• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orang Kudus dan Pahlawan

Dalam dokumen BUKU ETIKA PROFESI PUBLIC RELATIONS (Halaman 184-192)

BAB II ETIKA PROFESI ETIKA PROFESI

B. BENTUK ORGANISASI NONPROFIT

4. Orang Kudus dan Pahlawan

Dalam rangka mempelajari mutu moral perbuatan-perbuatan

manusia, teori-teori etika biasanya membedakan tiga kategori perbuatan.

Pertama, ada perbuatan yang merupakan kewajiban begitu saja dan harus dilakukan. Kita harus mengatakan yang benar; kita harus menghormati privacy seseorang, dan seterusnya. Kita menjadi baik secara moral, bila melakukan perbuatan-perbuatan ini. Kedua, ada perbuatan yang dilarang secara moral dan tidak boleh dilakukan. Kita tidak boleh berbohong, mengingkari janji, membunuh sesama manusia, dan seterusnya. Kita menjadi buruk secara moral, bila melakukan perbuatan jenis ini. Ketiga, ada perbuatan yang dapat diizinkan dari sudut moral, dalam arti tidak dilarang dan tidak diwajibkan, seperti main catur di waktu senggang, menonton televisi di luar waktu kerja, dan seribu satu kegiatan lain yang mengisi kehidupan kita setiap hari. Perbuatan terakhir ini adalah netral dari sudut moral atau bisa disebut amoral dalam arti seperti sebelumnya sudah dijelaskan: tidak baik dan tidak buruk juga. Kategori perbuatan yang ketiga ini dianggap sama luasnya dengan perbuatan yang tidak termasuk kategori pertama atau kedua. Dan dengan demikian kategorisasi perbuatan dari sudut pandangan moral dianggap sudah selesai.

Akan tetapi, moralitas sangat dipersempit jika kita membatasi diri pada tiga kategori perbuatan moral ini saja. Masih ada perbuatan jenis lain yang tidak kalah penting dalam menentukan kualitas moral manusia, yaitu perbuatan yang melampaui kewajiban seseorang tapi dinilai sangat terpuji jika dilakukan, sedangkan tidak ada orang yang akan dicela jika tidak melakukannya. Dengan suatu istilah etika yang teknis perbuatan-

perbuatan semacam itu disebut "super-erogatoris" (supererogatory acts), artinya, perbuatan yang melakukan lebih daripada yang dituntut. Orang justru bisa memiliki kualitas moral sangat tinggi bahkan sampai dianggap kudus atau pahlawan karena perbuatan jenis terakhir ini. Ini perlu kita selidiki lebih mendalam.

Dalam sebuah artikel yang terkenal, filsuf Inggris J.O. Urmson menjelaskan bahwa kata-kata "kudus" dan "pahlawan" mempunyai arti etis juga. Tentu saja, "kudus" terutama dipakai dalam konteks keagamaan. Dan jika agama nienyebut seseorang "kudus", jelas serentak juga akan ada implikasi moral. Tapi maksud Urmson adalah bahwa "ku- dus" dipakai juga dalam arti semata-mata etis, terlepas dari segala konotasi religius. Dan "pahlawan" sering kita katakan tanpa maksud moral apa pun, jika misalnya kepada bintang film kita beri gelar

"pahlawan layar perak" atau kepada juara bulu tangkis gelar "pahlawan dunia olah raga". Tapi kadang-kadang kita sebut seseorang kudus atau pahlawan hanya untuk menilai dia dari segi moral. Dan dalam hal ini ada hubungan erat antara dua kata "kudus" dan "pahlawan" ini.

Ada tiga macam situasi di mana seseorang bisa disebut kudus atau pahlawan dalam arti eksklusif etis. Situasi pertama dan kedua dapat dicantumkan dalam tiga kategori perbuatan moral yang disebut tadi. Tapi dalam situasi ketiga berlangsung perbuatan-perbuatan moral yang terletak di luar kategorisasi itu dan karena itu bagi maksud kita situasi ketiga itu paling penting.

(1) Kita menyebut seseorang kudus, jika ia melakukan kewajibannya dalam keadaan di mana kebanyakan orang tidak akan melakukan kewajiban mereka, karena terbawa oleh keinginan tak teratur atau kepentingan diri. Misalnya, orang tertentu selalu jujur, walaupun sering tergiur oleh kesempatan melakukan korupsi dengan mudah sekali. Setiap kali ia memang merasa tergoda oleh kesempatan seperti itu, namun ia selalu berhasil mengatasi godaan itu. Jadi, ia disebut kudus, karena ia menjalanakan kewajibannya atas dasar disiplin diri yang luar biasa.

Sejalan dengan itu, kita menyebut seseorang pahlawan jika ia melakukan kewajibannya dalam keadaan di mana kebanyakan orang tidak akan melakukan kewajiban mereka, karena terpengaruhi oleh teror, ketakutan atau kecenderungan alamiah untuk mempertahankan hidupnya. Misalnya, seorang prajurit di medan perang tetap tinggal pada posnya dan tidak melarikan diri, walaupun menghadapi bahaya maut. Setiap kali ia menghadapi bahaya ia memang merasa cenderung melarikan diri, namun ia selalu bisa mengatasi godaan itu. Jadi, ia disebut pahlawan, juga karena ia menjalankan kewajibannya atas dasar disiplin diri luar biasa yang tidak ditemukan pada kebanyakan orang. Paralelisme antara orang kudus dan pahlawan ini hanya mengenal dua perbedaan. (a) Yang ditentang oleh orang kudus dan pahlawan adalah dua hal yang berbeda.

Orang kudus menentang keinginan dan kepentingan diri bila melakukan kewajiban, sedangkan pahlawan menentang ketakutan dan kecende- rungan alamiah untuk mempertahankan hidupnya. (b) Orang kudus

menjalankan pertentangan itu selama periode waktu yang cukup panjang.

Supaya seseorang pantas disebut kudus, tidak cukuplah bila satu kali saja ia mengatasi godaan untuk melakukan korupsi. Perlu ia memperlihatkan dulu ketabahan dan konsistensi selama waktu lama. Sedangkan seseorang bisa menjadi pahlawan dengan menentang ketakutan dalam satu peristiwa saja. Prajurit yang hanya satu hari saja tahan di tengah bahaya besar, sudah pantas disebut pahlawan, jika sesudah itu bahaya dengan sendirinya lewat.

(2) Kita menyebut juga seseorang kudus, jika ia melakukan kewajibannya dalam keadaan di mana kebanyakan orang tidak akan melakukannya, bukan karena disiplin diri yang luar biasa melainkan dengan mudah dan tanpa usaha khusus. Dengan kata lain, ia melakukan kewajibannya karena keutamaan. Godaan bagi dia sebenarnya bukan godaan lagi, karena ia sudah biasa berlaku jujur, umpamanya. Begitu pula seseorang bisa disebut pahlawan, jika melakukan kewajibannya dengan mengatasi ketakutan dalam keadaan di mana kebanyakan orang akan melarikan diri, bukan karena disiplin diri yang luar biasa, melainkan karena ia memiliki keutamaan keberanian. la sudah memiliki disposisi tetap untuk menghadapi bahaya dengan mudah dan tanpa usaha khusus.

Dan mungkin kita akan menyetujui Aristoteles bahwa perbuatan yang dilakukan berdasarkan keutamaan itu malah lebih bagus daripada per- buatan yang dilakukan dengan usaha khusus karena disiplin diri yang akhirnya menang atas godaan.

(3) Tetapi kita menyebut juga seseorang kudus atau pahlawan, jika ia melakukan lebih daripada yang diwajibkan. Bahkan gelar "kudus" atau

"pahlawan" terutama kita pakai sebagai gelar etis untuk menunjukkan orang yang menurut pandangan umum melampaui batas-batas kewajibannya. Di sini kita berjumpa dengan orang kudus atau pahlawan dalam arti istimewa. Kalau sebelumnya kita memandang orang kudus dan pahlawan kecil, di sini kita melihat orang kudus dan pahlawan yang sungguh-sungguh besar. Contohnya adalah dokter yang dengan sukarela pergi ke daerah yang dilanda oleh penyakit menular ganas dan tidak mempedulikan kerugian bagi kesehatannya sendiri (bukan saja dokter yang tetap tinggal di tempat tugas setelah wabah mulai). Tidak bisa dikatakan bahwa ia harus pergi. Di sini jelas tidak ada kewajiban, karena ia pergi sebagai sukarelawan. Sebab itu sekian banyak dokter lain yang tidak bersedia pergi, tidak bisa ditegur atau dicela, justru karena mereka tidak wajib pergi. Atau contoh tentang pahlawan; prajurit yang menjerumuskan tubuhnya di atas granat yang mau meledak untuk melindungi kawan-kawannya dan dengan demikian mengorbankan dirinya demi keselamatan orang lain. Perbuatan-perbuatan seperti itu tentu mempunyai nilai moral yang besar sekali. Padahal, dalam tiga kategori perbuatan moral contoh-contoh ini tidak tertampung. Hal itu menunjukkan bahwa kategorisasi itu tidak lengkap. Perlu ditambah perbuatan-perbuatan super erogatoris ini sebagai perbuatan-perbuatan moral yang paling berharga.

Tentang perbuatan moral kategori tertinggi ini boleh di berikan lagi dua catatan. Pertama, tidak dimaksudkan di sini perbuatan-perbuatan yang dilakukan karena dorongan alamiah. Misalnya, seorang ibu tanpa berpikir lebih jauh masuk rumah yang terbakar untuk menyelamatkan anaknya. Perbuatan seperti itu tentu sangat terpuji, tapi tidak bisa dianggap suatu perbuatan moral dalam arti yang sebenarnya, karena sumbernya adalah perasaan atau emosi spontan. Tapi perlu diakui, kadang-kadang menjadi agak sulit untuk membedakan dengan jelas antara perbuatan yang berasal dari emosi spontan saja dan perbuatan yang berasal dari motivasi etis yang murni. Tidak mustahil untuk membayangkan kasus-kasus yang letaknya di tengah- tengah. Kedua, tidak jarang terjadi bahwa orang kudus atau pahlawan etis sesudah perbuatannya menegaskan: "saya hanya melakukan yang harus saya lakukan" atau "saya hanya melakukan kewajiban saya". Tapi tidak bisa disangkal bahwa kata "harus" dan "kewajiban" di sini dipakai dalam arti tidak sebenarnya. Bisa saja, orang bersangkutan mengakui dengan rendah hati bahwa ia hanya melakukan kewajibannya. Dan barangkali ia sungguh-sungguh merasa bahwa bagi dia tidak ada pilihan lain daripada melakukan perbuatan tersebut dalam situasi konkret itu. Barangkali ia mengalami suatu kewajiban subyektif yang diperintahkan oleh hati nurani. Tapi dipandang secara obyektif tidak ada kewajiban. Tidak ada orang atau instansi yang bisa menuntut bahwa ia melakukan perbuatan tersebut, seperti kita tentu bisa menuntut bahwa ia akan menepati

janjinya, umpamanya. Dan orang itu sendiri tidak akan menuntut juga bahwa orang lain melakukan hal yang sama dalam situasi yang sejenis.

Bagaimanapun juga, apa yang dilakukan orang kudus atau pahlawan itu tetap merupakan perbuatan super erogatoris, perbuatan paling luhur di bidang moral. Sebuah teori etika yang mengabaikan begitu saja perbuatanperbuatan moral ini, jelas tidak memuaskan sebagai teori etika.

Dalam dokumen BUKU ETIKA PROFESI PUBLIC RELATIONS (Halaman 184-192)