• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf

BAB III BIOGRAFI ABU YUSUF

E. Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf

keuangan negara. Hal ini dapat dimengerti karena pada masa kekuasaan Islam telah begitu meluasa dan meliputi berbagi suku bangsa dan etnis dengan budaya yang berbeda-beda.

Keempat, walaupun judulnya berhubungan dengan pajak ddan keuangan public, bukan berarti kitab ini membatasi dirinya hanya pada persoalan pajak saja. Didalamnya Imam Abu Yusuf juga menjelaskan persoalan-persoalan ekonomi yang tidak kalah pentingnya dengan perpajakan. Beliau menyinggung kebijakan yang harus diambil oleh penguasa dalam kasus-kasus tertentu. Beliau juga berbicara tentang perubahan daya beli uang (inflasi) dan sebagaimana mengambil kebijakan yang baik dalam situasi demikian. Beliau berbicara bagaimana membangun sebuah perekonomian yang menghasilkan kemakmuran.

Bahkan beliau mengajukan pedoman dan kriteria kepada Harun Ar- Rasyid tentang bagaimana sumberdaya manusia dalam pengumpulan keuangan negara dan tertib administrasinya. Kitab al-Kharaj ini juga mampu memberikan inspirasi tentang pengelolaan administrasi pemerintah yang baik (good governance).7

57

Secara mikro juga diharapkan bahwa manusia dapat menikmati hidup dengan ketenangan dan kedamaian dalam hubungan interaksi sosial antar sesama, dan diatur dengan tatanan masyarakat yang saling menghargai antar masyarakaat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Ukuran maslahah, menurut Abu Yusuf dapat diukur dari beberapa aspek, yaitu:

1. keseimbangan (tawazun), al-Qur‟an surat ar-Rahman ayat 7-9:



































Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).(7) supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.(8) dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.(9)(Q.S ar-Rahman 7-9)

2. Kehendak bebas (al-ikhtiar), dalam al-Qur‟an surat al- Jumu‟ah ayat 10:

































apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;

dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(Q.S al-Jumu‟ah:10)

3. tanggung jawab atau keadilan (al-„adalah)/(accountability), dalilnya yaitu surat al-Mudatsir ayat 38













tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,(Q.S al-Mudatsir: 38)

4. Berbuat baik (al-ikhsan) dasarnya yaitu dalam al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 90:



































Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(Q.S an-Nahl: 90)

5. Jika kosepsi maslahah yang dipakai oleh Abu Yusuf adalah konsepsi as-Syatibi, maka teori analisis ekonominya dikategorikan ebagai bentuk dari al-maslahah al-mu‟tabarah. Semua mekanisme dan ukuran kemaslahatan Abu Yusuf berpangkal dari Al-Qur‟an dan as-Sunnah yang menjadi pijakan utama untuk melahirkan konsep tauhid yang merupakan komitmen total terhadap semua kehendak Allah, dan menjadikanya sebagai nilai dan semua tindakan manusia. Dan visi kesejahteraan

59

(maslahah) inilah Abu Yusuf dapat memberikan sumbangan besar bagi kesejahteraan dan keadilan kestabilan ekonomi pada zaman kestabilan Islam/dinasti Abasiyyah (periode Harun al-Rasyid).8

Abu Yusuf adalah salah seorang ahli ekonomi yang tersohor pada generasi pertama. Ketenaranya dipengaruhi oleh satu sisi adalah murid Imam Abu Hanifah, disisi lain adalah karyanya yang monumental, yaitu kitab al-akhara. Buku tersebut menjadi salah satu referensi tentang pendapatan publik dalam negara Islam selain itu juga mencakup gagasan- gagasan ekonomi baik makro maupun mikro.

Abu Yusuf dikenal juga sebagai bapak ekonomi yang belum pernah ada satu ulama yang mensejajarinya, diantara gagasanya adalah mengubah nilai ril uang dan apa yang harus dilakukan pada saat itu terhadap transaksi kredit perdagangan, dan masalah ihtikar (menimbun barang) yang mencakup beberapa barang dagangan. Beliau juga diyakini telah mencetak blue print tentang kebijakan ekonomi suatu negara, sebagaimana beliau juga berbicara tentang pengeluaran investasi, seperti panggilan kanal, pembangunan jalan, jembatan, dan bendungan sungai.

Beliau juga telah melakukan kajian tematik tentang proyek-proyek dalam skala nasional dan telah meletakan dasar-dasar pendapatan publik serta menjelaskan peluang-peluang investasi dalam bidang pertanian dan pemasaran.9

Catatan yang paling awal yang dapat ditemukan mengenai Pengurangan produksi akibat perubahan harga adalah oleh Abu Yusuf

“Tidak ada Batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa

8Ikhwan A. Basri, Menguak Pemikiran Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik, h. 32

9 Nurul Huda, Ahmad muti, Pendekatan Al-Kharaj…h. 65

diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan oleh kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Terkadang makanan berimpah tetapi tetap mahal, dan terkadang makanan sangat sedikit tetapi murah.”10

Dari tulisan di atas, terlihat bantahan AbuYusuf membantah kesan umum dari hubungan negatif antara penawaran dan tingkat harga. Dalam kenyataanya benar bahwa tingkat harga tidak hanya bergantung pada penawaran semata dimana hal ini juga sangat penting adalah kekuatan permintaan. Oleh karena itu kenaikan atau penurunan tingkat harga tidak harus selalu berhubungan dengan kenaikan dan penurunan produksi saja.

Abu Yusuf Bersikeras dengan hal ini mengatakan bahwa ada beberapa alasan lainya, tetapi ia tidak menyatakan secara jelas karena alasan alasan penyingkatan. Apakah alasan-alasan tersebut, Kemungkinan adalah pergeseran permintaan, atau penawaran uang negara, atau penumpukan dan penyembunyian barang, atau semuanya.11

Sebagai suatu respon atas konteks historis tertentu, pemikiran Abu Yusuf tentunya melalui pengindahan masyarakat atas perangkat nilai-nilai (etika) tertentu yang dipandang bermakna dan sekaligus memberi makna.

Namun, perlu ditekankan bahwa perangkat nilai-nilai tersebut bermulai dari praktek-praktek individual atas dasar daya budi individual, guna menghadapi tantangan dalam konteks historisnya. Begitu pula halnya dengan ekonomi konvensional yang juga melalui proses Panjang, pada mulanya juga berpijak pada perangkat nilai yang lahir dari praktek dan abstraksi masyarakat yang kemudian diterima seebagai nilai yang diakui Bersama dan selanjutnya menjadi praktek Bersama. Namun pada ekonomi

10 Abu Yusuf, kitab al-Kharaj, (Beirut: Dar al-Ma‟arif 1979), hlm. 48.

11 Marhamah Shaleh, pasar Syariah dan keseimbangan harga, (jurnal media Syariah) vol. XIII No 1. Januari-juni 2012

61

konvensional rangkaian nilai-nilai yang berakar pada giliranya berdiri sendiri dan tidak begitu terikat lagi pada konteks historis yang melahirkanya.

Hal ini perlu, mengingat pemikiran ekonomi Abu Yusuf sebagai bagian dari produk masa lalu dan ekonomi konvensional sebagai produk pemikiran modern, pada beberapa kesempatan mempunyai titik persamaan dan perbedaan mendasar dengan satu tujuan mencapai kesejahteraan.

Satu kesamaan yang patut diakui bahwa pemikiran ekonomi Abu Yusuf sebagai produk sejarah masa lalu mengedepankan visi maslahah ammah, dan ekonomi konvensional sebagai produk modern mengedepankan visi kesejahteraan (well-being) namun terminologi kesejahteraan yang kini berkembang dikalangan ekonom saat ini tumbuh dalam sebuah wacana yang kontroversial, hal ini setidaknya dikarenakan terminology tersebut dapat didefinisikan dalam banyak pengertian (ambiguitas).12 Jika istilah kesejahteraan telah didefinisikan ke arah konsep materialis dan hedonis, maka akan cenderung mengarahkan ekonomi kepada porsi keunggulan dalam upaya pemenuhan kepentingan pribadi (self interest) memaksimalkan kekayaan, kenikmatan fisik dan kepuasan hawa nafsu sebab kesenangan dan kepuasan hawa nafsu sangat tergantung pada selera dan keinginan individu dengan demikian pertimbangan nilai terbuka lebar untuk disisihkan dalam upaya mengajar kemerdekaan penuh dalam memilih apa yang diinginkan manusia.

Sementara visi yang dikedepankan Abu Yusuf dalam hal ini adalah maslahah ammah berupa menyisihkan segala bentuk kepentingan pribadi dengan memgedepankan kepentingan umum. Bahkan jika memang diiperlukan harus mengorbankan kepentingan pribadi untuk

12 Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf , hlm 136

memenuhi kemaslahatan sosial dan pasar, keluarga, hidup bermasyarakat atau didalam pemerintahan. Dalam mencapai kemaslahatan umum setidaknya akan dituntut beberapa hal yang mengandung eksistensi kerohanian dan kemanusiaan yang patut dipertimbangkan, karena pertimbangan kemaslahatan akan memuat nilai-nilai normatif terhadap kesejahteraan dunia dan kesejahteraan akhirat.13

Mempertautkan dua ide ini (kesejahteraan dunia dan kesejahteraan akhirat) mungkin akan menimbulka konflik antara satu dengan yang lainnya, maka mencegah konflik dimaksud dibutuhkan kompromi dalam penyelesaiannya. Disinilah letak makna strategis konsep masalah yang dikedepankan AbuYusuf dalam pemikiran ekonominya. Jika nilai-nilai maslahah, kompromi dan etika tersebut dapat direalisasikan dalam semua aspek kehidupan, (terutama dalam kehidupan ekonomi) setidaknya akan dapat dijadikan motivasi yang bisa mencegah individu dari perbuatan salah, meskipun punya kesempatan untuk itu. Persoalanya, mungkinkah seseorang mengorbankan kepentingan pribadi untuk memenuhi kemaslahatan social dalam pasar, keluarga, dan hidup bemasyarakat didalam pemerintahan? Atau mungkinkah etika sebagai filterisasi maslahah dalam ide Abu Yusuf tersebut dapat diterapkan pada konteks kekinian? Menjawab pertanyaan dimaksud setidaknya perlu mengetahui terlebih dahulu problem politik, etika dan budaya masyarakat saat ini.

Namun yang pasti, bila ilmu ekonomi hanya terkonsentrasi pada pemenuhan kepentingan pribadi dan tidak pada kekuatan motivasi lain, maka pertanyaan tersebut mustahil akan mendapatkan jalan keluar. Sebab selama maksimalisasi kekayaan dan konsumsi adalah salah satunya tujuan

13 Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf , hlm 137

63

hidup individu, maka berkorban untuk orang lain tidak akan memberi makna apa-apa.14

Selain itu dari visi maslahah yang dikedepankan Abu Yusuf, juga akan membawa kepada motivasi kerja yang tidak hanya didasarkan kepentingan diri sendiri (raw-self interest), melainkan telah memberikan pertimbangan Bersama antara pemberian kontribusi dan kepentingan masyarakat, kepentingan diri sendiri dalam hal ini ditarik ke arah pencerahan (enlightened self-interest). Jika ditarik lebih jauh dalam konteks kekinian, melihat negara-negara industri maju bersistem ekonomi liberal, yang kini telah menambahkan diri mereka sebagai negara

“kapitalis yang berwajah manusia” (human capitalism) atau “kapitalime luhur” (benign capitalism) yaitu kapitalisme yang telah memiliki etika yang tinggi, berusaha melihat laba bukan lagi sebagai sumber satu- satunya, melainkan juga membuat faktor lain seperti terealisasi diri atau keadilan. Dengan demikian dalam konteks ini ide pemikiran ekonomi etika dan maslahah Abu Yusuf akan terlihat dan dapat diterpkan dalam sistem ekonomi modern hal ini setidaknya terlihat dari upaya penguasa (baik penguasa ekonomi maupun pemerintah), dalam mengedepankan nilai-nilai asas sosial yang membela kelompok kecil dan melayani masyarakat. Hal inilah yang menjadikan kontruksi pemikiran ekonomi yang dibangun Abu Yusuf dengan mekanismenya menjadi asas fleksibelitas sosial. Dengan asas tersebut, pemerintah/penguasa tidak saja dituntut mendasarkan diri pada nilai-nilai ekonomi dan aturan main bisnis yang khusus, akan tetapi lebih jauh bagi mereka juga harus menganut etika sosial. Misalnya kepada pekerja, pemerintah/penguasa ataupun penguasa tidak hanya memberi imbalan ekonomis, tapi juga

14 Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf , hlm 138

memperhatikan kebutuhan sosial dan psikologis yang diperlakukan, agar lebih manusiawi, dan dirawat keselamtan kerjanya.

Aspek lain yang juga diperhatikan Abu Yusuf dalam pemikiran ekonominya adalah sikap manusia terhadap alam, untuk dapat mengelola dan memperlakukanya sebagai titipan Allah yang tidak hanya untuk dinikmati oleh satu generasi, tapi lebih jauh oleh semua mahluk ciptaanya, manusia dituntut untuk tidak selalu merendahkan alam hanya lantaran manusia mampu menguasai mengeksploitasinya, melainkan justru untuk memelihara dan menjaga lingkungan dan kelestarianya, disamping memanfaatkanya untuk kepentingan dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Hal ini merupakan landasan filosofis dari ekonomi Islam secara global, yaitu memposisikan manusia sebagai kholifah di bumi dengan tujuan kemenangan di dunia dan akhirat. 15

Etika dan ekonomi setidaknya dapat dilihat dalam tiga kategori operasional, yaitu operasional etika pada tingkat individu, organisasi, dan sistem pada tingkat individual etika dapat dilihat dari pengaruhnya dalam pengambilan keputusan seseorang, atas tanggung jawab pribadinya dan kesadaranya sendiri, baik sebagai pengusaha maupun sebagai manajer.

Pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat pada kebijaksanaan perusahaan/institusi, dan mempersiapkan institusi-institusi tersebut tentang tanggung jawab sosialnya pada tingkat sistem seseorang menjalankan kewajiban dan tindakan berdasarkan sistem etika tertentu, misalnya etika kapitalisme dan yang lainya. Jika ditarik dalam konteks Indonesia, setidaknya seseorang mengacu secara formal kepada etika ekonomi Pancasila. Tetapi bisa saja menganut suatu sistem etika lain, menurut keyakinanya sebagai pelaku ekonomi.

15 Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf , hlm 138-140

65

Jika melihat landasan etis dan filterisasi etikan yang digunakan Abu Yusuf dalam pemikiran ekonominya. Dengan menggunakan standar al-Tawazun, al-Ikhtiar, al-„Adalah, dan al-Ikhsan, sebagai sarana dan alat ukur sistem etika ekonomi, maka standarisasi dan alat ukur seperti ini merupakan bangunan utuh dari sistem ekonomi yang menginginkan untuk diterapkan dalam konteks sosio-kultural masyarakat saat ini, permasalahanya barang kali hanya terketak dari mampu dan tidaknya standarisasi tersebut diaplikasikan di tengah masyarakat. Untuk hal ini tentunya memerlukan waktu, dana, sosialisasi dan pemikiran yang matang.

Di Indonesia misalnya, etika dalam ekonomi masuk merupakan barang baru bagi sebagian besar orang etika dalam praktek ekonomi bahkan patut diakui masih jarang diajarkan dimanapun, termasuk di universitas. 16

Hal ini tidak berarti bahwa pelaku ekonomi dan bisnis Indonesia tidak memiliki etika, tetapi etika yang dijalankan merupakan etika sosial dan etika individual. Sistem etika yang sesungguhnya berlaku pada masyarakat Indonesia masih harus diteliti dan dirumuskan secara sistematis. Dewasa ini yang ramai dibicarakan barulah pola dan manajemen Pancasila, atau pola manajemen Indonesia, meskipun pada beberapa kesempatan di kalangan masyarakat, pemerintah, ilmuwan bahkan teknorata dan birokrat juga telah banyak yang berbicara tentang perlunya undang-undang anti monopoli, atau beberapa undang-undang yang telah menjadi acuan bisnis seperti undang-undang pokok agraria, undang-undang pokok perkoperasian, undang-undang pokok perbankan perindustrian, dan lingkungan hidup. Namun undang-undang seperti ini perlu diteliti kembali, terutama aturan dan pelaksanaanya yang seringkali

16 Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, hlm 140

memberi kesan tidak tegas. Hal ini terlihat dari beberapa masalah besar yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan.17

17 Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf , hlm 141

67 BAB IV

Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf dan Relevansinya di Indonesia A. Mekanisme Pasar menurut para ulama

Dalam istilah bahasa asing pricing atau tas‟ir memiliki makna pemaksaan atas penjual atau pembeli untuk berjual beli dengan harga tertentu. Upaya Pemerintah memiliki hak untuk melakukan intervensi dalam menetapkan harga. Walaupun hal ini masih dalam polemik, tetapi sangat tergantung pada kondisi dan situasi pasar yang berkembang kala itu.

Pendapat yang tidak setuju dengan penetapan harga pasar, menurut mereka adalah Allah telah menetapkan seseorang untuk menjual komoditasnya dengan harga yang ia ridhai, dengan dalil:































…



“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS An-Nisa [4]: 29)

Menurut mereka tas’ir bertentangan dengan nash-nash tersebut.

Sebab, tas‟ir bermakna pemaksaan atas penjual dan tau pembeli untuk bejual beli dengan harga tertentu. Hal ini melanggar kepemilikan seseorang karena kepemilikan itu bermakna seorang memiliki kekuasaan atas harta miliknya. Karena itu, ia berhak menjual dengan harga yang ia sukai. Pematokan harga tentu akan menghalangi sebagian kekuasaan seseorang atas hartanya. Sesuai keterangan nash syariah di atas.

Keharaman tas’ir ini berlaku secara umum untuk semua komoditi.

Rasulullah SAW. menyatakan tas’ir sebagai kedzaliman tanpa menyebutkan komoditinya, artinya keharaman itu berlaku dalam semua kondisi damai atau perang, baik harga anjlok, normal atau sedang membubung tinggi hal tersebut sesuai dengan kemutlakan nashnya.

Faktanya, pematokan harga merupakan dharar bagi umat. Karena pematokan harga akan mendorong terbentuknya pasar gelap yang jauh dari monitoring Negara. Dengan begitu persediaan barang ke pasar akan berkurang karena diperdagangkan dipasar gelap. lalu harga di pasar normal akan mengalami kenaikan tanpa bisa dicegah oleh negara selain mendorong terbentuknya pasar gelap pematokan harga juga dapat mempengaruhi tingkat produksi atau konsumsi. Pada tingkat tertentu mungkin bisa menyebabkan terjadinya krisis ekonomi.1

Pendapat yang membolehkan tasir bertentangan dengan mayoritas ulama. Tetapi beberapa ahli, seperti Said bin Musayyab, Rabiah bin Abdul Rahman dan yahya bin Said, menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah bahwa berkata pemerintah harus mentetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan harga itu, dimana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan harga.

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jika harga itu bisa ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal itu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan publik atau produk makanan, pakaian dan perumahan, karna kebutuhan umum itu jauh lebih penting dari pada kebutuhan seorang individu.

1Skripsi sitizainab mekanisme pricing murabahah dalam bisnis syariah( Iiq Jakarta), 2014. h. 111-133

69

B. Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf dan Relevansinya di Indonesia

Abu Yusuf tercatat sebagai ulama pertama yang mulai menyinggung mekanisme pasar. ia memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitanya dengan perubahan harga. untuk mewujudkan visi ekonominya, Abu Yusuf menciptakan system ekonomi yang otonom (tidak terikat dari intervensi pemerintah). Perwujudanya nampak dalam pengaturan harga yang bertentangan dengan hukum permintaan dan penawaran namun Ia menyangkal pernyataan tersebut.

Baginya banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunya harga, namun ada kekuatan lainya yang lebih menentukan. Hal ini dikaitkan pada beberapa hadits yang termaktub dalam kitabnya.

Abu Yusuf mengungkapkan bahwa beliau meriwayatkan hadits dari Tsabit Abu Hamzah al-Yamani, dari Salam bin Abi Ja’ad yang mengatakan bahwa sebagian masyarakat mengadu kepada Rasulullah dan meminta agar Ia membuat ketentuan harga yang mengatur tentang hal penetapan harga, maka Rasulullah bersabda ”sesungguhnya urusan tinggi dan rendahnya harga suatu barang punya kaitan erat dengan kekuasaan Allah. Aku berharap dapat bertemu dengan tuhanku dimana salah seorang diantara kalian tidak akan membuatku karena kedzaliman.

Hadits diatas diikuti lagi dengan hadits berikutnya yang diriwayatkan ole Sufyan bin Uyainah, dari Ayub, dari Hasan, Beliau berkata:

Pada masa Rasulullah pernah terjadi kenaaikan harga secara mendadak, para sahabat berkata wahai Rasulullah SAW kami berharap agar engkau menentukan harga untuk kita, Rasul menjawab: Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penah, pencurah serta pemberi

rizki. Aku berharap dapat menemui tuhanku dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kedzalimandalam hal darah dan harta.2

Menurut Abu Yusuf sistem ekonomi Islam mengikuti prinsip mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya, yaitu produsen dan konsumen. Jika, karena sesuatu hal selain monopoli, penimbunan atau aksi sepihak yang tidak wajar dari produsen terjadi kenaikan harga, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga. Penentuan harga sepenuhnya diperankan oleh kekuatan permintaan dan penawaran dalam ekonomi.

Abu Yusuf menentang penguasa yang menetapkan harga hasil panen yang berlimpah bukan alasan untuk menurunkan harga panen dan sebaliknya kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. fakta dilapangan menunjukan bahwa ada kemungkinan kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan dengan harga yang rendah.3

Dengan latar belakangnya sebagai fuqaha dan ahli Ra‟yu Abu Yusuf cenderung memaparkan berbagai pemukiran ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis Qiyas yang didahului dengan kajian mendalam terhadap Al-Quran, hadits, atsar Shahabi, serta praktik para penguasa yang shalih. Landasan pemikiranya adalah kemaslahatan umum. Pendekatan ini membuat berbagai gagasanya lebih relevan dan mantap. Berbeda dengan pemahaman saat itu yang beranggapan bila tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan bila barang melimpah maka harga akan murah, Abu Yusuf menyangkal hal tersebut

2 Abdullah bin Abdurahman Al Basam, Syarah Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), cet ke. 2 hlm. 343

3Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004) h. 304

71

beliau menyatakan, tidak ada Batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan demikian juga mahal bukan karena disebabkan kelangkaan makanan.

Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sedikit tapi murah. Dari pernyataan tersebut Abu Yusuf nampaknya menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara penawaran dan harga. Pada kenyataanya, harga tidak bergantung pada penawaran saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan permintaan. Karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan penurunan atau peningkatan produksi. Abu Yusuf menegaskan bahwa ada hal lain yang mempengaruhi, tetapi tidak menjelaskan secara rinci bisa jadi variable tersebut adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar dalam suatu negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut. Patut dicatat bahwa Abu Yusuf menuliskan teorinya sebelum Adam Smith menulis The Wealth of Nation. Karena Abu Yusuf tidak membahas lebih rinci apa yang di sebabkanya sebagai variable lain, Ia tidak menghubungkan fenomena yang diobservasinya terhadap perubahan penawaran uang. Namun pernyataanya tidak menyangkal pengaruh dari permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.

Pemahaman masyarakat pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva permintaan saja dimana pada saat barang yang tersedia sedikit maka harga barang tersebut akan menjadi mahal dan sebaliknya, bila barang yang tersedia banyak maka harga barang tersebut akan menjadi turun atau murah.

Dokumen terkait