• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendengaran dan Bicara (Tunarungu-Wicara)

Dalam dokumen PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (Halaman 46-54)

BAB II KARAKTERISTIK ANAK BERKEBUTUHAN

B. Pendengaran dan Bicara (Tunarungu-Wicara)

B. Pendengaran dan bicara (Tunarungu-

kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.23

Anak-anak ini memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan yang layak. Hambatan-hambatan yang dialami anak tuna rungu berawal dari kesulitannya mendengar, sehingga pembentukan bahasa sebagai salah satu cara berkomunikasi menjadi terhambat. Dengan ketidakmampuan berbahasa, khususnya secara verbal, iapun akan mengalami kesulitan dalam menyampaikan pikiran dan gagasan, kebutuhan dan kehendaknya kepada orang lain. Hambatan ini seringkali membuat anak frustasi, dan terisolir dari lingkungan sosialnya.

Hasil penelitian Yoshinaga – Itano dan Sedey, mengungkapkan bahwa identifikasi dini dan intervensi terhadap anak-anak tuna rungu atau pendengarannya kurang merupakan komponen kritikal dari kesuksesan dalam perkembangan bahasa dan melek huruf. Jalur pendidikan Formal (sekolah) merupakan satu upaya yang banyak dilakukan untuk membantu anak-anak tunarungu.

Namun agar pendidikan itu berhasil, maka kerjasama dengan orangtua, penanganan yang terintegrasi dan profesional sangat dibutuhkan.24

23 Mufti Salim, Pendidikan Anak-anak Tuna Rungu, Jakarta : Pustaka UI, p. 8 24 Yoshinaga, Itano dan Sedey, Teaching Exceptional Children Vol 39, 2007.

Gangguan pendengaran sendiri dapat diklasifikasikan sesuai dengan frekuensi dan intensitasnya. Dengan tes pendengaran, maka kepekaan pendengaran akan dapat diukur sesuai dengan frekuensi dan intensitasnya. Fekuensi dapat dijabarkan dalam bentuk cps (cycles per second) atau hertz (Hz). Seseorang dengan pendengaran normal dapat mendengar dalam -frekuensi 18 – 18.000 Hertz, dimana pembicaraan biasa berada pada 100 – 10.000 Hertz.25

Sementara itu intensitas diukur dalam desibel (dB), dimana sekor 0 dB bukan berarti tidak ada suara, melainkan menunjukkan bahwa suara tersebut sama dengan tolok ukurnya. Jadi suara pada 60 dB berarti 60 dB lebih tinggi dari pada tolok ukur yang seharusnya.

Kesemuanya itu diukur dengan audiometer yang dicatat dalam audiogram.

Moores dalam Hallahan dan Kauffman, mendefiniskan tunarungu adalah kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian lain, baik dalam derajat frekuensi dan intensitas. Sementara Hallahan dan kauffman membedakan antara ketulian dengan gangguan pendengaran. Orang yang tuli adalah mereka yang ketidakmampuan mendengarnya menghambat keberhasilan memproses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan atau tanpa alat bantu dengar.

Sementara itu, orang yang secara umum sulit untuk mendengar, dengan bantuan alat bantu dengar, masih

25 Cline, T & Frederrickson, N, Special Educational Children Needs: Inclusion and Diversity, Philadelphia : Open University Press, 2002.

memiliki kemampuan mendengar yang cukup untuk memproses informasi bahasa melalui pendengaran.26

Batasan lain ada berdasarkan saat mulainya terjadi ketulian, Prelingual deafness merupakan kondisi seseorang dimana ketulian sudah ada sejak lahir atau terjadi sebelum dimulainya perkembangan bicara dan bahasa. Postlingual Deafness merupakan kondisi dimana seseorang mengalami ketulian setelah ia menguasai wicara atau bahasa.27

Batasan yang sifatnya kuantitatif secara khusus menunjuk pada gangguan pendengaran sesuai dengan hilangnya pendengaran, yang dapat diukur dengan alat audiometri. Audiometri adalah alat untuk mengukur seberapa besar seseorang dapat mendengar dan seberapa besar hilangnya pendengaran dan ditunjukkan dalam satuan decibel (dB).

Karakteristik Tunarungu

Definisi dan kategorisasi dari ketulian tampak sebagai berikut :

• Kelompok 1 : Hilangnya pendengaran yang ringan (20-30 dB). Orang-orang dengan kehilangan pendengaran sebesar ini masih mampu berkomunikasi dengan menggunakan pendengarannya. Gangguan ini merupakan ambang batas (borderline) antara orang yang sulit mendengar dengan orang normal.

26 Hallahan & Kauffman, Op.Cit, p. 142 27 Hallahan & Kauffman, Op.Cit, p. 322

• Kelompok 2 : Hilangnya pendengaran marginal (30-40 dB). Orang-orang dengan gangguan ini sering mengalami kesulitan untuk mengikuti suatu pembicaraa pada jarak beberapa meter. Pada kelompok ini, orang-orang masih bisa menggunakan telinganya untuk mendengar, namun harus dilatih.

• Kelompok 3 : Hilangnya pendengaran yang sedang (40 – 60 dB). Dengan bantuan alat bantu dengar dan bantuan mata, orang-orang ini masih bisa belajar berbicara dengan mengandalkan alat-alat pendengaran.

• Kelompok 4 : Hilangnya pendengaran yang berat (60 – 75dB). Orang-orang ini tidak bisa belajar berbicara tanpa menggunakan teknik-teknik khusus.

Pada gangguan ini mereka sudah dianggap sebagai

“tuli secara edukatif”. Mereka berada pada ambang batas antara sulit mendengar dengan tuli.

• Kelompok 5 : Hilangnya pendengaran yang parah (>75dB). Orang-orang dalam kelompok ini tidak bisa belajar bahasa hanya semata-mata dengan mengandalkan telinga, meskipun didukung dengan alat bantu dengar sekalipun.

Jadi, menurut definisi di atas, kelompok 1, 2 dan 3 tergolong sulit mendengar. Sedangkan kelompok 4, 5 tergolong tuli. Kesulitan dalam berbicara akan semakin

bertambah sejalan dengan semakin bertambahnya kesulitan pendengaran.

Menurut Telford dan Sawrey, karakteristik ketunarunguan tampak dari simtom-simtom seperti :

1) Ketidakmampuan memusatkan perhatian yang sifatnya kronis

2) Kegagalan berespon apabila diajak berbicara 3) Terlambat berbicara atau melakukan kesalahan artikulasi

4) Mengalami keterbelakangan di sekolah.28

Rata-rata anak tunarungu pada awal kehidupan mengeluarkan bunyi yang sama dengan anak normal.

Namun pada anak normal, sesuai dengan penelitian perkembangan dari para ahli, secara umum anak akan mulai meggunakan kata-kata pada usia 12 – 18 bulan.

Sedangkan anak tunarungu tidak mampu mengeluarkan kata-kata pertama yang terarah. Jika pada tahun kedua anak tidak juga mengeluarkan kata-kata pertamanya kemungkinannya anak mengalami ketulian. Tentu saja, diagnosa ini harus diperkuat dengan cara-cara lain mengingat ada kemungkinan ketidakmampuan berbicara anak disebabkan kasus lain seperti kurangnya stimulasi lingkungan,konflik emosional, autism, keterbelakangan mental dan keterlambatan perkembangan.29

28 Telford dan Sawrey, The Exceptional Individual. 4th ed., New Jersey : Prentice Hall Inc, p. 200 29 Suran dan Rizzo, Special children : Integrative Approach. Glenview : Scotts, Foresman and co., p. 100

Secara rinci cartwright dan cartwright mengemukakan tiga cara identifikasi yang dapat dilakukan orangtua atau guru dalam kehidupan sehari-hari yaitu identfikasi melalui indikator perilaku, tanda-tada fisik serta keluhan yang dikemukakan anak.30

Indikator perilaku seperti :

• Ketidakmampuan memberikan perhatian

• Mengarahkan kepala atau telinga ke arah pembicara

• Gagal mengikuti instruksi lisan, terutama dalam situasi kelompok

• Meminta pengulangan, terutama untuk pertanyaan

• Memiliki masalah wicara

• Menolak menjadi sukarelawan dalam kelas atau kelompok diskusi

• Menarik diri

• Berkonsentrasi secara berlebihan pada wajah atau mulut lawan bicaranya

• Respon-respon tidak sesuai atau inkonsisten Tanda-tanda fisik, ditunjukkan dengan :

• Telinga yang mengeluarkan caira

• Bernapas melalui mulut

30 Hallahan, loc.cit

• Sering menggunakan kapas pada telinga

• Ekspresinya tampak letih dan tertekan meskipun pada pagi hari

Keluhan yang kerap dikatakan :

• Sakit pada telinga

• Mendengar dengungan atau deringan

• Ada “suara” di dalam kepala

• Merasa ada benda di dalam telinga

• Telinga yang luka

• Sering demam, sakit tenggorakan dan/ atau tonsillitis

Spencer dan Meadow – Orlans telah membuktikan dari hasil penelitian mereka bahwa hasil observasi kegiatan bermain anak merupakan data yang berharga untuk identifikasi ketulian. Tiga hal penting yang dihasilkan adalah :

1) Ketulian dapat menghasilkan minimnya tingkah laku bermain representasional (simbolik), pada usia sekitar satu tahun, ketika dibandingkan

dengan tingkah laku bermain anak seusianya yang mampu mendengar.

2) Mulai dari usia 18 tahun dan sekitarnya, ketika anak-anak biasanya mulai mengungkapkan kata-

kata maupun tanda-tanda lebih dari satu unit dalam hal panjang maupun kompleksitasnya, anak yang mengalami hambatan perkembangan bahasa kurang mampu memproduksi urutan logis dan realitas ketika bermain berdasarkan tema atau ketika permainannya sudah direncanakan sebelumnya.

3) Pada usia yang kurang lebih sama, perbedaan dalam hal respons interaktif dengan ibu banyak terjadi pada anak tunarungu yang ibunya mampu mendengar. Perbedaan ersebut, lagi-lagi berupa

deficit dalam level permainan simbolik yang berurutan atau preplanning (sudah direncanakan).31

Dalam dokumen PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (Halaman 46-54)