• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

penderita DM melakukan perawatan diri tidak terlepas dari support dari seluruh anggota keluarganya. Dukungan keluarga sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari subjek penderita DM dan karakteristik keluarga yang tinggal bersama.

Menurut Feiring dan Lewis (1984 dalam Friedman, 2010) secara kualitatif penderita DM yang berasal dari tipe keluarga inti akan menerima support lebih banyak dibandingkan penderita DM yang berasal dari tipe keluarga single parents. Tipe keluarga inti memiliki kecenderungan memiliki perhatian yang lebih besar kepada anggota keluarganya yang sedang sakit, hal ini akan menunjang keberhasilan program pemeliharaan dan perawatan diri penderita DM.

Dari hasil studi kasus tentang pelaksanaan senam kaki diperoleh hasil adanya peningkatan sensitivitas antara sebelum dan sesudah dilakukan senam kaki DM.

Pada Tn. T sensitivitas kaki yang terasa pada kaki kanan hanya 4 titik dan kaki kiri 7 titik. Setelah melakukan senam kaki DM sehari 2 kali selama empat hari, sensitivitas pada kaki kanan dan kiri klien terasa 10 titik lokasi. Pada Ny. R didapatkan hasil bahwa sensitivitas kaki yang terasa pada kaki kanan 7 titik dan kaki kiri 5 titik. Setelah melakukan senam kaki DM sehari 2 kali selama empat hari, sensitivitas pada kaki kanan dan kiri klien terasa 10 titik lokasi.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang diungkapkan oleh Octaviah, Hasneli, dan Agrina (2012) bahwa senam kaki mampu meningkatkan sensitivitas kaki.

Dimana senam kaki tersebut membuat rileks dan melancarkan peredaran darah.

Lancarnya peredaran darah memungkinkan darah mengantar lebih banyak oksigen dan gizi ke sel-sel tubuh, sekaligus membawa lebih banyak racun untuk dikeluarkan. Senam kaki diabetik yang dilakukan pada telapak kaki terutama di area organ yang bermasalah, akan memberikan rangsangan pada titik-titik saraf yang berhubungan dengan pankreas agar menjadi aktif sehingga menghasilkan insulin melalui titik-titik saraf yang berada di telapak kaki dan hal tersebut akan mencegah terjadinya komplikasi pada kaki. Oleh karena itu, melakukan senam kaki diabetik efektif terhadap peningkatan sensitivitas kaki pada pasien DM Tipe 2. Hasil studi kasus ini sesuai dengan teori menurut Maryunani (2013) yang menjelaskan bahwa senam kaki DM bermanfaat untuk memperbaiki sirkulasi darah, memperkuat otot-otot kecil, mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki,

meningkatkan kekuatan otot betis dan paha dan mengatasi keterbatasan gerak sendi.

Hasil studi kasus menunjukkan kedua subjek rutin dalam meminum obat metformin 500 mg 3 x sehari. Hal ini sesuai dengan penelitian Alfian (2015) bahwa kepatuhan pasien dalam minum obat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu pengobatan. Hasil terapi tidak akan mencapai tingkat optimal tanpa adanya kesadaran dari penderita itu sendiri. Ketidakpatuhan dalam meminum obat dapat menjadi hambatan untuk tercapainya usaha pengendalian kadar gula darah.

Peningkatan kadar gula darah terus menerus dapat menyebabkan komplikasi jangka panjang seperti neuropati.

Terdapat perbedaan peningkatan sensitivitas perifer dimana pada Ny. R merasakan sensitivitas pada 10 titik lokasi lebih lama yaitu pada hari keempat sedangkan Tn. T merasakan sensitivitas pada 10 titik lokasi pada hari ke tiga.

Perbedaan hasil ini disebabkan karena adanya perbedaan lama menderita penyakit DM. Tn. T menderita DM selama 4 tahun sedangkan Ny. R selama 5 tahun. Berdasarkan penelitian Lestari (2015) menjelaskan bahwa makin lama seseorang menderita diabetes melitus maka akan meningkat terjadinya komplikasi neuropati sensorik. Seseorang yang lama menderita diabetes melitus lebih dari lima tahun sampai kurang dari sepuluh tahun mengalami neuropati sensorik sedang dan seseorang yang lama menderita diabetes melitus minimal 1 tahun dan kurang dari 5 tahun mengalami neuropati sensorik ringan. Hal tersebut sesuai dengan teori Tandra (2008), bahwa lamanya menderita diabetes melitus dengan kadar glukosa darah yang tinggi, akan melemahkan dan merusak dinding pemuluh darah kapiler yang memvaskularisasi saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yaitu neuropati diabetik.

Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan hasil peningkatan sensitivitas adalah jenis kelamin. Hasil studi kasus menunjukkan jenis kelamin laki-laki lebih cepat mengalami peningkatan dibandingkan jenis kelamin perempuan. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Endriyanto, Hasneli, dan Dewi (2012) yang menyatakan bahwa jenis kelamin mempengaruhi kulit terhadap rangsangan dimana wanita memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan laki-

laki. Selain itu juga dipengaruhi oleh ketebalan kulit serta pengalaman indrawi.

Menurut penelitian Suyanto dan Susanto (2016) bahwa faktor resiko potensial neuropati diabetik lebih besar pada perempuan sebesar 78 % dibandingkan laki- laki 22 %. Sedangkan menurut penelitian Wulandari dan Martini (2013) tidak menemukan adanya hubungan yang bermakna antara kejadian komplikasi penderita DM dengan jenis kelamin. Hal ini disebabkan karena masing-masing upaya responden terhadap penyakit DM baik laki-laki maupun perempuan berbeda. Tidak hanya disebabkan oleh faktor jenis kelamin, melainkan upaya manajemen penyakit DM dari masing-masing penderita DM seperti olahraga, dukungan keluarga dan diet atau pola makan.

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi perbedaan hasil sensitivitas adalah pendidikan dimana pendidikan Tn. T adalah SD sedangkan pendidikan Ny. R adalah SLTP. Pendidikan kedua responden termasuk dalam kategori tingkat pendidikan rendah. Menurut Notoatmodjo (2010) pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan, sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi akan mempunyai tingkat pemahaman yang lebih baik dibandingkan dengan seseorang yang berpendidikan lebih rendah mempunyai pengatahuan yang kurang tentang pengelolaan DM. Walaupun pendidikan Ny. R lebih tinggi dibandingkan Tn. T dan Ny. R sudah mendapatkan pengetahuan tentang senam kaki DM dari petugas kesehatan namun hasil peningkatan sensitivitas lebih lama dibandingkan dengan Tn. T. Hal ini disebabkan karena Tn. T baru menderita DM selama 4 tahun dengan kategori neuropati ringan sehingga lebih mudah terjadi peningkatan sensitivitas dibandingkan Ny. R dan Tn. T juga mendapatkan dukungan keluarga untuk melakukan senam kaki DM.

Berdasarkan dukungan keluarga pada keluarga Tn. T selalu mengingatkan dan mendampingi Tn. T untuk melakukan senam kaki DM yang membuat klien semangat melakukan senam kaki DM pada pagi hari dan sore hari secara rutin.

Sedangkan pada keluarga Ny. R tidak diingatkan dan didampingi oleh keluarga karena keluarga sibuk bekerja dan jarang di rumah yang membuat klien jarang melakukan senam kaki DM. Senam kaki DM hanya dilakukan apabila perawat kerumah dan ada keluarga yang mengingatkan dan mendampinginya.

Berdasarkan hasil penelitian Wardani dan Isfandiari (2014) bahwa responden yang tidak mendapatkan dukungan keluarga melakukan pengendalian kadar gula darah tidak baik sedangkan responden yang mendapatkan dukungan keluarga melakukan pengendalian kadar gula darah dengan baik. Hal ini berarti bahwa dukungan keluarga sangat diperlukan oleh individu dalam mengatasi masalah yang dialami, karena keluarga merupakan hubungan sosial yang terdekat dengan seseorang. Dukungan keluarga yang tinggi tentunya akan memberikan ketenangan dan kenyamanan pada klien DM tersebut. Menurut Friedman (2010) bahwa dukungan sosial keluarga yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas lebih mudah sembuh dari sakit, dan kesehatan emosi.

Dukungan keluarga yang diterima seseorang dapat berupa dukungan informasional, perhatian, fasilitas/instrumental, dan dukungan emosional.

Hasil studi kasus menunjukkan pengetahuan tentang penyakit DM pada kedua subjek dalam kategori cukup, karena keluarga sudah mengenal masalah kesehatan, dapat mengambil keputusan, dapat merawat anggota keluarga yang menderita DM, dapat memodifikasi lingkungan dan memanfaatkan fasilitas kesehatan. Pengetahuan itu menjadi salah satu pendukung terjadinya perubahan perilaku dalam melakukan perawatan DM. Berdasarkan penelitian Ahmadi, Hasneli, dan Wofers (2018) bahwa ada hubungan pengetahuan terhadap penderita melakukan perawatan DM seperti senam kaki. Penderita yang memiliki pengetahuan baik akan selalu berupaya melakukan senam kaki yang mampu membantu dalam penatalaksanaan penyakit DM. Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Selain itu juga melalui pengalaman dan proses belajar mengajar dalam pendidikan formal ataupun nonformal. Dengan adanya peningkatan pengetahuan maka berpengaruh terhadap perilaku positif.

Dokumen terkait