• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan

Dalam dokumen KTI HARY HANDIKA PRATAMA.pdf (Halaman 121-200)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Pada pembahasan ini, peneliti membahas tentang asuhan keperawatan pada 2 klien dengan Fracture sesuai dengan konsep-konsep teori yang ada. Asuhan keperawatan dilaksanakan selama 2 hari pada klien 1 dari tanggal 8 April sampai 10 April 2019 di ruang Flamboyan B di RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. Sedangkan pada klien 2 asuhan keperawatan dilaksanakan selama 2 hari mulai dari tanggal 2 Mei sampai 4 Mei 2019 di ruang Cempaka RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Berikut ini akan diuraikan pelaksanaan Asuhan keperawatan pada klien dengan post operatif fracture di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan dan RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda sesuai tiap fase dalam proses keperawatan yang meliputi: pengkajian, menegakkan diagnosa keperawatan, membuat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

1. Pengkajian

Pada pengkajian klien 1 dan 2 menggunakan konsep pengkajian berdasarkan teori (Noor, 2017). Dimana pengkajian ini difokuskan pada asuhan keperawatan pada klien dengan fracture. Pengkajian pada klien 1 umur 54 tahun dilakukan pada tanggal 8 April 2019 dan pada klien 2 umur 41 tahun dilakukan pada tanggal 2 Mei 2019. Hasil dari pengkajian sebagai berikut :

121

Berdasarkan dari hasil pengkajian pada klien 1 dengan diagnosa medis Close Fracture Femur Sinistra dan klien 2 dengan diagnosa medis Close Fracture Femur Dextra. Pada kedua klien memiliki keluhan yang sama dengan teori seperti nyeri pada daerah yang patah/luka, susah untuk melakukan aktivitasnya.

Berdasarkan teori yang ada menurut (Nurarif Huda, 2015) menyatakan bahwa nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitasi, pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit merupakan tanda gejala dari fracture.

Menurut peneliti bahwa nyeri yang dirasakan pada klien 1 dan 2 merupakan tanda dan gejala dari fracture yang terjadi karena adanya diskontinuitas pada tulang sehingga menimbulkan rasa nyeri.

Pada riwayat penyakit sekarang ditemukan data klien 1 pada Klien masuk ke IRD pukul 20.00 tanggal 07 April dan klien mengatakan jatuh dari motor, kaki kiri terasa nyeri. Di IRD klien dilakkan pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan laboratorium, kemudian klien dipindahkan ke ruangan flamboyan B pukul 09.00 Wita tanggal 08 April 2019.

Sedangkan pada klien 2 didapatkan data dari riwayat penyakit sekarang yaitu Klien mengatakan mengalami kecelakaan di tabrak motor, kemudian klien dibawa ke puskesmas dari puskesmas klien di rujuk langsung ke IGD pada tanggal 25 April 2019. Di IGD klien mendapat perawatan dan dilakukan rontgen kemudian klien dibawa ke

122

ok IGD dan dilakukan oprasi, kemudian klien dipindahkan keruang perawatan cempaka.

Berdasarkan teori menurut (Nurarif Huda, 2015) menyatakan bahwa klasifikasi pada fracture tertutup dimana fracture tertutup (simple fracture), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Fracture terbuka (compound fracture), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Karna adanya perlukaan kulit.

Pada klien 1 diagnosa medisnya adalah close fracture femur sinistra sedangkan pada klien 2 diagnosa medisnya adalah close fracture femur dextra. Jadi berdasarkan data tersebut pada klien 1 dan 2 memiliki fracture tertutup karena tidak terpapar langsung dengan lingkungan luar.

Pada bagian pemeriksaan fisik, keadaan umum pada klien 1 yaitu sedang, terpasang infus ditangan kanan, terpasang selang kateter dan terpasang spalk di kaki kiri dengan elastis verban. Sedangkan keadaan umum pada klien 2 yaitu sedang.

Menurut (Noor, 2017) keadaan umum yaitu baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda seperti kesadaran klien (apatis, sopor, koma, komposmentis) dan kesakitan (keadaan penyakit yaitu akut, kronik, ringan, sedang, berat).

Menurut penulis terdapat sedikit kesenjangan antara pengkajian yang dilakukan oleh peneliti dengan teori yang ada, dimana

123

pemeriksan fisik bagian keadaan umum pada kedua klien hanya menjelaskan kesakitan yang dialami klien. Sedangkan pada teori baik atau buruknya yang dicatat dalam keadaan umum adalah kesadaran klien (apatis, sopor, koma, komposmentis) dan kesakitan (keadaan penyakit yaitu akut, kronik, ringan, sedang, berat).

Pada pengkajian status fungsional/aktivitas dan mobilisasi Barthel indeks, pada klien 1 didapatkan data klien susah melakukan miring kanan dan miring kiri namun bisa duduk dengan bantuan dan total score barthel indeks nya 11 (ketergantungan sedang). Sedangkan pada klien 2, data yang didapatkan kurang lengkap dimana peneliti hanya memasukkan data mobilisasi barthel indeks dengan total score 7 (ketergantungan berat).

Pada pengkajian bagian mata, terdapat ketidaksesuaian antara hasil pengkajian kedua klien dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Pada klien 1 didapatkan data sclera putih, konjungtiva tidak anemis dan pupil isoskor, tapi pada hasil pemeriksaan labortorium, kadar hemoglobin klien 1 adalah 11.11 g/dl . Sedangkan pada klien 2 didapatkan data konjungtiva anemis, tapi pada hasil pemeriksaan laboratorium kadar hemoglobin klien 2 dalam rentang normal yaitu 14.5 g/dl.

Pada pengkajian bagian telinga, data yang didapatkan oleh peneliti terhadap kedua klien kurang lengkap, dimana peneliti pada klien 1 dan 2 hanya melakukan pengkajian pada telinga dibagian kanalis telinga .

124

Pada klien 1 dan klien 2 sama-sama tidak dilakukan pemeriksaan tes weber, tes rinne, dan tes swabach.

Pada pengkajan bagian pemeriksaan thorak : sistem pernafasan, data yang didapatkan oleh peneliti terhadap klien 1 kurang lengkap.

Dimana peneliti pada klien 1 tidak mencantumkan pengkajian secara perkusi untuk menentukan batas hepar paru klien 1.

Pada pengkajian bagian pemeriksaan sistem pencernaan dan status nutrisi data yang didapatkan oleh peneliti terhadap klien 2 kurang lengkap. Dimana peneliti pada klien 2 tidak menghitung IMT ( Indeks Masa Tubuh) pada klien 2 dan tidak menjabarkan pola makan dan minum klien 2 saat dirumah maupun pada saat dirumah sakit.

Pada pengkajian bagian sistem persyarafan, pengkajian yang dilakukan oleh peneliti terhadap klien 1 kurang 1engkap. Dimana peneliti tidak melakukan pengkajian reflek fisiologis (achiles, bisep, trisep dan brankioradialis) terhadap klien 1.

Pada pengkajian sistem musculoskeletal dan integument, didapatkan data pada klien 2 bahwa pergerakan sendinya bebas. Hal ini berbanding terbalik dengan teori menurut (Nurarif Huda, 2015) dimana manifestasi klinis dari fracture yaitu, Tidak dapat menggunakan anggota gerak, nyeri pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi dengan gejala-gejala lain.

125

Pada pengkajian seksualitas dan reproduksi, penjelasan yang dijabarkan oleh peneliti tentang keadaan pada daerah genetalia klien 1, tidak menggambarkan kondis seksualitas dan reproduksi klien.

Pada pengkajian personal hygiene, menurut penulis data yang didapatkan oleh peneliti dari pengkajian terhadap klien 2 kurang lengkap. Pada data pengkajian tersebut tidak ada gambaran kondisi personal hygiene klien 2 selama dirawat dirumah sakit.

Hasil pemeriksaan rontgen pada klien 1 didapatkan hasil Fracture femur sinistra, sedangkan pada klien 2 didapatkan hasil fracture femur dextra. Berdasarkan teori yang ada menurut (Nurarif Huda, 2015) menyatakan bahwa gangguan fungsi anggota gerak merupakan salah satu manifestasi klinis dari fracture. Faktor yang mempengaruhi gangguan fungsi anggota gerak adalah terputusnya kontinuitas tulang dan jaringan akibat adanya benturan serta adanya tekanan yang berlebihan pada tulang. Menurut penulis pada klien 1 dan 2 ditemukan gangguan fungsi anggota gerak yang diakibatkan oleh terputusnya kontinuitas tulang dan jaringan.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial (PPNI, 2017). Berdasarkan hal tersebut peneliti dalam kasus asuhan

126

keperawatan pada klien dengan fracture menegakkan masalah keperawatan berdasarkan dari pengkajian yang didapatkan.

Menurut (Nurarif, Amin Huda & Kusuma, 2016) dengan menggunakan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (PPNI, 2017) ada 6 diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan pada pre operasi fracture yaitu Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma), Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri dan/atau vena, Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan factor mekanis, Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang, Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer (kerusakan integritas kulit) dan Risiko syok berhubungan dengan kekurangan volume cairan. Dan ada 4 diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan pada post operasi fracture yaitu Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi), gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, Risiko cedera berhubungan dengan ketidakamanan transportasi dan Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif.

a. Diagnosa post operatif

Diagnosa keperawatan pada klien 1 dan klien 2 yang sesuai dengan teori antara lain :

1) Nyeri akut

127

Diagnosa yang sama dengan teori yang ditemukan pada klien 1 dan 2 adalah nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi). Saat pengkajian pada klien 1 didapatkan data subjektif mengatakan nyeri pada kaki kiri ketika digerakkan, nyeri seperti ditusuk-tusuk, skala nyeri 5 dan nyeri dirasa hilang timbul . Data objektif didapatkan yaitu, ekspresi wajah tampak meringis menahan sakit, klien tampak bersikap protektif dan ttv dalam rentang normal.

Sedangkan saat pengkajian pada klien 2 didapatkan data subjektif, klien mengatakan nyeri karna fracture pada kaki kanan, nyeri seperti ditusuk-tusuk, skala nyeri 6 dan nyeri yang dirasakan hilang timbul. Data objektif yang didapat kan yaitu wajah klien terlihat meringis, terpasang perban dikaki kanan dan klien menderita fracture femur.

Nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. Kriteria mayornya yang dapat ditemukan berupa data objektif meliputi tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat dan sulit tidur sementara data subjektif yang dapat ditemukan pada tanda mayor adalah mengeluh nyeri. Sedangkan kriteria minornya yang dapat ditemukan berupa data objektif meliputi tekanan darah

128

meningkat, pola nafas berubah, nafsu makan berubah dan proses.

(PPNI, 2017)

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fracture, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak yang dapat menimbulkan ganggguan rasa nyaman yaitu nyeri (Noor, 2017).

Menurut penulis, pada klien 1 diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik, menurut penulis tanda mayor yang didapatkan sudah memenuhi validasi penegakan diagnosis pada SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia) yaitu sekitar 80 persen sampai 100 persen.

Menurut penulis pada klien 1, data objektif yang mendukung penegakan diagnosa keperawatan nyeri akut pada saat analisa data, tidak terdapat dalam pengkajian yang sudah dilakukan oleh peneliti. Sehingga terdapat ketidaksesuaian data pada pengkajian dan analisa data.

Serta metode penulisan diagnosa aktual belum sesuai dengan metode penulisan diagnosa aktual pada SDKI, dengan

129

formulasi sebagai berikut : Masalah berhubungan dengan Penyebab dibuktikan dengan Tanda atau Gejala

Pada klien 2, diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan dengan wajah klien tampak meringis dan klien mengeluh nyeri pada kaki kanan dengan sekala nyeri 6 dan durasi nyeri saat timbul 1-2 menit, dimana metode penulisan diagnosa aktual pada klien 2 sudah sesuai dengan metode penulisan diagnosa aktual pada SDKI. Namun tanda mayor yang didapatkan pada klien 2 belum memenuhi validasi penegakan diagnosis pada SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia) yaitu sekitar 80 persen sampai 100 persen.

Pada klien 2, data objektif yang mendukung penegakan diagnosa keperawatan nyeri akut pada saat analisa data, tidak terdapat dalam pengkajian yang sudah dilakukan oleh peneliti.

Sehingga terdapat ketidaksesuaian data pada pengkajian dan analisa data.

2) Gangguan mobilitas fisik

Diagnosa yang ditegakkan pada kedua klien dan sama dengan teori yaitu diagnosa gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculosceletal. Pada klien 1 didapatkan data subjektif, klien mengatakan susah untuk menggerakan kaki, klien susah untuk melakukan miring kiri dan miring kanan, klien juga mengatakan nyeri pada kaki kanan.

130

Sementara data objektif yang didapatkan pada klien 1 kekuatan otot menurun, pergerakan sendi terbatas, dan skor bartel indeks klien 1 adalah 11 (ketergantungan sedang).

Pada klien 2 didapatkan data subjektif, klien mengatakan sulit bergerak karna keadaan kakinya yang fracture, klien tidak bisa beraktivitas normal seperti biasanya karna fracture tersebut, klien belum bisa menapakkan kaki kanannya dan klien mengalami kesulitan berpindah dari duduk ke berdiri. Sedangkan data objektif yanng didapatkan pada klien 2 yaitu klien menderita fracture pada kaki kanan, aktivitas klien terlihat dibantu oleh keluarga, klien terlihat kesulitan membolak balikan posisi, kekuatan otot pada kaki kanan 3 selain itu 5 , terpasang balutan perban pada paha kanan.

Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstermitas secara mandiri.

Kriteria mayornya yang dapat dilihat dari data objektifnya meliputi kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun dan data subjektifnya mengeluh sulit menggerakkan ekstermitas.

Sedangkan kriteria minornya data subjektifnya meliputi nyeri saat bergerak dan data objektifnya meliputi sendi kaku, gerakan terbatas, fisik lemah (PPNI, 2017).

Berdasarkan teori yang ada menurut (Nurarif, Amin Huda

& Kusuma, 2016) menyatakan bahwa patofisiologi pada fracture

131

terbuka atau tertutup terjadi pergeseran pada fragmen tulang dan menyebabkan gangguan pada fungsi ekstrimitas saat bergerak sehingga mobilitas fisik terganggu.

Menurut penulis pada klien 1 dengan diagnosa keperawatan gangguan mobilitas fisik, tanda mayor yang didapatkan sudah memenuhi validasi penegakan diagnosis pada SDKI dimana persentase minimalnya yaitu sekitar 80 persen sampai 100 persen.

Menurut penulis pada klien 1,dengan diagnosa gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal, metode penulisan diagnosa aktualnya belum sesuai dengan metode penulisan diagnosa aktual yang ada pada buku SDKI, dengan formulasi sebagai berikut : Masalah berhubungan dengan Penyebab dibuktikan dengan Tanda atau Gejala.

Menurut penulis pada klien 2 dengan diagnosa keperawatan gangguan mobilitas fisik, tanda mayor yang didapatkan sudah memenuhi validasi penegakan diagnosis pada SDKI dimana persentase minimalnya yaitu sekitar 80 persen sampai 100 persen.

Menurut penulis, terdapat ketidakseusaian data yang digunakan untuk menegakan diagnosa pada saat menganalisis data dengan data yang ada pada pengkajian. Dimana data subjektif dan data objektif yang mendukung untuk penegakan

132

diagnosa gangguan mobilitas fisik pada klien 2, tidak ada pada data pengkajian.

Menurut penulis pada klien 2 dengan diagnosa gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskulosekletal yang dibuktikan dengan mengeluh sulit menggerakan ekstremitas, kekuatan otot menurun, dan Rentang Gerak (ROM) menurun sudah sesuai dengan metode penulisan diagnosa aktual yang ada pada buku SDKI.

Diagnosa keperawatan pada kedua klien yang terdapat kesenjangan dengan teori antara lain:

1) Gangguan intergritas kulit

Diagnosa keperawatan kedua yang ditegakkan pada klien 1 yang terdapat kesenjangan dengan teori adalah gangguan intergritas kulit berhubungan dengan prosedur invasif. Pada saat pengkajian didapatkan data objektif, terdapat luka jahitan operasi di paha kiri, tidak ada rasa panas dan pembengkakan, terdapat sedikit kemerahan di area luka operasi dan Klien tampak sesekali meringis akibat nyeri.

Gangguan intergritas kulit dan jaringan adalah kerusakan kulit (dermis dan atau epidermis) atau jaringan membran

133

(membrane mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, kartilago, kapsul sendi atau ligament). Gangguan integritas kulit/jaringan adalah Kerusakan kulit (dermis dan/atau epidermis) atau jaringan (membrane mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen). Kriteria mayornya yang dapat dilihat dari data objektifnya meliputi kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit. Sedangkan kriteria minornya data objektifnya meliputi nyeri, perdarahan, kemerahan dan hematom (PPNI, 2017).

Berdasarkan teori yang ada menurut (Syaifuddin, 2011) menyatakan bahwa patofisiologi pada fracture tertutup upaya penanganan dilakukan tindakan operasi dengan menggunakan internal fiksasi. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan insisi, dengan tindakan insisi maka akan terjadi kerusakan pada jaringan lunak dan saraf sensoris yang akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.

Pada klien 1, diagnosa keperawatan gangguan intergritas kulit dan jaringan berhubungan dengan prosedur invasif tanda mayor yang didapatkan pada klien 1 sudah memenuhi validasi penegakan diagnosis pada SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia) yaitu sekitar 80 persen sampai 100 persen.

Menurut penulis pada perumusan diagnosa keperawatan pada klien 1, penulisan diagnosa aktual belum sesuai dengan

134

metode penulisan diagnosa aktual pada SDKI, dengan formulasi sebagai berikut : Masalah berhubungan dengan Penyebab dibuktikan dengan Tanda atau Gejala.

Menurut penulis, terdapat ketidakseusaian data yang digunakan untuk menegakan diagnosa pada saat menganalisis data dengan data yang ada pada pengkajian. Dimana data subjektif dan data objektif yang mendukung untuk penegakan diagnosa gangguan intergritas kulit/jaringan pada klien 1, tidak ada pada data pengkajian.

2) Perfusi perifer tidak efektif

Diagnosa keperawatan yang ditegakan pada Kilen 2 terdapat kesenjangan dengan teori adalah perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan penururnan aliran arteri dan/atau vena (edema). Saat pengkajian didapatkan data subjektif dimana klien mengatakan nyeri ekstremitas, kadang-kadang kakinya keram, dan klien mengatakan kakinya bengkak.

Sementara data objektif yang ditemukan pada klien 2 meliputi terlihat edema pada kaki kanan klien.

Perfusi perifer tidak efektif adalah penurunan sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat mengganggu metabolisme tubuh. Kriteria mayornya yang dapat ditemukan berupa data objektif meliputi pengisian kapiler >3 detik, nadi perifer menurun atau tidak teraba, akral teraba dingin, warna kulit pucat dan

135

turgor kulit menurun. Sedangkan kriteria minornya yang dapat ditemukan berupa data objektif meliputi edema, penyembuhan luka lambat, bruit femoralis sementara data subjektif yang dapat ditemukan pada tanda minor adalah mengeluh nyeri pada ekstrimitas dan parastesia. (PPNI, 2017)

Berdasarkan teori yang ada menurut (Vinaya, 2009) luka terbuka dapat menimbulkan perdarahan. Kesembuhan luka sangat dipengaruhi oleh suplai oksigen dan nutrisi ke dalam jaringan. Hemoglobin yang rendah akan menyebabkan sirkulasi oksigen dan nutrisi menurun sehingga mempengaruhi proses penyembuhan luka. Untuk mempercepat penyembuhan luka maka perlu adanya dilakukan transfusi darah untuk meningkatkan kadar hemoglobin sehingga sirkulasi oksigen dan nutrisi ke jaringan meningkat dan penyembuhan luksa akan semakit cepat teratasi.

Menurut penulis pada klien 2 dengan diagnosa perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri dan /atau vena, tanda mayor yang didapatkan belum memenuhi validasi diagnosis pada SDKI dengan persentase minimal 80 persen sampai 100 persen. Serta tanda mayor yang didapatkan tidak sesuai dengan yang ada pada SDKI.

Menurut penulis, terdapat ketidakseusaian data yang digunakan untuk menegakan diagnosa pada saat menganalisis

136

data dengan data yang ada pada pengkajian. Dimana data subjektif dan data objektif yang mendukung untuk penegakan diagnosa perfusi perifer tidak efektif pada klien 2, tidak ada pada data pengkajian.

3) Defisit perawatan diri

Diagnosa keempat pada klien 2 adalah defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan, memiliki kesenjangan dengan teori . Saat pengkajian didapatkan data subyektif dari klien yang mengatakan sulit untuk merawat diri karna keterbatasan pergerakan dan dalam sehari hanya 1 kali diseka.

Sementara data objektif didapatkan klien klien dalam memenuhi kebutuhan personal hygiene dibatu oleh keluarga, klien untuk kebutuhan toileting menggunakan diapers, klien terpasang cateter dan skor barthel indeks dengan kategori tingkat ketergantungan total dengan skor 7 (ketergantungan berat).

Defisit perawatan diri adalah tidak mampu melakukan atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri. Kriteria mayornya yang dapat dilihat dari data subyektifnya meliputi menolak melakukan perawatan diri dan data obyektifnya meliputi tidak mampu mandi/mengenakan pakaian/makan/ke toilet/berhias secara mandiri serta minat melakukan perawatan diri kurang (PPNI, 2017).

137

Berdasarkan teori yang ada menurut (Lesmana, 2016.) menyatakan bahwa klien dengan fracture akan mengalami keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari-hari berhubungan dengan menurunnya tonus otot. Adanya keterbatasan gerak menyebabkan menurunnya kekuatan otot, sehingga klien kehilangan kemandirian dalam merawat dirinya.

Menurut penulis pada klien, diagnosa keperawatan Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan dibuktikan dengan dibuktikan klien tidak mampu mandi,menggunakan pakaian,makan, ke toilet,berhias secara mandiri, dan minat untuk melakukan perawatan diri kurang, menurut peneliti sudah sesuai dengan metode penulisan diagnosa aktual pada buku SDKI. Saat pengkajian tanda mayor yang didapatkan pada klien 2 belum memenuhi validasi penegakan diagnosis pada SDKI dengan persentase minimal yaitu sekitar 80 persen sampai 100 persen.

Menurut penulis, terdapat ketidakseusaian data yang digunakan untuk menegakan diagnosa pada saat menganalisis data dengan data yang ada pada pengkajian. Dimana data subjektif dan data objektif yang mendukung untuk penegakan diagnosa deficit perawatan diri pada klien 2, tidak ada pada data pengkajian.

4) Risiko jatuh

138

Diagnosa yang ditegakkan pada klien 1 dan klien 2 yang memiliki kesenjangan dengan teori adalah risiko jatuh. Saat pengkajian pada klien 1, data objektif yang didapatkan yaitu terpasang infus ditangan kanan dan terpasang selang kateter, total skor resiko jatuh dalam skala morse yaitu 55 (resiko), pergerakan sendi klien terbatas dan kekuatan otot pada kaki kiri adalah dua.

Sementara pengkajian pada klien 2 didapatkan data objektif yaitu skala morse klien adalah 55 (resiko tinggi), klien ada riwayat jatuh, klien terpasang selang kateter, infus, dan klien berpegangan dinding saat berjalan.

Risiko jatuh adalah berisiko mengalami kerusakan fisik dan gangguan akibat terjatuh. Batasan karakteristiknya meliputi usia

≥ 65 tahun (pada dewasa) atau ≤ 2 tahun (pada anak), riwayat jatuh, anggota gerak bawah prosthesis (buatan), penggunaan alat bantu berjalan, penurunan tingkat kesadaran, perubahan fungsi kognitif, lingkungan tidak aman (mis. licin, gelap, lingkungan asing), kondisi pasca operasi, hipotensi ortostatik, perubahan kadar glukosa darah, anemia, kekuatan otot menurun, gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan (mis. glaucoma, katarak, ablasio retina, neuritis optikus), neuropati dan efek agen farmakologis (mis. sedasi, alcohol, anastesi umum) (PPNI, 2017).

Dalam dokumen KTI HARY HANDIKA PRATAMA.pdf (Halaman 121-200)

Dokumen terkait