a) Pengangkatan anak dalam syariat Islam dibolehkan bahkan dianjurkan sepanjang motivasi pengangkatan anak tersebut untuk kepentingan dan kesejahteraan anak serta tidak bertentangan dengan hukum Islam.
b) Permohonan pengangkatan anak oleh Warga Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam terhadap anak WNI yang beragama Islam merupakan kewenangan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah. Prosedur permohonan dan pemeriksaannya harus memdomani hal-hal sebagai berikut :
(1) Permohonan pengangkatan anak oleh WNI yang beragama Islam terhadap anak WNI yang beragama Islam diajukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana anak tersebut bertempat tinggal (berada). Permohonan tersebut bersifat voluntair.
(2) Prosedur permohonan pemeriksaaan pengangkatan anak harus memdomani Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1979, Nomor 6 Tahun 1983 dan Nomor 3 Tahun 2005.
(3) Permohonan tersebut di atas dapat dikabulkan apabila terbukti memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 5 ayat (2) Undang- undang Nomor 112 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, SEMA RI Nomor 2 Tahun 1979, Nomor 6 Tahun 1983 dan Nomor 3 Tahun 2005.
(4) Untuk keseragaman, amar penetapan pengangkatan anak sebagaimana di atas berbunyi :
“Menyatakan sah pengangkatan anak yang dilakukan oleh pemohon bernama ... bin/binti ..., alamat …, terhadap anak bernama ... bin/binti ..., umur....”.
Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag. 171
(5) Salinan penetapan pengangkatan anak tersebut dikirimkepada Kementrian Sosial, Kementerian Kehakiman Cq. Dirjen Imigrasi, Kementerian Luar negeri, Kementerian Kesehatan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI dan Panitera Mahkamah Agung RI.
b. Hukum Kewarisan
1) Hukum materiil Peradilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah di bidang waris adalah hukum kewarisan KHI dan yurisprudensi yang bersumber dari al-Qur’an, Hadis dan Ijtihad.
2) Hukum kewarisan KHI memiliki beberapa asas sebagai berikut : a) Asas bilateral/parental, yang tidak membedakan laki-laki dan
perempuan dari segi keahliwarisan, sehingga tidak mengenal kerabat dzawil arham. Asas ini didasarkan atas :
(1) Pasal 174 KHI tidak membedakan antara kakek, nenek dan paman baik dari pihak ayah atau dari pihak ibu.
(2) Pasal 185 KHI mengatur ahli waris pengganti, sehingga cucu dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan / anak laki-laki dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu serta keturunan dari bibi adalah ahli waris pengganti.
(3) Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
b) Asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti
(1) Ahli waris langsung (eigen hoofde) adalah ahli waris yang disebut pada Pasal 174 KHI.
(2) Ahli waris pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli waris yang diatur dalam Pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti / keturunan dari ahli waris yang disebutkan dalam Pasal 174 KHI. Di antaranya keturunan dari anak laki-laki atau anak perempuan, keturunan dari saudara laki-laki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek dan nenek, yaitu bibi dan keturunannya (paman walaupun keturunan kakek dan nenek bukan ahli waris pengganti karena paman sebagai ahli waris langsung yang disebut dalam Pasal 174 KHI).
c) Asas ijbari, maksudnya pada saat seseorang meninggal dunia,
Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag. 172
kerabatnya (atas pertalian darah dan pertalian perkawinan) langsung menjadi ahli waris, karena tidak ada hak bagi kerabat tersebut untuk menolak sebagai ahli waris atau berfikir lebih dahulu apakah akan menolak atau menerima sebagai ahli waris. Asas ini berbeda dengan ketentuan dalam KUH Perdata yang menganut asas takhayyuri (pilihan) untuk menolak atau menerima sebagai ahli waris (Pasal 1023 KUH Perdata).d) Asas individual, dimana harta warisan dapat dibagi kepada ahli waris sesuai bagian masing-masing, kecuali dalam hal harta warisan berupa tanah kurang dari 2 ha (Pasal 189 KHI jo Pasal 89 Undang-undang Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Lahan Tanah Pertanian) dan dalam hal para ahli waris bersepakat untuk tidak membagi harta warisan akan tetapi membentuk usaha bersama yang masing-masing memiliki saham sesuai dengan porsi bagian warisan mereka.
e) Asas keadilan berimbang, dimana perbandingan bagian laki- laki dengan bagian perempuan 2 : 1, kecuali dalam keadaan tertentu. Perbedaan bagian laki-laki dengan perempuan tersebut adalah karena kewajiban laki-laki dan kewajiban perempuan dalam rumah tangga berbeda. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga mempunyai kewajiban menafkahi isteri dan anak-anaknya, sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga tidak mempunyai kewajiban menafkahi anggota keluarganya kecuali terhadap anak bilamana suami tidak memiliki kemampuan untuk itu. Mengenai bagian laki-laki dua kali bagian perempuan dapat disimpangi apabila para ahli waris sepakat membagi sama rata bagian laki-laki dan perempuan setelah mereka mengetahui bagian masing-masing yang sebenarnya menurut hukum.
f) Asas waris karena kematian, maksudnya terjadinya peralihan hak materiil maupun immateriil dari seseorang kepada kerabatnya secara waris mewaris berlaku setelah orang tersebut meninggal dunia.
g) Asas hubungan darah yakni hubungan darah akibat perkawinan sah, perkawinan subhat dan atas pengakuan anak (asas fiqh Islam).
Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag. 173
h) Asas wasiat wajibah, maksudnya anak angkat dan ayah angkatsecara timbal balik dapat melakukan wasiat tentang harta masing-masing, bila tidak ada wasiat dari anak angkat kepada ayah angkat atau sebaliknya, maka ayah angkat dan/atau anak angkat dapat diberi wasiat wajibah oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah secara ex officio maksimal 1/3 bagian dari harta warisan (Pasal 209 KHI).
i) Asas egaliter, maksudnya kerabat karena hubungan darah yang memeluk agama selain Islam mendapat wasiat wajibah maksimal 1/3 bagian, dan tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengannya (Yurisprudensi).
j) Asas Retroaktif Terbatas, KHI tidak berlaku surut dalam arti apabila harta warisan telah dibagi secara riil (bukan hanya pembagian di atas kertas) sebelum KHI diberlakukan, maka keluarga yang mempunyai hubungan darah karena ahli waris pengganti tidak dapat mengajukan gugatan waris. Jika harta warisan belum dibagi secara riil, maka terhadap kasus waris yang pewarisnya meninggal dunia sebelum KHI lahir, dengan sendirinya KHI dapat berlaku surut.
3) Hibah dan wasiat kepada ahli waris diperhitungkan sebagai warisan (Pasal 210 KHI).
4) KHI mengelompokkan ahli waris dari segi cara pembagiannya dalam tiga kelompok sebagai berikut (Pasal 176 – 182 KHI) :
a) Kelompok ahli waris dzawil furud (yang ditentukan bagiannya).
(1) Ayah mendapat 1/6 bagian bila pewaris meninggalkan anak/keturunan, mendapat ashabah bila pewaris tidak meninggalkan anak / keturunan (Pasal 177 KHI jo SEMA Nomor 2 Tahun 1994).
(2) Ibu mendapat 1/6 bagian bila pewaris mempunyai anak/keturunan, atau pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih (sekandung, seayah, seibu), mendapat 1/3 bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak / keturunan atau pewaris meninggalkan satu orang saudara (sekandung, seayah, seibu).
(3) Duda mendapat 1/2 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak / keturunan dan mendapat 1/4 bagian
Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag. 174
bila pewaris meninggalkan anak/keturunan.(4) Janda mendapat 1/4 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak/keturunan dan mendapat 1/8 bagian bila pewaris meninggalkan anak/keturunan.
(5) Anak perempuan mendapat 1/2 bagian apabila sendirian, dua orang anak perempuan atau lebih mendapat 2/3 bagian bila tidak ada anak laki-laki atau keturunan dari anak laki-laki.
(6) Seorang saudara laki-laki atau perempuan (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/6 bagian, apabila terdapat dua orang saudara atau lebih (sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/3 bagian jika saudara (sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bersama ibu pewaris (yurisprudensi)
(7) Seorang saudara perempuan (sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/2 bagian, dua orang saudara perempuan sekandung atau seayah atau lebih mendapat 2/3 bagian, jika saudara perempuan tersebut mewaris tidak bersama ayah dan tidak ada saudara laki-laki atau keturunan laki-laki dari saudara laki-laki.
b) Kelompok ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya.
(1) Anak laki-laki dan keturunannya.
(2) Anak perempuan dan keturunannya bila mewarisi bersama anak laki-laki.
(3) Saudara laki-laki bersama saudara perempuan bila pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah.
(4) Kakek dan nenek.
(5) Paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu dan keturunannya.
c) Kelompok ahli waris yang mendapat bagian sebagai ahli waris pengganti.
(1) Keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikan.
(2) Keturunan dari saudara laki-laki / perempuan (sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bagian yang digantikannya.
(3) Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah, masing-masing berbagi sama.
(4) Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu,
Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag. 175
masing-masing berbagi sama.(5) Paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi bagian dari ayah apabila tidak ada kakek dan nenek dari pihak ayah.
(6) Paman dan bibi dari pihak ibu beserta keturunannya mewarisi bagian dari ibu apabila tidak ada kakek dan nenek dari pihak ibu.
Selain yang disebut di atas tidak termasuk ahli waris pengganti.
5) Prinsip-prinsip Hijab Mahjub menurut KHI dan Yurisprudensi.
a) Anak laki-laki maupun perempuan serta keturunannya menghijab saudara (sekandung, seayah, seibu) dan keturunannya, paman dan bibi dari pihak ayah dan ibu serta keturunannya.
b) Ayah menghijab saudara dan keturunannya, kakek dan nenek yang melahirkannya serta paman / bibi pihak ayah dan keturunannya.
c) Ibu menghijab kakek dan nenek yang melahirkannya serta paman/bibi pihak ibu dan keturunannya.
d) Saudara (sekandung, seayah atau seibu) dan keturunannya menghijab paman dan bibi pihak ayah dan ibu serta keturunannya.
6) Kompilasi Hukum Islam membedakan saudara seibu dari saudara seayah dan sekandung (Pasal 181 dan 182 KHI). Dalam perkembangannya, yurisprudensi MARI menyamakan kedudukan saudara seibu dengan saudara sekandung atau saudara seayah, mereka mendapat ashabah secara bersama-sama dengan ketentuan saudara laki-laki mendapat dua kali bagian saudara perempuan.
7) Berdasarkan prinsip dan asas kewarisan tersebut di atas, derajat kelompok ahli waris memiliki tingkatan sebagai berikut :
a) Kelompok derajat pertama : suami/isteri, anak dan/atau keturunannya, ayah dan ibu.
b) Kelompok derajat kedua: suami/isteri, anak dan/atau keturunannya, kakek dan nenek baik dari pihak ayah maupun dari ibu.
c) Kelompok derajat ketiga : suami/isteri, saudara (sekandung, seayah, seibu) dan/atau keturunannya, kakek dan nenek dari pihak ayah dan pihak ibu.
Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag. 176
d) Kelompok derajat keempat : suami/isteri, paman/bibi dan/atauketurunannya.
8) Untuk memudahkan perhitungan pembagian waris dapat memedomani prinsip-prinsip sebagai berikut :
a) Mendahulukan ahli waris sesuai kelompok derajatnya yang dirumuskan dalam angka (4) di atas.
b) Menerapkan prinsip hijab mahjub tersebut dalam angka 5 (lima) di atas.
c) Perbandingan bagian anak laki-laki dengan anak perempuan, bagian saudara laki-laki dengan saudara perempuan, bagian paman berbanding bagian bibi adalah 2 : 1.
d) Ahli waris pengganti mewarisi bagian yang digantikannya dengan ketentuan tidak melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan ahli waris yang diganti. Apabila ahli waris pengganti terdiri dari laki-laki dan perempuan, laki-laki mendapat bagian dua kali bagian perempuan.
e) Bagian ahli waris dzawil furud dibagi terlebih dahulu dari ahli waris ashabah.
f) Sisa pembagian dari ahli waris dzawil furud untuk ahli waris ashabah, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
g) Jika ahli waris terdiri dari dzawil furud dan jumlah bagian ahli waris melebihi nilai 1 (satu), maka dilakukan „aul.
h) Jika ahli waris terdiri dari dzawil furud dan jumlah bagian ahli waris kurang dari nilai 1 (satu), maka dilakukan radd. Radd tidak berlaku untuk janda dan duda.
9) Contoh-contoh bagian waris sesuai derajat kelompok ahli waris a) Ahli waris terdiri dari duda, anak dan/atau keturunannya, ayah
dan ibu. Duda memperoleh 1/4, ayah 1/6, ibu 1/6, anak dan/atau keturunannya memperoleh sisa, jika anak hanya terdiri dari anak perempuan dan keturunan dari anak perempuan yang lain, dan diperlukan radd atau „aul, maka dilakukan radd atau „aul.
b) Ahli waris terdiri dari janda, anak dan/atau keturunannya, ayah dan ibu. Janda memperoleh 1/8, ayah 1/6, ibu 1/6, anak dan/atau keturunannya memperoleh sisa, jika anak hanya terdiri dari anak perempuan dan keturunan anak perempuan lainnya, dan diperlukan radd atau „aul, maka dilakukan radd atau „aul.
Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag. 177
c) Ahli waris terdiri dari duda, ayah dan ibu. Duda memperoleh 1/2,ibu 1/3, ayah ashabah. Masalah ini disebut tsulus baqi (ibu mendapat 1/3 dari sisa setelah dikeluarkan bagian duda), pembagiannya adalah :
Duda memperoleh 1/2 x 12 = 6 Ibu memperoleh 1/3 x 6 (sisa) = 2 Ayah memperoleh ashabah = 4
d) Ahli waris terdiri dari janda, ayah dan ibu. Janda memperoleh 1/4, ibu 1/3, ayah ashabah.
Masalah ini disebut tsulus baqi (ibu mendapat 1/3 dari sisa setelah dikeluarkan bagian janda), pembagiannya adalah : Janda memperoleh 1/4 x 12 = 3 Ibu
memperoleh 1/3 x 9 (sisa) = 3 Ayah memperoleh ashabah = 6
e) Ahli waris terdiri dari suami/isteri, ibu dan seorang saudara laki- laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu). Janda memperoleh 1/4 atau jika duda ia memperoleh 1/2, ibu 1/3 dan seorang saudara laki-laki/ perempuan (sekandung, seayah atau seibu) memperoleh 1/6 bagian. Jika jumlah bagian lebih dari nilai 1 (satu), maka harus dilakukan „aul dan jika jumlah bagian kurang dari satu, maka harus dilakukan radd.
f) Ahli waris terdiri dari suami/isteri, ibu dan dua orang atau lebih saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu).
Janda memperoleh 1/4 atau jika duda ia memperoleh 1/2, ibu 1/6 dan dua orang atau lebih saudara perempuan (sekandung, seayah atau seibu) memperoleh 1/3 bagian. Jika jumlah bagian lebih dari nilai 1 (satu), maka harus dilakukan „aul, jika jumlah bagian lebih kecil dari satu dilakukan radd.
g) Ahli waris terdiri dari suami/isteri, kakek dan nenek pihak ayah, kakek dan nenek pihak ayah mendapat bagian dari ayah, kakek nenek dari pihak ibu mendapat bagian dari pihak ibu.
h) Ahli waris terdiri dari suami/isteri, kakek dan nenek dari pihak ayah mendapat bagian dari pihak ayah dan kakek nenek dari pihak ibu mendapat bagian dari pihak ibu.
i) Ahli waris terdiri dari suami/isteri, paman/bibi pihak ayah dan ibu
Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag. 178
dan/atau keturunannya, isteri memperoleh 1/4 atau jika suami memperoleh 1/2, paman/bibi daripihak ayah dan/atau keturunannya memperoleh bagian ayah, paman/bibi dari pihak ibu dan/atau keturunannya memperoleh bagian ibu.10) Pembagian harta warisan yang ahli warisnya sudah bertingkat-tingkat akibat berlarut-larutnya harta warisan tidak dibagi, harus dilakukan pembagian secara jelas ahli waris dan harta warisannya dalam seitap tingkatan.
Contoh :
A (suami) dan B (isteri) memiliki anak C, D (laki-laki) dan E (perempuan). A meninggal dunia tahun 1955. B meninggal dunia tahun 1960. D meninggal dunia tahun 1975 dengan meninggalkan 3 orang anak F, G (laki-laki) dan H (perempuan). Pembagian warisnya : Ahli waris A adalah B, C, D dan E. Ahli waris B adalah C, D dan E.
Ahli waris D adalah F, G (laki-laki) dan H (perempuan). Maka amar putusannya harus berbunyi sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya/sebagian;
2. Menetapkan ahli waris A adalah B, C, D dan E;
3. Menetapkan harta warisan A adalah X
4. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris A adalah sebagai berikut :
4.1 B memperoleh 1/8 x X;
4.2 C memperoleh 2/5 x (7/8 x X);
4.3 D memperoleh 2/5 x (7/8 x X);
4.4 E memperoleh 1/5 x (7/8 x X);
5. Menetapkan ahli waris B adalah C, D dan E;
6. Menetapkan harta warisan B adalah Y;
7. Menetapkan bagian ahli waris B adalah sebagai berikut:
7.1 C memperoleh 2/5 x Y;
7.2 D memperoleh 2/5 x Y;
7.3 E memperoleh 1/5 x Y;
8. Menetapkan ahli waris D adalah F, G dan H;
9. Menetapkan harta warisan D adalah N;
10. Menetapkan bagian ahli waris D adalah sebagai berikut:
10.1 F memperoleh 2/5 x N;
10.2 G memperoleh 2/5 x N;
10.3 H memperoleh 1/5 x N;
Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag. 179
11. Memerintahkan Tergugat ... dst.c. Wasiat dan Hibah
1) Wasiat dan hibah merupakan perbuatan hukum seseorang untuk mengalihkan harta benda miliknya kepada orang lain atas dasar tabarru (perbuatan baik). Wasiat dan hibah termasuk bentuk perikatan, dalam pelaksanaannya bisa terjadi tidak memenuhi syarat-syarat perikatan, atau perikatan tersebut melanggar undang- undang.
2) Lembaga-lembaga adat yang bentuknya memindahkan hak dari pemilik harta kepada pihak anaknya atau pihak lain tetap berlaku dan tidak tunduk kepada ketentuan hukum wasiat dan hibah (Pasal 229 KHI).
3) Dalam hal sengketa wasiat dan hibah, baik disebabkan oleh karena wasiat dan hibah tersebut tidak memenuhi syarat suatu perikatan atau melanggar undang-undang, maka Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah dapat memedomani beberapa petunjuk sebagaimana diuraikan di bawah ini :
a) Gugatan pembatalan maupun pengesahan hibah dan wasiat diajukan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah hukum dimana pihak Tergugat atau salah satu Tergugat bertempat tinggal (untuk wilayah Jawa dan Madura), dan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana objek sengketa benda tetap berada atau di tempat Tergugat, bila objek sengketa berupa benda bergerak (untuk wilayah luar Jawa dan Madura).
b) Gugatan pembatalan hibah dan wasiat maupun pengesahan hibah dan wasiat harus berbentuk kontensius.
c) Ahli waris atau pihak yang berkepentingan dalam mengajukan gugatan pembatalan hibah dan wasiat, bila hibah atau wasiat melebihi 1/3 bagian dari harta benda pemberi wasiat atau pemberi hibah.
d. Wakaf
1) Wakaf dalam masyarakat Islam merupakan pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi, kepentingan ibadah
Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag. 180
dan kesejahteraan umum. Lembaga wakaf telah lama hidup dan dilaksanakan di tengah kehidupan masyarakat.2) Wakaf terdiri dari wakaf benda tidak bergerak (yang diatur dalam Pasal 16 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf jo Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006) dan wakaf benda bergerak (wakaf tunai) berupa uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan bermotor dan hak-hak kebendaan lainnya sesuai dengan keterntuan syariah dalam perundang-undangan yang berlaku (Pasal 16 dan 28 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).
3) Benda-benda wakaf sering dijumpai tidak terurus, pemanfaatannya tidak sesuai dengan tujuan dan peruntukan bahkan tidak jarang benda wakaf dialihkan kepada pihak lain oleh pengurus wakaf (nadzir) tanpa prosedur hukum, dan bahkan dikuasai oleh pihak lain secara melawan hukum untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Peristiwa-peristiwa penyelewengan hukum atas benda wakaf itu tidak terlepas dari lemahnya perangkat hukum yang ada sebelum diundangkannya Undang-undang No. 41 Tahun 2004, bahkan tidak kalah pentingnya adalah akibat subjek hukumnya yang tidak bertanggung jawab.
4) Sengketa mengenai wakaf dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagai berikut :
a) Antara ahli waris wakif atau orang yang berkepentingan dengan nadzir yang mengelola harta wakaf, dalam sengketa mengenai sah tidaknya wakaf.
b) Antara si Wakif dengan nadzir dalam sengketa pengelolaan harta wakaf, dimana nadzir melakukan penyimpangan hukum, baik dari segi peruntukannya atau karena pengalihan harta wakaf kepada pihak lain.
c) Antara nadzir dan wakif atau keluarga wakif dalam hal wakif/keluarga wakif yang menguasai kembali harta wakaf.
d) Antara masyarakat dengan nadzir, karena nadzir dalam pengelolaan harta wakaf melakukan penyimpangan hukum, baik dari segi peruntukan atau pengalihan harta wakaf kepada pihak lain.
e) Antara para nadzir karena sengketa kewenangan nadzir, mengenai siapa yang berhak mengelola harta wakaf.
f) Antara nadzir dengan Badan Wakaf Indonesia, dalam hal
Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag. 181
sengketa sah tidaknya surat keputusan Badan Wakaf Indonesia tentang penggantian nadzir.g) Antara nadzir dengan pengawas wakaf.
h) Gugatan sengketa wakaf tersebut dalam huruf (d) dapat diajukan oleh perorangan atau oleh kelompok (class action).
e. Ekonomi Syariah
1) Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.
2) Prinsip dasar syariah yang membedakan ekonomi syariah dari ekonomi konvensional adalah ridha (kebebasan berkontrak), ta‟awun, bebas riba, bebas gharar, bebas tadlis, bebas maisir, objek yang halal dan amanah.
3) Ekonomi syariah antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga syariah dan bisnis syariah.
4) Sengketa ekonomi syariah dapat terjadi antara :
a) Para pihak yang bertransaksi mengenai gugatan wanprestasi, gugatan pembatalan transaksi.
b) Pihak ketiga dengan para pihak yang bertransaksi mengenai pembatalan transaksi, pembatalan akta hak tanggungan, perlawanan sita jaminan dan/atau sita eksekusi serta pembatalan lelang.
c) Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah dalam memeriksa sengketa ekonomi syariah harus meneliti akta akad (transaksi) yang dibuat oleh para pihak, jika dalam akta akad (transaksi) tersebut memuat klausul yang berisi bahwa bila terjadi sengketa akan memilih diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas), maka Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah secara ex officio harus menyatakan tidak berwenang.
5) Segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah supaya berpedoman pada PERMA No. 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag. 182
f. Zakat, Infaq, dan Shadaqah1) Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
2) Infaq dan shadaqah adalah pemberian harta dari seseorang yang beragama Islam, badan hukum atau lembaga sosial Islam kepada mustahik guna kepentingan tertentu dengan mengharapkan ridha Allah.
3) Sengketa Zakat, Infaq dan Shadaqah dimungkinkan antara lain : a) Orang-orang yang berzakat, berinfaq dan bershadaqah dengan
Badan Amil Zakat.
b) Pejabat yang berwenang mengawaasi zakat, infaq dan shadaqah dengan Badan Amil Zakat.
c) Mustahik dengan Badan Amil Zakat.
d) Pihak-pihak yang berkepentingan dengan Badan Amil Zakat dalam hal diketahui adanya penyalahgunaan harta zakat, infaq dan shadaqah oleh Badan Amil Zakat. Dalam kasus terakhri ini dimungkinkan adanya class action.
g. Sengketa Kewenangan Mengadili
1) Dalam menangani sengketa kewenangan mengadili dalam perkara perdata berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.
1 Tahun 1996 sebagai berikut :
a) Sengketa tentang kewenangan mengadili terjadi jika :
(1) Dua Pengadilan atau lebih menyatakan berwenang untuk mengadili perkara yang sama, atau
(2) Dua Pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang untuk mengadili perkara yang sama.
b) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili:
(1) Antara Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah dengan lingkurang peradilan yang lain.
(2) Antara Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang berbeda wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agamanya.
(3) Antara Pengadilan Tinggi Agama / Mahkamah Syar’iyah Aceh dengan Pengadilan Tinggi Agama yang lain atau antara Pengadilan Tinggi Agama / Mahkamah Syar’iyah