• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan

Dalam dokumen alih kode dan campur kode pemakai bahasa (Halaman 110-141)

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Pembahasan

1. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi kelompok.

Dari hasil penelitian diperoleh data yang mengungkapkan bahwa siswa masih sering menggunakan alih kode dan campur kode bahasa dalam diskusi kelompok, meski guru sudah mengatakan bahwa mereka menganggap kegiatan alih kode dan campur kode adalah sikap yang salah dan guru secara perlahan sudah membiasakan siswa agar bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar namun karena faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode seperti penggunaan bahasa Makassar dalam kehidupan sehari-hari siswa membuat siswa kesulitan untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Bentuk alih kode yang ditemukan dalam aktivitas diskusi siswa adalah alih kode intern: (1) alih kode ragam resmi ke ragam santai, (2) alih kode ragam santai ke ragam resmi, (3) alih kode ragam resmi ke ragam usaha, (4) alih kode ragam baku ke ragam santai, dan (5) alih kode ragam santai ke ragam usaha dan alih kode ekstern yaitu alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Makassar dan alih kode bahasa Makassar ke bahasa Indonesia. Temuan ini didukung oleh penelitian relevan Sari (2009: 71) hasil penelitian bahwa bentuk alih kode yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia kelas II SD Negeri Paccinongang berupa alih kode intern, yaitu peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Makassar.

Diperkuat dengan tepri dari Suwito (1985: 69) membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu sebagai berikut.

1. Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang terjadi antardialek, antarragam, atau antargaya dalam

lingkup satu bahasa.

2. Alih kode ekstern adalah perpindahan pemakaian bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain yang berbeda.

Campur kode yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: (1) alih kode berdasarkan macam-macam bahasa seperti campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Makassar, campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, campur kode bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan bahasa Indonesia dialek Jakarta, dan campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia dialek Jakarta, (2) campur kode wujud unsur kebahasaan yang terjadi yaitu campur kode wujud unsur kebahasaan kata dan campur kode wujud unsur kebahasaan frasa, dan (3) campur kode ragam yang terjadi yaitu campur kode ragam baku dan ragam santai, serta campur kode ragam resmi dan ragam santai. Temuan tersebut diperkuat dari hasil penelitian oleh Wulandari (2002: 79) hasil penelitian “Campur Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di SMA Negeri 1 Takalar membuktikan bahwa (1) adanya variasi campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Makassar dan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, (2) campur kode ragam baku dan ragam resmi, ragam baku dan ragam santai, serta ragam resmi dan ragam santai, dan (3) campur kode wujud

unsur kebahasaan, yaitu campur kode wujud kata dan campur kode wujud frasa.

2. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam diskusi.

a. Dari hasil observasi dan wawancara dengan siswa membuktikan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode adalah: (1) penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan alasan mengimbangi lawan tutur, perubahan situasi orang ketiga, (3) perubahan topik pembicaraan, (4) perubahan topik pembicaraan, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan (6) untuk membangkitkan rasa humor. Hal ini diperkuat dengan teori dari Chaer (1995: 143) menyebutkan yang menjadi penyebab alih kode yaitu: (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan.

Data yang menunjukkan peristiwa tindak tutur yang temui terjadi campur kode yang dilakukan oleh penutur siswa SMP Negeri 1 Tompobulu, faktor penyebab terjadinya campur kode dalam bahasa aktivitas diskusi siswa adalah: (1) identitas peranan sosial, (2) identifikasi ragam, (3) keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan, (4) karena faktor lingkungan, karena latar belakang pendidikan , (6) karena belum terbiasa, dan (7) karena faktor ekonomi keluarga.

Dibawah ini diuraikan satu persatu terjadinya campur kode pada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tompobulu .

1). Identifikasi peranan sosial

Dialog campur kode yang disebabkan oleh faktor penyebab identifikasi peranan sosial antara lain:

Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang ibu?”

Guru :“Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu gagasan utamanya.”

Siswa 1 ; “Iya, ibu.”

Guru : “Dijawab! Siapa bisa jawabki?”

Siswa 2 : “Sudahmi kutulis ibu.”

Siswa 4 : “Buah dari jambu mete, eh beberapa dari buah jambu mete.”

Guru : “Ini yang dikerjakan yang dari paragraf dua sampai delapan saja to.” (kel.3, VIII-C)

Dalam dialog di atas penutur (guru) mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Makassar disebabkan oleh kedudukan penutur yang lebih tinggi daripada lawan tutur. Karena kedudukannya dalam sosial lebih tinggi daripada lawan tutur maka penutur menggunakan kata siapa bisa jawabki yang berarti siapa dan merupakan kata jawabki yang merupakan tataran terendah dalam bahasa Makassar kepada lawan tutur.

5) Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan

Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan nampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya (Suwito, 1985: 77).

Dialog campur kode yang disebabkan oleh faktor penyebab keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan antara lain.

Siswa 4 : “Maaf ini siapa? Pake tanda tanya!”

Siswa 3 : “Ini Rita kakaknya Wahyu. Begitumo saja!”

Siswa 4 : “Klo sudah begitu, nanti Fatimah bilang, oh ya bisa panggilkan Irwandi sebentar kak? gitu to?”

Siswa 3 : “Masak oh ya, kan tidak lucu?”

Siswa 4 : “Tidak apa-apaji.”

Siswa 2 :” Itu pakai tanda tanya kan?

Siswa 4 : “Iyyo” (kel.1, VIII-A)

Dalam dialog di atas, penutur (siswa 3) mencampur bahasa Makassar dan bahasa Indonesia disebabkan oleh keinginan penutur untuk menafsirkan ketidak setujuannya dengan pendapat temannya (siswa 4) dan pendapat „oh ya‟ tidak sesuai karena terkesan lucu.

6) Karena keterbiasaan penutur.

Dialog campur kode yang disebabkan oleh keterbiasaan penutur menggunakan bahasa Ibu, antara lain.

Siswa 1 : “Anne nomor satu, dua, dan tiga to yang dikerjakan?”

Siswa 2 : “Nomor satu apa?”

Siswa 1 : “Daun mete yang yang masih muda dapat dijadikan lalapan?”

Siswa 2 : “Apa?”

Siswa 1 : “Daun mete yang masih muda bisa dijadikan lalapan.”

Siswa 2 : “Lalapan?”

Siswa 1 : “Iyo.” (kel. 1, VIII-C)

Pada dialog di atas penutur (siswa 1) menggunakan kata bantu „to‟

yang berasal dari bahasa Makassar pada kalimat “anne nomor satu, dua, dan tiga to yang dikerjakan?”. Penggunaan kata bantu „to yang dalam konteks kalimat tersebut memunyai fungsi menegaskan kalimat yang sedang penutur tanyakan kepada lawan tutur. Penutur menggunakan campur kode tersebut karena terbiasa menggunakan bahasa ibu yaitu

bahasa Makassar, keterbiasaan tersebut memengaruhi kode dasar saat penutur berbahasa Indonesia.

Siswa 1 : “Manfaat daun jambu mete?”

Siswa 3 : “Iya.”

Siswa 2 : “Manfaat daun jambu mete yang masih muda.”

Siswa 1 : “Terus?”

Siswa 3 : “Kulit mete memiliki….”

Siswa 1 : “Tena, nilai ekonomi yang sangat tinggi, kammamo anne?”

Siswa 3 : “Iyo, antu meniru, menambahi, kan anne niruro menyingkat?”

Siswa 1 : “Berarti?”

Siswa 3 : “Nilai ekonomi kulit mete.” (kel.2, VIII-C)

Penutur (siswa 1) menggunakan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Makassar pada tuturan, “tena, nilai ekonomi yang sangat tinggi, kammamo anne?”, campur kode terjadi karena penutur menggunakan kata tena yang berasal dari bahasa Makassar yang berarti

“tidak dan frasa „kammamo anne‟ yang berarti „seperti ini saja . Penutur (siswa 2) juga menggunakan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Makassar pada tuturan, “Iyo, antu meniru, menambahi, kan anne niruro menyingkat?”, penggunaan kata „Iyo, antu‟ yang berarti „iya, itu dan „anne nisuro‟ yang berarti „ini disuruh membuktikan bahwa penutur (siswa 3) menggunakan campur kode. Penutur menggunakan campur kode tersebut karena terbiasa menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa Makassar, keterbiasaan tersebut memengaruhi kode dasar saat penutur berbahasa Indonesia.

Siswa 6 :“Bisingnya suara kendaraan, menemani kerasnya kehidupan.”

Siswa 2,3 : “Oh iyyo”

Siswa 4 : “Apa? Berisik apa bising?”

Siswa 6 : “Bising”

Siswa 5 : „Suara bising menemani kehidupan.”

Siswa 2 : “Kemiskinan mo.”(kel.1,VIIID)

Penutur (siswa 2 dan 3) menggukanan campur kode karena bahasa Indonesia dengan bahasa Makassar karena penutur menggunakan kata Iyyo yang berasal dari bahasa Makassar pada konteks pembicaraan yang menggunakan kode dasar bahasa bahasa Indonesia. Penutur (siswa 2) juga menggunakan campur kode pada tuturan “kemiskinan mo.”, penggunaan kata „mo‟ yang berasal dari bahasa Makassar membuktikan bahwa penutur (siswa 2) melakukan campur kode bahasa Makassar dalam konteks pembicaraan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia. Siswa masih melakukan campur kode karena siswa masih terbiasa menggunakan bahasa Makassar, yang dalam kehidupan sehari- hari mereka gunakan.

Siswa 3 : “Eh punya ka ide. Tulismi saja di buku coret-coretan!”

Siswa 1 : “Iyye, terus?”

Siswa 4 : “Gini, Fatimah telefon kamu, tapi yang jawab dini lalu dikasih ke Husnul , lalu kamu tanya “halo ada apa ya? Lalu saya

bilang, itu si Fatimah tanya bagaimana cara peningkatan pertanian?”

Siswa 3 : “Lalu?”

Siswa 1 : “Nanti bilang lagi, oh iya, sebentar saya tanyakan Dini”

Siswa 2 : “Iya ini ceritanya terjadi pagi-pagi ato siang?”

Siswa 3 : “Selamat pagi aja?”

Siswa 1 : “Tanda petiknya lho! Saya Fatimah. Gitu!”

(kel.1, VIII-B)

Dalam dialog tersebut penutur (siswa 1) menggunakan campur kode bahasa Makassar dan bahasa Indonesia pada tuturan, “Iyye”, terus?”

penggunaan kata „iyye‟ yang berasal dari bahasa Makassar yang berarti

„iya , membuktikan bahwa penutur menggunakan campur kode bahasa Makassar ke dalam konteks percakapan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia.

Siswa 4 : “Hatiku terasa berteriak-teriak.”

Siswa 2 : “Jammako berteriak-teriak, singkammami tau sannang.”

Siswa 3 : “Bagaimana ini?”

Siswa 2 : „Seperti terik matahari yang….”

Siswa 5 : “No,no,no, bukan bukan bukan.”

Siswa 1 : “Setiap hari tubuhku…”

Siswa 2 : “Jadi yang janganmi ka ini tidak sulitji.” (kel.3, VIII-D)

Dalam dialog tersebut penutur (siswa 2) menggunakan campur kode bahasa Makassar dan bahasa Indonesia pada tuturan, “Jammoko berteriak-teriak, singkammami tau sannang.”, kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia berarti “jangan berteriak - terak, seperti orang yang sedang gembira/senang”. Penggunaan kata „jammoko‟ yang berasal dari bahasa Makassar yang berarti „jangan ,dan frasa „singkammami tau sannang‟ yang berarti „seperti orang yang senang membuktikan bahwa penutur menggunakan campur kode bahasa Makassar ke dalam konteks percakapan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia.

Siswa 5 : “Gagasan utama paragraf ke empat.”

Siswa 2 : “Jambu mete yang masih muda dapat dimanfaatkan sebagai lalapan.”

Siswa 5 : “Gagasan utama paragraf lima.”

Siswa 3 : “Kulit mete memiliki nilai ekonomi tinggi.”

Siswa 4 : “Eh gantianmaki, nanti capek ki.”

Siswa 1 : “gak kok, gak papa, paragraf ke enam?”

Siswa 2 : “Kulit batang dari tanaman mete dimanfaatkan untuk

pengobatan.”(kel.2, VIII-A)

Dalam dialog di atas penutur (siswa 4) menggunakan campur kode bahasa Makassar dan bahasa Indonesia pada tuturan, “eh gantian maki, nanti capekki.”. fungsi ki’ dalam kalimat tersebut untuk menegaskan kalimat yang diungkapkan penutur kepada lawan tutur. Penggunaan kata bantu ‟ki’‟ membuktikan bahwa penutur menggunakan campur kode bahasa Makassar ke dalam konteks percakapan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia.

Siswa 4 : “Anne niak pertanyaan lagi, begaimana cara mengatasi menyontek pada diri sendiri, berarti kan dari pribadi to?”

Siswa 2 : “Nampa apa bedanya sama yang di atas?”

Siswa 5 : “Ya yang di tulis itu yang buat diri sendiri saja.”

Siswa 2 : “Yang harus lebih percaya sama kemampuan diri, belajar lebih giat menganggap kalau menyontek itu dosa.” (kel.1, VIII-D)

Dalam dialog tersebut, penutur (siswa 2) menggunakanan kata

“Nampa” berarti „terus (dialek daerah Gowa) dalam tuturan “Nampa apa bedanya sama yang di atas?”. Dari beberapa contoh dialog di atas alasan penutur menggunakan campur kode tersebut karena terbiasa menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa Makassar, keterbiasaan tersebut memengaruhi kode dasar saat penutur berbahasa Indonesia.

7) Karena faktor lingkungan

Hal tersebut juga dipertegas dari hasil wawancara dengan guru dan siswa yang mengungkapkan bahwa faktor utama terjadinya alih kode dan campur kode adalah faktor lingkungan siswa yang menggunakan

bahasa Makassar sebagai bahasa ibu, jadi mereka masih canggung dalam berbicara menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, mereka masih sering melakukan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa daerah mereka.

8) Karena latar belakang pendidikan

Pengajaran keterampilan berbicara bahasa Indonesia saat siswa duduk di bangku SD juga masih kurang, karena guru SD kawasan pedesaan biasanya lebih sering menjelaskan pelajaran dengan bahasa daerah (Makassar) dengan alasan agar siswa bisa lebih mudah menangkap materi yang diajarkan, saat berkomunikasi dengan guru siswa juga lebih sering menggunakan bahasa Makassar, jadi siswa tidak terbiasa jika harus berkomunikasi dengan teman atau guru menggunakan bahasa Indonesia.

9) Karena belum terbiasa

Siswa juga mengungkapkan bahwa mereka masih merasa malu jika harus berbicara dengan teman sebaya menggunakan bahasa Indonesia, alasannya juga karena tidak terbiasa dan dianggap congkak apabila menggunakan bahasa Indonesia.

10) Karena faktor ekonomi keluarga

Faktor ekonomi keluarga dari siswa juga berpengaruh, kebanyakan siswa yang bersekolah di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa berasal dari keluarga yang kelas ekonominya menengah ke bawah, yaitu dari keluarga petani. Dengan kondisi yang

demikian tentunya beda dengan siswa yang bersekolah di perkotaan, mereka masih jarang yang bisa menonton televisi saat pulang sekolah, karena mereka harus membantu kedua orang tuanya di sawah, sebagian besar dari mereka juga belum mengenal internet, jadi mereka hanya belajar bahasa Indonesia saat jam pelajaran berlangsung saja.

Faktor-faktor yang ditemukan dalam penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Rima Fatimah dengan judul “Kajian Penggunaan Bahasa dalam Proses Belajar Mengajar Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Magelang”, yang menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya alih kode adalah sebagai berikut: (1) penutur dan lawan tutur;

(2) perubahan situasi hadirnya orang ketiga; (3) perubahan topik pembicaraan; (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; dan (5) untuk membangkitkan rasa humor.

Dari hasil penelitian diperoleh data yang mengungkapkan bahwa siswa masih sering menggunakan alih kode dan campur kode bahasa dalam diskusi kelompok mata pelajaran bahasa Indonesia ini adalah untuk: (1) menyantaikan, (2) menegaskan, (3) menyegarkan, (4) menghormati, dan (5) menerangkan. Temuan ini diperkuat oleh teori dari Suwito (1985: 79)

1) Menyantaikan

Alih kode yang memunyai fungsi menyantaikan terdapat dalam dialog berikut.

Siswa 1 : Iyyo, terus bilang “saya mau tanya bagaimana cara memilih benih yang berkualitas?” begitu to?

Siswa 4 : “Terus gimana lagi?”

Siswa 3 : Bagaimana kalau yang beli sama kakak saja nanti kakak pilihkan.” begitu ya? Trus jawabnya “ apa tidak merepotkan kakak?” begitu kah?

Siswa 1 : “Iya.” (kel. 1, VIII-B)

Alih kode yang dilakukan oleh penutur dari ragam resmi ke santai memunyai fungsi untuk menciptakan suasana santai antara penutur dan lawan tutur. Hal ini ditandai oleh oleh penggunaan ragam santai yang menciptakan suasana santai pada saat peristiwa interaksi dan hubungan antara penutur dan lawan tutur semakin akrab.

2) Menegaskan

Alih kode yang berfungsi untuk menegaskan terdapat dalam dialog berikut.

Siswa 1 : “Iya karena biasanya diletakkan di bawah pantat dan di laci.”

Siswa 4 : “Eh, tena na cocok antu.”

Siswa 3 : “Bagaimana cara-cara mengatasi menyontek pada diri siswa, berikan saranmu supaya menyontek tidak menjadikan kebiasaan? Jawabki!”

Siswa 2 : “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah menyerah untuk menjawabnya.”

Siswa 1 : “Sebab-sebanya itu anui bela? Sulit.”

Siswa 5 : “Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus belajar dengan tekun, dan siswa diberi sanksi.” (kel. 2, VIII-D)

Alih kode dari ragam resmi ke ragam santai yang dilakukan penutur berfungsi untuk menegaskan hal yang telah disebutkan oleh penutur. Fungsi menegaskan ini ditandai oleh setelah penutur (siswa ke3) membacakan soal yang harus dikerjakan, kemudian penutur

beralih dengan kalimat menggunakan kode dasar bahasa Makassar pada tuturan “jawabki’!” memunyai tujuan untuk menegaskan pada teman-temannya bahwa perjalanan tersebut harus dijawab.

3) Menyegarkan

Alih kode yang berfungsi untuk menyegarkan terdapat dalam dialog berikut.

Siswa 1 : “Sahabat adalah harta yang berharga bagiku.”

Siswa 2 : “Kamma tong uang saja, berharga.

Siswa 1 : “Lebih dari uang,”

Siswa 3 : “Sotta.” (kel.4, VIII-D)

Alih kode yang dilakukan oleh penutur satu dan dua dari bahasa Indonesia ke bahasa Makassar ini berfungsi untuk menyegarkan suasana. Pada saat penutur (siswa 1) mengunakan bahasa Indonesia, penutur sedang memberikan ide tentang puisi yang sedang dibuat oleh kelompok mereka, kata-kata yang dibuat oleh penutur memunyai arti yang dalam. Hal ini meembuat suasana di kelompok mereka menjadi hening, kemudian lawan tutur mulai merespon dengan menjawab menggunakan bahasa Makassar dengan nada bercanda “Kamma tong uang saja, berharga” yang berarti seperti uang saja berharga, dengan kata-kata dalam bahasa Makassar, sehingga suasana menjadi lebih segar.

4) Menghormati

Alih kode yang berfungsi untuk menghormati terdapat dalam dialog berikut.

Guru : “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.”

Siswa : “Iyye bu.”

Guru : “ Ya kalian menganalisis paragraf dua sampai delapan itu dulu yang kalian kerjakan.” (kel. 3, VIII E)

Alih kode yang dilakukan oleh penutur (G) dari bahasa Indonesia ke bahasa Makassar berfungsi untuk menghormati orang ketiga (O1) yang masuk ke dalam lingkungan penutur yang pada saat itu sedang berkomunikasi dengan lawan tutur. Sebelum orang ketiga (O1) masuk, penutur (G) menggunakan bahasa Indonesia, kemudian ada orang ketiga (O1) masuk dan berbahasa Makassar. Dengan demikian penutur (G) menggunakan bahasa Makassar halus untuk menghormati orang ketiga (O1) tersebut.

5) Menerangkan

Alih kode yang berfungsi untuk menerangkan terdapat dalam dialog berikut:

Guru : “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.”

Siswa-siswa : “Iyye bu.”

Guru : “ Ya kalian menganalisis paragraf dua sampai delapan itu dulu yang kalian kerjakan.”

Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang ibu?”

Guru : “Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu gagasan utamanya na.

Siswa 1 : “Iya, ibu.”

Guru : “Dijawab! Sapa yang bisa jawabki?”

Siswa 2 : “Sudahmi kutulis bu.”

Siswa 4 : “Buah dari jambu mete, eh beberapa dari buah jambu

mete.”

Guru : “Ini yang dikerjakan yang dari paragraf dua sampai delapan saja ya.”

Siswa 3 : “Ditulisiki penjelasanna anne paragraf induktif atau deduktif kah bu?”

Guru : “O, tidak usah. Tidak usah menjelaskan paragraf deduktif atau indukif, cukup ditulis gagasan utamanya saja.” (kel.4, VIII-C)

Dalam dialog di atas (bercetak tebal) penutur (guru) menggunakan alih kode, pada tuturan “kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.” dan “o, tidak usah. Tidak usah menjelaskan paragraf deduktif atau indukif, cukup ditulis gagasan utamanya saja.” yang dilakukan oleh penutur dari ragam santai ke ragam resmi berfungsi untuk menerangkan hal yang telah disebutkan. Dalam hal ini penutur sedang membahas apa yang dimaksud dengan jenis paragraf. Fungsi alih kode untuk menegaskan dalam dialog tersebut ditandai oleh munculnya ragam resmi yang yang bentuknya panjang dan lengkap, sehingga hal yang dimaksudkan menjadi lebih jelas.

D.Keterbatasan Masalah

Dari identifikasi masalah yang dipaparkan diatas diperoleh gambaran dimensi permasalahan yang begitu luas.Namun menyadari waktu dan

kemampuan ,maka penulis memandang perlumemberi batasan masalahsecara jelas dan terfokus.

Selanjutnya masalah yang menjadi objek penelitian dibatasi pada Alih Kode dan Campur Kode Pemakai Bahasa Indonesia pada Aktivitas Diskusi Siswa Kelas VIII SMP Negeri Tompobulu Kabupaten Gowa.Pembatasan masalah ini konsep pemahaman sebagai berikut:

Alih Kode adalah peristiwa peralihan pemakaian bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain atau dari satu ragam bahasa ke ragam bahasa lain. Dalam gejala kebahasaan (campur kode) ini faktor paling menentukan adalah penutur, saat seorang penutur sedang melakukan campur kode, maka harus diketahui identitasnya, seperti tingkat pendidikannya, agama, ras, latar belakang sosial, dan lainnya. Setelah itu baru unsur kebahasaan yang menentukan terjadinya alih kode.

dengan makin banyak bahasa yang dikuasai oleh seorang penutur dari latar belakang pendidikannya, makin luas kemungkinan untuk bercampur kode. dari penjabaran tersebut, ada dua tipe yang menjadi latar belakang terjadinya alih kode, yaitu; latar belakang sikap dan latar belakang kebahasaan.

Campur kode yaitu hubungan timbal balik antar peran dengan fungsi kebahasaan. Peran adalah siapa yang bercampur kode, fungsi kebahasaan adalah apa yang hendak dicapai oleh penutur dalam tuturannya.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Hasil penelitian yang telah dilakukan sebagai berikut.

1. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa, sebagai berikut:

a. Alih Kode

1) Alih kode intern yang terjadi yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri seperti: ragam resmi ke ragam santai, alih kode ragam resmi dan ragam usaha, alih kode ragam resmi dan ragam baku, serta alih kode ragam santai dan ragam usaha.

2) Alih kode ekstern yang terjadi yaitu alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Makassar.

b. Campur Kode

Campur kode bahasa yang terjadi yaitu campur kode bahasa

Indonesia dan bahasa Makassar, campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia dialek Jakarta, campur kode bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan dialek Jakarta.

1) Campur kode wujud unsur kebahasaan yang terjadi yaitu campur kode wujud unsur kebahasaan kata dan campur kode wujud unsur kebahasaan frasa.

2) Campur kode ragam yang terjadi yaitu campur kode ragam baku dan

Dalam dokumen alih kode dan campur kode pemakai bahasa (Halaman 110-141)

Dokumen terkait