• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengecekan Keabsahan Temuan

Dalam dokumen alih kode dan campur kode pemakai bahasa (Halaman 73-76)

BAB III. METODE PENELITIAN

F. Pengecekan Keabsahan Temuan

Menurut Denzim (dalam Mahsun, 2005: 237) menyatakan bahwa ada empat triangulasi untuk menguji keabsahan temuan yaitu: (1) triangulasi data, (2) triangulasi peneliti, (3) triangulasi teori, dan (4) triangulasi metode. Uji validitas data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Triangulasi metode

Triangulasi metode dilakukan dengan cara mengumpulkan data sejenis dengan metode yang berbeda, yaitu observasi dan wawancara. Metode ini dilakukan untuk mengecek alasan terjadinya alih kode dan campur kode yang dilakukan siswa saat berdiskusi kelompok.

2. Triangulsi sumber data

Triangulasi sumber data, yakni dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Dalam hal ini membandingkan data tentang alih kode dan campur kode bahasa yang dilakukan siswa melalui data yang diperoleh dari guru dicek pada siswa atau siswa satu dicek pada siswa yang lain.

3. Review informan

Review informan dilakukan untuk mengecek kembali data dan informasi. Data diperoleh dari guru dan siswa.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi dan Hasil Penelitian

Penelitian tentang alih kode dan campur kode dalam pemakaian bahasa Indonesia pada aktivitas diskusi siswa dilakukan di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa tepatnya di desa yang terletak di Jl.

Pendidikan No. 140, kecamatan Tompobulu, kabupaten Gowa. Sekolah ini termasuk sekolah yang berada di kawasan pedesaan karena jaraknya cukup jauh dengan kota Kabupaten Gowa yaitu 33 km. Walaupun sekolah ini termasuk di kawasan pedesaan, namun berada di samping jalan alternatif. Dengan demikian siswa bisa menggunakan sarana angkutan umum (pete-pete) walaupun hanya sedikit yang melewati sekolah tersebut saat berangkat dan pulang sekolah, namun masih banyak juga siswa yang harus berjalan kaki karena tempat tinggal mereka yang berada di pelosok- pelosok desa atau dusun dan jauh dari jalan umum. Sekolah ini memiliki 15 kelas dari kelas VII sampai IX. Setiap angkatan terdiri dari lima kelas yaitu A-E. Kelas dalam sekolah ini termasuk kelas kecil karena hanya rata- rata 24 siswa per kelas.

Siswa yang bersekolah di SMP Negeri 1 Tompobulu ini tidak hanya siswa yang berasal dari daerah Kabupaten Gowa, namun juga dari daerah Takalar wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Gowa, seperti Dusun Bontoloe, Dusun Jangoang, Dusun Bongkina, Dusun Cikoro, Dusun

Bontomanai, Dusun Bulueng, Dusun Palipungan, Dusun Go’golo, Dusun Kayumalle, Dusun Pajagalung, Dusun Badieng, Dusun Tompo Luang, dan beberapa daerah lain di sekitar sekolah tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti memilih sekolah tersebut karena dari hasil observasi sebelum penelitian saat pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung, siswa masih kesulitan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, contohnya saat diskusi kelompok dan presentasi hasil kerja kelompok. Siswa masih sering menggunakan bahasa daerah (bahasa Makassar) meskipun guru sudah memberi instruksi agar menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tentu bertolak belakang dengan siswa yang bersekolah di kawasan perkotaan mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda dengan siswa ,di kawasan pedesaan atau dusun seperti SMP Negeri 1 Tompobulu, mereka masih sulit membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia saat berdiskusi dengan teman mereka. Dari lima kelas yang di teliti yaitu VIII-A, VIII-D, VIII-E, VIII-D, dan VIII-E masih banyak siswa yang melakukan alih kode dan campur kode pada saat proses diskusi kelompok berlangsung.

B. Deskripsi Hasil Penelitian

1. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi.

Dalam dialog diskusi kelompok siswa SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa, masih banyak ditemukan peristiwa alih kode dan

campur kode. Alih kode dan campur kode tersebut muncul beberapa kali dalam beberapa macam, memunyai faktor penyebab kemunculan, serta fungsi dan tujuan tertentu.

a. Alih Kode

Bentuk – Bentuk Alih Kode 1) Alih Kode Intern

Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang terjadi antardialek, antarragam, antargaya dalam lingkup satu bahasa. Apabila alih kode itu menjadi antar bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional atau dialek-dialek dalam satu daerah, atau antar beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek alih kode seperti ini disebut bersifat intern (Suwito, 1985: 68). Alih kode intern yang terjadi dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VIII, SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa sebagai berikut.

2) Alih kode ragam resmi dan ragam santai

Alih kode dari ragam resmi ke ragam santai atau sebaliknya yang muncul dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia kelas dapat dilihat dalam kalimat berikut:

Siswa 3 : “Bagaimana cara-cara mengatasi menyontek pada diri siswa,berikan saranmu supaya menyontek tidak menjadikan kebiasaan? Jawabki bede’!”

Siswa 2 : “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah menyerah untuk menjawabnya.”

Siswa 1 : “Sebab-sebabnya itu, anui bela? Sulit.”

Siswa 5 : “Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus belajar dengan tekun, dan siswa diberi sanksi.” (kel . 2, VIII-D)

Dalam contoh di atas terjadi alih kode dari ragam resmi ke ragam santai. Ragam resmi yang ada dalam contoh di atas ditandai oleh pemakaian afiks mem-kan secara eksplisit dan konsisten yaitu pada kata menjadikan. Kalimat ragam resmi tersebut memakai bentuk lengkap dan tidak disingkat. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata baku. Ragam santai dalam contoh di atas ditandai oleh penggunaan kata-kata yang tidak baku seperti Jawabki bede’. Selain itu juga ditandai oleh kalimatnya yang tidak lengkap.

Contoh lain alih kode dari ragam resmi ke ragam santai juga terlihat dalam dialog berikut.

Siswa 1 : ”Kita akan terus semangat walaupun badai kemiskinan menerpa kita, tak kan meratapi rumahku yang di kolong jembatan, dan sampah lantai rumahku, hidupku terlunta-lunta, matahari menemaniku setiap hari. Sudahmi to?”

Siswa 2 : “Kalotoro anjo to?”

Siswa 3 : “Haus?”

Siswa 2 : “Iyo, haus.”

Siswa 1 : “Berarti dahaga.” (kel. 1, VIII-D)

Dalam contoh di atas terjadi alih kode dari ragam resmi ke ragam santai. Ragam resmi yang ada dalam contoh di atas ditandai oleh pemakaian afiks ke-an secara eksplisit dan konsisten yaitu pada kata kemiskinan. Kalimat ragam resmi tersebut memakai bentuk lengkap dan tidak disingkat. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata baku.

Ragam santai dalam contoh di atas ditandai oleh penggunaan kata-kata yang tidak baku dan menggunakan bahasa daerah (Makassar) seperti Sudahmi to?. Selain itu juga ditandai oleh kalimatnya yang tidak lengkap.

c) Alih kode dari ragam santai ke ragam resmi

Contoh alih kode dari ragam santai ke ragam resmi terdapat dalam kalimat di bawah ini.

Siswa 1 : “Nanti bilang lagi, oh, iya. sebentar saya tanya Dini”

Siswa 2 : “Iya ini, ceritanya pagi-pagi ato siang?”

Siswa 3 : “Selamat pagi saja?”

Siswa 1 : “Tanda petiknya ces! Saya Fatimah. anjo!”

Siswa 4 : “Tidak langsung tena ngapa, bertele-tele dulu kammanjo. Halo selamat sore, saya Fatimah, bisa bicara dengan wahyu? gitu.”

(kel 1, VIII-B)

Ragam resmi dalam contoh di atas ditandai oleh pemakaian kata ganti saya. Bentuk kalimatnya lengkap dan tidak disingkat. Kata tugas yang digunakan secara eksplisit. Selain itu kata-kata yang digunakan adalah kata-kata baku. Ragam santai ditandai penggunaan kata tena ngapa dan bertele-tele.

d) Alih kode ragam resmi dan ragam usaha

Contoh alih kode dari ragam resmi ke ragam usaha yang muncul dalam proses proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VIII, SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa sebagai berikut.

Siswa 4 : “Tidak langsung tena ngapa, bertele-tele dulu kammanjo. Halo selamat sore, saya Fatimah, bisa bicara dengan wahyu? gitu.”

Siswa 1 : “Selamat pagi terus koma, begitu?”

Siswa 3 : “Halo, saya Fatimah, temannya Wahyu, bisa bicara dengan Wahyu?

Siswa 2 : “Oh iya sebentar saya panggilkan Wahyu. begitu.”

Siswa 1 : “Oh iyo kita pakai saya saja, tidak usahmi aku!”

(kel. 1, VIII-B)

Ragam resmi dalam kalimat di atas ditandai oleh kalimat yang lengkap dan bahasa baku. Ragam usaha dalam kalimat di atas ditandai oleh kalimatnya yang pendek tetapi lawan bicara tetap mengerti apa yang dibicarakan penutur. Kalimat ragam usaha tersebut berorientasi pada hasil yaitu pemahaman lawan tutur.

e) Alih kode ragam baku dan ragam santai

Alih kode dari ragam baku ke ragam santai yang muncul dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tompobulu sebagai berikut.

Siswa 1 : “Keluarkanmi bukunya!”

Siswa 2 : “Tulismi, na!”

Siswa 3 : “Pakai pensilmi dulu punna salahki bisaji dihapus!”

Siswa 4 : “Siap grak. tulismi.”

Siswa 1 : “ Kita boleh gunakan majas yang lain, kah?”

Siswa 2 : “ Boleh ji.” (kel.1, VIII-E)

Ragam baku dalam dialog di atas ditandai oleh frasa siap gerak.

Frasa “siap grak” merupakan ragam baku karena struktur gramatikalnya tidak dapat diubah. Ragam santai dalam dialog itu ditandai oleh kalimat yang tidak lengkap, dan menggunakan kata tidak baku

“tulismi” yang merupakan dialek bahasa Makassar.

f) Alih kode ragam santai dan ragam usaha

Alih kode dari ragam santai ke ragam usaha yang muncul dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VIII, SMP Negeri 1 Tompobulu sebagai berikut.

Siswa 3 : “Ini tentang apa, kah?”

Siswa 4 : “Tentang gagasan kalimat. Masa’ kau tidak tahu?”

Siswa 1 : “Sebutkan gagasan utama paragraf dua sampai delapan?”

Siswa 3 : “Jawablah pertanyaan berikut, Sebutkan gagasan utama paragraf dua sampai delapan!”

(kel. 3, VIII-A)

Ragam santai dalam kalimat yang diberi garis bawah (tentang gagasan kalimat) di atas ditandai oleh kalimat yang tidak lengkap, tidak memunyai subjek dan predikat yang jelas. Ragam usaha ditandai oleh kalimatnya yang pendek (masa’ kau tidak tahu??),berorientasi pada hasil yaitu pemahaman lawan tutur.

Contoh lain ragam santai ke ragam usaha adalah.

Siswa 3 : “Nampa, antekammami anne? Ka nisuroki apparek kritikanna?”

Siswa 1 : “Kan rincianji to?”

Siswa 3 : “Antekammaji?”

Siswa 2 : “Tanaman mete memunyai manfaat yang banyak sekali.”

(kel. 2, VIII-C)

Ragam santai terlihat karena siswa satu menggunakan bahasa daerah (Makassar) saat berbicara dengan lawan tutrnya, yaitu “nampa, antekammami anne?‟ yang berarti “terus ini bagaimana? . Kemudian dilanjutkan dengan ragam usaha dengan kalimat “ka nisuroki apparek kritikanna?‟, yang berarti “kita disuruh buat kritikannya?‟. Kalimat kedua ini juga menggunakan bahasa Makassar, kalimat tersebut berorientasi pada hasil yaitu pemahaman pada lawan tutur.

Siswa 1 : ”Cara mengatasi siswa yang menyontek saat ujian?”

Siswa 2 : “Yang inimo dulu, bentuk-bentuk contekan siswa?”

Siswa 3 : “Biasanya ada di atas meja. Kertas-kertas kecil itu to?”

Siswa 2 : “Iya.” (kel. 2, VIII-D)

Ragam santai dalam kalimat tersebut ditandai oleh kalimat yang tidak lengkap yaitu tidak ada subjek kalimatnya . Sedangkan ragam usaha ditandai dengan kalimat yang mengunakan kata bantu „to‟ yang berasal bahasa daerah (Makassar) yang berfungsi untuk menanyakan hasil pendapatnya dengan teman-temannya dan kalimat tersebut juga berorientasi pada pada hasil yaitu pemahaman lawan tutur.

2) Alih Kode Ekstern

Alih kode ekstern yang muncul dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VIII, SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa adalah alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Makassar atau sebaliknya dari bahasa Makassar ke bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada kalimat-kalimat berikut.

Siswa 3 : “Ini pakai kata-kata tidak pakai lagu.”

Siswa 5 : “Oke.”

Siswa 3 : “Pokoknya pakai kata-kat mutiara.”

Siswa 5 : “Kehidupan itu…”

Siswa 2 : “Kita selalu terdepan.”

Siswa 3 : “Janganmi terdepan, punna nakke maju terus. Emmm, kalah menang tidak masalah.”

Siswa 6 : “Iyo.”

Siswa 3 : “Tapi emang kita kompetisi?”

Siswa 4 : “ iya, di’.”

(kel.1, VIII-C )

Pada kalimat pertama penutur menggunakan bahasa Makassar dan untuk kalimat kedua penutur menggunakan bahasa Indonesia.

Contoh lain yaitu.

Siswa 3 : “Bagaimana cara-cara mengatasi menyontek pada diri siswa,berikan saranmu supaya menyontek tidak menjadikan kebiasaan? Jawabmi!”

Siswa 2 : “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah menyerah untuk mejawabnya.”

Siswa 1 : “Sebab-sebabnya itu anui bela? Sulitki.”

Siswa 5 : Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus belajar dengan tekun, dan siswa diberi sanksi. (kel . 2, VIII-D)

Siswa 3 : “Trus, tadi siapa yang bilang harus pakai saya?”

Siswa 1 : “Sudahmi pakai aku mi saja!

Siswa 2 ; “Itu lanjutannya. O, iya maaf saya lupa. Lalu Fatimah tanya lagi, memangnya bagaimana caranya?”.

Siswa 1 : “Lalu jawabnya, mudah ji itu caranya.”.

Siswa 3 : “Mudah, begitu saja! Terus, awalnya kamu harus memilih benih yang bagus, membajak sawah, jangan sampai tanahnya kering, selanjutnya kamu harus membajak sawah dan mengairi, jangan sampai tanahnya kering!”

Siswa 4 : “Bagaimanami ini?”

Siswa 1 : “Lalu Fatimah tanya lagi, bagaimana cara memilih benih padi yang bagus? Nampa jawabnya antekammami di’?”

Siswa 3 : “Nanti bilang saja disuruh lihat di bungkusnya begitumi saja.

Bagaimana?”

Siswa 1 : “Oh Iyyo mengertima, jadi acara memilihnya itu saiya kurang tahu, bagaimana kalau kamu bicara sama kakaku saja?”

Siswa 2 : “Itu ditambah beni, na! Disuruh tanya sama kakak terus bilang, sebentar aku panggilkan” (kel.1, VIII-B)

Pada kalimat pertama penutur menggunakan bahasa Indonesia dan untuk kalimat kedua penutur menggunakan bahasa Makassar.

3) Campur Kode

Campur kode yang muncul berdasarkan macam-macam dan unsur-

unsur bahasa dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa.

a) Campur kode berdasarkan macam-macam bahasa

Campur kode bahasa yang muncul dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa.

(1) Campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Makassar

Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa, Siswa 1 : “Si kelompok jaki to?”

Siswa 2 : “Iyo. buat apa kah ini?”

Siswa 3 : “Bahas tentang telefon?”

Siswa 4 : “Punna jai terus percakapanna bagaimana?”

Siswa 2 : “Gimana ji?”

Siswa 1 :”Begini saja ceritanya, bukumu saya bawa to, trus kau telefon ka’ terus suruh sambungmi ke Arini.”

Siswa 2 :”Ibu, nanti dipraktekkanki kah? (siswa bertanya kepada guru bahasa Indonesia)”

Guru : “Iya, nanti dipraktikan. (guru menjawab dengan suara lantang agar semua siswa mendengar)”.

(kel 1, VIII-B)

Dalam dialog tersebut terdapat beberapa kata bantu yang berasal dari bahasa Makassar yaitu “Si yang berarti satu, “to‟ yang berfungsi menegaskan kalimat yang sedang dibicarakan seperti „kan ,

“punna yang berarti kalau. Penutur menyisipkan kata dan kata bantu yang berasal dari bahasa Makassar ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa

Makassar.

Siswa 6 : “Sebentar, kan minimal lima bait? ini kita buat 6 bait saja, ini kan kata ada enam orang.”

Siswa 1 : “Iya sebentar bacana satu-satu.”

Siswa 6 : “Disalin sekalian ya!”

Siswa 2 : “ Ini bagian yang nyalin, kita yang mikir bait berikutnya.”

Siswa 6 : “Yel-yelnya gimana? Emm, metafora,,metafora.” Siswa 3 : “Haha, iya.” (kel.1, VIII-D)

Dalam dialog tersebut terdapat dua kata yang berasal dari bahasa Makassar yaitu bacana yang berasal dari kata baca mendapat akhiran “a‟, akhiran a dalam bahasa Makassar adalah imbuhan (lesan) kalau dalam bahasa Indonesia berarti membacanya. Penutur menyisipkan kata bacana ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Makassar.

Siswa 2 : “Terus Husnul bilang ,iya, ada apa Yusmar? Terus dijawabnya , oh ya Husnul kau tauji carana meningkatkan hasil pertanian?”

Siswa 1 : “Terus nu jawabmi, maaf Yus , kalau masalah itu aku tidak tahu, coba kamu tanya saja sama Candra!”.

Siswa 2 : “Iya, begitumi saja. Ditambahi, siapa tahu Candra bisa menjelaskan tentang cara untuk meningkatkan mutu pertanian, terus akhirnya Yusmar bilang, ya kalau begitu makasih ya atas informasinya. Kammaji anjo.”

Siswa 3 : “O, Iyyo, apa diganti mi ini adam saja, nanti Yusmar tidak bisa najawab terus di kasih ke fani, begitumi saja bagimana? Biar lebih panjang to?”

Siswa 1 : “Tidak usahmi begitu, nanti saya sama Yusmar jawabnya setengah-setengah. Bagimana?” (kel.2 : VIII C)

Dalam kalimat tersebut penutur menggunakan kata bantu O,iyyo yang ternasuk dialek Makassar yang biasanya dipakai pada saat

menemukan ide baru atau kaget, campur kode tersebut sulit dihilangkan oleh siswa karena mereka terbiasa menggunakan kata bantu tersebut dalam percakapan sehari-hari. Kemudian penutur juga menggunakan kata “to” yang berarti penegasan. dari hasil wawancara dengan siswa dapat dieroleh kesimpulan bahwa siswa masih sering menggunakan campur kode bahasa Makassar karena mereka masih merasa kesulitan untuk menghilangkan kebiasaan mereka berbicara menggunakan bahasa Makassar, kata bantu seperti iyyo, ji, mi, bede’, to, dan lain sebagainya. Terkadang spontan mereka ucapkan saat berbicara menggunakan bahasa Indonesia.

(2) Campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa,

Siswa 3 : “Pegang pundakku jangan pernah lepaskan, bila ku ingin terbang, terbang meninggalkan mu.”

Siswa 2 : “Yes, you pintar.”

Siswa 3 : “O. jelas.”

Siswa 2 : “Sahabat adalah harta yang berharga bagiku.”

(kel. 4, VIII-D)

Kata yes yang berarti iya pelajaran dan you yang berarti kamu merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris. Penutur menyisipkan kata-kata tersebut ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Contoh lain campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah.

Siswa 3 : “Tapi memang kita kompetisi?”

Siswa 4 : “Iyyo tawwa.”

Siswa 2 : “Yang terpenting belajar menjadi lebih baik.”

Siswa 5 : “Oh no, kesuksesan berasal dari kemauan yang kuat.”

Siswa 4 : “Kemiskinan dalam kolong jembatan.”

(kel. 1, VIII-D)

Siswa 1 : “Biasanya itu siswa menyontek karena takut remedi dan

mendapat image buruk kalau mendapat nilai baik dan hanya dia yang mendapatkan nilai buruk. Trus apa lagi bede’?”

Siswa 2 : “Alasanna lagi apa, bede’?”

Siswa 1 : “Karena siswa tidak tidak belajar pada malam harinya.”

Siswa 2 : “Sudah selesaimi to?”

Siswa 1 : “Iya.”

(kel.1, VIII-D)

Pada dialog kelas VIII-D kelomopok 1 terdapat kata no dalam kalimat “oh no, kesuksesan berasal dari kemauan yang kuat.” Berasal dari bahasa inggris yang berarti „tidak . Begitu pula pada dialog kelas VIII-D, kelompok satu terdapat kata image yang dalam konteks kalimat tersebut berarti gambaran atau potret diri sesorang. Penutur menyisipkan kata-kata tersebut ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

(3) Campur kode bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan bahasa Indonesia dialek Jakarta

Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa,

Siswa 1 : “Ayo tuliski nama kelompoknya.”

Siswa 2 : “Iya, sebentar.”

Siswa 3 : “Ini tentang apa, sih?”

Siswa 4 : “Tentang gagasan kalimat, masa kau tidak tahu?”

Siswa 1 : “Sebutkan gagasan utama paragraf dua sampai delapan?”

Siswa 3 : “jawablah pertanyaan berikut, Sebutkan gagasan utama paragraf dua sampai delapan!”

Dalam dialog tersebut siswa 4 mengatakan masa’ merupakan kata yang berasal dari bahasa Makassar yang berarti apakah dan sih merupakan kata bantu yang berasal dari bahasa Indonesia dialek Jakarta. Penutur menyisipkan kata-kata itu kedalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan bahasa Indonesia dialek Jakarta.

(4) Campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia dialek Jakarta Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa.

Siswa 2 : “Ditulis semua?”

Siswa 1 : “Iya.”

Siswa 2 : “Trus yang nomor satu mana?”

Siswa 1 : “Ini.”

Siswa 2 : “Sedikitnya, di’?”

Siswa 3 : “Masa’sih ini kau tidak tahu?”

(kel.3, VIII-A)

Dialog dalam diskusi kelompok 3, kelas VIII-A terdapat tuturan yang berbunyi “Masa’ sih ini kau tidak tahu”, kalimat tersebut menggunakan kata dan kata bantu yang berasal dari bahasa Indonesia dialek Jakarta. Penutur menyisipkan kata-kata itu ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan bahasa Indonesia dialek Jakarta.

b) Campur kode berdasarkan unsur-unsur kebahasaan

Campur kode wujud unsur kebahasaan yang muncul dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 1 Tompobulu, Kabupaten Gowa.

(1) Campur kode dengan unsur penyisip yang berwujud kata

Kata merupakan dua macam satuan, ialah satuan fonologik dan satuan gramatik. Sebagai satuan fonologik terdiri dari satu atau beberapa suku, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa fonem (Ramlan, 1987:

33). Campur kode dengan unsur penyisip yang berwujud kata merupakan macam atau jenis campur kode berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang paling sering muncul.

Campur kode jenis atau macam ini contohnya terdapat dalam data- data berikut ini.

Siswa 1 : “Guru-guru harus lebih aktif dalam mengamati para siswa-siswa di kelas pada setiap pelajaran dan guru juga memberikan pemeriksaan pada siswa dari laci, baju, sepatu dan lain-lain.”

Siswa 3 :”Iyo, para guru harus memeriksa setiap hari.”

Siswa 2 : “Addeh , kenapa setiap hari.”

Siswa 1 : “Iya karena biasanya diletakkan di bawah pantat dan di laci.”

(kel.2, VIII-D) Siswa 3 : “Bagaimana ini?”

Siswa 2 : „Seperti terik matahari yang….”

Siswa 5 : “Nonono, bukan bukan bukan.”

Siswa 1 : “Setiap hari tubuhku…”

Siswa 2 : “Kata-kata yang tadi janganmi, yang inimo karena tidak sulitji.”

Siswa 6 : “ Kan seharusnya air hijan mengguyur rumahku.”

(kel. 3, VIII-D)

Dalam dokumen alih kode dan campur kode pemakai bahasa (Halaman 73-76)

Dokumen terkait