• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.3 Pembahasan

Angka gangguan penglihatan di Jawa Barat masih tinggi. Hasil survei RAAB Jawa Barat tahun 2014 terhadap penduduk usia 50 tahun ke atas, diperoleh prevalensi gangguan penglihatan dengan tajam penglihatan < 6/12 adalah 18,6%

dan prevalensi gangguan penglihatan untuk tajam penglihatan < 6/18 adalah 11,2%. Sebagian besar penyebab gangguan penglihatan tersebut adalah katarak (44,8%) dan kelainan refraksi (41,8%) yang seharusnya dapat ditangani di pelayanan kesehatan tingkat sekunder.26 Penelitian oleh Sirlan dkk terhadap penduduk Jawa Barat usia 40 tahun ke atas untuk tajam penglihatan < 6/18 adalah 18,4%, dengan penyebab utamanya adalah kelainan refraksi (58%).4 Hasil Riskesdas 2007, prevalensi gangguan penglihatan penduduk usia 6 tahun ke atas di Jawa Barat dengan tajam penglihatan < 6/18 adalah 5,7% atau setara dengan prevalensi secara nasional.3

Bila dibandingkan hasil survei RAAB di negara lain prevalensi gangguan penglihatan di Jawa Barat (18,6%) tergolong tinggi. Hasil survei RAAB di Kenya tahun 2007, di Meksiko tahun 2012, di Malawi tahun 2010, di Thailand tahun 2013, di Moldova tahun 2012, di Kamboja tahun 2012, di Zanzibar tahun 2007, prevalensi gangguan penglihatannya berturut-turut adalah 9,3%; 10,6%; 11,3%;

14,5%; 17,4%; 19,0%; 20,9%.27-33 Prevalensi yang cukup tinggi tinggi di Jawa Barat ini karena RAAB Jawa Barat pada tahun 2014 ini adalah yang pertama menggunakan metode RAAB 6 yang memasukkan tajam penglihatan < 6/12 sebagai gangguan penglihatan.25

45

Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan di suatu daerah salah satunya adalah faktor geografis yaitu jarak yang harus ditempuh pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mata. Untuk mencari hubungan faktor jarak tempuh tersebut, pada penelitian ini dilakukan dengan mencari nilai korelasinya terhadap proporsi gangguan penglihatan dengan hasil didapatkan adanya korelasi positif yang mengkonfirmasi bahwa jarak tempuh merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingginya kasus gangguan penglihatan di suatu daerah, meskipun bukan korelasi yang bersifat kuat. Jarak tempuh tersebut lebih kuat korelasinya terhadap proporsi orang dengan gangguan penglihatan dibanding proporsi mata dengan gangguan penglihatan.1,2,7,8

Kesimpulan ini dapat dikonfirmasi dari data penelitian ini, dimana klaster dengan proporsi orang yang kedua matanya mengalami gangguan penglihatan tertinggi ada di Kabupaten Pangandaran yang harus menempuh 53,8 km untuk mencapai RSUD Kotamadya Banjar. Namun demikian, proporsi mata dengan gangguan penglihatan tertinggi ada di desa Gembor yang berjarak 22,1 km (jarak rerata = 18,91 km) dari RSUD Subang, sehingga perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut mengenai penyebab utama tingginya gangguan penglihatan di daerah tersebut.

Belum ada penelitian sebelumnya di bidang oftalmologi yang secara spesifik meneliti hubungan antara jarak tempuh maupun faktor geografis lain terhadap prevalensi gangguan penglihatan maupun prevalensi penyakit mata sehingga penulis tidak dapat membandingkan hasil dari penelitian ini dengan penelitian

lain. Penelitian RAAB di berbagai negara didapatkan persentase alasan mengapa belum operasi katarak karena akses ke pelayanan kesehatan yang sulit sangat bervariasi, dari 1,4% di Kamboja hingga 22% di Meksiko, namun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai keadaan geografis di masing-masing negara tersebut.27-34 Di Jawa Barat sendiri dari hasil RAAB tahun 2014, besarnya alasan akses pelayanan kesehatan yang sulit ini adalah 10,1%.26

Belum ada kesepakatan internasional mengenai kriteria pembagian untuk menentukan jauh dekatnya jarak ke rumah sakit. Suatu daerah disebut terpencil (remote) dalam penelitian Jordan dkk di Inggris bila berjarak lebih dari 5 km dari dokter umum terdekat atau lebih dari 25 km dari rumah sakit umum.35 Sedangkan di Amerika Serikat, rumah sakit dibagi ke dalam jenis yaitu acute care hospital dan critial access hospital (CAH) berdasarkan lokasinya. Kriteria rumah sakit yang termasuk CAH adalah yang berjarak lebih dari 35 mil (56 km) dari rumah sakit lain atau berjarak lebih dari 15 mil (24 km) melewati daerah pegunungan dan jalan sekunder dari rumah sakit lain.36 Rerata jarak tempuh dari rumah penduduk ke rumah sakit dengan pelayanan gawat darurat di Inggris adalah 8,7 km dan di Nigeria adalah 8,3 km, sedangkan dalam penelitian ini rerata jarak tempuh untuk ke pelayanan kesehatan mata lebih jauh yaitu 18,9 km.37,38

Penelitian lain di bidang kesehatan mengenai faktor jarak tempuh ke rumah sakit salah satunya adalah oleh Awoyemi dkk di Nigeria, dimana jarak tempuh dan total biaya untuk mencari pelayanan kesehatan berhubungan dengan tingkat pemanfaatan fasilitas rumah sakit.37 Penelitian oleh Nicholl dkk mengenai hubungan antara jarak tempuh ke rumah sakit dan mortalitas pasien di unit gawat

47

darurat, diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan jarak tempuh ke rumah sakit berhubungan dengan peningkatan risiko kematian, dimana setiap peningkatan jarak 10 km terdapat peningkatan 1% angka mortalitas.39 Penelitian oleh Currie dkk mengenai jarak ke rumah sakit dan akses pasien anak ke pelayanan diperoleh bahwa setiap penambahan jarak tempuh satu mil (1,6 km) berhubungan dengan 3% penurunan kemungkinan pasien datang untuk checkup.40 Berbagi hasil dari penelitian sebelumnya sesuai dengan temuan dalam penelitian ini, yaitu jarak tempuh ke rumah sakit yang lebih jauh sebagai faktor yang meningkatkan masalah kesehatan.

Jarak yang harus ditempuh masyarakat Jawa Barat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mata sangat bervariasi, mulai dari yang berada sangat dekat hingga mencapai 100 km. Jarak tempuh ke rumah sakit yang dekat adalah klaster yang berada di wilayah kotamadya atau di wilayah kelurahan pusat pemerintahan kabupaten. Dari hasil pemetaan, terlihat bahwa seluruh rumah sakit yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan mata berada di dua jalur utama provinsi Jawa Barat yaitu jalur pantai utara antara Jakarta-Cirebon dan jalur tengah antara Bogor- Bandung-Banjar. Tiga desa terjauh dari rumah sakit dalam penelitian ini terletak di daerah pantai selatan yaitu Sukabumi, Cianjur dan Pangandaran. Kepadatan penduduk yang rendah di daerah tersebut, minimnya sarana transportasi dan letak ibukota kabupaten (lokasi RSUD) yang berada di bagian utara wilayah kabupaten menjadi kendala bagi masyarakat pesisir selatan untuk mencari pelayanan kesehatan mata. Hal ini menunjukkan bahwa fokus pembangunan di provinsi Jawa Barat lebih menitikberatkan pada daerah di dekat pusat pemerintahan.15,16

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak menginklusikan rumah sakit swasta dan klinik mata swasta yang jumlahnya cukup banyak dan memiliki peran dalam mengurangi jumlah gangguan penglihatan. Rumah sakit dan klinik tersebut umumnya terletak di kota dimana telah terdapat RSUD di dekatnya, sehingga tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap hasil pengukuran jarak tempuh penelitian ini.. Selain itu, tidak semua rumah sakit dan klinik swasta tersebut melayani pasien asuransi BPJS Kesehatan, sehingga walaupun berjarak lebih dekat ke klaster, tidak semua penduduk klaster akan ke berobat sana. Keterbatasan lain adalah di daerah yang rutin mengadakan bakti sosial pemberian kacamata dan operasi katarak gratis, jarak tempuh terhadap proporsi gangguan penglihatan ke rumah sakitnya menjadi tidak sesuai.

Kekurangan utama dari penelitian ini adalah terdapatnya variabel perancu yang berhubungan erat dengan variabel gangguan penglihatan per orang/subjek antara lain faktor ekonomi, pendidikan, dan transportasi, sedangkan pada penelitian ini terbatas pada karakteristik objek penelitian (klaster) saja. Hasil tinjauan berbagai penelitian mengenai faktor risiko gangguan penglihatan dan kebutaan dari tahun 2000 hingga 2011 oleh Uldemolins dkk, disimpulkan bahwa status sosioekonomi berupa pendapatan yang tinggi dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi berhubungan terbalik dengan prevalensi kebutaan dan gangguan penglihatan.8 Pada penelitian Fouad dkk mengenai karakteristik sosiodemografik dan angka kebutaan di Mesir, faktor pekerjaan yang bersifat fisik seperti petani memiliki odds ratio 2,41 dibanding pegawai kantor, dan faktor pendidikan yang rendah memiliki odds ratio 2,31 dibanding yang berpendidikan tinggi.10

49

Dalam berbagai survei RAAB di berbagai negara, faktor biaya berobat merupakan alasan yang paling sering menjadi penyebab orang belum dilakukan operasi katarak yaitu antara 24,4% hingga 32,9%. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan matanya. Alasan belum ke rumah sakit karena tidak mengetahui bahwa katarak dapat dioperasi adalah 11,8% hingga 42%, dan merasa tidak perlu operasi katarak sebesar 8,9% hingga 23,5%.27-34 Hasil survei RAAB di Jawa Barat tahun 2014, diperoleh alasan biaya 31,9% dan alasan ketidaktahuan 13,0%.26 Berdasarkan hasil-hasil di atas, maka faktor ekonomi dan pendidikan dapat diidentifikasi sebagai variabel perancu.

Kekurangan lain penelitian ini yaitu tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya di lapangan, dan hanya berdasarkan pengukuran jarak menggunakan aplikasi komputer. Faktor jarak yang jauh bisa saja bukan menjadi faktor penghalang pasien untuk berobat ke rumah sakit bila tersedia sarana transportasi yang memadai dan prasarana jalan ke rumah sakit yang baik. Sebaliknya walaupun jarak tempuh yg diukur relatif dekat, namun bila akses ke rumah sakit sulit, maka faktor geografis ini menjadi penghalang yang bermakna. Karena belum ada hasil survei atau data yang lengkap di Jawa Barat mengenai kondisi jalan desa/kelurahan (baik atau rusak), berapa persen jalan yang beraspal, jumlah angkutan umum dan jarak tempuh ke pusat pemerintahan, maka tidak dapat dipakai sebagai variabel pembanding antar klaster.

Variabel-variabel perancu dalam penelitian ini perlu diidentifikasi lalu disingkirkan. Karena variabel perancu tersebut tidak ditanyakan pada saat

pelaksanaan survei RAAB, penulis tidak dapat memiliki data spesifik mengenai karakteristik 2842 orang yang menjadi subjek penelitian, maka tidak dapat dilakukan restriksi terhadap sampel penelitian. Karakteristik objek/klaster dalam penelitian ini adalah hasil dari penelusuran penulis dan wawancara terhadap pegawai kantor pemerintahan. Pada survei RAAB klaster tempat survei telah dipilih secara acak dan pemeriksaan terhadap 50 subjek pada tiap klasternya dilakukan dari rumah ke rumah penduduk tanpa melihat faktor ekonomi, pendidikan, maupun perancu lainnya.25

Untuk analisis variabel perancu, dilakukan dengan pembagian sampel menjadi 2 grup berdasarkan jauh dekatnya jarak tempuh ke rumah sakit. Hasilnya tidak didapatkan perbedaan jumlah yang bermakna pada seluruh variabel perancu antar grup dengan jarak tempuh yang lebih jauh dari median dan grup dengan jarak tempuh yang lebih dekat dari median pada perbandingan dari karakteristik klaster. Seluruh variabel yang berpotensi menjadi perancu telah tersebar secara homogen di setiap klaster sehingga pengaruhnya tidak terlalu signifikan, meskipun perbandingan ini berdasarkan pada karakteristik umum klaster tersebut.

51 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Terdapat korelasi positif antara jarak tempuh ke rumah sakit terhadap proporsi gangguan penglihatan.

5.2 Saran

Penelitian ini dapat diaplikasikan untuk provinsi lain di Indonesia yang juga menggunakan jalur perhubungan darat. Perlu penelitian lanjutan mengenai faktor lain seperti ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, dan pelayanan kesehatan terhadap gangguan penglihatan di Jawa Barat.

Untuk menurunkan jumlah gangguan penglihatan di provinsi Jawa Barat, pemerintah perlu meminimalkan jarak antara rumah sakit dan masyarakat. Ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan yaitu:

1. Meningkatkan proporsi rumah sakit yang dapat memberikan pelayanan kesehatan mata dengan menambah jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas untuk operasi katarak di rumah sakit tersebut.

2. Membangun rumah sakit di daerah pesisir selatan Jawa Barat

3. Mempermudah akses masyarakat untuk menuju rumah sakit dengan perbaikan jalan dan meyediakan transportasi umum yang murah.

52 Prevention of Blindness (IAPB); 2010.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset kesehatan dasar (Riskesdas). Laporan nasional 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. h 121-9.

4. Sirlan F, Agustian D, Rifada M. Survei kebutaan dan morbiditas mata di Jawa Barat 2005. Bandung: Fakultas Kedokteran Unpad; 2005.

5. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat. Kesehatan Mata Masyarakat. Bandung:

Fakultas Kedokteran Unpad; 2010.

6. Metcalfe J. The economic argument for VISION 2020. Dalam: Ricard P, editor. 2010 report. London: The International Agency for the Prevention of Blindness (IAPB); 2010. h. 30-3.

7. Rifati L, Rosita T, Hasanah N, Indrawati L. Bab 17. Kesehatan indera. Dalam:

Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI; 2013. h.270-81.

8. Ulldemolins AR, Lansingh VC, Valencia LG, Carter MJ, Eckert KA. Social inequalities in blindness and visual impairment: a review of social determinants. Indian J Ophthalmol. 2012 Sep-Oct;60(5):368-75.

9. Fletcher AE, Donoghue M, Devavaram J, Thulasiraj RD, Scott S, Abdalla M, Shanmugan AK, Murugan B. Low uptake of eye service in rural India. Arch Ophthalmol. 1999;117:1393-9.

10. Fouad D, Mousa A, Courtright P. Sociodemographic characteristics associated with blindness in a Nile Delta governorate of Egypt. Br J Ophthalmol 2004;88:614–8.

11. Dhaliwal U, Gupta SK. Barriers to the uptake of cataract surgery in patients presenting to a hospital.Indian J Ophthalmol 2007;55:133-6.

12. Melese M, Alemayehu W, Friedlander E, Courtright P. Indirect costs associated with accessing eye care services as a barrier to service use in Ethiopia. Tropical Medicine and International Health.2004;9:426-31.

13. Courtright P. Human resources for eye health in developing countries. Dalam:

Ricard P, editor. 2010 report. London: The International Agency for the Prevention of Blindness (IAPB); 2010. h. 14-6.

14. Mason I. Infrastructure and technology for eye health in developing countries.

Dalam: Ricard P, editor. 2010 report. London: The International Agency for the Prevention of Blindness (IAPB); 2010. h. 17-9.

15. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Peta Jawa Barat (diunduh 26 Agustus 2014).

Tersedia dari: http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/99

16. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sekilas Jabar. (diunduh 26 Agustus 2014).

Tersedia dari: http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1261

17. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Penduduk. (diunduh 26 Agustus 2014).

Tersedia dari: http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/75

53

18. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat dalam angka. Bandung:

Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik; 2012.

19. Badan Pusat Statistik. Persentase penduduk daeah perkotaan menurut provinsi tahun 2010. (diunduh 26 Agustus 2014). Tersedia dari:

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek

=12&notab=14

20. Data dan informasi kesehatan provinsi Jawa Barat. Jakarta: Pusat data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

21. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Jumlah penduduk Jawa Barat menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2011. (diunduh 26 Agustus 2014). Tersedia dari: http://jabar.bps.go.id/subyek/jumlah-penduduk-jawa- barat-menurut-kelompok-umur-dan-jenis-kelamin-tahun-2011

22. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Berita resmi statistik: Tingkat kemiskinan Jawa Barat September 2013.(diunduh 26 Agustus 2014). Tersedia dari:http://jabar.bps.go.id/indikator/tingkat-kemiskinan-jawa-barat-september- 2013

23. Daftar anggota Perdami Jawa Barat bulan Juni 2014. Bandung: Perdami Jawa Barat; 2014.

24. Kementerian Kesehatan RI. Rencana strategi nasional penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan untuk mencapai Vision 2020. Jakarta:

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1473/MENKES/SK/X/2005.

25. Limburg H, Kuper H, Polack S. RAAB instruction manual: A package for entry and analysis of data from population based Rapid Assessments of Avoidable Blindness. London: International Centre for Eye Health, School of Hygiene and Tropical Medicine; 2013.

26. Limburg H, Syumarti, Halim A, Rini M, Ratnaningsih N. Summary of the rapid assessment of avoidable blindness in Jawa Barat Province, Indonesia.

Bandung: Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo; 2014.

27. Mathenge W, Kupr H, Limburg H, Polack S, Onyango O, Nyaga G, dkk.

Rapid assessment of avoidable blindness in Nakuru district, Kenya.

Ophthalmology 2007;114:599-605.

28. Polack S, Yorston D, Lopez-Ramos A, Lepe-Orta S, Baia RM, Alves L, dkk.

Rapid assessment of avoidable blindness and diabetic retinopathy in Chipas, Mexico. Ophthalmology 2012;119:1033–40

29. Kalua K, Lindfield R, Mtupanyama M, Mtumdzi D, Msiska V. Findings from rapid assessment of avoidable blindness (RAAB) in Southern Malawi. PLoS ONE 20116(4): e19226.

30. Isipradit S, Sirimaharaj M, Charukamnoetkanok P, Thonginnetra O, Wongsawad W, dkk. The first rapid asessment of avoidable blindness (RAAB) in Thailand. PLoS ONE 2009(12):e114245.

31. Rabiu MM. Rapid Assessment of Avoidable Blindness plus Diabetic Retinopathy in Moldova 2012. Chisinau: The Fred Hollows Foundation; 2012.

h. 1-34.

32. Langdon T, Morchen M, Nimeth E, Bonn TS. Tomic N, Keefie J. Rapid vassessment of avoidable blindness (RAAB) in Takeo Province, Cambodia.

Canberra: The Centre of Eye Research Australia; 2012. h. 1-34

33. Polack S. Rapid assessment of avoidable blindness in Zanzibar. London:

University of London; 2007. h. 1-71.

34. Limburg H, Silva JC, Foster A. Cataract in Latin America: finding from nine recent surveys. Pan Am J Public Health 2009;25:449-55.

35. Jordan H, Roderick P, Matrin D, Barnett. Distance, rurality and the need for care: access to health services in South West England.International Journal of Health Geographics 2004,3:21.

36. Department of Health & Human Services. Critical Access Hospitals (CAHs):

Distance from other providers and relocation of CAHs with a necessary provider designation. Baltimore: Centers for Medicare & Medicaid services;

2007.

37. Awoyemi TT, Obayelu OA, Opaluwa HI. Effect of distance on utilization of health care services in rural Kogi state, Nigeria. J hum Ecol 2011;35(1):1-9.

38. Robert A, Blunt I, Bardsley M. Focus on: distance from home to emergency care. London: The Health Foundation; 2014. h. 1-42.

39. Nicholl J, West J, Goodacre S, Turner J. The relationship between distance to hospital and patient mortality in emergencies: an observational study. Emerg Med J 2007;24:665-8.

40. Currie J, Reagan P. Distance to hospital and children’s access to care: is being closer better, and for whom. Los Angeles: UCLA; 1999. h. 1-35.

41. Maryani E, Waluya B. Geografi desa kota. Bandung: Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia; 2008. h. 5-6.

42. Dineen BP, Bourne RRA, Ali SM, Noorul Hug DM, Johnson GJ. Prevalence and causes of blindness and visual impairment in Bangladeshi adults: results of the national blindness and low vision survey of Bangladesh. Br J Ophthalmol 2003;87:820–8.

43. Tjiptoherijanto, Prijono. 1999. Urbanisasi dan pengembangan kota di Indonesia. populasi-buletin penelitian kebijakan kependudukan PPK UGM 1999;10(2).

44. Agusta I. Desa tertinggal di Indonesia. Sodalitt: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 2007;8:233-52.

45. Adam FP. Tren urbanisasi di Indonesia. Ambon: Program studi Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Pattimura; 2007. h. 1-2.

Tabel Data Karakteristik Klaster Penelitian Lampiran 155

56

55

3 RS dr Sismadi Bogor D 0 Tidak Tersedia

4 RSU Ciawi Bogor B 2 Tersedia

5 RS Pertamedika Sentul Bogor B 4 Tersedia

6 RSU Karya Bhakti Kota Bogor B 3 Tersedia

7 RS Lanud Atang S Kota Bogor C 0 Tidak Tersedia

8 RS Bhayangkara Kota Bogor D 0 Tidak Tersedia

9 RS Rem 061 Salak Kota Bogor C 3 Tersedia

10 RSUD Depok Depok C 1 Tersedia

11 RS Bhayangkara Brimob Depok D 0 Tidak Tersedia

12 RSU Sekarwangi Sukabumi C 1 Tersedia

13 RSU Jampang Kulon Sukabumi D 1 Tersedia

14 RS Secapa Polri Sukabumi C 1 Tersedia

15 RSU Pelabuhan Ratu Sukabumi C 1 Tersedia

16 RSU R Syamsudin Sukabumi B 2 Tersedia

17 RSU Cimacan Cianjur D 0 Tidak Tersedia

18 RSU Cianjur Cianjur B 1 Tersedia

19 RSU Cimahi Cimahi B 2 Tersedia

20 RS Dustira Cimahi B 4 Tersedia

21 RSU Majalaya Bandung B 2 Tersedia

22 RSU Cicalengka Bandung C 0 Tidak Tersedia

23 RSU Cililin Bandung Barat D 1 Tidak Tersedia

24 RSU Soreang Bandung C 1 Tersedia

26 RSPAU Salamun Kota Bandung B 3 Tersedia

27 RS Sartika Asih Kota Bandung B 2 Tersedia

28 RS Al Ihsan Kota Bandung B 2 Tersedia

29 RSU Sariningsih Kota Bandung D 0 Tidak Tersedia

30 RSU Ujungberung Kota Bandung C 2 Tersedia

31 RS Kck Pindad Kota Bandung D 2 Tersedia

32 RS Lanud Sulaiman Kota Bandung D 0 Tidak Tersedia

34 RSU Pameungpeuk Garut D 0 Tidak Tersedia

35 RSU dr Slamet Garut B 3 Tersedia

36 RS Rem 062 Guntur Garut C 1 Tersedia

37 RSU kota Tasikmalaya Tasikmalaya B 1 Tersedia

38 RSUD Tasikmalaya Tasikmalaya D 1 Tidak Tersedia

39 RSU Ciamis Ciamis C 1 Tersedia

40 RSU Banjar Ciamis B 1 Tersedia

41 RSUD Linggajati Kuningan C 0 Tidak Tersedia

42 RSU Kuningan Kuningan B 2 Tersedia

43 RSU Waled Cirebon B 3 Tersedia

44 RSU Arjawinangun Cirebon B 2 Tersedia

45 RS Pertamina Klayan Cirebon C 1 Tersedia

46 RS Pelabuhan Kota Cirebon C 1 Tersedia

47 RSU Gunung Jati Kota Cirebon B 2 Tersedia

48 RS Rem 063 Ciremai Kota Cirebon B 2 Tersedia

49 RSU Majalengka Majalengka C 1 Tersedia

50 RSU Cideres Majalengka C 1 Tersedia

51 RSU Sumedang Sumedang B 1 Tersedia

52 RSU Indramayu Indramayu B 2 Tersedia

53 RS Bhayangkara Indramayu C 0 Tidak Tersedia

54 RSUD Pantura Indramayu D 0 Tidak Tersedia

55 RSU Subang Subang B 2 Tersedia

56 RS Lanud Suryadarma Subang D 0 Tidak Tersedia

57 RS PTPN VIII Subang D 1 Tidak Tersedia

58 RSU Bayu Asih Purwakarta C 1 Tersedia

59 BKMM Cikampek Karawang D 4 Tersedia

60 RSU Karawang Karawang B 2 Tersedia

61 RSUD Kab Bekasi Bekasi Kab C 2 Tersedia

62 RSUD Kota Bekasi Bekasi Kota B 4 Tersedia

Lampiran 3

57

Tabel Data Jarak Tempuh dan Proporsi Gangguan Penglihatan

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Herman

Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh, 27 November 1985

Alamat : Jl. Jelambar Utama Raya no. 22, Jakarta Barat Nama Orang Tua : Chandra Halim

Lili

Pendidikan Formal :

1. SD Methodist, Banda Aceh (1991-1996) 2. SD Dharma Suci, Jakarta Utara (1996-1997) 3. SLTP Dharma Suci, Jakarta Utara (1997-2000) 4. SMU Negeri 2, Jakarta Barat (2000-2003)

5. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung (2003-2009)

6. Program Pendidikan Dokter Spesialis-I Ilmu Kesehatan Mata FK Universitas Padjadjaran/RS Mata Cicendo, Bandung (2011-2015)

Pengalaman Kerja :

Dokter PTT Pusat, Puskesmas Ayamaru Utara, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat (2010)

Dalam dokumen korelasi antara jarak tempuh ke rumah sakit (Halaman 60-67)

Dokumen terkait