DAFTAR ISI ... ii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Kegunaan Penelitian ... 15
E. Pemikiran Teori . ... 15
1. Prinsip-Prinsip Dasar Dalam Mediasi ... 22
2. Prinsip Mediasi di Pengadilan ... 25
F. Metode Penelitian ... 30
BAB II TINJAUAN TEORITIS PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI ... 32
A. Pengertian dan Prinsip Mediasi ... 32
1. Pengertian Mediasi. ... 32
2. Prinsip Mediasi . ... 38
3. Keuntungan dari Mediasi ... 39
4. Kerahasiaan dan hak Istimewa ... 39
5. Kerahasiaan ... 41
B. Jenis dan Model Mediasi ... 44
1. Mediasi fasilitatif ... 45
2. Mediasi Evaluatif ... 45
3. Mediasi Transformative . ... 48
4. Mediasi Naratif ... 49
5. Mediasi dan Pengadilan ... 50
C. Teori dan Konsep Keadilan dalam Penyelesaian Sengketa Melaui Mediasi ... 51
1. Makna keadilan dalam Mediasi... 52
2. Keadilan Prosedural . ... 54
3. Keadilan Distributif . ... 58
4. Keadilan Interaksi ... 59
5. Keadilan dan Mediasi ... 60
D. Pendekatan Negosiasi dalam Proses Mediasi ... 63
1. Pihak Ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur Mediasi yang efektif ... 64
2. Motivasi Strategis dan Psikologis ... 64
3. Substansi Negosiasi ... 68
4. Menyiapkan Agenda Perundingan ... 69
5. Tahapan Negosiasi dari Proses Mediasi Menghasilkan Pergerakan untuk Mencapai Kesepakatan ... 73
6. Peranan Tawaran Pertama dan Harga Konsesi ... 74
7. Strategi Menyampaikan Pertukaran (Trate-off) Konsesi dan Kompromi ... 76
1. Tahapan Awal ... 78
2. Sambutan Mediator ... 78
3. Mediation Triangles ... 79
4. Presentasi Para Pihak ... 79
5. Identifikasi masalah yang sudah disepakati ... 80
6. Mendefinisikan dan mengurutkan permasalahan ... 81
7. Negosiasi dan pembuatan keputusan ... 81
8. Pertemuan terpisah (Separate Meeting) ... 82
9. Pembuatan Keputusan Akhir ... 84
10. Mencatat Keputusan ... 85
11. Kata Penutup ... 85
12. Kegiatan Paska Mediasi ... 86
F. Intervensi Strategis Mediator dalam Pelaksanaan Mediasi ... 87
BAB III PENERAPAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI... 99
A. Kewajiban Penerapa Mediasi di Pengadilan Negeri ... 99
1. Para Pihak tidak Mentaati Perintah ... 100
2. Salah satu pihak tidak hadir ... 102
3. Tidak ada Kerjasama dengan Panitera ... 104
4. Tingkat Penggunaan dan Pemanfaatan Waktu yang tidak Efektif ... 105
B. Prosedur Teknis Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan ... 111
1. Ketentuan Pendahuluan ... 111
2. Langkah Awal Hakim Pemeriksa ... 114
3. Tahapan Mediasi ... 117
4. Ruang Lingkup Mediasi ... 119
5. Keterlibatan Ahli Dan Tokoh Masyarakat ... 119
6. Mediasi Mencapai Kesepakatan ... 119
7. Kesepakatan Perdamaian Sebagian ... 121
8. Mediasi Tidak Berhasil Atau Tidak Dapat Dilaksanakan ... 122
9. Keterpisahan Mediasi Dari Litigasi ... 123
C. Hasil Penelitian Mediasi di Beberapa Pengadilan Negeri ... 124
1. Pengadilan Negeri Bandung ... 124
2. Pengadilan Negeri Garut. ... 127
3. Pengadilan Negeri Bogor ... 131
4. Pengadilan Negeri Cianjur ... 133
5. Pengadilan Negeri Medan ... 135
6. Pengadilan Negeri Lubuk Pakam ... 138
7. Pengadilan Negeri Binjai ... 139
D. Kendala-kendala dalam penerapan mediasi sengketa perdata di Pengadilan ... 140
BAB IV EFEKTIVITAS PENERAPAN MEDIASI DI PENGADILAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA ... 142
A. Penerapan Mediasi di Pengadilan Negeri ... 132
1. Kewajiban Para Pihak Untuk Menghadiri Proses Mediasi Dengan/Tanpa Kuasa Hukum. ... 143
4. Pengaturan Baru Mengenai Kesepakatan Sebagian ... 153
5. Mekanisme Penerbitan Izin Terfragmentasi ... 146
6. Lemahnya Kewenangan Fungsi Pengendalian Pusat ... 149
B. Peran Penting Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi di Pengadilan ... 155
1. Hakim Mediator sebagai Kunci Keberhasilan Mediasi di Pengadilan ... 155
2. Pandangan Pragmatisme Hakim dalam Mensikapi Mediasi dalam Penanganan Perkara ... 159
3. Keterampilan Hakim Sebagai Mediator ... 163
C. Beberapa Permasalahan Terkait Proses Intergarasi Mediasi Di Pengadilan ... 168
1. Dilema Mediasi yang diintegrasikan ke Pengadilan ... 168
2. Dilema mediasi yang dipimpin hakim ... 171
3. Dampak Kehadiran Penasehat Hukum dalam Proses Mediasi ... 174
D. Pengalaman Faktual Hakim Mediator dalam Melakukan Mediasi ... 175
1. Pengadilan Negeri Stabat ... 179
2. Pengadilan Negeri Binjai ... 179
3. Pengadilan Negeri Kabanjahe ... 181
4. Pengadilan Negeri Medan ... 182
5. Pengadilan Negeri Lubuk Pakam ... 184
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 186
A. Kesimpulan ... 186
B. Saran ... 187 DAFTAR PUSTAKA ...
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi bertujuan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediator).
Mediator menolong para pihak untuk memahami pandangan para pihak lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang disengketakan, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari keseluruhan situasi atau keadaan yang sedang berlangsung selama dalam proses perundingan-perundingan.
Jadi mediator harus tetap bersikap netral, selalu membina hubungan baik, berbicara dengan bahasa para pihak, memdengarkan secara aktif menekankan pada keuntungan potensial, meminimalkan perbedaan- perbedaan dan menitikberatkan persamaan-persamaan, yang bertujuan untuk membantu para pihak bernegosiasi secara lebih baik atas penyelesaian suatu sengketa.
Mediasi merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa dimana para pihak yang berselisih atau bersengketa bersepakat untuk menghadirkan pihak ketiga yang independen guna bertindak sebagai mediator (penengah). Mediasi sebagai salah satu proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dewasa ini digunakan oleh pengadilan sebagai proses penyelesaian sengketa. Penggunaan mediasi sebagai bagaian dari proses awal penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan merupakaan suatu langkah untuk menafsirkan secara praktis perwujudan ketentuan kewajiban
hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa, sebagaimana ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg.
Di samping adanya tuntutan dan kewajiban untuk mendamaikan para pihak bagi hakim pada saat proses penyelesaian perkara di hadapan majelis yang dipraktikkan melalui proses mediasi. Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari pula atas beberapa alasan praktis sebagai berikut:
Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula.
Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum.
Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak.
Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara.
Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan
pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak.
Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang
lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir.
Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian.
Alasan-alasan mendasar tersebut di atas sehingga kemudian Mahkamah Agung menerbitakan Peraturan Mahkamah Agung sebagai landasan hokum untuk mengakomodir pelaksanaan mediasi secara prosedur di Pengadilan.
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 tahun 2003 menjadikan mediasi sebagai bagian dari proses beracara pada pengadilan. Mediasi menjadi bagian integral dalam penyelesaian sengketa di pengadilan. Mediasi pada pengadilan menguatkan upaya damai sebagaimana yang tertuang dalam hukum acara pasal 130 HIR atau pasal 154 R.Bg. hal ini ditegaskan dalam pasal 2 PERMA No. 02 tahun 2003, yaitu semua perkara perdata yang diajukan kepada pengadian tingkat pertama harus terlebih dahulu di selesaikan dengan upaya damai. Ketentuan Pasal 2 PERMA mengharuskan hakim untuk menawarkan mediasi sebagai jalan penyelesaian
sengketa sebelum perkara diperiksa. Mediasi merupakan kewajiban yang harus ditawarkan kepada pihak yang berperkara.
Ketentuan Pasal 3 PERMA dapat kita terjemahkan bahwa bagi pihak yang menolak mediasi tidak membawa konsekuensi hukum apapun terhadap perkaranya, karena perkaranya tersebut tetap akan dilanjutkan jika jalan mediasi gagal. Namun, pelanjutan sidang perkara tetap akan dipertimbangkan persyaratan formal perkara yang telah ditentukan dalam hukum acara.
Pada sidang pertama atau sebelum mediasi dilakukan, hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak mengenai prosedur dan biaya mediasi.
Kemudian para pihak dapat memilih mediator yang telah disediakan oleh pengadilan, ataupun dapat menunjuk mediator dari luar pengadilan. Bila para pihak memberikan kuasa kepada kuasa hukumnya, maka kuasa hukumnya lah yang akan melakukan mediasi, kuasa hukum akan bertindak untuk dan atas nama para pihak.
Pasal 4 PERMA No. 02 Tahun 2003 disebutkan bahwa dalam waktu paling lama 1 hari kerja, para kuasa hukum mereka harus berunding untuk menentukan mediator . penentuan mediator ini harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Setelah semuanya tersepakati, maka hakim memerintahkan untuk segera melaksanakan proses mediasi.
Dalam perjalanannya PERMA No. 2 Tahun 2003 ini dianggap kurang efektif sehingga prosedur mediasi di pengadilan disempurnakan menjadi peraturan Mahkamah Agung RI No.1 tahun 2008. Penyempurnaan tersebut dilakukan karena PERMA No. 2 Tahun 2003 mengalami masalah, sehingga penerapannya tidak
efektif dalam pengadilan. PERMA No. 1 tahun 2008 dikeluarkan untuk mempercepat dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih besar kepada pencari keadilan. Kehadiran PERMA ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak.
Pasal 4 PERMA No. 1 Tahun 2008 menentukan perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan badan penyelesaian sengketa konsumen dan keberatan atas putusan komisi pengawas persaingan usaha.
PERMA No. 1 tahun 2008 mencoba memberikan pengaturan dan penguatan yang lebih komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di pengadilan. Diarahkannya para pihak yang berpekara untuk menempuh proses perdamaian secara detail, juga disertai pemberian sebuah konsekuensi, bagi pelanggaran, terhadap tata cara yang harus dilakukan, yaitu sanksi putusan batal demi hukum atas sebuah putusan hakim yang tidak mengikuti atau mengabaikan PERMA No. 1 tahun 2008 ini.
Jika PERMA No. 1 Tahun 2008 ini diperbandingkan dengan PERMA No.
2 tahun 2003, maka PERMA 2003 tidak memberikan sanksi, dalam PERMA 2003, banyak aspek yang tidak diatur terutama mediasi di tingkat banding dan kasasi, sedangkan PERMA No. 1 tahun 2008 mengatur kemungkinan mengenai hal itu.
Perubahan mendasar dalam PERMA No। 1 tahun 2008, dapat dilihat dalam
Pasal 4, yaitu batasan perkara apa saja yang bisa dimediasi. Namun ketentuan tersebut belum menentukan kreteria secara spesifik mengenai perkara apa yang bisa dimediasi atau tidak bisa di mediasi. Pendekatan PERMA ini adalah pendekatan yang sangat luas. Dalam PERMA ini, semua perkara selama tidak masuk dalam kreteria yang dikecualikan, diharuskan untuk menempuh mediasi terlebih dahulu.
Kewajiban mediasi bagi pihak yang berpekara bermakna cukup luas. Para pihak diwajibkan untuk melakukan mediasi dalam menyelesaikan perkara-perkara sepanjang tidak dikecualikan dalam Pasal 4 yaitu pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas keputusan BPSK, dan keberatan atas keputusan KPPU. Semua sengketa perdata wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. PERMA No. 1 tahun 2008 tidak melihat pada nilai perkara, tidak melihat apakah perkara ini punya kesempatan untuk diselesaikan melalui mediasi atau tidak, tidak melihat motivasi para pihaknya, tidak melihat apa yang mendasari iktikad para pihak mengajukan perkara, tidak melihat apakah para pihak punya sincerity (kemauan atau ketulusan hati untuk bermediasi atau tidak). Tidak melihat dan menjadi persoalan berapa banyak pihak yang terlibat dalam perkara dan dimana keberadaan para pihak, sehingga dapat dikatakan PERMA No 1 tahun 2008 memiliki pendekatan yang sangat luas.
Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008, Peran mediator menurut Pasal 5 menegaskan, ada kewajiban bagi setiap orang yang menjalankan fungsi mediator untuk memiliki sertifikat, ini menunjukan keseriusan penyelesai sengketa melalui mediasi secara profesional. Mediator harus merupakan orang yang qualified dan
memiliki integritas tinggi, sehingga diharapkan mampu memberikan keadilan dalam proses mediasi. Namun mengingat bahwa PERMA No. 1 tahun 2008 mewajibkan dan menentukan sanksi (pasal 2), maka perlu dipertimbangkan ketersedian dari Sumber daya Manusianya untuk dapat menjalankan mediasi dengan baik.
Upaya mediasi wajib ini harus dilakukan dengan hati-hati. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak beriktikad baik. Sistim pengadilan sekarang banyak dikeluhkan memberikan kesempatan bagi pihak yang beriktikad tidak baik untuk mengajukan perkara atau gugatan yang tidak cukup kuat kepentingan hukumnya atau alas haknya. Tujuannya hanya untuk mengganggu atau merepotkan pihak lain. Mediasi wajib akan mengakibatkan proses berperkara di pengadilan semakin panjang karena ada prosedur yang wajib ditempuh. Sedangkan pada dasarnya mediasi adalah bagian dari alternatif penyelesaian sengketa yang harusnya dilakukan atas dasar sukarela (voluntir), kesuksesan mediasi sangat tergantung pada kemauan atau keinginan para pihak.
Kunci utama dalam mediasi adalah permasalahan waktu. Dalam sengketa- sengketa bisnis, semakin panjang waktu yang terbuang untuk menyelesaikan sengketa adalah kerugian besar terhadap kepentingan bisnis mereka. Jika menggunakan penyelesaian sengketa melalui peradilan biasa, perlu dipertimbangkan system pengadilan yang unpredictable, dapat mendorong pilihan penyelesaian pekara melalui mediasi.
Pemahaman atas nature mediasi dan manfaatnya masih belum maksimal.
Banyak masyarakat yang memahami mediasi sekedar bertemu dengan pihak ketiga
sebagai mediator, tapi mereka tidak melihat adanya manfaat lebih dari proses mediasi tersebut. Sehingga dalm proses yang lebih lanjut evaluasi terhadap PERMA No. 1 tahun 2008 ini No. 1 Tahun 2008 terus dilakukan hingga berunjung pada perubahan PERMA No. 1 tahun 2008 menjadi PERMA No. 1 tahun 2016, perubahan tersebut dilakukan karena beberapa alasan mendasar terutama berkaitan dengan masalah waktu dan mengukur itikad baik para pihak untuk melakukan mediasi di Pengadilan. Beberapa hal penting yang menjadi pembeda antara PERMA No.1 Tahun 2016 dengan PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Mediasi.
Pertama, terkait batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40 hari menjadi 30 hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi. Kedua, adanya kewajiban bagi para pihak (inpersoon) untuk menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kecuali ada alasan sah seperti kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter; di bawah pengampuan; mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri;
atau menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Ketiga, hal yang paling baru adalah adanya aturan tentang Iktikad Baik dalam proses mediasi dan akibat hukum para pihak yang tidak beriktikad baik dalam proses mediasi. Pasal 7 menyatakan: (1) Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan iktikad baik. 2) Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator dalam hal yang bersangkutan:
a. tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
b. menghadiri pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan sah;
c. ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
d. menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain; dan
e. tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan sah.
Apabila penggugat dinyatakan tidak beriktikad baik dalam proses Mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), maka berdasarkan Pasal 23, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara.1 Selanjutnya Penggugat yang dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai pula kewajiban pembayaran Biaya Mediasi. Mediator menyampaikan laporan penggugat tidak beriktikad baik kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi dan perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi
Disamping permasalahan prosedur tentang mediasi di Pengadilan yang terus mengalami perbaikan dan pembenahan. Permasalahan penting lain yang
1 Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22 PERMA No.1 Tahun 2016.
menentukan efektif dan tidaknya pelaksanaan mediasi di Pengdilan adalah, bagaimana peran mediotor dalam membangkitkan kembali kesadaran para pihak untuk memahami makna pemeyelesaian sengketa, sehingga para pihak dengan sukarela untuk menerima proses penyelesaian sengeketa mereka dengan jalan atau melalui mediasi. Sebab perlu poin utama mediasi adalah kesukarelaan para pihak menyelesaikan sengketa melalui prosedur perdamain dengan menggunakan forum mediasi. Proses mediasi yang diintegrasikan di Pengadilan dalam tahapan proses persidangan setelah para pihak mendaftarkan perkara di Pengadilan adalah suatu proses yang dianggap memaksakan kehendak para pihak untuk berdamai melalui jalur mediasi terlebih dahulu.
Bentuk pemaksaan ini sebagaimana ditemukan dalam ketentuan PERMA yang meyebutkan bahwa “Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Lebih tegas lagi dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa “Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator”.
Pemahaman secara gramatikal yang mudah ditangkap dari bunyi ketentuan di atas adalah bahwa mediasi wajib dilakukan untuk setiap perkara yang diajukan ke pengadilan. Pemahaman ini didukung oleh latar belakang secara historis
munculnya keinginan atau semangat untuk mengintegrasikan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi ke dalam jalur litigasi. Sehingga faktor yang paling menentukan dalam hal ini adalah mediator.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa, Mediator sangat menentukan efektif dan tidaknya proses penyelesaian sengketa melalui mediasi di Pengadilan, ia harus secara layak memenuhi kualitas tertentu serta berpengalaman dalam komunikasi dan negosiasi agar mampu mengarahkan para pihak yang bersengketa.
Dengan bekal berbagai kemampuan yang dimilikinya, mediator mendiagnosis suatu sengketa tertentu. Mediator mendesain serta mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para pihak mencapai suatu kesepakatan yang sehat. Mediator menjadi katalisator untuk mendorong lahirnya suasana yang konstruktif dalam mempertemukan para pihak dalam forum diskusi.
Namun peran mediator di Pengadilan pada tataran implementasi sebagai upaya mendamaikan para pihak di depan persidangan dianggap kurang efektif dan terkesan formalistik belaka, karena: (1) suasana persidangan kerap menimbulkan ketegangan emosional dan psikologis bagi masing-masing pihak yang bersengketa sehingga sulit mencari titik temu penyelesaian sengketa secara damai, (2) pemeriksaan persidangan terikat oleh batasan waktu dan aturan hukum acara yang berlaku sehingga nuansa mengadili lebih terasa ketimbang suasana pemufakatan, (3) memeriksa fakta dan peristiswa yang telah terjadi sehingga cendrung mengungkit kembali faktor-faktor pemicu konflik (4) tidak mungkin melakukan
“kaukus” (pertemuan yang hanya dihadiri oleh salah satu pihak berperkara tanpa dihadiri pihak yang lain) untuk menemukan fakta-fakta yang dianggap perlu dalam
rangka kesuksesan mediasi.
Hal tersebut semakin menarik ketika realitas gagalnya mediasi di lembaga Peradilan dikaitkan dengan aktor kunci yang selama ini menangani mediasi di lembaga peradilan, yaitu Hakim. Hakim sebagai sosok yang seharusnya memberikan nilai keadilan dan kemanfaatan hukum bagi semua orang, dalam realitasnya belum bisa mewujudkan semua itu. Hal ini tentu saja mengundang pertanyaan besar, apa yang sesungguhnya terjadi dan mengapa hal tersebut terjadi.
Apakah karena hakim selalu berorientasi pada tugas utamanya harus memutus?, sehingga upaya perdamain menjadi tidak maksimal.
Sehingga permasalahan tersebut diatas menjadi sustu asumsi awal yang perlu untuk diuji dalam penelitian ini terkait efektivitas pelaksanaan mediasi di Pengadilan adalah, bahwa pelaksanaan proses mediasi di pengadilan belum maksimal dan belum efektif. Tolok ukur dari asumsi tersebut di atas sangat sederhana apabila dikaitkan dengan tujuan penerapan mediasi secara praktis menurut pertimbangan Mahkamah Agung terkait dengan pengurangan beban arus perkara pada tingkat kasasi, maupun indikator lainnya.
Permasalahan-permasalahan tersebut di atas inilah menjadi fokus dalam penelitian ini, untuk mengukur efektivitas pelaksanaan mediasi di Pengadilan, di samping permasalahan-permasalahan lain yang akan dikaji dalam penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang menjadi focus kajian dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan mediasi di Pengadilan?
2. Apa faktor-faktor penghambat pelaksanaan mediasi di Pengadilan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa hal terkait dengan;
1. Efektifitas pelaksanaan mediasi pada pengadilan negeri; dan
2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jalannya mediasi di pengadilan negeri.
D. Kegunaan Penelitian
Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan Mahakamah Agung RI melakukan tugas dan fungsi penelitian berbagai topik yang dianggap penting dan menarik untuk dikaji dan diteliti. Salah satu topik penelitian yang sangat penting untuk diteliti pada tahun ini adalah mengenai efektivitas pelaksanaan mediasi di pengadilan negeri, Oleh karena itu penelitian ini tentu sangat berguna baik secara teoritis maupun secara praktis.
Kegunaan teoritis dari penelitian ini tentu ingin meyuguhkan konsep mediasi dalam penyelesaian sengketa di pengadilan dlam kasus perdata. Dan secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan penting secara praktis bagi pengadilan dalam mendisian pelaksanaan mediasi sebagai bentuk kewajiban bagi para hakim untuk mendamaikan para pihak dalam penyelesaian sengketa perdata,
E. Kerangka Teori
Penyelesaian sengketa pada dasarnya sudah ada sejak zaman dahulu mengikuti perkembangan peradaban manusia. Manusia diciptakan Tuhan dengan berbagai karakter, ras suku yang berbeda-beda, dengan perbedaan tersebut manusia tidak terlepas dari konflik, baik dengan manusia lainnya, alam lingkungannya, bahkan dengan dirinya sendiri. Namun dengan akal pikiran manusia yang dianugrhkan oleh Tuhan, sehingga manusia akan selalu berusaha untuk mencari bagaimana cara penyelesaian konflik dalam rangka mencapai posisi keseimbangan dan kerukunan hidup di antara sesamanya.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan dua cara, yang biasa digunakan adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan, kemudian dengan perkembangan peradaban manusia berkembang pula penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan menghasilkan suatu keputusan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, karena menghasilkan suatu putusan win lose solution, dengan adanya pihak yang menang dan kalah tersebut, di satu pihak akan merasa puas tapi di pihak lain merasa tidak puas, sehingga dapat menimbulkan suatu persoalan baru di antara para pihak yang bersengketa. Belum lagi proses penyelesaian sengketa yang lambat, waktu yang lama, dan biaya yang relatif lebih mahal. Sedangkan proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, menghasilkan kesepakatan yang
“win-win solution” karena penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui kesepakatan dan musyawarah di antara para pihak sehingga dapat menghasilkan suatu keputusan bersama yang dapat diterima baik oleh kedua belah pihak, dan
keputusan yang dihasilkan dapat dijamin kerahasiaan sengketa para pihak karena tidak ada kewajiban untuk proses persidangan yang terbuka untuk umum dan dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan Alternative Dispute Resolution (ADR).2
Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan istilah yang pertama kali muncul di Negara Amerika Serikat. Konsep ADR merupakan jawaban atas ketidakpuasan (dissatisfaction) yang muncul di tengah kehidupan masyarakat di Amerika terhadap system pengadilannya. Ketidakpuasan tersebut muncul karena penyelesaian sengketa melalui pengadilan memakan waktu yang cukup lama karena adanya penumpukan perkara di pengadilan, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar, serta keraguan masyarakat terhadap kemampuan hakim dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat rumit yang memerlukan keahlian tertentu untuk menyelesaikannya. Kerumitan tersebut dapat disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan persoalan ilmiah (scientifically complicated) atau dapat juga karena banyaknya serta luasnya stake holders yang harus terlibat. Oleh sebab itulah para praktisi hukum dan para akademisi mengembangkan Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai penyelesaian sengketa yang mampu menjembatani kebutuhan masyarakat yang mencari keadilan dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka.3
Di Indonesia, proses penyelesaian sengketa melalui ADR bukanlah sesuatu
2 Rachmadi Usman, “Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan” , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 2-3.
3 Rika Lestari, Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara Mediasi Di Pengadilan Dan Di Luar Pengadilan Di Indonesia, JURNAL ILMU HUKUM, VOLUME 3 NO. 2,
yang baru dalam nilai-nilai budaya bangsa, karena jiwa dan sifat masyarakat Indonesia dikenal dengan sifat kekeluargaan dan kooperatif dalam menyelesaikan masalah. Di berbagai suku bangsa di Indonesia biasanya menggunakan cara penyelesaian musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan.
Penyelesaian sengketa (perselisihan) secara damai (musyawarah mufakat) sudah merupakan budaya dalam masyarakat adat tradisional di Indonesia. Bahkan pada zaman Hindia Belanda, penyelesaian sengketa secara damai ini telah diformulasikan melalui lembaga-lembaga non formil di desa-desa yang disebut dengan “Peradilan Desa” (Dorpsjustitie), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 RO.4Menurut Pasal tersebut dikatakan bahwa:
a. Semua perkara yang menurut hukum adat termasuk kekuasaan Hakim dari masyarakat hukum kecil-kecil (Hakim Desa) tetap diadili oleh para Hakim tersebut.
b. Ketentuan ayat di muka tidak mengurangi sedikitpun hak yang berperkara untuk Setiap waktu mengajukan perkaranya kepada Hakim-Hakim yang lebih tinggi.
c. Hakim-Hakim yang dimaksud pada ayat (1) mengadili perkara Menurut hukum adat, mereka tidak boleh menjatuhi hukuman.
d. Mengundang para pihak yang berselisih, para saksi untuk di dengar keterangannya.
4 H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hlm. 247.
e. Membuka persidangan dengan menawarkan perdamaian di antara kedua belah pihak.
f. Memeriksa perkara, mendengar keterangan saksi, pendapat para Sesepuh Desa, Kepala Dusun yang bersangkutan dan lainnya.
g. Mempertimbangkan dan menetapkan keputusan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Kepala Desa atau Kepala
Jika terjadi perselisihan di kampung, di dusun, di tempat pemukiman, maka untuk memulihkan gangguan keseimbangan keluarga dan masyarakat bersangkutan diselesaikan secara langsung di tempat kejadian antara pribadi yang bersangkutan, atau diselesaikan di rumah keluarga salah satu pihak yang bersangkutan, atau antara tetangga dalam kesatuan rukun tetangga.
Apabila pertemuan yang diselenggarakan pribadi, keluarga atau tetangga tersebut tidak mencapai kesepakatan, atau karena satu dan lain hal tidak berkelanjutan, sehingga perkaranya perlu dilanjutkan kepada Kepala Kerabat atau Kepala Adat. Di daerah Lampung misalnya, perselisihan “kawin lari” di antara sesama orang Lampung, harus diselesaikan oleh Kepala Kerabat atau Kepala Adat.5
Penyelesaian perselisihan secara damai yang dilakukan oleh Kepala Desa dilaksanakan di Balai Desa, yang disebut dengan Peradilan Desa (Doorpsjustitie), sebagai upaya untuk mencapai kesepakatan, Kepala Desa berusaha antara lain :
5 Ibid.
1. Menerima dan mempelajari pengaduan yang disampaikan kepadanya.
2. Memerintahkan Perangkat Desa atau Kepala Dusun untuk menyelidiki kasus perkara, dengan menghubungi para pihak yang bersangkutan.
3. Mengatur dan menetapkan waktu persidangan serta menyiapkan persidangan di Balai Desa.
4. Mengundang para Sesepuh Desa yang akan mendampingi Kepala Desa memimpin persidangan, dan lainnya yang dianggap perlu.
Penyelesaian sengketa secara damai juga dikenal di kota-kota kecil, besar atau di daerah di mana penduduknya heterogen, di mana terdapat perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan, seperti halnya perkumpulan-perkumpulan kekeluargaan masyarakat adat di perantauan, perkumpulan kepemudaan dan kewanitaan, perkumpulan keagamaan dan lainnya. Apabila terjadi pertikaian di antara anggota, maka yang bertindak sebagai juru damai adalah ketua perkumpulan bersangkutan. Begitu pula jika peristiwa yang terjadi itu bukan di antara sesama anggota, melainkan terjadi dengan orang luar perkumpulan atau perkumpulan lain, maka pimpinan perkumpulan itu masing-masing mengadakan perundingan dan menyelesaikan perselisihan di antara perkumpulan mereka, dengan rukun dan damai.6
Pada dasarnya perselisihan yang terjadi di masyarakat diselesaikan secara musyawarah mufakat. Penyelesaian melalui Litigasi sedapat mungkin dihindari.
6 Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (1 April 2006), h.7
Gagasan untuk menghindari penyelesaian secara litigasi dan anjuran berkompromi pernah disampaikan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1850 dengan ucapan :
“Discorage Litigation. Persuade your neighbors to compromise whenever you can.
Point out to them how nominal winner is often a real loser in fees, expenses, and waste of time”.7
Apabila mengacu kepada penyelesaian sengketa atau masalah dengan cara musyawarah mufakat seperti yang telah dikemukakan di atas, maka untuk mencapai penyelesaian masalah atau sengketa harus dibangun paradigma baru, yaitu mengubah paradigma mengadili menjadi menyelesaikan masalah atau sengketa.
Paradigma baru ini akan mencakup empat strategi pokok, yaitu :
Pertama; revitalisasi fungsi Pengadilan untuk mendamaikan pihak-pihak yang menghadapi sengketa hukum. Fungsi ini terutama berkaitan dengan sengketa hukum yang bukan perkara pidana. Sesuai dengan ketentuan yang sudah ada Hakim wajib berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempertemukan dan meyakinkan pihak- pihak untuk menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi secara damai menuju prinsip win-win solution. Pihak-pihak diwajibkan untuk secara sungguh- sungguh (compulsory) dan di bawah supervisi Hakim untuk menyelesaikan sengketa hukum secara damai.
Kedua; revitalisasi pranata-pranata sosial dengan memberikan dasar-dasar yang lebih kuat bagi pengembangan lembaga penyelesaian (ADR) seperti arbitrase, mediasi, maupun perdamaian di luar Pengadilan. Pada saat ini telah ada BANI dan
7 Ibid.
BMN. Selain itu, perlu didorong peran-peran lain seperti lembaga bantuan hukum untuk mediasi, dan lain-lain.
Ketiga; menata kembali tata cara penyelesaian suatu perkara menjadi lebih efisien, efektif, produktif, dan mencerminkan keterpaduan sistem diantara unsur- unsur penegak hukum dengan merinci pembagian tugas dan wewenang yang tegas diantara para penegak hukum. Prinsip sistem peradilan terpadu dalam perkara pidana (integrated criminal justice system), tidak cukup mengatur hubungan koordinasi diantara para penegak hukum. Tanpa mengurangi maksud membangun kemandirian dan tanggung jawab masing-masing penegak hukum seperti
“hubungan pertimbangan” atau “hubungan supervisi” agar suatu proses perkara tidak terhenti akibat suatu formalitas yang kurang atau tidak dipenuhi secara sempurna.
Keempat; menata kembali hak-hak berperkara yang menyebabkan penyelesaian yang berlarut-larut, dan mengandung berbagai potensi konflik
“permanen” diantara pihak-pihak atau mereka yang terkena perkara. Strategi ini berkaitan dengan pembatasan hak kasasi yang dapat didasarkan kepada nilai perkara, ancaman pidana, atau sifat perkara. Yang terakhir ini berkaitan dengan perkara- perkara di bidang (hukum) kekeluargaan (perceraian, pemeliharaan anak, pengangkatan anak, harga perkawinan dan lain-lain). pembatasan hak kasasi pada perkara-perkara (hukum) kekeluargaan dimaksudkan agar dapat tuntas secepat mungkin mengingat kepentingan-kepentingan dari pihak dan orang ketiga (seperti
anak) yang bersangkutan dalam perkara tersebut.8 1. Prinsip-Prinsip Dasar Dalam Mediasi
Dalam berbagai literatur ditemukan sejumlah prinsip mediasi. Prinsip dasar (basic principle) adalah landasan filosofis dari diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip ini merupakan kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator, sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbekalangi lahirnya institusi mediasi.9
David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima prinsip dasar mediasi. Lima prinsip ini dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi. Kelima prinsip tersebut adalah; prinsip kerahasiaan (confidentiality), prinsip sukarela (volunteer) prinsip pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality), dan prinsip solusi yang unik (a unique solution)10
Prinsip pertama mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality.
Kerahasiaan ini artinya adalah bahwa hanya para pihak dan mediator yang menghadiri proses mediasi, sedangkan pihak lain tidak diperkenankan untuk menghadiri sidang mediasi. Kerahasiaan dan ketertutupan ini juga sering kali menjadi daya tarik bagi kalangan tertentu, terutama para pengusaha yang tidak
8 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, (Yogyakarta : FH-UII Press, 2004), hlm. 25- 26.
9 John Michael Hoynes, Cretchen L. Haynes dan Larry Sun Fang, Mediattion: Positive Conflict Management, (New York: SUNY Press, 2004), hm. 16. Sebagaimana dikutif oleh Syahrizal, Abbas...Op.Cit. hlm 28
10 Syahrizal Abbas...Op.Cit. hlm 28-30
menginginkan masalah yang mereka hadapi dipublikasikan di media massa.
Sebaliknya jika sengketa dibawa ke proses litigasi atau pengadilan, maka secara hukum sidang-sidang pengadilan terbuka untuk umum karena keterbukaan itu merupakan perintah ketentuan undang-undang.11
Prinsip kedua, volunteer (sukarela). Masing-masing pihak yang bertikai datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka, bila mereka datang ketempat perundingan atas pilihan mereka sendiri
Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Kemampuan mereka.dalarn hal ini harus diakui dan dihargai, dan oleh karena itu setiap solusi atau jalan penyelesaian sebaiknya tidak dipaksakan dari luar. penyelesaian sengketa harus muncul dari pemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih memungkinkan para pihak untuk menerima solusinya
Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya menfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para
11 Takdir Rahmadi,” Mediasi penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat”, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 22.
pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, se- orang mediator tidak bertindak. layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak
Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasanya solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak, yang terkait erat dengan konsep pemberdayaan masing- masing pihak12
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa mediasi memiliki karakteristik yang merupakan ciri pokok yang membedakan dengan penyelesaian sengketa yang lain. Karakteristik tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut;
• Dalam setiap proses mediasi terdapat metode, di mana para pihak dan/atau perwakilannya, yang dibantu pihak ketiga sebagai mediator berusaha melakukan diskusi dan perundingan untuk mendapatkan keputusan yang dapat disetujui oleh para pihak.
• Secara singkat mediasi dapat dianggap sebagai suatu proses pengambilan keputusan dengan bantuan pihak tertentu (facilitated decision-making atau facilitated negotiation).
12 Syahrizal Abbas...Op.Cit. hlm 29-30
• Mediasi dapat juga digambarkan sebagai suatu sistem di mana mediator yang mengatur proses perundingan dan para pihak mengontrol hasil akhir, meskipun ini tampaknya agak terlalu menyederhanakan kegiatan mediasi 2. Prinsip Mediasi di Pengadilan
Terintegrasinya mediasi dalam proses acara pengadilan adalah untuk memfasilitasi, berusaha dengan sungguh-sungguh membantu para pihak bersengketa mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan melalui perundingan, bermusyawarah dengan mengesampingkan hukum untuk menuju perdamaian yang disepakati oleh kedua belah pihak.13
Dalam konteks usaha yang sungguh-sungguh dari pengadilan untuk membantu para pihak yang bersengketa seperti tersebut, Satjipto Rahardjo mengemukakan menegakkan hukum tidak sama dengan menerapkan undang- undang dan prosedur. Menegakkan hukum adalah lebih dari itu dalam khasanah spritual Timur (jawa) dikenal kata “Mesu Budi” yaitu penegakan hukum dengan pengerahan seluruh potensi kejiwaan dalam diri para penyelenggara hukum. 14
Hal itu berarti dalam penegakan hukum “Mesu Budi” tidak saja semata- mata berpegang pada kecerdasan intelektual (mendasarkan undang-undang atau peraturan tertulis sebagai sumber hukum), akan tetapi juga dengan memadukan
13 Dr. I Made Sukadana, “Mediasi Peradilan: mediasi dalam sistem peradilan perdata indonesia dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”
Prestasi Pustaka, Jakarta, 2012,hlm.1 12
14 Satjipto Rahardjo, “ilmu Hukum”, PT. Citra aditya Bakti, cet. Ke 6, 2006, hlm 206.
Sebagaimana dikutip oleh I Made Sukadana, ibid
budi nurani, karena kebenaran sesungguhnya sudah ada di hati sanubari atau budi nurani setiap insani, yang harus dipahami dan dimiliki oleh setiap penyelenggara atau penegak hukum serta para pihak pencari keadilan. Dengan demikian hakekat yang dicari dalam penyelesaian sengketa atau perkara dengan pengintegrasian mediasi ke acara pengadilan adalah “keadilan”, karena keinginan kedua pihak dapat terpenuhi, tidak ada yang merasa dikalahkan apalagi direndahkan, namun sebaliknya kedua belah pihak merasa dihormati sehingga memenuhi esensi ego manusia yang paling dalam yaitu “kejayaaan atau gloria” untuk selalu ingin dihormati, selalu ingin lebih unggul dari manusia lainnya.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 memuat sepuluh prinsip pengaturan tentang menggunaan mediasi terintegrasi di pengadilan (court- connected mediation). sepuluh prinsip tersebut adalah sebagai berikut;
Pertama; Mediasi wajib ditempuh, sebelum sengketa diputus oleh hakim para pihak wajib terlebih dahulu menempuh mediasi. Jika proses mediasi tidak ditempuh atau sebuah sengketa langsung diperiksa dan diputus oleh hakim, konsekwensi hukumnya adalah putusan itu batal demi hukum. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008.
Sebagian ahli hukum mungkin mempertanyakan prinsip penggunaan mediasi secara wajib ini karena HIR dan Rbg yang mengatur prosedur penyelesaian sengketa perdata di pengadilan tidak menyebutkan soal mediasi, sedangkan Peraturan Mahkamah Agung ini yang status hukumnya dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sangat rendah sehingga tidak boleh isinya menciptakan sebuah norma baru.
Namun Mahkamah Agung memahami bahwa upaya penyelesaian sengketa atau perkara perdata melalui mediasi secara konseptual dan asensialnya sama dengan upaya perdamaian sebagaimana diwajibkan Pasal 130 HIR atau 154 Rbg.
Dengan demikian mediasi tidak menyimpang dari hukum acara yang diatur dalam HIR dan Rbg, tetapi justru dapat memperkuat upaya perdamaian yang diwajibkan oleh HIR dan Rbg.
Kedua, otonomi para pihak. Prinsip otonomi para pihak merupakan prinsip yang melekat pada proses mediasi. Karena dalam mediasi para pihak berpeluang untuk menentukan dan mempengaruhi proses dan hasilnya berdasarkan mekanisme konsensus atau mufakat para pihak dengan bantuan pihak netral. Prinsip ini dikenal dengan sebutan self determination,yaitu para pihak lah yang berhak atau berwenang untuk menentukan dalam arti menerima atau menolak segala sesuatu dalam proses mediasi.15
Ketiga, mediasi dengan itikad baik. Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa melalui musyawarah mufakat atau konsensus para pihak yang akan dapat berjalan dengan baik jika dilandasi oleh iktikad untuk menyelesaikan sengketa.
Keempat, Efisiensi Waktu. Masalah waktu merupakan salah satu faktor penting dalam menyelesaikan sebuah sengketa atau perkara. Konsep waktu juga berhubungan dengan kepastian hukum dan ketersediaan atau pemanfaatan sumber daya yang ada. Prinsip efisiensi waktu dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 ini tampak pada pengaturan pembatasan waktu bagi para pihak dalam
15
perundingan untuk memilih mediator diantara pilihan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1).
Kelima, sertifikasi mediator. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 mendorong lahirnya mediator-mediator profesional. Kecenderungan ini tampak dari adanya ketentuan bahwa pada asasnya “setiap orang yang menjalankan fungsi mediator wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Keenam, Tanggung Jawab Mediator. Mediator memiliki tugas dan tanggung jawab yang bersifat prosedural dan fasilitatif. Tugas-tugas ini tercermin dalam ketentuan Pasal 15 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 yaitu:
mempersiapkan usulan jadwal pertemuan kepada para pihak, mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi, melakukan kaukus, mendorong para pihak untuk menelusuri atau menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik menurut penilaian mereka.
Ketujuh, kerahasiaan. Berbeda dengan proses litigasi yang bersifat terbuka untuk umum, proses mediasi pada asasnya tertutup bagi umum kecuali para pihak menghendaki lain. Hal ini berarti hanya para pihak atau kuasa hukumnya dan mediator saja yang boleh menghadiri dan berperan dalam sesi-sesi mediasi, sedangkan pihak lain tidak boleh menghadiri sesi mediasi kecuali atas izin para pihak.
Kedelapan, pembiayaan. Pembiayaan yang berkaitan dengan proses mediasi paling tidak mencakup hal-hal sebagai berikut: ketersediaan ruang-ruang mediasi, honor para mediator, biaya para ahli jika diperlukan, dan biaya transport para pihak yang datang ke pertemuan- pertemuan atau sesi-sesi mediasi
Kesembilan, pengulangan mediasi. Pasal 18 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 memberikan kewenangan kepada hakim pemeriksa perkara untuk tetap mendorong para pihak supaya menempuh perdamaian setelah kegagalan proses mediasi pada tahap awal atau pada tahap sebelum pemeriksaan perkara dimulai.proses perdamaian setelah memasuki tahap pemeriksaan dimediasi langsung oleh hakim pemeriksa
Kesepuluh, kesepakatan perdamaian di luar pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 pada dasarnya lebih dimaksudkan untuk mengatur prinsip dan prosedur penggunaan mediasi terhadap perkara atau sengketa perdata yang telah diajukan ke pengadilan (court-connected mediation). Namun, sebagai upaya untuk lebih memperkuat penggunaan mediasi dalam sistem hukum Indonesia dan memperkeciltimbulnya persoalan-persoalan hukum yang mungkin timbul dari penggunaan mediasi di luar pengadilan, Mahkamah Agung Melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 juga memuat ketentuan yang dapat digunakan oleh pihak-pihak bersengketa yang berhasil menyelesaikan sengketa itu melalui mediasi di luar pengadilan untuk meminta pengadilan agar kesepakatan damai di luar pengadilan dikuatkan dengan akta perdamaian.
Semula mediasi di Pengadilan cenderung bersifat fakultatif/sukarela (Voluntary), tetapi kini mengarah pada sifat imperatif/memaksa (compulsory).
Dapat dikatakan bahwa mediasi di Pengadilan ini merupakan hasil pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan perdamaian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 130 HIR/154 Rbg, yang mengharuskan hakim yang menyidang suatu perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian di antara para pihak yang berperkara.16
F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis-empiris, artinya penelitian ini berpijak pada norma dan sistematika hukum dan didukung denga data primer dengan melakukan penelitian lapangan yang dikombinasikn dengan penelitian keputakaan. Data primer berupa hasil wawancara dengan para responden, di pengadilan tingkat pertama.
Data primer berupa hasil wawancara terhadap responden dapat kami lakukan di beberpa pengadilan negeri, seperti di Bandung, Medan dan Ambon.
Bahan-bahan hukum yang telah berhasil di peroleh, dikumpulkan baik dari data primer maupun data sekunder, selanjutnya akan disajikan secara deskriptif untuk dianalisis secara kualitatif. Teknik analisis yang akan dilakukan dalam menguji dan mencari jawaban atas permasalahan penelitian adalah sebagai bertikut:
setelah data sekunder terkumpul dilakukan inventarisasi dan seleksi (identifikasi) norma-norma mana yang termasuk dalam hukum positif dan norma yang bukan norma hukum.
16 Rachmadi Usman, “Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktik” Sinar Grafika, Jakarta, 2012
Setelah data diklasifikasikan, data tersebut dideskripsikan dan langsung dianalisis secara yuridis kualitatif dengan pendekatan yuridis emperis. Analisis terhadap permasalahan dalam penelitian ini selain dilakukan dari data sekunder juga akan dilengkapi dengan analisis terhadap hasil penelitian lapangan (data primer) sehingga nantinya uraian penjelasan penelitian ini merupakan suatu deskripsi analitis yang komprehensif’
BAB II
TINJAUAN TEORITIS PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI
A. Pengertian dan Prinsip Mediasi 1. Pengertian Mediasi
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare artinya berada di tengah. Kata “mediasi” berasal dari bahasa Inggris “mediation” yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan mediator atau orang yang menjadi penengah.17
Secara umum, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasehat.18 Sedangkan pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1851 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara kemudian.19
Menurut pendapat Christopher Moore, mediasi adalah intervensi dalam
17 John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. Ke xxv (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 377. Pengertian yang sama dikemukakan juga oleh Prof.
Dr. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
PT. Kencana, 2005), hlm. 175. Lihat juga Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 69
18 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hlm. 640
19 R. Surbekti, R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.
Pradnya Paramitha, 1982), hlm. 144.
sebuah sengketa oleh pihak ketiga yang bisa diterima oleh pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral.
Sementara John W Head berpendapat bahwa, mediasi adalah suatu prosedur penengahan dimana seorang bertindak sebagai kendaraan untuk berkomunikasi antara para pihak sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan.
Selanjutnya menurut H. Priyatna Abdulrasyid, mediasi merupakan proses damai diantara para pihak yang bersengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai mediator dengan proses yang efektif dan diterima secara sukarela oleh para pihak.
Menurut pendapat dari Garry Goopaster, definisi mediasi adalah sebagai proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.20 Goopaster menekankan bahwa mediasi adalah proses negosiasi, dimana pihak ketiga melakukan dialog dengan pihak bersengketa dan mencoba mencari kemungkinan penyelesaian sengketa tersebut.
Pada umumnya mediasi telah didefinisikan sebagai proses penyelesaian sengketa dimana pihak-pihak setuju untuk secara sukarela merujuk perselisihan mereka kepada pihak ketiga yang independen yang bertindak sebagai fasilitator yang mendorong para pihak untuk mencapai resolusi mereka sendiri. Misalnya, MacFarlane (1997) mendefinisikan mediasi sebagai proses yang diawasi oleh pihak ketiga non partisan, mediator, yang kewenangannya bergantung pada
20 Gary Goopaster, Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, (Jakarta: ELIPS Project, 1993), hlm. 201
persetujuan para pihak yang bersengketa.
Kressel dan Pruitt (1985) mendefinisikan mediasi sebagai bantuan oleh pihak ketiga, yang tidak memiliki wewenang untuk mendikte sebuah kesepakatan, kepada dua atau lebih pihak yang bertikai. Sementara definisi mediasi Moore21 (2003) menekankan ketidakberpihakan dan netralitas pihak ketiga dalam memfasilitasi komunikasi dan negosiasi antara pihak-pihak yang bersengketa, Noone (1996) mengamati bahwa mediasi pada intinya memerlukan intervensi pihak ketiga yang berpengalaman, independen dan terpercaya untuk membantu pihak-pihak yang terkait dalam menyelesaikan konflik mereka.
Demikian pula, Street (1994) menggambarkannya sebagai konsep yang berfokus pada penyelesaian sengketa melalui konsensus. Apa yang umum dengan definisi ini adalah bahwa pihak ketiga tidak memaksakan solusi pada pihak yang bersengketa untuk mengakhiri perselisihan tersebut. Selama bertahun-tahun banyak definisi mediasi telah diajukan, dan banyak di antaranya bermaksud menentukan proses mediasi seperti yang dilakukan oleh mediator.
Moffitt (2005) berpendapat bahwa definisi yang diberikan untuk mediasi tidak membantu dalam mengidentifikasi batas-batasnya. Dia menemukan bahwa definisinya bersifat preskriptif atau mereka menyembunyikan sebuah pernyataan berdasarkan penelitian empiris. Dia memberikan contoh pernyataan bahwa:
“Mediator tidak memihak”; “Mediator memfasilitasi komunikasi dan negosiasi”;
dan, 'Mediator tidak pernah mengevaluasi atau memberikan nasehat hukum.22 Dia
21 Moore, CW, The Mediation Process : Practical Strategies for Resolving Conflict, 3rd edn, Jossey-Bass,San Francisco, 2003.
22 Moffitt, ML 2005, 'Schmediation and the Dimensions of Definition', Harvard Negotiation Law Review, vol. 10, pp. 69-102.
menyimpulkan bahwa mereka yang menawarkan definisi preskriptif hanya mengemukakan pemahaman mereka sendiri.23 Pandangan yang sama Moffitt adalah, Folberg & Taylor (1984) yang mengemukakan bahwa, mediasi mencakup beragam makna yang bergantung pada sifat spesifik dari perselisihan, pihak-pihak yang dalam perselisihan, mediator dan mediasi.24
Terlepas dari kesulitan dalam membuat definisi tentang mediasi, dua definisi yang paling diterima dan berpengaruh di Australia dan Amerika Serikat, masing-masing oleh NADRAC (2003) dan Folberg and Taylor (1984):
Mediasi adalah proses di mana pihak-pihak yang bersengketa, dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediator), mengidentifikasi masalah yang diperselisihkan, mengembangkan pilihan, mempertimbangkan alternatif dan berusaha mencapai kesepakatan. Mediator tidak memiliki peran penasehat atau determinatif sehubungan dengan isi perselisihan atau hasil dari resolusinya, namun dapat memberi saran atau menentukan proses mediasi dimana resolusi diusahakan (NADRAC 2003).25
Selanjutnya defenisi menurut Folberg & Taylor bahwa; Mediasi dapat didefinisikan sebagai proses dimana peserta bersama dengan bantuan orang atau orang yang netral, secara sistematis mengisolasi masalah perselisihan untuk mengembangkan pilihan, mempertimbangkan alternatif dan mencapai penyelesaian konsensual yang akan mengakomodasi kebutuhan mereka atau
23 Ibid
24 Folberg, J & Taylor, A 1984, Mediation: A Comprehensive Guide to Resolving Conflicts without Litigation, Jossey-Bass Inc Pub, San francisco.
25 NADRAC 1997, Issues of Fairness and Justice in Alternative Dispute Resolution:
Discussion Paper, Canberra.
kebutuhan para pihajk.26
Definisi tersebut di atas mengasumsikan sebuah teori mediasi yang didasarkan pada sebuah proses yang terutama merupakan bentuk negosiasi non- evaluatif yang tidak fasilitatif dan non evaluatif, di mana pihak ketiga tidak memberikan keputusan, namun mendorong para pihak untuk menyetujui solusi mereka sendiri. Sejumlah aspek lain dari teori mediasi telah memberi dukungan kuat sebagai mekanisme penyelesaian perselisihan terutama di tempat pengadilan yang menyesatkan menjelaskan bagaimana mediasi telah menyebar ke seluruh dunia dan terus menarik perhatian (Drummond 2005).
Secara yuridis, pengertian mediasi hanya dapat dijumpai dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 dalam Pasal 1 Ayat (7), yang menyatakan bahwa: “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator”.27
Kesimpulan yang dapat ditarik dari berbagai definisi tentang mediasi tersebut di atas adalah; Mediasi adalah upaya para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak lain yang netral. Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Dengan demikian dapat dirumuskan beberapa unsur penting dalam proses mediasi antara lain adalah sebagai berikut:
26 Folberg & Taylor 1984. Op.cit.,
27 Dalam Pasal 1 ayat (6) Perma Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian
a. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan melalui suatu perundingan.
b. Mediator yang terlibat bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.
c. Mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa.
d. Mediator tidak boleh memberi kewenangan untuk mengambil keputusan selama perundingan berlangsung.
e. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau mnghasilkan kesimpulan yang dapat diterima dari pihak-pihak yang bersengketa. Sebagai seorang mediator, maka dituntut untuk selalu mengedepankan negosiasi yang bersifat kompromis, dan memiliki keterampilan khusus.
Keterampilan khusus yang dimaksud adalah:
a. Mengetahui bagaimana cara mendengarkan para pihak yang bersengketa.
b. Mempunyai keterampilan bertanya terhadap hal-hal yang dipersengketakan.
c. Mempunyai keterampilan membuat pilihan-pilihan dalam
menyelesaikan sengketa yang hasilnya akan menguntungkan para pihak yang bersengketa (win-win solution).
d. Mempunyai keterampilan tawar-menawar secara seimbang.
e. Membantu para pihak untuk menemukan solusi mereka sendiri terhadap hal-hal yang dipersengketakan para pihak.
2. Prinsip Mediasi
Prinsip-prinsip mediasi yang digunakan pada dasarnya adalah sebagai berikut:
a. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan melalui suatu perundingan;
b. Kewajiban partisipasi seluruh pihak dalam proses mediasi.
c. Upaya maksimal untuk mencapai mufakat.
d. Penggunaan pendekatan restrukturisasi dengan pola “best commercial practice”.
e. Menghormati hak-hak para pihak yang terkait.
Dari penjelasan diatas dapat dijelaskan tentang karakteristik dari prinsip dalam suatu mediasi yaitu:
Accessible Setiap orang yang membutuhkan dapat menggunakan mediasi, tidak ada suatu prosedur yang kaku dalam kaitannya dengan karakteristik antara mediasi yang satu dengan yang lainnya.
Voluntary Setiap orang yang mengambil bagian dalam proses mediasi harus sepakat dan dapat memutuskan setiap saat apabila ia menginginkan mereka tidak dapat memaksa untuk dapat menerima suatu hasil mediasi apabila dia merasa hasil mediasi tidak menguntungkan atau memuaskan dirinya.
Confidential; Para pihak ingin merasa bebas untuk menyatakan apa saja dan menjadi terbuka untuk kepentingan mediasi.
Fasilitative Mediasi merupakan kreatifitas dan pendekatan pemecahan masalah terhadap persoalan yang dihadapi dan bergantung pada mediator untuk
membantu para pihak mencapai kesepakatan dengan tetap dan tidak dapat memihak.
3. Keuntungan dari Mediasi
Seperti dapat dilihat dari definisi mediasi di atas, keuntungannya dirasakan berada pada keterlibatan pihak ketiga (mediator) dalam membantu pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian bersama. Inti dari peran mediator adalah ketidaktahuan mereka dengan salah satu pihak dalam bertindak sebagai perantara netral untuk memfasilitasi kemajuan menuju penyelesaian (Roberts &
Palmer 2005; Street 2003). Meskipun mediasi terutama digunakan untuk memberi manfaat kepada pihak-pihak dan pengadilan dalam menyelesaikan perselisihan dengan cepat, namun mungkin juga membantu dalam mengkaji dan mempersempit masalah untuk diadili jika gagal (Aibinu et al., 2010). Selain itu, pihak yang bersengketa dapat mengembangkan apresiasi yang lebih baik atas kasus mereka sendiri dan lawan mereka (Zakaria 2010). Beberapa manfaat utama dari mediasi dibahas di bawah ini.
4. Kerahasiaan dan hak Istimewa
Salah satu keuntungan mediasi bagi para pihak adalah kerahasiaannya. Ini memungkinkan pembagian