Secara Parsial (Uji t)
Pengujian secara parsial digunakan untuk melihat variabel independen dalam hal ini IPM (X1) dan Inflasi (X2) secara parsial mempengaruhi variabel dependen Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Maros. Hasil pengujian secara parsial dapat dilihat pada Tabel 4.10
Tabel 4.10
Hasil Pengujian Hipotesis Secara Parsial (Uji t)
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized Coefficients
T Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 72.523 5.852 12.392 .000
IPM -.918 .091 -1.191 -10.065 .000
Inflasi .326 .116 .333 2.812 .037
a. Dependent Variable: Tingkat kemiskinan Sumber : Hasil Analisis Data 2019
Untuk mengetahui besarnya pengaruh masing-masing variabel independen (X1, X2) terhadap variabel dependen (tingkat kemiskinan) secara parsial, dapat dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung > t-tabel (2,57) dan α < 0,05 sebagaimana yang terlihat pada tabel 4.10 Untuk mengetahui lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Hasil pengujian terhadap variabel IPM (X1) menunjukkan bahwa nilai nilai t-hitung -10,065 < t-tabel -2,57; dan tingkat signifikan sebesar 0,000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel IPM (X1) berpengaruh negatif signifikan terhadap Tingkat Kemiskinan di kabupaten Maros.
b. Hasil pengujian terhadap variabel Inflasi (X2) menunjukkan bahwa nilai nilai t-hitung 2,812 > t-tabel 2,57; dan tingkat signifikan sebesar 0,037.