• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Kajian Teori

3) Motivator

Gambar 2.3 Komponen Praktis Inspirator

melakukan identifikasi kebutuhan organisasi yang dipimpin. Cerminan pemimpin transformasional sebagai seorang motivator ialah pemimpin yang selalu merenung, berpikir, mengidentifikasi kebutuhan organisasi, mengenali kemampuan karyawannya, dan hal-hal yang termasuk dalam kategori paying special attention. Ia juga mendelegasikan tugas-tugas sektoral kepada bawahannya. Kegiatan ini, dalam transformational leadership, dikenal dengan delegating task. Di samping itu, pemimpin transformasional—dalam fungsinya sebagai motivator—melakukkan creating new learning opportunities, dalam arti, menciptakan peluang belajar baru bagi para pengikut untuk meningkatkan kompetensi mereka dan memberi bimbingan kepada mereka.110

Dalam fungsinya sebagai motivator, pemimpin transformasional juga melakukan spending time for teaching and coaching, yang berarti menghabiskan waktu untuk membina, membimbing, sharing pengalaman, dan melatih para pengikut secara khusus dan pribadi agar mencapai sasaran organisasi.111 Sehingga, pada komponen ini, pemimpin digambarkan dalam MLQ dengan deskripsi “The leader spends time teaching dan coaching [Pemimpin menghabiskan waktu

110 Bass and Riggio, Tranformational Leadership, 6-7.

111 Umiarso mendasarkan penjelasannya pada uraian Setiawan dan Muhith, dapat dibaca dalam Umiarso, Kepemimpinan Transformasional, 82; dan Setiawan dan Muhith, Transformational Leadership, 176.

mengarahkan dan membimbing].” Pada bagian ketiga ini, terlihat bahwa upaya pemimpin memotivasi itu tampak pada dukungan dan penghargaan yang ia berikan pada anggota dan organisasi, pada bagaimana ia mengajari dan membimbing para anggota guna mencapai tujuan bersama. Kontribusi pemimpin, langsung atau tidak, sedikit atau banyak, dirasakan oleh para anggota—dan pada gilirannya, akan memberikan stimuli pada terciptanya kesadaran bersama akan tujuan organisasi. Sebab, menurut Amstrong, pemimpin transformasional adalah pemimpin yang “… motivate followers to perform at higher levels, to exert greater effort, and to show more commitment”.113

Tabel 2.5 Komponen Motivator No

Bass and Riggio’s Tranformational

Leadership

Komponen 3 individualized-

consideration:

Motivator

1. paying special attention 2. delegating task

3. creating new learning opportunities

4. spending time for teaching and coaching Komponen-komponen diatas dapat digambarkan pada ranah praktis dengan mengacu pada penjelasan yang menggunakan perspektif kepemimpinan transformasional dan sudah dipaparkan.

112 Triyono, Kepemimpinan Transformasional, 96; Bass dan Riggio, Transformational Leadership, 6-7; dan Bahar Agus Setiawan dan Abd. Muhith, Transformational Leadership: Ilustrasi di Bidang Organisasi Pendidikan (Jakarta: PT Radja Grafindo Persada, 2013), 26.

113 Armstrong, Amrstrong’s Handbook, 32.

Gambar 2.4 Komponen Praktis Motivator

Empat komponen transformational leadership’s Bass dan Riggio disederhanakan menjadi tiga fungsi kepemimpinan (artikulator visi, inspirator, dan motivator) ini mengikuti penyederhanaan Dionne, Yammarino, Atwater, & Spangler, yang menyatukan idealized- influence dan inspirational-motivation, serta memisahkan intelelktual- stimulation dan individualized-consideration seperti terlihat pada gambar berikut:114

114 Dionne, Yammarino, Atwater, & Spangler, “Transformational leadership and team performance”, Journal of organizational change management, 17(2﴾(2004), 187.

Komponen Teoretis Komponen Praktis

paying special attention

delegating task

creating new learning opportunities

identifikasi kebutuhan

delegasi wewenang

pemberian bimbingan

spending time for teaching and coaching

Motivator

sharing pengalaman

Gambar 2.5 Transformational Leadership and Team Performance

Informasi dalam gambar di atas, antara lain, yang mendasari penyederhaan konsep pada penelitian ini untuk memotret kepemimpinan perempuan dalam pengembangan pesantren Tah{fi>z{.

Dari penjelasan Bass dan Riggio yang menyatakan kedekatan kepemimpinan transformasional dengan gaya kepemimpinan perempuan, terlihat keunikan kajian kepemimpinan perempuan ini.

Berawal dari statemen Bass dan Riggio itulah, konsep tentang kepemimpinan transformasional perempuan dapat dipandang sebagai

khas kepemimpinan perempuan: bahwa memahami perempuan adalah memahami luasnya kajian tentang kepemimpinan itu sendiri; dan bahwa kepemimpinan dan perempuan ibarat sawah dan petaninya.

c. Kepemimpinan Perempuan di Lembaga Pendidikan

Riset tentang kepemimpinan perempuan di lembaga pendidikan telah banyak dilakukan di Barat. Kesulitan, halangan, problem, hingga tantangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin di dunia pendidikan tempat ia meniti karier, nampak menjadi tema penting yang banyak diteliti. Eugenia Proctor Gerdes memulai laporan hasil risetnya dengan statement bahwa tahun 1970 di Amerika adalah merupakan titik balik perempuan punya kesempatan menempati posisi tertinggi di dunia pendidikan. Sebab, di akhir 1930-an, karir perempuan di tingkat fakultas perguruan tinggi mencapai 28 persen, kemudian benar-benar menurun di tahun 1940-an, 1950-an, 1960-an; kemudian meningkat lagi di tahun 1970-an, dengan rincian: dari 25 persen menjadi 42 persen menjadi staf pengajar penu h waktu; dari 26 persen manjadi 53 persen pada posisi eksekutif-administratif-manajerial sebagai pekerja penuh waktu. Gerdes menegaskan bahwa perubahan representasi perempuan tersebut berhubungan erat dengan kebijakan dan implementasi undang-undang waktu itu.115

115 Eugenia Proctor Gerdes, “Trials and Triumphs of Women Leaders Ind Higher Educatioan”, dalam vol. 1, dalam Women as Leaders in Education, 1-2.

Secara implisit, penejelasan Gerdes menunjukkan bahwa semakin bertambah tahun kesempatan perempuan menjadi pemimpin di lembaga pendidikan tinggi semakin terbuka, dalam arti, dunia kepemimpinan bukan hal yang eksklusif melainkan inklusif bagi perempuan. Meskipun demikian, Inverson di sebagian kesempatan mengakui masih-adanya penghalang bagi perempuan dalam meningkatkan karirnya, yang ia sebut sebagai Glass Ceilings, langit- langit kaca, yakni istilah untuk penghalang tak kasat mata yang membatasi perempuan dari kesempatan menempati posisi pimpinan di lembaga tinggi pendidikan, seperti aturan agama, faktor keluarga, birokrasi, norma, dan statusnya sebagai perempuan.116

Faktor keluarga dianggap sebagai salah satu ‘Glass Ceilings

yang menghalangi perempuan meraih kesuksesannya dalam karir kepemimpinannya di lembaga pendidikan. Dalam laporannya, Gerdes menyatakan 37 persen responden mengakui keluarga sebagai penghalang paling berat untuk sukses jadi pemimpin, sementara 31 persen mengakui keluarga sebagai penghalang paling ringan, dan 33 persen tidak mengakui sebagai penghalang berat atau ringan. Di samping itu, seorang responden perempuan secara tegas mengakui

116 Penelitian ini juga memasukkan penyimpangan seksual sebagai “langit-langit kaca” yang menghalangi karier perempuan. Inverson, “Glass Ceilings and Sticky Floors”, vol. 1, dalam Women as Leaders in Education, 83. Ini jelas berbeda dengan budaya Timur, budaya Barat mengagungkan hak asasi, termasuk gaya hidup lesbian—mereka nilai sah dan tak patut jadi alasan bahwa perempuan yang bersangkutan tak layak jadi pimpinan. Paham ini jelas bertentangan dengan budaya ke-Timur-an yang menjunjung tinggi moral.

bahwa “Having children definitely made it harder for me to go ‘up the ladder’ in my career [memiliki anak pasti bikin saya lebih sulit untuk

‘naik tangga’ dalam karir saya]”.117 Dengan konteks yang sama, Martin melaporkan analisis Chloe tentang terkendalanya karir kepempinan perempuan ketika sudah berkeluarga dan punya anak,

Most of the women in the group had children, and they talked about the hardships of being in a role of leadership and also being a mother. One woman talked about the comparison between she and her male counterpart, both of whom bad children around the same time. No one said anything to the man after the birth of his child, but for the woman, comments were made such as: “I could never leave my baby at home, how are you doing this, you know isn't it time for you to go home?” She reported that those comments have never been made to a man. Moreover, these comments were made by women.118

Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa perspektif kajian Barat memandang kepemimpinan sebagai karir yang perlu diraih dan diperjuangkan. Penjelasan Gardes di atas memperlihatkan bahwa perspektif Barat tentang kepemimpinan belum bisa dilepaskan dari sudut pandang gender: keadaan sosio-kultural turut membentuk stigma tentang karier perempuan. Berbeda dengan perspektif pendidikan Timur tentang kepemimpinan perempuan, sebagaimana telah disinggung pada konteks penelitian, bahwa sejarah perempuan perintis

117 Gerdes, “Trials and Triumphs of Women Leaders Ind Higher Educatioan”, vol. 1, dalam Women as Leaders in Education, 10.

118 J. L. Martin et al., “Focus Group Becomes Support Group: Women in Educational Leadership”, dalam Women and Leadership, ed. Florence L. Denmark et. al. (Switzerland: Springer International Publishing, 2018), 67.

dan pendidiri pondok pesantren sudah ada sebelum kajian kepemimpinan perempuan marak dilakukan.119

Meski orientasi kajiannya cenderung memandang kepemimpinan hanya sebagai kepemimpinan di sektor publik, gagasan Julia Gillard dan Nogzi Okonjo-Iweala layak diapresiasi: bahwa pada dasarnya tidak ada yang dapat menjamin bahwa perbedaan struktur otak perempuan dan laki-laki memiliki pengaruh pada perilaku kepemimpinan kedua jenis kelamin tersebut. Meski sudah banyak di lakukan studi terhadap otak jenius Einstein setelah kematiannya, tetap tidak mungkin bagi ilmuan untuk menjelaskan berapa banyak variasi otak Einstein dan otak rata-rata yang mengindikasikan kejeniusannya, ketika dibandingkan dengan seberapa banyak pemikiran mendalam itu terlibat dalam pembentukan otaknya.120 Dengan kata lain, Gillard dan Ngozi ingin menyampaikan bahwa masing-masing laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki keunggulan sama-sama memiliki kekurangan jika dibanding antara satu dengan lainya, dalam batas bahwa semua itu berada pada porsi yang seimbang: ketika di satu sisi perempuan memiliki kelebihan, di sisi yang lain di hal yang sama laki-

119 Husein Muhammad, sebagaimana telah disinggung, adalah salah seorang tokoh keperempuanan yang memiliki cara pandang khusus untuk melihat perempuan dan melepaskannya dari isu gender. Dapat dibaca dalam Muhammad, “Perempuan Ulama”, 13-14.

120 Tak ada perbedaan yang betul-betul bisa dibuktikan antara laki-laki dan perempuan kecuali dari aspek fisiknya. Gillard & Ngozi, Women and Leadership, 28.

laki memiliki kekurangan, demikian sebaliknya. Itulah sebabnya di akhir catatan framworknya, keduanya menulis:

We passionately believe that every child is unique, but each should be endowed with the same rights and opportunities.

Each should be able to dream the same dreams, including wanting to become a president or prime minister. None should encounter extra obstacles if they aim to become a leader.121 Opportunity, sebagaimana disebut dalam statemen di atas, adalah kesempatan, ruang gerak, yang menjadi kata kunci kajian kepemimpinan perempuan di sektor pendidikan, atau dalam statemen Gillard dan Ngozi di atas, “… endowed with the same rights and opportunities”. Jika kesempatan ini sama-sama diberikan kepada perempuan, sebagaimana diberikan kepada laki-laki, bukan tidak mungkin bahwa mereka akan dapat berperan seimbang untuk kemajuan lembaga pendidikan.

Seperti telah disinggung, kajian kepemimpinan perempuan masih western-oriented [masih berorientasi-Barat], dan masih terikat isu gender, ketika di Timur lebih memberi apresiasi terhadap kepemimpinan perempuan di sektor manapun. Di sektor domestik atau publik, kepemimpinan perempuan patut mendapat penghargaan.

Persoalannya adalah kesempatan. Untuk itu, lebih dari paparan dan

121 Gillard & Ngozi, Women and Leadership, 39. Gillar dan Ngozi percaya bahwa baik perempuan atau laki-laki bergantung pada pola pendidikan dan perlakukan keluarga terhadap anak mereka, laki-laki atau perempuan; bukan pada keperempuanan atau kelelakiannya. Ada 8 perempuan dengan jabatan sebagai presiden dan selebihnya adalah perdana menteri, yang menjadi konsentrasi pembahasannya.

perspektif sebelumnya, meski masih tak bisa dilepaskan dari isu gender, riset Ming Xie dan Minghui Pang menunjukan bahwa perempuan lebih banyak memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin di sebuah organisasi nonprofit.122 Inilah mengapa kepemimpinan perempuan dalam organisasi atau lembaga nonprofit di Nusantara sudah teridentifikasi dalam diri Tengku Fakinah, Aceh, yang lahir sekitar tahun 1856 M di desa Lam Diran Kampung Lam Bunot (Lam Krak) Aceh Besar, yang telah membangun Dayah atau pesantren sebagai sarana pendidikan Islam, sebagaimana sudah disebutkan dalam konteks penelitian.123

Berbeda orientasi, berbeda perspektif, tradisi, budaya, bahkan agama, inilah yang menjadi kajian kepemimpinan perempuan di lembaga nonprofit—termasuk di dalamnya adalah pesantren—menarik untuk didalami. Perempuan hadir sebagai pemimpin di lembaga atau organisasi nonprofit ini tanpa masalah, tak ada stigma buruk yang patut dinilai sebagai halangan, sebagaimana ditunjukkan oleh riset Xie dan Pang di atas. Untuk itu, dari hasil riset, keduanya berani mengatakan bahwa gender itu tidak begitu penting, yang terpenting adalah kompetensi, dalam statement lengkap berikut:

All the interviewees believed that there was no gender difference in nonprofit organizations. Women and men had the

122 Ming Xie dan Minghui Pang, “Gender Anda Career Development in Nonprofit Organizations”, dalam Asian Women Leadership: A Cross-National and Cross-Sector Comparion, 162

123 Muhammad, “Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah”, 13-14.

same opportunities for career development. All the female leaders from the three countries mentioned that the most important thing for their career advancement was proving their ability and competence for the leadership position. Therefore, gender was not so important… The discrimination and bias were more from outside of the organizations.124

Peran kepemimpinan perempuan, ketika kesempatan dan ruang telah terbuka, tampak memiliki pengaruh terhadap eksistensi dan perkembangan lembaga nonprofit yang dipimpinnya, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa penelitian Bass dan Riggio yang telah dipaparkan. Ini membuka lahan penelitian baru yang layak mendapat perhatian.