• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Hukum Islam Terhadap Praktik Pemenuhan Nafkah Anak Pasca Perceraian Di Desa Wora Kecamatan Wera. Anak Pasca Perceraian Di Desa Wora Kecamatan Wera

جَي ُٰاللّ ُلَع

B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Praktik Pemenuhan Nafkah Anak Pasca Perceraian Di Desa Wora Kecamatan Wera. Anak Pasca Perceraian Di Desa Wora Kecamatan Wera

Dalam Islam nafkah menjadi tanggungjawab bapak demi untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam keluarga baik istri maupun anak.

Pemenuhan nafkah adalah upaya untuk mempertahankan keutuhan maupun eksistensi dalam rumah tangga, dan kewajiban atas semua terhadap istri adalah sejak ia melangsungkan akad pernikahan, sedangkan kewajiban bapak terhadap anak ialah sejak dia lahir ke dunia.

56

Pelaksanaan pembayaran nafkah anak pasca putusan perceraian di Desa Wora Kecamatan Wera, merupakan sebuah problem yang sosial terjadi di Desa Wora karena hampir semua yang terjadi disana seorang bapak tidak bertanggungjawab atas pemenuhan nafkah anak pasca perceraian. Realitas di lapangan memang ditemukan kasus dalam pelaksanaan pemenuhan nafkah anak ini sering kali terabaikan, padahal memberikan nafkah kepada anak merupakan kewajiban orangtua meskipun sudah terjadi perceraian kedua orangtuanya.

Kewajiban orangtua terhadap anak menurut undang-undang perkawinan terdapat pada undang-undang perkawinan nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 41 poin (b) tentang perkawinan telah dijelaskan bahwa dalam suatu perceraian yang bertanggungjawab atas nafkah anak, atau dalam pemenuhan nafkah yaitu bapak, dan kewajiban tersebut akan tetap terlaksana meskipun perkawinan kedua orang tuanya putus karena perceraian. Namun dalam kemyataanya di masyarakat atau di lapangan, masih banyak pihak bapak yang tidak bertanggung jawab atau tidak memberikan nafkah kepada anaknya setelah perceraian.

57

Kewajiban orang tua terhadap anak menurut undang-undang perkawinan terletak pada undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 dalam Pasal 41 poin (b):58

“Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak tersebut, dan bilamana bapak dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

Ketentuan dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di atas menunjukan bahwa tanggungjawab seorang ayah kepada anaknya tidak akan berakhir meskipun perkawinan kedua orang tuanya sudah bercerai, ataupun sudah menikah lagi. Kemudian ketika anak belum dewasa atau belum mampu untuk mencari nafkah sendiri, makan pemeliharaan anak tersebut adalah hak ibunya akan tetapi biaya pemeliharaan atau nafkah anak tersebut sepenuhnya jawab bapaknya.

Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 156 dan Pasal Kompilasi Hukum Islam pada pasal 105 dijelaskan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya dan apabila anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada

58Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.

338.

58

anak itu untuk memilih antara ikut dengan ibu atau bapaknya sebagai pemegang pemeliharaan, dan biaya pemeliharaan di tanggung oleh bapaknya. Pada pasal 156 huruf d dijelaskan bahwa semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungjawab bapak menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).59

Secara jelas kandungan dalam pasal ini dengan tegas menetapkan bahwa semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungjawab bapak menurut kadar kemampuannya dalam memberikan.

Ulama fiqh juga sepakat bahwa anak-anak berhak menerima nafkah dari bapaknya dengan ketentuan:

1. Apabila bapak mampu memberikan nafkah untuk mereka, atau paling tidak mampu bekerja untuk mencari rezeki.

Apabila tidak punya harta atau tidak mampu bekerja seperti lumpuh dan sebab-sebab lainnya. Tidak wajib bagi bapak untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya.

59Ibid

59

2. Anak itu tidak memiliki harta sendiri atau belum mampu mencari nafkah sendiri. Sekiranya anak itu sudah mampu mencari rezeki atau sudah mempunyai pekerjaan tetap, maka tidak wajib memberikan nafkah kepada anaknya.

3. Menurut madzhab hambali, antara seorang bapak dan anak tidak berbeda agama. Berbeda dengan jumhur ulama bahwa perbedaan agama tidak menghalangi pemberian nafkah kepada anak-anaknya.

Sebagian besar fuqaha sepakat bahwa nafkah anak di tentukan dengan ukuran kecukupan, baik dalam roti, lauk, minuman, pakaian, dan tempat tinggal maupun ASI jika masih menetek sesuai dengan keadaan ekonomi. Rasulullah SAW.

Bersabda “Ambilah harta suamimu sesuai dengan kebutuhan yang dapat mencukupi dirimu dan anakmu”. 60

a. Faktor Tidak Terpenuhinya Nafkah Anak Pasca Perceraian.

Pada dasarnya faktor tidak terpenuhinya nafkah anak pasca putusan perceraian ini disebabkan oleh dua faktor utama, yakni faktor ekonomi dan faktor kurangnya

60 Ibid

60

tanggungjawab terhadap keluarga, dari kedua faktor ini merupakan hal sangat penting yang menghambat pemberian nafkah pasca putusan perceraian. Dalam hal ini biasanya yang sangat di tuntut untuk memberikan nafkah setelah putusan perceraian yakni seorang ayah. Karena ayah merupakan seorang pemimpin dalam sebuah rumah tangga atau keluarga.

Nafkah ini merupakan kewajiban bagi suami terhadap istri, ayah terhadap anak-anaknya. Nafkah adalah kewajiban seorang ayah terhadap anak-anaknya ketika anak belum dewasa dan belum mampu mebiayai kehidupanya. Hal ini telah di jelaskan dalam firman Allah SWT.

Q.S. At-Thalaq ayat 7.

ُهُق ْز ِر ِهْيَلَع َرِدُق ْنَم َو ۖ ِهِتَعَس ْنِم ٍةَعَس وُذ ْقِفْنُيِل ُلَعْجَيَس اَهاَتآ اَم َّلَِإ اًسْفَن ُ َّاللّ ُفِ لَكُي َلَ ُ َّاللّ ُهاَتآ اَّمِم ْقِفْنُيْلَف ا ًرْسُي ٍرْسُع َدْعَب ُ َّاللّ

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah

61

kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (At- Thalaq ayat 7 ).61



































































































































233. “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.

dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan

61Departemen Agama RI, Al-Quran (Jakarta: PT Suara Agung, 2009),hlm.117.

62

pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa seseorang tidak akan dibebabani lebi dari kesanggupannya melainkan menurut kadar kemampuannya, dan selagi seseorang masih memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya, maka bapak atau suami diwajibkan untuk terus berusaha guna untuk memenuhi tuntutan nafkah yang ada kepadanya dan sebagai kepala rumah tangga.

Pada dasarnya juga telah dijelaskan secara tegas dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 bahwa: akibat putusnya perkawinan karena perceraian, semua biaya handhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri.62Kewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya adalah tugas seorang ayah yaitu biaya untuk pemeliharaan dan keperluaan pendidikan adalah sesuai dengan keadaan dan kedudukan suami, kewajiban memberi nafkah

62Undang-Undang R.I Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 79, hlm.370.

63

kepada anak itu harus terus menerus sampai anak-anak tersebut baligh serta mempunyai penghasilan, atau sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri. Tetapi yang dapat kita lihat sekarang sangat jarang sekali pemenuhan hak nafkah untuk anak pasca perceraian dari orangtua terutama nafkah dari ayahnya sendiri, bahkan nafkah yang seharusnya didapatkan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan menurut undang-undang perkawinan.

Apabila pelaksanaan pemenuhan hak anak dan nafkah pasca perceraiaan tidak terpenuhi dengan baik sehingga pihak yang wajib di nafkahi menjadi terlantar, ini juga merupakan sebuah permasalahan yang sering terjadi di kalangan masayarakat Islam. Selain itu juga dimana mereka kurang akan pengetahuan tentang bagaimana cara memperoleh suatu hak.

Sehingga akibatnya tidak sedikit dan anak yang akan terlantar akibat dibiarkan begitu saja oleh seorang ayahnya tanpa ada pembelaan atau di beri hak nafkah. Karena memang jika sudah ada upaya pembelaan haknya itu hanya melalui badan hukum dengan pengembalian hak yang terzalimi atau anak tersebut di

64

zalimi atas tidak adak pemberian nafkah dari ayahnya tersebut.63

Dengan tidak terpenuhinya nafkah anak pasca putusan perceraian ini tidak sedikit kemungkinan juga akan berdampak bagi anak tersebut, hal demikian juga secara langsung bagi orangtua itu menzalimi hak anaknya akibat perceraian, karena di jaman sekarangpun banyak anak yang di terlantarkan begitu saja oleh orangtua karena tidak diberikan sebuah nafkah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dari kedua faktor itu juga seharusnya disikapi secara tegas oleh komplikasi hukum Islam yang berlaku, setidaknya diberikan sanksi pada orangtua yang tidak memberikan hak nafkah itu, agar kedepanya tidak akan terulang dan terjadi hal yang sama pada anak-anak yang ditinggalkan pasca putusan perceraian mereka.

63Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : PT. Citra Adtya Bakti, Desember 2003), hlm. 169.

65

66 BAB IV PENUTUP

Dokumen terkait