• Tidak ada hasil yang ditemukan

158

pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Penelitian lain dilakukan oleh (Rusmiati, 2022; Syafii et al., 2022), juga menunjukkan bagaimana guru berupaya meningkatkan prestasi dan rasa percaya diri siswa dengan melakukan pembelajaran yang lebih mengaktifkan murid dan bermain teater. Bahkan untuk mengetahui sejauh mana game online dan pembelajaran dalam jaringan mempengaruhi perubahan perilaku dan kecerdasan emosi anak pun dilakukan oleh (Handayani et al., 2021; Santi et al., 2021), hal itu menunjukkan bahwa guru peduli dengan perkembangan otak anak.

159

setiap manusia itu unik (Shearer, 2020), sehingga tidak akan mudah memasukkan pengetahuan baru pada peserta didik saat guru tidak memahami sama sekali tentang otak, dan hal tersebut tentu akan menjadi masalah.

Masalah dalam dunia pendidikan begitu banyak rupa dan neuroscience dipandang dapat memberikan jalan keluar terhadap masalah-masalah tersebut. Dalam penelitiannya (O.V.

Druzhilovskaya, 2020) mengatakan bahwa penelitian pedagogis dalam beberapa dekade terakhir telah menunjukkan perlunya mempelajari mekanisme pembelajaran dan pengasuhan neuroscience dalam sistem pendidikan modern. Ditambahkan juga oleh (Dubinsky et al., 2022) bahwa menanamkan prinsip- prinsip pembelajaran neuroscience dapat membantu guru mencapai pemahaman yang lebih dalam, tentang aspek psikologis peserta didik.

Dalam penelitiannya tentang program pelatihan neuroscience untuk guru (Luzzatto & Rusu, 2020; Fontenele &

Lourinho, 2020) yang kemudian ditegaskan pula oleh (Jolles &

Jolles, 2021) mereka mengatakan bahwa pengetahuan

160

Neuroscience berdampak pada pandangan guru terhadap pelajaran dan potensi siswa mereka. Kontribusi neuroscience pada kompetensi pedagogik juga diungkapkan oleh (Brault Foisy et al., 2020; Martín-Aragoneses et al., 2021) neuroscience memberikan beberapa kontribusi untuk memahami efek praktik pedagogis pada pembelajaran.

Bila seorang guru memahami tentang neuroscience, maka perkembangan otak peserta didik pun dapat lebih maksimal.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh (Basu et al., 2021) terhadap guru yang menerapkan STEM (Science, Technology, Engineering, and Math) yang disesuaikan dengan konteks neuroscience. Guru membentuk kelompok dalam kelas untuk memecahkan masalah tertentu. Dengan kegiatan kelas tersebut, peserta didik menunjukkan peningkatan interdisipliner yang sangat baik. Ditambahkan pula oleh (Ramirez, 2020) bahwa neuroscience dapat meningkatkan pemikiran kritis, integratif dan komunikatif peserta didik.

Guru yang memahami neuroscience dan ingatan mampu memberikan pengajaran yang efektif, karena neuroscience

161

membawa pendekatan mekanistik berbasis biologis yang dapat menjelaskan mengapa sebuah peristiwa dapat terjadi. Misalnya menjelaskan bagaimana interaksi sosial sangat berpengaruh pada pembelajaran, terutama untuk pemerolehan bahasa dan proses kognitif terkait, (Schwartz et al., 2019). Neuroscience menjelaskan pula bahwa keterampilan baru, yang diperoleh secara bertahap, meningkat tergantung pada beberapa pengalaman belajar sebagai kognitif, perseptual, motorik, linguistik, (Torres-Moreno et al., 2022).

Neuroscience juga mampu menjelaskan bahwa bagian amygdala lah yang bertanggung jawab pada emosi, perilaku, dan memori, sehingga saat amygdala mendapatkan emosi negatif maka dipastikan kegiatan belajar peserta didik akan terganggu, (Amran et al., 2019). Prinsip pembelajaran yang bergantung pada suasana hati menyatakan bahwa ingatan ditingkatkan ketika keadaan batin seseorang (suasana hati atau kesadaran) selama pembelajaran tidak dalam kondisi tertekan, (Gkintoni. E., Antonopoulou, H., Halkiopoulos, 2023). Emosi memainkan peran penting dalam pendidikan dan emosi positif tidak hanya dapat

162

mempromosikan situasi yang menyenangkan untuk mempelajari materi, tetapi juga mendukung proses kognitif yang membantu peserta didik tampil lebih baik saat belajar dan meningkatkan kepuasan mereka, (Li et al., 2020). Saat seorang guru memahami hal-hal tersebut, mereka akan berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bukan menegangkan. Adanya fakta bahwa mekanisme otak emosional-kognitif, hubungan langsung antara sifat emosi dan kualitas proses kognitif telah terjalin, yang seharusnya menjadi dasar untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif di lembaga pendidikan, (Tonne et al., 2021).

Tujuan utama neuroscience adalah untuk meningkatkan kemampuan otak dalam belajar melalui transformasi lingkungan belajar. Ketika seorang individu tumbuh, belajar mendapatkan informasi baru maka evolusi pemikiran terjadi berdasarkan aktivasi tiga bagian otak yang berbeda, yaitu area motorik, memori, dan penalaran, (Bhargava & Ramadas, 2022).

Implementasi metode neuroscience menghasilkan peningkatan

163

konsentrasi, daya ingat, kemampuan membaca, dan kemampuan matematika.

Neuroscience dipandang dapat memberikan metode pendidikan baru di masa depan. (Farmakopoulou et al., 2023) menjelaskan dengan ditemukannya bukti terbaru mengenai sirkuit otak yang mendasari keterampilan membaca dan matematika, serta kemungkinan menggunakan neuroscience untuk merancang program pembelajaran seperti memori kerja, yang diperkirakan memiliki efek pada fungsi otak secara keseluruhan. (Gkintoni. E., Antonopoulou, H., Halkiopoulos, 2023) menambahkan neuroscience dapat mendukung pendidikan seperti halnya biologi mendukung kedokteran, dengan setiap bidang mempertahankan orisinalitasnya. Peneliti (Goldberg, 2022), mengatakan neuroscience adalah bidang yang menjanjikan dalam mengajar peserta didik tentang otak mereka, dan mengajar mereka dengan cara yang ramah otak untuk mendukung mereka menjadi pembelajar seumur hidup.

Tujuan utama neuroscience adalah berdampak pada konteks kehidupan nyata, seperti ruang kelas (Han et al., 2019).

164

Pernyataan tersebut juga disetujui oleh (Cherrier et al., 2020) mereka melakukan penelitian kontribusi neuroscience, dengan memberikan program pelatihan kepada peserta didik selama dua belas minggu dan hasilnya menyatakan bahwa, setelah mengikuti program peserta didik merasa lebih mandiri dan percaya diri dalam belajar. Dalam penelitiannya (Iyengar, 2019) juga mengintegrasikan pendekatan membaca berbasis kognitif-saraf di wilayah geografis di Malawi dan Telangana, dan pendekatan tersebut telah menunjukkan peningkatan dalam angka melek huruf.

Penelitian yang dilakukan oleh (Anderson, 2021) tentang gangguan disleksia pun menjelaskan bahwa neuroscience juga dapat bermanfaat untuk membantu peserta didik yang mengalami disleksia. Konsep neuroscience tentang plastisitas sinaptik misalnya, menetapkan mengapa individu dengan disleksia memerlukan latihan intensif untuk belajar membaca karena jalur aksonal berbeda dari pembaca yang biasanya berkembang dan individu dengan disleksia memerlukan lebih banyak sinapsis yang dilatih untuk berhasil mengasosiasikan fonem dengan

165

grafem, untuk mengenali kata-kata, dan untuk mengasosiasikan makna dengan kata-kata.

Saat guru memiliki pengetahuan luas tentang berbagai disiplin ilmu termasuk psikologi dan neuroscience serta mampu mengimplementasikan temuan ilmu saraf/neuroscience dalam kinerja guru dan desain pembelajaran maka peserta didik pasti akan merasakan kepuasan dalam belajar, (Po Lan Sham, 2019).

Imajinasi dan strategi perilaku dari perkembangan neuroscience kognitif telah memungkinkan kita dalam meningkatkan keahlian ide saraf dan kognitif yang rumit, (Wan Bakar, 2021). Tetapi dalam penerapan neuroscience ini guru harus bekerja sama dengan school psychology. Psikologi sekolah, sebagai bidang penelitian dan praktik, memiliki pengetahuan, keterampilan, dan posisi untuk berkontribusi secara efektif dalam membangun jembatan antara pendidikan dan ilmu saraf (Wilcox et al., 2021).

Jika guru dan school psychology ini dapat bekerjasama mungkin dapat menghindarkan lembaga pendidikan terhadap kepercayaan neuromyths.

166

Pemahaman tentang neuroscience tidak hanya membatu guru dalam proses pembelajaran, tetapi juga membantu guru dalam mengurangi atau bahkan menghilangkan dukungan terhadap neuromyths, (Janati Idrissi et al., 2020). Perlunya meningkatkan pemaham tentang neuroscience pada guru agar tidak terjebak pada neuromyths juga diungkapkan oleh OECD.

OECD khawatir bahwa neuromyths pendidikan dapat berdampak buruk pada program dan praktik pengajaran sehingga merugikan hasil pembelajar. Penelitian tentang neuromyths juga dilakukan oleh (Grospietsch & Mayer, 2019) dan (van Dijk & Lane, 2020), mereka mengungkapkan yang merupakan bentuk kepercayaan pada neuromyths adalah diantaranya adanya kepercayaan bahwa anak memiliki gaya belajar masing-masing (visual, kinestetik, audio,dll), BrainGym yang diciptakan oleh perusahaan tertentu untuk mengeruk keuntungan, suplemen asam lemak (omega-3 dan omega-6) memiliki efek positif pada prestasi akademik, manusia hanya menggunakan 10% dari kemampuan otak, perbedaan dominasi hemisfer (otak kiri, otak kanan) dapat membantu menjelaskan perbedaan individu dalam pembelajar,

167

lingkungan yang kaya akan rangsangan meningkatkan kemampuan otak anak prasekolah, perhatian anak menjadi menurun karena konsumsi makanan manis, dll. Padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh (van Atteveldt et al., 2019) otak manusia memiliki sifat fleksibel. Beberapa mitos neuromyths tersebut jika diimplementasikan dalam dunia pendidikan tentu tidak akan baik bagi perkembangan peserta didik, sehingga peran neuroscience memang sangat penting untuk dapat mengurangi paparan mitos belajar tersebut.

Dokumen terkait