• Tidak ada hasil yang ditemukan

korelasi antara jarak tempuh ke rumah sakit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "korelasi antara jarak tempuh ke rumah sakit"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Prevalensi gangguan penglihatan di Indonesia berdasarkan hasil penelitian kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 adalah 5,7%; dengan prevalensi kebutaan sebesar 0,9%. Gangguan penglihatan dan kebutaan mempunyai dampak yang besar bagi seseorang, namun juga dampak sosio-ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. Mengurangi gangguan penglihatan dan kebutaan memerlukan analisis terhadap berbagai faktor risiko gangguan penglihatan, termasuk demografi (usia, etnis, ras dan gender), sosial ekonomi (budaya, pendapatan, pendidikan dan pekerjaan) dan geografis (daerah pedesaan, lokasi terpencil dan transportasi). mengakses).

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan jarak tempuh terhadap pelayanan kesehatan mata dengan gangguan penglihatan. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti ingin meneliti hubungan antara jarak tempuh ke klinik mata dengan proporsi gangguan penglihatan.

Rumusan Masalah …

Angka tersebut jauh di atas dua provinsi yang memiliki wilayah dan jumlah penduduk serupa, yakni Jawa Tengah (14,4%) dan Jawa Timur (12,2%). Penelitian mengenai faktor risiko demografi dan sosial ekonomi terhadap prevalensi gangguan penglihatan telah dilakukan secara luas, namun hanya sedikit penelitian yang menghubungkan faktor risiko geografis dengan prevalensi gangguan penglihatan, dan belum ada penelitian khusus mengenai hubungan antara jarak dan kesehatan. pelayanan dan masalah kesehatan mata. Salah satu faktor penghambat yang dominan dalam pelaksanaan program ini di Jawa Barat adalah faktor geografis, termasuk letak fasilitas kesehatan mata yang terpencil.

Jarak yang jauh dianggap sebagai hambatan bagi masyarakat untuk mencapai fasilitas perawatan mata, namun secara ilmiah belum diketahui bagaimana kaitannya dengan jumlah kasus gangguan penglihatan.

Tujuan Penelitian

Kegunaan Penelitian

  • Kegunaan ilmiah
  • Kegunaan praktis

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

Kajian Pustaka

  • Gangguan Penglihatan dan Kebutaan
    • Definisi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan
    • Gangguan Penglihatan Global dan VISION 2020
    • Gangguan Penglihatan dan Kebutaan di Indonesia
    • Faktor Risiko Gangguan Penglihatan dan Kebutaan
    • Tatalaksana Penurunan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan
  • Profil Provisi Jawa Barat
    • Profil Sosioekonomi Jawa Barat
    • Profil Perhubungan Jawa Barat
    • Profil Kesehatan Jawa Barat
  • Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan Nasional
    • Visi, Misi dan Tujuan
    • Strategi
  • Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB)

Provinsi Jawa Barat mempunyai kondisi alam dengan struktur geologi yang kompleks dengan wilayah pegunungan di bagian tengah dan selatan serta dataran di wilayah utara. Secara administratif, sampai dengan tahun 2008, kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat berjumlah 27 kabupaten/kota yang terdiri dari 18 kabupaten dan 9 kota dengan 626 kelurahan dan 5.295 desa dan 639 kelurahan.16. Hingga saat ini, Jawa Barat masih menjadi wilayah terpadat di Indonesia, dengan jumlah penduduk sebanyak satu jiwa menurut sensus tahun 2010.

Sedangkan wilayah dengan jumlah penduduk terkecil di Jawa Barat adalah Kota Banjar yaitu 175.157 jiwa dan Kota Cirebon 296.389 jiwa. Dibandingkan provinsi lain di Indonesia, Jawa Barat merupakan provinsi dengan kepadatan tertinggi kedua setelah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, mayoritas penduduk Jawa Barat tinggal di perkotaan yaitu 65,7%.

Struktur penduduk di Indonesia dan Jawa Barat jika dilihat dari piramida penduduk termasuk struktur penduduk muda. Jumlah penduduk miskin (orang yang berada di bawah garis kemiskinan) di Jawa Barat sebanyak 4.382.648 orang (9,61%) pada bulan September 2013. Provinsi Jawa Barat menempati urutan ketiga dalam jumlah penduduk miskin di Indonesia, namun dari segi persentase penduduk miskin, Jawa Barat (10,65%) menempati urutan ke 16 dari 33 provinsi di Indonesia.

Terdapat dua daerah tertinggal di Jawa Barat yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten Sukabumi.18,22. Pada tahun 2011, tingkat pendidikan penduduk Jawa Barat umur 15 tahun ke atas berdasarkan pendidikan formal yang telah diselesaikan yaitu sekolah dasar atau kurang adalah sebesar 50,84%; sekolah menengah pertama 22,51%; SMA ke atas 26,63%. Jumlah Puskesmas di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 berjumlah 1.050 Puskesmas yang terdiri dari 176 Puskesmas Rawat Inap dan 874 Puskesmas Non Rumah Sakit.

Jumlah tempat tidur rumah sakit di Jawa Barat sebanyak 26.550 atau rasio 1.652 penduduk per tempat tidur.20. Dengan target rasio indikator Indonesia sehat sebesar 40 dokter per 100.000 jiwa, 73% kabupaten dan kota di Jabar saat ini belum menjangkaunya.

Gambar 2.1. Penyebab kebutaan global  Dikutip dari: Ricard 2
Gambar 2.1. Penyebab kebutaan global Dikutip dari: Ricard 2

Kerangka Pemikiran

Jumlah dokter spesialis mata di Jawa Barat saat ini belum mencapai rasio ideal yang ditargetkan WHO dalam VISI 2020. Keterbatasan infrastruktur dapat mengakibatkan jarak pelayanan kesehatan mata menjadi lebih jauh. Hal ini terkait dengan perjalanan yang melelahkan, waktu perjalanan yang lebih lama dan biaya transportasi yang lebih tinggi sehingga menurunkan motivasi pasien untuk menghadiri layanan kesehatan mata.

Dengan mempertimbangkan faktor sosial ekonomi, rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan sulitnya mengakses layanan kesehatan juga akan menurunkan motivasi pasien tunanetra untuk mencari layanan kesehatan mata. Situasi ini akan menghambat realisasi program PGPK yang akan meningkatkan jumlah penyandang disabilitas penglihatan dan kebutaan di Jawa Barat.

Premis dan Hipotesis

  • Premis
  • Hipotesis

Terdapat korelasi positif antara jarak tempuh ke layanan kesehatan mata dengan persentase gangguan penglihatan (lokasi 1-5).

OBJEK, BAHAN DAN METODE PENELITIAN

  • Objek dan Sampel Penelitian
    • Objek Penelitian
    • Perhitungan Sampel
    • Kriteria Inklusi
  • Metode Penelitian
    • Rancangan Penelitian
    • Identifikasi Variabel
    • Definisi Operasional
    • Cara Kerja Teknik Pengumpulan Data
    • Rancangan Analisis
    • Tempat dan Waktu Penelitian
  • Aspek Etik Penelitian
  • Skema Alur Penelitian

Rumah Sakit milik pemerintah (Pemda Jawa Barat, Pemerintah Pusat, Puskesmas Mata Masyarakat, BUMN, TNI dan Polri) di Provinsi Jawa Barat. Proporsi penyandang tunanetra per cluster dibandingkan dengan jarak ke rumah sakit terdekat. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung dan cakupan wilayah RAAB Jawa Barat.

Subyek penelitian ini adalah cluster (desa/kelurahan) dan rumah sakit penyedia layanan kesehatan mata. Normalitas data penelitian dianalisis dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, dan diketahui bahwa data tersebut adalah jarak ke rumah sakit terdekat. Uji korelasi Pearson antara jarak ke rumah sakit terdekat dengan proporsi mata tunanetra menunjukkan koefisien korelasi r = 0,323 dengan nilai p = 0,006.

Dari scatter plot pada Gambar 4.1 terlihat adanya korelasi positif antara jarak dari rumah sakit dengan proporsi mata yang mengalami gangguan penglihatan. Uji korelasi Pearson antara jarak ke rumah sakit terdekat dengan proporsi penyandang tunanetra menunjukkan koefisien korelasi yang sedikit lebih tinggi yaitu r = 0,418 dengan nilai p < 0,001. Dari scatter plot pada Gambar 4.2 terlihat adanya korelasi positif antara jarak dari rumah sakit dengan proporsi penyandang tunanetra.

Hasil analisis menggunakan uji korelasi Pearson pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan secara statistik antara jarak perjalanan dari cluster ke rumah sakit dengan proporsi mata yang mengalami gangguan penglihatan (p = 0,006) dan proporsi penduduk tunanetra (p <0,001). Untuk analisis variabel perancu, sampel dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jarak ke rumah sakit. Untuk mengurangi jumlah tunanetra di Provinsi Jawa Barat, pemerintah harus meminimalkan jarak antara rumah sakit dan masyarakat.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

  • Karakteristik Objek Penelitian
  • Korelasi antara Jarak Tempuh ke Rumah Sakit terhadap Proporsi
  • Korelasi antara Jarak Tempuh ke Rumah Sakit terhadap Proporsi

Hasil penelitian yang akan dipaparkan antara lain karakteristik objek penelitian, korelasi jarak tempuh dengan proporsi mata tunanetra, dan korelasi jarak tempuh dengan proporsi penyandang tunanetra. Setelah dilakukan pengukuran jarak yang ditempuh cluster menuju RS terdekat, maka ditentukan cluster dengan jarak terdekat adalah Kecamatan Kuningan Kabupaten Kuningan yang berjarak 1,3 km dari RSUD Kuningan. Sedangkan klaster terjauh adalah Desa Gelarpawitan, Kabupaten Cianjur, yang berjarak 100 km dari RSUD Soreang.

Terdapat perbedaan nilai mean yang signifikan secara statistik (p<0,05) antara kedua kelompok pada hasil uji t proporsi gangguan penglihatan mata dan orang, sehingga harus dicari nilai koefisien korelasinya. . Rumah Sakit BUMN di Provinsi Jawa Barat yang disurvei sebanyak 62 rumah sakit dan yang memenuhi kriteria inklusi pelayanan kesehatan mata pada penelitian ini sebanyak 44 rumah sakit (71%) dengan karakteristik pada Tabel 4.2. Di Jawa Barat setidaknya terdapat satu rumah sakit khususnya rumah sakit umum daerah untuk setiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Pangandaran yang belum memiliki rumah sakit daerah karena baru berdiri pada tahun 2012 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Ciamis.

Rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan mata yang paling dekat dengan klaster penelitian terbanyak (empat kelompok) adalah RSUD Soreang, RSUD Kota Tasikmalaya, RSUD Kota Bekasi, dan RSUD Kabupaten Bekasi. Kelompok dengan persentase gangguan penglihatan terendah adalah Desa Padasuka Kabupaten Garut (10,20%) yang berjarak 10,1 km dari RSUD dr. Slamet, Kabupaten Garut, dan yang tertinggi adalah Desa Gembor di Kabupaten Subang (56,25%) yang berjarak 22,1 km dari RSUD Subang.

Persentase penyandang tunanetra terendah berada di Desa Sanja, Kabupaten Bogor (4,35%), 5,8 km dari RSUD Cibinong, dan tertinggi di Desa Margacinta, Kabupaten Pangandaran (56,00%), berjarak 53,8 km. RSUD Banjar.

Tabel 4.1 Karakteristik klaster berdasarkan jarak tempuh Karakteristik klaster
Tabel 4.1 Karakteristik klaster berdasarkan jarak tempuh Karakteristik klaster

Uji Hipotesis

Pembahasan

Tidak ada kesepakatan internasional mengenai pembagian kriteria dalam menentukan jarak ke rumah sakit. Kriteria rumah sakit yang dapat dimasukkan dalam CAH adalah rumah sakit yang berjarak lebih dari 35 mil (56 km) dari rumah sakit lain atau lebih dari 15 mil (24 km) melalui daerah pegunungan dan jalan sekunder dari rumah sakit lain. 36 Rata-rata jarak tempuh dari rumah penduduk ke Rumah Sakit dengan layanan darurat di Inggris adalah 8,7 km dan di Nigeria adalah 8,3 km, sedangkan rata-rata jarak tempuh ke layanan kesehatan mata pada penelitian ini lebih panjang yaitu 18,9 km.37, 38. Penelitian lain di bidang kesehatan mengenai faktor jarak ke rumah sakit salah satunya dilakukan oleh Awoyemi dkk di Nigeria, dimana jarak tempuh dan total biaya mencari layanan kesehatan berhubungan dengan tingkat pemanfaatan fasilitas rumah sakit 37 Penelitian Nicholl dkk mengenai hubungan antara jarak perjalanan ke rumah sakit dan kematian pasien di unit gawat darurat.

Jarak terdekat ke rumah sakit adalah klaster yang berada di wilayah kota atau di pusat wilayah kelurahan kabupaten. Dari hasil peta terlihat seluruh rumah sakit yang mempunyai fasilitas pelayanan kesehatan mata terletak pada dua jalan utama di Provinsi Jawa Barat, yaitu jalan pantura antara Jakarta-Cirebon dan jalan tengah antara Bogor-Bandung-Banjar. Tiga desa yang terjauh dari rumah sakit dalam penelitian ini terletak di wilayah pesisir selatan yaitu Sukabumi, Cianjur dan Pangandaran.

Keterbatasan penelitian ini adalah belum mencakup rumah sakit swasta dan klinik mata swasta yang jumlahnya cukup banyak dan berperan dalam menurunkan jumlah gangguan penglihatan. Rumah sakit dan klinik tersebut umumnya berlokasi di kota-kota yang terdapat rumah sakit daerah di dekatnya, sehingga tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap hasil pengukuran jarak tempuh dalam penelitian ini. Faktor jarak yang jauh mungkin tidak menjadi penghalang bagi pasien untuk berobat ke rumah sakit jika tersedia sarana transportasi yang memadai dan infrastruktur jalan menuju rumah sakit yang baik.

Sebaliknya, meskipun jarak yang diukur relatif dekat, namun jika akses menuju rumah sakit sulit, maka faktor geografis ini menjadi kendala yang penting. Meningkatkan persentase rumah sakit yang dapat memberikan pelayanan kesehatan mata dengan menambah jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas operasi katarak di rumah sakit tersebut. Memfasilitasi akses masyarakat terhadap rumah sakit melalui perbaikan jalan dan penyediaan angkutan umum gratis.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Saran

Available from: http://jabar.bps.go.id/subyek/jumlah-penduduk-jawa-barat-menurut-kupalok-umur-dan-jenis-kelamin-tahun-2011. RAAB guideline manual: A package for data entry and analysis from population-based Rapid Assessments of Multiple Blindness. Prevalence and causes of blindness and visual impairment in Bangladeshi adults: results of the Bangladesh National Blindness and Low Vision Survey.

Tabel Data Karakteristik Klaster Penelitian  L am pi ra n 1 55
Tabel Data Karakteristik Klaster Penelitian L am pi ra n 1 55

Gambar

Gambar 2.1. Penyebab kebutaan global  Dikutip dari: Ricard 2
Tabel 2.1 Karakteristik penduduk dengan low vision dan kebutaan
Gambar 2.2. Peta provinsi Jawa Barat  Dikutip dari: jabarprov.go.id 15
Gambar 2.3. Piramida penduduk Jawa Barat tahun 2013   Dikutip dari: Pusat data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI 20
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendapat Mauri didukung oleh Birnbaum Y dkk, yang mendapatkan korelasi yang baik antara jumlah sandapan dengan elevasi ST terhadap mortalitas di rumah sakit. Tetapi