• Tidak ada hasil yang ditemukan

167

lingkungan yang kaya akan rangsangan meningkatkan kemampuan otak anak prasekolah, perhatian anak menjadi menurun karena konsumsi makanan manis, dll. Padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh (van Atteveldt et al., 2019) otak manusia memiliki sifat fleksibel. Beberapa mitos neuromyths tersebut jika diimplementasikan dalam dunia pendidikan tentu tidak akan baik bagi perkembangan peserta didik, sehingga peran neuroscience memang sangat penting untuk dapat mengurangi paparan mitos belajar tersebut.

168

menunjukkan bahwa pelatihan neuroscience membantu guru memahami karakteristik siswa dari aspek intelektual.

Guru yang memahami teori perkembangan otak anak, akan mengajar dengan memperhatikan kapasitas dan pertumbuhan otak anak, dalam menerima materi belajar. Dengan kata lain, guru tidak lagi memforsir kinerja otak anak. Implikasi lain dari pemahaman tentang otak yakni guru memiliki kesadaran bahwa pembelajaran berlangsung dalam rentang waktu cukup lama bahkan seumur hidup, hal inilah yang disebut dengan pembelajaran seumur hidup (Jannah, 2013). Oleh karena itu, guru yang melaksanakan proses pembelajaran dengan memperhatikan perkembangan otak, mereka mendukung pembelajaran ramah otak untuk menuju pembelajaran seumur hidup.

Pemahaman guru terhadap perkembangan otak anak berakibat pula pada meningkatnya kreativitas guru dalam menciptakan metode pembelajaran yang kreatif dan menarik, sehingga prestasi siswa di kelas pun semakin meningkat pula (Amran et al., 2019). Otak merupakan pusat emosi, guru yang memahami hal tersebut tentu akan membuat metode

169

pembelajaran yang didasarkan pada situasi dan kondisi emosi siswa. Dalam hal ini, neuroscience membantu guru dalam memahami karakteristik siswa pada aspek emosi. Senada dengan Amran, Lima dalam penelitiannya dikatakan bahwa pembelajaran diciptakan dalam situasi yang melibatkan aspek lingkungan, emosi, sosial, fisik dan psikologis, dan penting untuk mengkontekstualisasikan pendidikan yang memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri (Lima et al., 2020).

Pemahaman guru terhadap perkembangan otak anak sangat bermanfaat untuk guru, terutama pada deteksi dini masalah pembelajaran (Martín-Aragoneses et al., 2021). Masalah dalam pembelajaran misalnya siswa SMA kesulitan membaca atau membaca terbata-bata, kesulitan membedakan huruf, dll. Dengan guru mampu mendeteksi masalah sejak dini, masalah pun akan terselesaikan dengan cepat pula. Selain mendeteksi masalah pembelajaran, pengetahuan tentang neuroscience juga membantu guru dalam mengetahui bahwa siswa memiliki cara belajar dan berfikir masing-masing berkisar dari keterampilan tingkat rendah otomatis hingga abstraksi dan kreativitas dalam pemecahan

170

masalah (Schwartz et al., 2019). Sehingga guru dapat merancang pembelajaran yang disesuaikan dengan karakter belajar siswa tersebut, selain perlu dirancang pula pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa.

Menurut (Gutshall, 2020) neuroscience dan pendidikan adalah "kemitraan yang ideal untuk menghasilkan solusi berbasis bukti. Maknanya, neuroscience membawa pendekatan mekanistik berbasis biologis yang dapat menjelaskan mengapa sebuah praktik terjadi. Misalnya, penemuan sistem neuron cermin membantu menjelaskan mengapa mimikri dan interaksi sosial sangat berpengaruh pada pembelajaran, terutama untuk pemerolehan bahasa dan proses kognitif terkait (Dubinsky et al., 2019; Rato et al., 2022).

Pemahaman guru terhadap karakteristik siswa pada aspek intelektual dan emosional, juga terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh (Chang et al., 2021) yang mengatakan bahwa siswa itu unik, maknanya bahwa siswa memiliki karakter belajar masing-masing. Konsep neuroscience memengaruhi pandangan guru tentang bagaimana kebutuhan fisiologis dan emosional

171

memengaruhi pembelajaran. Lingkungan pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan untuk siswa, akan meningkatkan prestasi belajar siswa. Sehingga penting bagi guru untuk menciptakan pembelajaran yang selain ramah otak juga menyenangkan untuk siswa.

Neuroscience juga membantu guru dalam memahami karakteristik siswa pada aspek sosial. Dalam penelitiannya (Brick et al., 2021c; Dubinsky et al., 2022) mengatakan bahwa setelah guru mengikuti pelatihan neuroscience mereka lebih memahami Mental Healty siswa, serta upayanya untuk membangun hubungan positif dengan siswa. Perilaku menolong dan dukungan sosial dan emosional secara keseluruhan tampak meningkat, baik untuk masalah Mental Healty maupun pembelajaran normal.

Selain dalam memahami karakteristik siswa, neuroscience juga membantu guru menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, pernyataan tersebut disampaikan oleh (de Carvalho & Villas Boas, 2018; Melnyk et al., 2022;

Petersen et al., 2020; Schmied et al., 2021), pernyataan tersebut juga disetujui oleh; pertama Dubinsky yang mengatakan bahwa

172

setelah guru memahami manusia belajar ia pun mengubah praktik mengajarnya. Pelatihan neuroscience dapat mendorong guru untuk lebih memperhatikan kebutuhan dan memperluas jangkauan pembelajaran siswa.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh (Ching et al., 2020) hasil penelitian menunjukkan bahwa mempelajari ilmu syaraf dapat meningkatkan profesionalitas, kesabaran serta kepercayaan diri guru, saat mengimplementasikan neuroscience di kelas.

Kemudian pengetahuan neuroscience dapat membantu melindungi calon guru dari neuromyths. Neuromyths adalah kesalahpahaman tentang fungsi otak yang dihasilkan oleh kesalahpahaman, salah membaca, atau salah mengutip fakta yang ditetapkan secara ilmiah (Jolles & Jolles, 2021).

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh (Caballero &

Llorent, 2022) dikatakan bahwa neuroscience membantu guru untuk memahami otak sebagai sirkuit yang saling berhubungan dan bekerja sama dalam sebuah jaringan. pengetahuan tentang otak, membantu guru dalam merancang konteks pembelajaran yang lebih tepat bagi siswa. Karena pemahaman neuroscience

173

meningkatkan pemahaman guru tentang pemikiran, perasaan, ingatan, dll.

Keempat penelitian yang dilakukan oleh (Tan & Amiel, 2022) ia mengatakan bahwa neuroscience memberi guru perspektif unik tentang pentingnya pembelajaran sebagai menghubungkan dan memperluas koneksi saraf, mirip dengan 'memperdalam parit'. Artinya bahwa, saat guru melakukan pembelajaran dan dilakukan berulang-ulang maka pembelajaran itu akan semakin dipahami siswa. Sehingga baik untuk mengulang pembelajaran yang dirasa sulit bagi siswa, agar pemahaman mereka lebih mendalam.

Kelima, penelitian (Gkintoni & Dimakos, 2022) hasil penelitiannya mengatakan bahwa neuroscience telah mengungkap kompleksitas interaksi di area otak yang berbeda dan mengungkap banyak jalur yang berkontribusi pada pembelajaran. Maksudnya adalah, untuk menjelaskan satu pokok bahasan, guru dapat menggunakan ribuan cara, tidak hanya satu cara, atau guru dapat merencanakan pembelajaran berdasarkan lapang pandang.

174

Keenam, penelitian dari (Brick et al., 2021a) hasil penelitiannya mengatakan bahwa pelatihan neuroscience meningkatkan motivasi guru terhadap tanggung jawabnya dalam meningkatkan keberhasilan siswanya, selain itu pelatihan tersebut juga mampu meningkatkan pemahaman guru bagaimana manusia belajar. Pelatihan tersebut bernama pilot training-of-trainers, setelah mengikuti pelatihan tersebut guru lebih memikirkan bagaimana merancang pembelajaran yang bermakna dan ramah otak.

Terakhir pelatihan yang dilakukan oleh (Tan et al., 2019) mengatakan bahwa setelah guru memahami tentang neuroscience, mereka lebih percaya diri untuk mengajarkan topik sains yang sulit. Mempelajari neuroscience ini membantu guru dalam mempertimbangkan, materi apa yang perlu difokuskan untuk diberikan pada siswa dalam pembelajaran mereka. Fokus materi pembelajaran tersebut didasarkan pada pemahaman guru yang kuat tentang fungsi otak.

Tujuan guru mengikuti pelatihan neuroscience salah satunya adalah untuk mengembangkan potensi siswa. Dengan

175

guru memahami karakteristik siswa serta menguasai tentang teori dan prinsip pembelajaran maka, guru sudah memfasilitasi pengembangan potensi siswa. Guru perlu memahami bagaimana informasi diperoleh, seperti yang dikatakan oleh (Menezes, 2022) tidak benar untuk berasumsi bahwa hanya satu modalitas sensorik yang terlibat dalam pemrosesan informasi. Maksudnya adalah otak tidak memproses informasi hanya secara visual, auditori, atau kinestetik. Pemahaman bahwa siswa memiliki gaya belajar visual, auditori, atau kinestetik hal ini merupakan neuromyth.

Saat guru terjebak pada pemahaman tersebut maka, pengembangan potensi anak akan terhambat. Pentingnya mengetahui tentang neuroscience dalam rangka mengembagkan potensi anak juga dikuatkan oleh (Luzzatto & Rusu, 2020), dikatakan bahwa neuroscience berdampak pada pandangan guru terhadap pelajaran dan potensi siswa mereka.

Dokumen terkait