BAB III KONSEP HUKUM BATALNYA SUATU
C. Para Pihak Yang Berhak Memohon Pembatalan Perkawinan
i. Perkawinan dilaksanakan pasangan suami istri yang sudah bercerai.
j. Terdapat kekhilafan mengenai diri orang yang dikawini, perkecualian jika sudah tinggal serumah dalam waktu tiga bulan.
Menurut pandangan BW, atas perkawinan yang diselenggarakan dengan melanggar aturan Pasal 87 dan Pasal 91 BW, maka hak memohon pembatalan perkawinan tersebut ada batas waktu. Pada rumusan Pasal 87 BW disebutkan bahwa atas perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak ada ijin dari bekas suami atau istri dan terjadi kekhilafan tentang diri orang yang dikawini, jika suami istri sudah tinggal serumah dalam waktu tiga bulan, hak memohon pembatalan perkawinan jadi gugur. Pada rumusan Pasal 91 BW bahwa atas perkawinan yang dilangsungkan dengan tidak ada ijin dari bapak, ibu, kakek, nenek, wali atau wali pengawas, jika dengan diam-diam atau perkawinan sudah terjadi selama enam bulan tanpa bantahan apa pun dari mereka terhitung sejak mereka mengetahui perkawinan itu.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka alasan-alasan pembatalan perkawinan bisa dikatakan karena adanya cacat hukum saat berlangsungnya perkawinan yang menyebabkan perkawinan bisa dibatalkan, tetapi batalnya perkawinan tidak secara otomatis atau dengan sendirinya menjadi batal, perlu mekanisme pengajuan permohonan pembatalan ke Peng- adilan guna mendapatkan putusan pembatalan atas perka- winan tersebut.
C. Para Pihak Yang Berhak Memohon Pembatalan Perkawinan
b. Keluarga dari garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri (Pasal 23 huruf a).
c. Pejabat berwenang apabila perkawinan belum diputuskan (Pasal 23 huruf c).
d. Pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang, diantaranya Jaksa (Pasal 23 huruf d jo. Pasal 16 ayat 2).
e. Pihak yang memiliki kepentingan hukum atas perkawinan tersebut, namun hanya sesudah perkawinan itu putus (Pasal 23 huruf d)
Ketentuan mengenai para pihak yang dapat memohon pembatalan perkawinan ke Pengadilan berdasarkan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidaklah sama, sekalipun tidak jauh berbeda. Menurut Pasal 73 KHI, pihak- pihak tersebut adalah:
a. Suami atau isteri.
b. Keluarga dari garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri.
c. Pejabat yang berwenang mengawasi berlangsungnya perkawinan berdasarkan undang-undang.
d. Para pihak yang memiliki kepentingan yang mengetahui terdapat kecacatan pada rukun dan syarat perkawinan sesuai hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
Menurut pandangan BW, para pihak yang berwenang memohon pembatalan perkawinan sesuai Pasal 86 BW adalah:
a. Suami/Istri dari perkawinan sebelumnya (masih terikat perkawinan dengan pihak lain).
b. Suami dan istri perkawinan saat ini.
c. Keluarga sedarah pada garis ke atas.
d. Pihak yang berkepentingan dengan batalnya perkawinan tersebut.
e. Kejaksaan.
Dari uraian diatas, maka pihak-pihak yang bisa memohon pembatalan perkawinan dibagi menjadi 3 (tiga) katagori, yaitu:
1) Pihak yang berhak memohon pembatalan perkawinan adalah suami atau isteri, apabila alasannya adalah salah satu pihak masih terikat dengan perkawinan lain (Pasal 24 UU Perkawinan).
2) Pihak yang berhak memohon pembatalan perkawinan adalah suami atau isteri, keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri dan jaksa, apabila alasannya karena perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau perkawinan yang dilaksanakan tidak adanya dua saksi (Pasal 26 ayat 1 UU Perkawinan). Jika suami istri sudah hidup bersama serta menunjukkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, maka hak suami istri guna membatalkan perkawinannya ber- dasarkan alasan perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau tanpa adanya dua saksi dalam penyelenggaraan perkawinan, maka haknya menjadi gugur, tetapi perkawinannya wajib diperbaharui agar sah (Pasal 26 ayat 2 UU Perkawinan).
3) Pihak yang berhak memohon pembatalan perkawinan adalah suami atau isteri apabila permohonan pembatalan perkawinan itu didasarkan pada alasan karena perka- winan dilaksanakan di bawah ancaman yang melanggar hukum serta alasan saat pelaksanaan perkawinan ada unsur salah sangka tentang diri suami atau istri (Pasal 27 ayat 1 dan 2). Namun jika sudah tidak ada ancaman atau pihak yang salah sangka menyadari keadaannya dan
pada tenggang waktu 6 bulan tetap hidup bersama sebagai suami istri, serta tidak memakai haknya guna memohon pembatalan perkawinan, maka hak tersebut menjadi gugur (Pasal 27 ayat 3 UU Perkawinan).
“Setiap bisnis berpotensi memiliki risiko kerugian (risk), namun berpeluang menguntungkan (opportunity) apabila
dikelola dengan baik dan dimitigasi risikonya”
(Andika Persada Putera)
A. Akibat Hukum Batalnya Suatu Perkawinan
Mekanisme pengajuan pembatalan suatu perkawinan melalui permohonan dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan dari Pengadilan. Jadi suatu perka- winan bisa menjadi batal apabila sudah ada putusan dari Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat 1 UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.” Pada Pasal 74 ayat 2 KHI juga menyebutkan bahwa “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan”
Berdasarkan pendapat Mukti Arto (2007:261) bahwa keadaan hukum baru akan dimulai setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan ketentuan UU Perkawinan dan KHI ter- sebut, maka berlakunya putusan Pengadilan terhadap pembatalan perkawinan ini adalah berlaku surut (retroaktif) yang dimulai sejak awal perkawinan dilaksanakan, sehingga berbeda dengan konsep berlakunya putusan pengadilan pada umumnya yang berlaku ke depan (prospektif). Menurut pendapat Isnaeni, bahwa sesuai hakikatnya pembatalan perkawinan akan berlaku surut dan dianggap tak pernah ada perkawinan (Moch. Isnaeni, 2016:75).
Jadi akibat hukum pada saat suatu perkawinan dijatuhi putusan batal oleh Pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka perkawinan dianggap tidak pernah ada. Tentu saja hal ini akan berakibat hukum secara menyeluruh pada para pihak yang terkait adanya perkawinan tersebut dan tidak hanya terhadap suami istri tersebut, namun
juga terhadap harta kekayaan yang diperoleh dan dimiliki pada saat terjadinya perkawinan. Bahkan tidak kalah penting- nya termasuk berakibat pada pihak ketiga yang telah melakukan hubungan hukum dengan suami istri tersebut.
Tentu hubungan hukum yang terkait dengan pihak ketiga ini harus dapat diselesaikan dengan baik supaya tidak mem- punyai akibat hukum yang lebih signifikan terhadap para pihak tersebut
Namun atas batalnya suatu perkawinan tidak secara otomatis menghapuskan keberadaan hubungan hukum dengan pihak terkait yang sudah ada pada saat terjadinya suatu perkawinan. Kondisi tersebut telah ditentukan dalam Pasal 28 ayat (2) UU Perkawinan yang mengatur putusan batalnya suatu perkawinan itu tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Demikian pula telah dinyatakan dalam ketentuan Pasal 75 KHI, yang mengatur mengenai putusan batalnya suatu perkawinan yang tidak berlaku surut pada:
a. Perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad;
b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.
Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 76 KHI, yang meyebutkan bahwa “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya”.
Ada 2 (dua) catatan penting dari putusan batalnya suatu perkawinan yang berlaku surut ini adalah:
1) Status hukum terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan adalah tetap sebagai anak sah, sehingga hak dan kewajiban sebagai orang tua atas anak termasuk sebaliknya tetap melekat seperti halnya anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah, sekalipun kedua orang tua anak tersebut sudah terbukti beriktikad buruk yang menyebabkan perkawinannya dibatalkan.
2) Terhadap pihak ketiga yang beritikad baik, batalnya suatu perkawinan tidak membawa akibat hukum, sebab terhadap perbuatan keperdataan yang dilaksanakan suami isteri terhadap pihak ketiga sebelum perka- winannya dibatalkan akan tetap berlaku dan mengikat secara hukum, termasuk jika suami istri tersebut telah melakukan perbuatan hukum berupa melakukan per- janjian kredit dengan bank. Jadi terhadap suami istri yang perkawinannya sudah dibatalkan tetap wajib menjalankan atau memenuhi seluruh kewajiban (prestasi) dalam perjanjian yang sudah dibuat sebelum adanya putusan pembatalan perkawinan berkekuatan hukum tetap. Dapat diartikan, bahwa kondisi tersebut bertujuan untuk kepentingan adanya perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beriktikad baik sehingga tidak dirugikan karena adanya putusan pengadilan tersebut.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 98 BW yang menyebutkan terhadap batalnya suatu perkawinan itu
tidak boleh merugikan pihak ketiga yang beritikad baik terhadap suami istri tersebut.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1) Suatu perkawinan yang telah dilangsungkan dan dilakukan pencatatan oleh pejabat yang berwenang masih dapat dimohonkan dan diajukan ke Pengadilan agar dapat dilakukan pembatalan atas perkawinan tersebut oleh pihak-pihak yang berwenang.
2) Pengadilan berwenang melakukan pembatalan atas suatu perkawinan apabila dapat dibuktikan adanya cacat hukum dalam pelaksanaannya, baik itu cacat hukum formil ataupun materiil, sehingga Pengadilan dapat menjatuhkan putusan batalnya suatu perkawinan.
3) Atas putusan batalnya perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum atas anak-anak yang sudah dilahirkan pada saat perkawinan, termasuk kepada pihak ketiga yang beritikad baik yang sudah menjalin hubungan hukum dengan suami istri sebelum adanya putusan Pengadilan tersebut. Suami istri yang perkawinannya sudah diputus batal oleh Pengadilan tetap wajib bertanggung jawab terhadap anak-anak yang telah dilahirkan dan pihak ketiga yang beritikat baik 4) Putusan Pengadilan yang membatalkan perkawinan
tersebut harus memiliki kekuatan hukum tetap terlebih dahulu dan bersifat retroaktif, yaitu putusan berlaku surut sejak awal terjadinya perkawinan oleh suami istri tersebut sehingga perkawinan dianggap tidak pernah ada sejak semua.
B. Penyelesaian Bank Apabila Perkawinan Debitur Dibatalkan Dalam lalu lintas ekonomi nasional ada banyak bidang usaha guna menopang sistem perekonomian tersebut supaya
pelaksanaannya sesuai dengan tujuannya. Terkait hal tersebut, agar pelaksanaan pemberian kredit selaras dengan beragamnya bidang-bidang usaha tersebut, maka perbankan juga dituntut untuk berinovasi membuat produk-produk lending yang sesuai dengan kebutuhan bidang usaha tersebut.
Secara umum terdapat 2 (dua) jenis kredit, yakni: kredit komersial sebagai kredit yang terkait dengan modal kerja serta investasi dan kredit konsumer sebagai kredit yang terkait dengan kebutuhan konsumtif nasabah.
Kedua jenis pemberian kredit bank kepada nasabah tersebut akan terpengaruh apabila terjadi pembatalan atas perkawinan nasabah, yang semula pada saat pengajuan dan penandatanganan kredit kondisi perkawinan nasabah sebagai perkawinan yang sah menurut hukum dibuktikan dari adanya dokumen perkawinan tersebut, yaitu akta perkawinan atau buku nikah yang dikeluarkan pejabat berwenang dan dianggap sah secara hukum, sehingga proses pemberian kredit dapat dilakukan oleh bank. Namun apabila diketahui dari awal bahwa perkawinan nasabah “tidak sah secara hukum” sehingga ada potensi untuk dapat dibatalkan oleh Pengadilan atas permohonan pihak terkait, maka tentu saja bank tidak melanjutkan penyalurkan fasilitas kredit tersebut pada nasabah dengan status hukum perkawinan yang demikian. Hal ini karena sudah dapat dipastikan adanya
“potensi risiko” bagi bank apabila kredit tersebut tetap diberikan pada nasabah dengan kondisi demikian. Bagi bank, adanya potensi risiko sekecil apapun merupakan hal yang sangat sensitif sehingga pasti akan dihindari, mengingat dana kredit bank berasal dari dana simpanan masyarakat sehingga bank wajib menjaga kepercayaan masyarakat dan mempergunakan dana tersebut sebaik-baiknya berdasarkan prinsip prudential banking dalam perbankan.
Konsep pembatalan perkawinan berbeda dengan konsep putusnya perkawinan sesuai ketentuan dalam UU Perka- winan, yaitu :
1. Pasal 22 UU Perkawinan menyebutkan bahwa “Perka- winan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak meme- nuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
2. Pasal 38 UU Perkawinan menyebutkan bahwa Perka- winan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan Pengadilan.
Dalam praktik perbankan, terjadi putusnya perkawinan nasabah adalah hal yang biasa (lazim) terjadi selama nasabah masih aktif sebagai nasabah debitur, dalam arti masih sebagai debitur aktif yang memperoleh kredit dari bank serta belum terjadi pelunasan ataupun jatuh tempo perjanjian kreditnya.
Namun kejadian terjadinya pembatalan perkawinan nasabah pada kondisi nasabah sebagai debitur aktif dalam praktik perbankan bukanlah suatu hal yang lazim terjadi. Sekalipun demikian, kejadian tersebut perlu diantisipasi oleh kalangan perbankan sebagai mitigasi risiko apabila benar-benar terjadi.
Hal ini karena pembatalan perkawinan nasabah tentu akan membawa dampak hukum yang signifikan pada semua pihak terkait, khususnya bagi bank dan nasabah debitur itu sendiri, termasuk terhadap pihak ketiga yang terikat perjanjian dengan kedua pihak tersebut. Selanjutnya terhadap terjadinya dampak hukum yang berbeda antara batalnya suatu perkawinan dengan putusnya suatu perkawinan sehingga tidak mungkin dapat diselesaikan dengan cara yang sama, terlebih lagi dalam UU Perkawinan beserta aturan pelak- sanaannya tidak mengatur secara tegas dan menyeluruh mengenai pembatalan suatu perkawinan tersebut.
Bank dalam menyalurkan fasilitas kreditnya kepada masyarakat, haruslah bersikap hati-hati berdasarkan prinsip
prudential banking, karena apabila terjadi pembatalan perkawinan atas debiturnya kemungkinan dapat menim- bulkan permasalahan hukum yang kompleks. Dari sisi yuridis terkait timbulnya akibat hukum karena terjadinya pembatalan perkawinan setelah putusan pengadilan, maka perkawinan dianggap tidak pernah ada serta keadaannya dikembalikan seperti pada keadaan semula sebelum terjadinya perkawinan.
Terhadap kondisi demikian tidaklah mudah bahkan akan menjadi sulit terjadi untuk dapat mengembalikan pada keadaan seperti semula, seperti keadaan sebelum terjadinya suatu perkawinan, terutama apabila telah melibatkan pihak ketiga dalam konteks ini adalah bank. Bank telah melakukan pengikatan kredit dengan debitur, telah mencairkan dana fasilitas kreditnya serta debitur telah menggunakan dana hasil pencairan kredit tersebut. Selain itu, bank juga telah membebankan agunan debitur yang dapat berupa tanah dan bangunan dengan hak tanggungan dan/atau pembebanan hak kebendaan lainnya, tentu saja tidak dapat mengem- balikan seperti keadaan semula. Terlebih lagi apabila melihat kedudukan bank selaku kreditur sekaligus pemegang obyek jaminan dapat berupa hak tanggungan dan lain sebagainya yang mempunyai hak preferensi, serta sebagai kreditur yang beritikad baik, sehingga bank tidak boleh dirugikan.
Dalam praktik perbankan, adanya pembatalan perka- winan debitur tentu saja tidak serta merta perjanjian kredit menjadi batal begitu saja tanpa adanya tindakan hukum untuk penyelesaiannya. Dalam hal ini, memang perlu mela- kukan diskusi dan negosiasi kembali antara bank dan debitur mengenai penyelesaiannya. Setidaknya ada 3 (tiga) alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh, yaitu: pelunasan kredit seketika dan sekaligus, pembaruan utang (novasi) dan bank membiarkan keadaan selama pembayaran kredit lancar,
dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Pelunasan Kredit Seketika Dan Sekaligus
Salah satu penyelesaian utama bagi bank apabila terjadi pembatalan atas perkawinan nasabah debitur itu adalah dengan meminta debitur untuk melakukan pelunasan kredit dengan seketika dan sekaligus. Solusi ini sifatnya normatif dan belum tentu bisa dilakukan oleh debitur karena keadaan debitur itu sendiri, namun jika hal ini memungkinkan adalah lebih baik karena pelunasan kredit menjadi prioritas utama bagi bank.
Namun prinsipnya kedudukan bank sebagai kreditur tidak terlalu terpengaruh oleh adanya pembatalan perkawinan debitur, karena sejak awal proses pemberian kredit, pengikatan kredit dan jaminan sampai dengan pencairan kredit, proses tersebut ditempuh oleh bank melalui aspek hukum dan dokumen yang benar. Jadi selama debitur mampu melunasi fasilitas kreditnya, bank tidak akan mempermasalahkan keadaan pribadi debiturnya.
Dalam penyaluran kredit, bank tidak hanya memper- hatikan dari aspek jaminan atau agunan kreditnya saja, namun ada beberapa faktor analisis yang dilakukan bank terhadap debitur yang lazim dikenal dengan analisis kredit 5C, yakni character (karakter/tabiat), capacity (kemampuan membayar), capital (modal), collateral (agunan) dan condition of economic (kondisi makro ekonomi). Jadi dapat dikatakan bahwa agunan kredit bukanlah satu-satunya hal yang menjadi prioritas dan sebagai penyebab bank memberikan kredit kepada debitur, namun agunan kredit hanya sebagai salah satu faktor selain faktor-faktor lainnya. Agunan hanya berfungsi sebagai jaminan guna pemenuhan prestasi
debitur atas kreditnya pada bank dan sebagai sarana terakhir yang dipegang bank apabila debitur wanprestasi.
Selama proses pembebanan hak atas agunan debitur yang dilakukan dengan dokumen yang benar semasa perkawinannya serta dengan persetujuan pihak yang terkait, yaitu persetujuan suami dan/atau istrinya, hal ini akan menjadi kekuatan bank untuk memperoleh kembali kredit yang telah diberikan, sehingga bukan menjadi suatu kendala bagi bank dikemudian hari untuk dapat mengeksekusi agunan tersebut sebagai pelunasan kredit apabila debitur wanprestasi dan menjadi kredit macet.
2. Pembaruan Utang (Novasi)
Berdasarkan ketentuan, ada 3 (tiga) macam novasi, yakni pertama, novasi obyektif, dimana terjadi peng- gantian perjanjian menjadi perjanjian baru. Kedua, novasi subyektif pasif, dimana terjadi penggantian debitur menjadi debitur baru. Ketiga novasi subyektif aktif, dimana terjadi penggantian kreditur menjadi kreditur baru.
Dalam praktik perbankan untuk menyelesaikan masalah batalnya suatu perkawinan debitur, maka hanya novasi subyektif pasif saja yang bisa dilakukan, sedang- kan novasi obyektif dan novasi subyektif aktif tidak dapat digunakan karena bentuk novasi ini terkait dengan perubahan perjanjian kredit dan perubahan kreditur.
Dalam konteks ini yang jadi permasalahan adalah keadaan debitur yang bermasalah sehingga solusinya harus debiturnya yang diganti. Jadi novasi subyektif pasif adalah terjadi perubahan debitur, yaitu setelah adanya pembatalan perkawinan, debitur semula dua orang (suami dan istri), diubah menjadi satu debitur saja, yaitu suami atau istri atau debitur baru lainnya. Hal ini sesuai
Pasal 1413 angka 2 BW menyebutkan bahwa bila seorang berutang baru ditunjuk menggantikan orang yang berutang lama, oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. Jadi terjadi pembaharuan utang debitur dengan memindahkan utang dari debitur lama ke debitur baru serta melepaskan debitur lama dari tanggung jawab utangnya karena telah beralih pada debitur baru.
Selanjutnya apabila telah terjadi perubahan debitur, yang perlu diperhatikan adalah tentu saja harus dilakukan pengikatan jaminan baru karena pengikatan jaminan yang lama menjadi hapus dengan berubahnya debitur tersebut. Hal ini berdasarkan Pasal 1422 BW yang menyebutkan bila pembaharuan utang diterbitkan dengan penunjukan orang yang berutang baru meng- gantikan orang berutang lama, maka hak-hak istimewa serta hipotik yang semula mengikuti piutang, tidak berpindah atas barang-barang si berutang baru. Adanya pengalihan hutang berdasarkan novasi subyektif pasif ini terhadap perjanjian accessoirnya yang merupakan perjan- jian pembebanan jaminan tidak bisa dipertahankan lagi dan menjadi hapus demi hukum karena perjanjian pokoknya telah berakhir. Jadi hapusnya perjanjian kredit yang merupakan perikatan pokoknya mengakibatkan hapusnya perjanjian jaminan yang merupakan perjanjian ikutannya (accessoir). Oleh karena itu atas perjanjian jaminan wajib diperbaruhi dengan jalan membuat perjanjian jaminan baru yang ditandatangani oleh bank dan debitur yang baru.
Jadi sebagai konsekuensi yuridis akibat adanya novasi subyektif pasif ditegaskan dalam ketentuan:
a. Pasal 1209 ayat (1) BW mengenai hapusnya hipotik karena hapusnya perikatan pokok.
b. Pasal 18 ayat (1) angka 1 UU Hak Tanggungan menyebutkan yang menjadi penyebab hapusnya suatu hak tanggungan salah satunya adalah karena hutang yang dijamin oleh hak tanggungan tersebut telah hapus atau berakhir.
Penerapan dalam praktiknya, bank akan melakukan pengikatan kredit baru dengan debitur baru. Pelunasan atas kredit dari debitur lama ini dilakukan oleh debitur lama yang dananya berasal dari pencairan kredit debitur baru dengan jalan melakukan pemindahbukuan dana dari rekening debitur baru ke rekening debitur lama yang kemudian digunakan untuk pelunasan kreditnya tersebut.
3. Bank Membiarkan Keadaan Selama Pembayaran Kredit Lancar
Dalam konteks ini, jika kedua solusi diatas tidak dapat dilakukan namun pembayaran kredit debitur lancar, maka bank membiarkan keadaan tersebut sampai kredit debitur lunas sebagai pilihan terakhir bank. Hal ini karena tidak ada keterkaitan secara langsung antara pembatalan perkawinan dengan perjanjian kredit karena perbuatan hukum sebelumnya dilakukan saat perka- winan debitur belum dibatalkan oleh Pangadilan sehingga perbuatan hukum tersebut tetap sah secara hukum.
Dengan demikian sebenarnya adanya pembatalan perkawinan debitur ini sebenarnya tidak berdampak langsung terhadap perjanjian kredit antara bank dan debitur, sehingga bank dapat saja tidak turut campur dalam hal terjadinya pembatalan perkawian tersebut.
Namun apabila bank mengetahui adanya keadaan debitur yang baru dalam arti perkawinannya dibatalkan
oleh Pengadilan, tentu saja bank berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menyelesaikannya menjadi posisi yang normal secara hukum bagi kedua pihak.
Terkait perjanjian jaminan, apabila nantinya diang- gap hapus atau gugur karena berubahnya status perkawinan debitur tersebut, tidak akan menyebabkan eksistensi perjanjian kreditnya menjadi hapus, karena perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pokok tidak tergantung pada perjanjian jaminan sebagai perjanjian ikutan (accessoir). Jadi hapusnya perjanjian jaminan hanya mengakibatkan berubahnya kedudukan hukum bank yang sebelumnya sebagai kreditur preferen yang mem- punyai hak istimewa guna didahulukan dari kreditur lainnya atas pelunasan utang debitur, akan berubah menjadi kreditur konkuren yang tidak memegang hak jaminan kebendaan dan kedudukannya sama dengan kreditur lainnya.
Permasalahannya adalah apabila debitur tidak membayar kewajiban utang tersebut pada bank sehingga menjadi kredit macet, tentu saja bank akan melakukan upaya apapun semaksimal mungkin untuk melakukan eksekusi atas agunan tersebut berdasarkan hak tang- gungan yang telah dibebankan pada agunan debitur. Hal ini sebenarnya yang akan menjadi risiko bagi bank apabila batalnya perkawinan debitur itu dan tidak bisa diselesaikan dengan 3 (tiga) alternatif penyelesaian tersebut diatas dan kemudian diikuti dengan terjadi kredit macet sehingga bank harus melakukan eksekusi atas agunan tersebut.