• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ETIKA PROFESI ETIKA PROFESI

B. BENTUK ORGANISASI NONPROFIT

1. Nilai pada Umumnya

Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu suatu nilai. Setidak- tidaknya dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas, nilai adalah the addressee of a yes, "sesuatu yang ditujukan dengan 'ya' kita". Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita melarikan diri seperti penderitaan, penyakit, atau ke- matian adalah lawan dari nilai, adalah "non-nilai" atau disvalue, sebagaimana dikatakan orang Inggris. Ada juga beberapa filsuf yang menggunakan di sini istilah “nilai negative”, sedangkan nilai dalam arti tadi mereka sebut "nilai positif”.

Dipandang dalam perspektif sejarah filsafat yang sudah panjang,

"nilai" merupakan suatu tema filosofis yang berumur agak muda. Baru pada akhir abad ke-19 tema ini mendapat kedudukan mantap dalam uraian-uraian filsafat akademis. Sekurang-kurangnya secara eksplisit.

Tapi secara implisit nilai sudah lama memegang peranan dalam pem-

bicaraan filsafat, sudah sejak Plato menempatkan ide “baik” paling atas dalam hierarki ide-ide. Dan sesudah Plato, kategori "baik" praktis tidak pernah lagi terlepas dari fokus perhatian filsafat, khususnya. etika. Tapi baru kira-kira seabad yang lalu nilai mendapat tempat eksplisit dalam diskusi-diskusi filsafat dan malah timbul suatu cabang filsafat Yang baru dengan nama "aksiologi" atau "teori nilai".

Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai adalah memperbandingkannya dengan fakta. Kita juga mencoba menempuh jalan ini. Jika kita berbicara tentang fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Jika kita berbicara tentang nilai, kita maksudkan sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau mengimbau kita. Fakta ditemui dalam konteks deskripsi: semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh berbagai orang. Perbedaan antara fakta dan nilai ini kiranya dapat diilustrasikan dengan contoh berikut ini. Kita andaikan saja bahwa pada tahun sekian tanggal sekian di tempat tertentu ada gunung berapi meletus. Hal itu merupakan suatu fakta yang dapat dilukiskan secara obyektif. Kita bisa mengukur tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kita bisa menentukan kekuatan gempa bumi yang menyertai letusan itu, kita bisa memastikan letusan-letusan sebelumnya beserta jangka waktu di antaranya, dan seterusnya. Tapi serentak juga letusan

gunung itu bisa dilihat sebagai nilai atau justru disesalkan sebagai non- nilai, pokoknya, bisa menjadi obyek penilaian. Bagi wartawan foto yang hadir di tempat, letusan gunung itu merupakan kesempatan emas (nilai) untuk mengabadikan kejadian langka yang jarang dapat disaksikan.

Untuk petani di sekitarnya debu panas yang dimuntahkan gunung bisa mengancam hasil pertanian yang sudah hampir panen (non-nilai), tapi dalam jangka waktu panjang tanah bisa bertambah subur akibat kejadian itu (nilai). Tim pencinta alam yang datang dari jauh dengan maksud hari itu mendaki gunung sempat kecewa karena terpaksa harus membatalkan rencana mereka (non-nilai), sedangkan profesor geologi yang bersama rombongan mahasiswa kebetulan meninjau daerah itu senang sekali karena dengan mendadak memperoleh obyek penelitian yang tidak disangka-sangka sebelumnya (nilai). Contoh ini kiranya cukup jelas untuk memperlihatkan perbedaan antara fakta dan nilai. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang, sedangkan fakta menyangkut ciri- ciri obyektif saja. Perlu dicatat lagi bahwa fakta selalu mendahului nilai.

Terlebih dahulu ada fakta yang berlangsung, baru kernudian menjadi mungkin penilaian terhadap fakta itu.

Berdasarkan analisis sederhana ini dapat kita simpulkan bahwa nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut ini. 1) Nilai berkaitan dengan subyek. Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka tidak ada nilai juga. Entah manusia hadir atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai "indah" atau "merugikan", letusan gunung itu

memerlukan kehadiran subyek yang menilai. 2) Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu. Dalam pendekatan yang semata-mata teoretis, tidak akan ada nilai. (Hanya menjadi pertanyaan apakah suatu pendekatan yang secara murni teoretis bisa diwujudkan.) 3) nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang "ditambah"

oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Rupanya hal itu harus dikatakan karena obyek yang sama bagi berbagai subyek dapat menimbulkan nilai yang berbeda- beda.

Terdapat banyak macam nilai. Di sini boleh disebut beberapa contoh. Kita bisa mulai dengan nilai ekonomis. Dalam konteks ekonomi sering dibicarakan tentang nilai. Misalnya, kita ingat saja akan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebenarnya ekonomi merupakan bidang di mana nilai untuk pertama kali dibahas dalam rangka ilmiah. Sudah sejak Adam Smith (1723-1790), yang biasanya disebut sebagai pelopor ilmu ekonomi. Lalu suatu kategori nilai lain adalah nilai estetis. Misalnya, memandang lukisan yang indah, mendengarkan musik yang bagus, membaca cerita novel yang menarik, atau puisi yang bermutu, bisa membawa nilai estetis bagi si peminat. Masih ada nilai lain yang lebih umum sifatnya dan memainkan peranan dalam hidup banyak orang, seperti kesehatan yang baik, pendapatan yang layak, makanan yang enak serta bergizi, lingkungan permukiman yang tenang serta nyaman, dan lebih-lebih kehidupan itu sendiri. Yang terakhir merupakan suatu nilai

dasar, karena merupakan syarat untuk mewujudkan semua nilai yang lain.

Dengan demikian hanya disebut beberapa contoh nilai dan tidak diusahakan suatu klasifikasi yang kurang lebih lengkap. Suatu klasifikasi yang sungguh-sungguh memuaskan sampai sekarang belum ada dan barangkali tidak mungkin juga.

Dalam dokumen BUKU ETIKA PROFESI PUBLIC RELATIONS (Halaman 107-111)