• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Pragmatisme Hakim dalam Mensikapi Mediasi dalam Penanganan Perkara

Dalam dokumen Prinsip, Jenis, dan Teori Keadilan (Halaman 162-171)

B. Peran Penting Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi di Pengadilan

2. Pandangan Pragmatisme Hakim dalam Mensikapi Mediasi dalam Penanganan Perkara

2. Pandangan Pragmatisme Hakim dalam Mensikapi Mediasi dalam

biasanya waktu yang tersedia untuk melakukan mediasi berbenturan dengan waktu atau jadwal siding yang telah ditentukan oleh ketua Pengadilan, oleh karena itu mediator hakim sebaiknya ada pendampingnya/co mediator non hakim, karena kalau dari mediator hakim banyak terganggu waktu untuk sidang perkara yang lainnya, jadi bisa dibantu oleh mediator yang non hakim.59 Kendala utama dalam hal mediator hakim menyelesaikan sengketa pada tahap mediasi adalah mediator hakim harus membagi waktu dengan tugas utamanya dalam menyelesaikan, memeriksa, mengadili dan memutus perkara, sehingga terkadang kepentingan untuk melakukan mediasi dibatasi.

Pada tataran pelaksanaannya sering dijumapai dalam persidangan bahwa, hakim cenderung membatasi dirinya hanya untuk menyarankan para pihak untuk berdamai, tetapi hakim mediator tidak maksimal untuk melakukan upaya perdamaian, beberapa kasus yang menunjukan ada potensi untuk dapat diselesaikan melalui forum mediasi, namun kurang maksimal peran mediator sehingga kasus tersebut berlnjut ke Persidangan biasa, misalnya dalam kasus seorang anak yang menggugat ibu kandungnya dengan ganti kerugian akibat utang piutang sebesar 1,8 milyar rupiah di Pengadilan Negeri Garut. Kasus ini tentu sangat potensial untuk menempuh jalus damai melalui mediasi, namun factor hakim meditor yang kurang aktif untuk melakukan upaya damai, maka kasus tersebut sampai ke Pengadilan.

Sikap pragmatisme para hakim sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa pada forum mediasi kian menguat lagi dengan dukungan fakta ternyata

59 Dahmiwirda, Wawancara dengan Hakim PN Bandung pada April 2017.

pemahaman masyarakat tentang mediasi masih sangat minim dan budaya masyarakat (para pihak) yang merasa lebih afdol apabila diperiksa dengan acara biasa. Kenyataan ini memperlihatkan budaya pragmatism Hakim di Pengadilan dalam memediasi perkara perdata ternyata masih sangat banyak. Para Hakim di Pengadilan merasa bahwa memeriksa perkara perdata dengan acara biasa justru menguntungkan mereka sebab praktis semua sudah dijadwalkan dan disiapkan tempat secara rapi ketimbang memeriksa perkara perdata dengan mediasi apalagi jika melibatkan pihak (mediator) lain.

Hal lain yang menjadi pertimbangan praktis dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator adalah tidak adanyan reword atau penghargaan terhadap seorng hakim mediator dalam menyelesaikan sengketa perdat pada tahapan medisi. Lain halnya dengan mediator non hakim, yang sudah tentu mendapat honorarium dari para pihak, jika para pihak bersepakat untuk memilih mediator non haim untuk menyelesaikan sengktanya secara baik-baik dan damai. Pada dasarnya bahwa, Perma No. 1 Tahun 2016, ternyata tidak membawa implikasi praktis berupa tambahan pendapatan ketika mediator yang berasal dari hakim diberi kewajiban untuk melaksanakan proses mediasi perkara perdata. Sehingga para hakim merasa bahwa beban menangani perkara yang selama ini sudah melelahkan menjadi bertambah dengan adanya kewajiban melaksanakan mediasi dalam perkara tersebut. Jadi budaya pragmatisme yang telah berpengaruh terhadap pola pikir para hakim, menjadikan pelaksanaan mediasi tidak efektif. Apalagi mediator dari kalangan hakim tidak memiliki keterampilan khusus tentang mediasi. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mesti diperhitungkan dalam mengukur tingkat

keberhasilan mediasi di pengadilan.

Ketidaksungguhan hakim dalam mengupayakan perdamaian dalam mediasi ini dipertegas dengan sikap hakim yang kurang ”compatible” dengan upaya yang mendukung terselesaikannya perkara secara damai. Pada kasus dimana hakim yang bertindak menjadi mediator, pada umumnya, mediator cenderung memposisikan dirinya tidak jauh berbeda dengan fungsinya sebagai hakim di depan persidangan di saat melangsungkan mediasi.

Ketidak sanggupan hakim dalam meyelesaiakan sengketa pada tahap mediasi di Pengadilan juga dipengaruhi oleh factor-faktor yang sifatnya eksternal, di antaranya dari para pihak dan pengacara (paralegal). Para pihak yang beperkara yang enggan menyelesaikan masalah dengan cara mediasi, karena mediasi dianggap ”bertele-tele” dalam beracara di pengadilan. Anggapan para pihak pada umumnya bahwa, jika ingin berdamai tidak usah datang dan menyelesaikan masalah di pengadilan. Sebelum mengajukan gugatan, para pihak (penggugat) telah terlebih dahulu melakukan pendekatan secara intern antar para pihak, meski gagal mencapai titik temu penyelesaian. Sedangkan pengacara ikut andil dalam menggagalkan perdamaian yang menjadi tujuan dari mediasi. Hal tersebut dikarenakan perdamaian memangkas alur berperkara yang menjadi pekerjaan mereka (beracara di pengadilan) dan berimbas pada menurunnya pendapatan pengacara.

3. Keterampilan Hakim Sebagai Mediator

Mediator yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mediator sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 angka (2) Perma No. 1 Tahun 2016, Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Mediator yang bertugas di pengadilan dapat saja berasal dari hakim pengadilan atau dari mediator luar pengadilan.

Hakim mediator adalah hakim yang menjalankan tugas mediasi setelah ada penunjukan dari ketua majelis hakim. Hakim yang bertindak sebagai mediator bukanlah hakim yang menangani perkara yang sedang dimediasi, tetapi hakim lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara yang sedang diperiksa. Di samping itu, mediator di pengadilan dapat pula berasal dari pihak luar, yang ditunjuk oleh para pihak. Pihak luar yang bertindak sebagai mediator di pengadilan harus memiliki keterampilan mediasi dan sertifikat sebagai mediator.

Kerangka kerja mediasi terbentuk dari gabungan antara fungsi, keterampilan, dan karakter pribadi mediator. Gabungan tersebut juga menyusun batasan untuk melakukan evaluasi terhadap cara kerjanya (apakah sesuai dengan prinsip atau sesuai dengan situasi saat itu) dan mengatur bahasa dan sikap ketika dikantor. Peran mediator sangat penting dan menantang. Pekerjaan sebagai mediator adalah membuat kerangka komunikasi yang efektif antara kedua belah pihak yang berselisih. Mediator menetapkan suatu kerangka acuan untuk diskusi.

Mediator membutuhkan para pihak yang dapat menyatakan permasalahan mereka dan mengajukan solusi, dengan demikian dapat membentuk kriteria yang dapat mengevaluasi dan membatalkan setiap upaya dalam mengajukan tuntutan.

Catatan mediator berfungsi untuk memantau pergerakan dan fleksibilitas masing-masing pihak, mediator harus membatasi potensi dalam menyombongkan diri terhadap pihak lain, mengurangi interupsi, dan meminimalkan diskusi yang terputus-putus. Mediator harus menekankan para pihak untuk mematuhi perjanjian, sesuai dengan item- item prosedur diskusi seperti seberapa sering kedua pihak akan bertemu dan untuk durasi berapa lama dan membahas apa, mediator menentukan tujuan, mengarahkan dan mendorong jalannya diskusi.

Akhirnya, dengan mengharuskan pemahaman tentang bagaimana para pihak akan melaporkan kegiatannya kepada media, mediator hendaknya dapat meminimalkan ketajaman konflik, agar tidak menciptakan peperangan melalui media. Tindakan ini membuka berbagai pertimbangan yang bijak untuk mediator dan serangkaian keputusan yang signifikan yang bisa ia buat. Dampak dari keputusannya akan terlihat pada proses diskusi.

Sebagai mediator hendaknya bertindak mulai dari pernyataan awal masing masing pihak yang berselisih lalu berlanjut kedalam diskusi yang memungkinkan untuk mendapatkan solusi/penyelesaian. Ia dihadapkan dengan berbagai kemungkinan strategis dan taktis. Terdapat dua aspek peran mediator yang merupakan bagian integral dari upaya mediator dalam mencoba untuk mengarahkan kedua belah pihak ke arah penyelesaian. Apa yang mediator sebenarnya lakukan dan bagaimana dia melakukannya akan dicatat, sehingga

memperjelas fungsi-fungsi resmi mediator dan karakteristik-karakteristik yang menciptakan garis panduan untuk mediator melaksanakan tugasnya.

Berdasarkan hasil kajian dan penelitian bahwa, efektivitas penerapan Perma tentang mediasi memang tidak paralel dengan ketersediaan mediator yang professional di pengadilan. Pasal 1 angka 2 tentang definisi mediator tidak mensyaratkan mediator harus bersertifikat. Hal ini merupakan keleluasaan yang diberikan Perma mengingat tidak mungkin menunggu adanya mediator yang bersertifikat untuk memberlakukan mediasi di pengadilan. Untuk mengatasi keterbatasan tenaga mediator yang bersertifikat di tengah kuatnya keinginan untuk mengefektifkan Perma tentang mediasi, Perma memberi keleluasaan kepada pengadilan untuk menunjuk mediator dari hakim dengan syarat bukan hakim yang menangani perkara tersebut. Sayangnya, mayoritas hakim yang diangkat menjadi mediator tidak memiliki keterampilan khusus tentang mediasi.

Dari 10 hakim yang di wawancarai di Pengadilan Negeri yang menangani penyelesaian sengketa perdata pada tahap mediasi, hanya 5-6 orang hakim yang memiliki sertifikat mediasi, selebihnya tidak memiliki sertifikat atau belum mengikuti diklat sertifikasi mediator. Bahkan tidak jarang ditemukan bahwa, dalam kasus-kasus tertentu hakim yang diberikan tugas sebagai mediator untuk menyelesaiakan sengketa pada tahapan mediasi berhasil melakukan upaya damai dianta para pihak, meskipun hakim tersebut belum meiliki sertifikat sebagai mediator, atau belum mengikuti diklat mediasi.60

60 Dalam beberapa kasus yang dapat diselesaikan oleh Hasan (Hakim pada PN Stabat yang belum mengikuti diklat sertifikasi Mediator) 2 dari 7 kasus yang Pernah ditangani dalam

Kemampuan dan ketrmpilan hakim sebagai mediator tentu sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan sengketa atau perkara pada tahapan mediasi ini, hakim tentu dituntut untuk memiliki keahlian dan skill khusus di luar pengetahuannya sebagai seorang hakim. Contoh kasus yang berhasil dimediasi oleh Pak Hasan dalam perkara pengusaha menggugat pemerintah kemudian didamaikan ke koramil tapi tidak berhasil. Setelah ditelusuri, pihak yang terkait adalah pendemo dan pengusaha. Karena pengusaha menjual barang dengan harga di bawah standar. Kemudian toko tersebut ditutup karena tidak ada ijin usaha dari pemerintah daerah. Setelah itu yang didamaikan adalah para pendemo dengan pedagang kaki lima, dan berhasil kemudian ijin keluar. Kasus tersebut berhsil di damaikan oleh Pak hasan pada saat penyelesaian sengketa di Pengadilan melalui tahapan mediasi. Cara atau strategi yang diperankan oleh hakim mediator harus mampu melihat dan menelusuri perkara dengan tidak hanya terpaku pada satu aturan. Akhir dari mediasi kasus tersebut adalah pengusaha harus menjual barang sesuai dengan harga pasar. Dalam contoh ksus ini, menurut Hasan, Mediator harus mampu menganalisis permasalahan dan harus tahu bagaimana menempatkan diri untuk bisa melakukan peran sebagai mediator dalam mencari solusi perdamaian bagi para pihak. Kendala lainnya adalah kuasa hukum yang menghalangi jalannya mediasi dengan dalih bahwa para pihak tidak mau hadir dan diwakilkan ke kuasa hukum saja. Padahal jika dibandingkan di Jepang ada pembatasan bahwa pengacara tidak boleh masuk ke pengadilan secara bebas. Selain itu juga

proses mediasi berhasil. Dalam kasus penyitaan barang bukti perkara pidana. Perkaranya terkait, leasing dengan mobil yang membawa narkoba. Perkara tersebut berhasil dimediasi dan dikuatkan dengan putusan. Akta damainya adalah mobil tersebut bersedia untuk dikembalikan. Dalam perkara itu penggugatnya adalah leasing dan tergugatnya adalah kejaksaan.

pengaruh pihak ketiga dalam mediasi sangat mempengaruhi para pihak dalam prosesnya.

Berdasarkan pengamatan dan wawancara peneliti terhadap praktek mediasi yang dijalankan oleh mediator yang berasal dari hakim, terlihat bahwa mediator cenderung memposisikan dirinya tidak jauh berbeda dengan fungsinya sebagai hakim di depan persidangan di saat melangsungkan mediasi. Lebih jauh lagi, dampak dari tidak dipahaminya tugas dan fungsi mediator dengan baik, maka sebagian mediator yang berasal dari hakim sering melontarkan ucapan yang terkesan pesimistik dan antipati terhadap pelaksanaan mediasi. Bahkan sebagian hakim menganggap tugas sebagai mediator adalah beban dan tanggung jawab baru yang hanya memberatkan dan atau merugikan.61

Tidak semua hakim yang ditugasi sebagai mediator senang untuk menjalani fungsinya sebagai mediator; beberapa pernyataan dari pera hakim yang ditugasi sebagai mediator dapat menunjukkan bahwa ada hakim yang senangn melakoni fungsinya seagai mediator untuk mendamaikan para pihak, bahkan hakim mediator punya kepuasan tersendiri jika para pihak sepakat untuk berdamai di tahapan mediasi tersebut. Namun ada juga hakim yang menyatakan bahwa mereka tidak senag untuk ditugasi menjadi mediatur, kepatuahan mereka hanya sebatas perintah undang-undang atau aturan hukum yang mengharuskan proses mediasi itu harus berjalan.

61 Hasil wawancara terkait dengan pertanyaan apakah para hakim yang ditugasi menjadi mediator merasa senang diberikan tugas untuk penyelesaian sengketa perdata pada forum mediasi di Pengadilan?

Namun demikian patut disadari bahwa timbulnya sikap demikian karena memang dalam jenjang pendidikan formal dan pelatihan-pelatihan tenaga teknis hakim selama ini tidak pernah ada materi pembekalan sekitar mediasi. Di samping itu, para hakim telah terbiasa dengan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi yang bersifat memutus (ajudikatif). Akibatnya, ketika diberikan tugas untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur non litigasi, terasa asing dan menyulitkan.

Berdasarkan hal tersebut, dalam jangka pendek perlu adanya kebijakan-kebijakan yang bersifat riil dari pimpinan pengadilan untuk membuat program kajian keilmuan secara berkala yang bersifat eksploratif di unit kerja masing-masing, khsususnya tetang hakikat dan tujuan mediasi serta keterampilan sebagai mediator. Selanjutnya untuk jangka panjang kalangan akademisi perlu menjadikan materi tentang mediasi sebagai salah satu pelajaran wajib yang harus dikuasi oleh hakim. Kendatipun untuk waktu mendatang mediator diharapkan berasal dari kalangan professional, bukan hakim, namun adanya keterkaitan tugas yang sangat erat antara hakim dan mediator, menjadi alasan utama pentingnya hakim mengetahui seluk beluk mediasi.

C. Beberapa Permasalahan Terkait Proses Intergarasi Mediasi Di

Dalam dokumen Prinsip, Jenis, dan Teori Keadilan (Halaman 162-171)