• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Filsafat Hukum

Dalam dokumen Similarity Report (Halaman 41-52)

Bab 2 Karakteristik Ilmu Hukum Dan Pengaruhnya Terhadap

C. Pengaruh Filsafat Hukum

Pengantar Metodologi Penelitian Hukum | 32

masyarakat. Pemahaman yang demikian pada akhirnya mengantar peneliti kepada suatu tipologi penelitian yang bagaimanakah yang akan digunakan untuk menjawab isu hukum yang mengemuka.

Tentunya hanya dengan menggunakan tipologi penelitian hukum ala ilmu hukum, yaitu penelitian hukum normatif/doktrinal atau penelitian hukum empirissosiologis/nondoktrinal.

“hukum itu harus dipisahkan dari anasir-ansir non hukum, dalam arti hukum harus terbebas dari pengaruh sosiologi, sejarah, politik atau moralitas. Hukum itu adalah sebagai mana adanya, yaitu terdapat dalam berbagai peraturan yang ada”. Oleh karenanya, “yang dipersoalkan bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya, melainkan apa hukumnya. Bahkan, bagian dari aliran hukum positif yakni Legisme berpendapat lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan undang-undang”. “Tidak ada hukum di luar undang-undang. Satu- satunya sumber hukum adalah undang-undang”.

H.L.A Hart, seorang tokoh aliran positivisme hukum, melengkapi penjelasan arti positivisme, yakni:

(1) hukum adalah perintah manusia; (2) tidak ada hubungan yang penting antara hukum dan kesusilaan atau hukum sebagai apa adanya dan hukum yang diharapkan; (3) studi hukum harus dibedakan dengan studi hukum dari sudut historis, atau dari sudut sosiologis atau dari sudut kritis (critical legal studies); dan (4) sistem hukum bersifat tertutup (closed legal system) di mana putusan yang benar adalah yang tidak mempertimbangkan tujuan kesusilaan atau standar moral.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya

“positivisme hukum adalah aliran pemikiran hukum yang memberi penegasan terhadap bentuk hukum (undang-undang), isi hukum (sanksi, perintah, kewajiban dan kedaulatan) dan sistematisasi

29

29 54

171

189

Pengantar Metodologi Penelitian Hukum | 34

“aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal yakni: (a) pembentuk hukum adalah penguasa; (b) bentuk hukum adalah undang-undang; dan (c) hukum diterapkan terhadap pihak yang dikuasai, yang dimensi keharusannya diketatkan melalui pembebanan sanksi terhadap pelakunya”.

Sementara itu “karakter hukum yang bersifat empirikal- sosiologis sedikit banyak dipengaruhi oleh paham sociological jurisprudensi yang digagas oleh filsuf sekaliber Eugen Ehrlich dan Roscou Pound. Paham Sociological Jurisprudence ini sangat dipengaruhi paham realisme hukum yang dikembangkan oleh Oliver Holmes. Menurut paham ini, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukum dan (antitesis) Mazhab Sejarah”.

Eugen Ehrlich memandang “semua hukum sebagai hukum sosial, tetapi dalam arti bahwa semua hubungan hukum ditandai oleh faktorfaktor sosial ekonomis”. Menurutnya, “terdapat perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat di lain pihak. Hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi. Bagi Ehrlich, hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sosial tertentu atau sesuai kenyataan hukum masyarakat”. Sementara Roscoe Pound berpandangan bahwa

“hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat

50 65

137

196

(law as a tool of social engineering). Hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial”.

Di Indonesia pikiran-pikiran Eurlich dan Pound dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang diramunya ke dalam suatu teori yang dikenal dengan teori hukum pembangunan atau dikenal dengan mahzab Unpad. Teori tersebut dirumuskan Mochtar bertolak dari “kenyataan kemasyarakatan dan situasi kultural di Indonesia, serta kebutuhan riil masyarakat Indonesia, yang kemudian dijadikan landasan atau kerangka teoritis bagi pembinaan hukum nasional”. Dalam pandangan Otje Salman, “ada dua aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori hukum ini, yaitu:

Pertama, ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat perubahan masyarakat. Kedua, dalam kenyataan di masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan alam pemikiran masyarakat ke arah hukum modern”.

Bangunan teori ini “disamping bersandar pada pandangan tentang hukum dari Eugen Ehrlich dan teori hukum Roscoe Pound dengan filsafat budaya Northrop, juga mengadopsi pendekatan policy oriented Laswell-Mc. Dougal, dan mengolahnya menjadi suatu konsepsi hukum yang memandang hukum sebagai sarana pembaruan, di samping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum”. Menurut Kusumaatmadja, “fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk

5

5 62

174 206

Pengantar Metodologi Penelitian Hukum | 36

berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai sarana pembaharuan masyarakat atau law as a tool of social engeneering atau sarana pembangunan”. Masih menurutnya, “untuk memberikan landasan teoretis dalam memerankan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat serta membangun tatanan hukum nasional yang akan mampu menjalankan peranan tersebut, Mochtar mengajukan konsepsi hukum yang tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga dan proses- proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan”. Oleh karena itu, “diperoleh dua dimensi sebagai inti dari teori ini, yaitu: pertama, ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya; dan kedua, hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan”.

Berkenaan dengan sociological jurisprudensi, Adji Samekto mengungkapkan bahwa, “meskipun sociological jurisprudensi itu sendiri sekalipun sudah melihat pentingnya fakta sosial, namun masih berparadigma positivisme hukum. Sociological jurisprudensi masih mengkonsepsikan hukum yang lahir dari realitas itu sebagai ketentuan hukum yang bersifat netral, tidak berpihak dan impersonal seperti pandangan legal formalism terhadap hukum”.

Dengan kata lain. “ranah kajian sociological jurisprudensi itu, hukum

57

75

bermisi bermisi mencari dan menemukan dasar legitimasi suatu fakta apakah fakta itu bertentang dengan hukum atau tidak, tetapi bermisi menemukan pola-pola keajegan, keteraturan berulang yang menimbulkan opinio juris sive nececitatis, yang akhirnya bisa dimanifestasikan dalam peraturan atau landasan keputusan hakim dalam suatu kasus”.

Bagi Satjipto Rahardjo, “karakter hukum yang empirikal- sosiologis ini justru tidak hanya dipengaruhi paham sociological jurisprudensi, melainkan justru banyak dipengaruhi oleh gerakan studi hukum kritis (critical legal study). Rahardjo menjelaskan bahwa

“pemikiran gerakan studi hukum kritis yang merupakan fenomena post-modernisme dan bentuk respon terhadap pemikiran hukum liberal positivistik yang dianggap gagal. Gerakan studi hukum kritis mengecam doktrin positivisme dengan menyebutnya tak lebih sebagai mitos belaka, karena dalam kenyataannya hukum tidak bekerja dalam ruang hampa, namun sangat ketat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan dimensi sosialnya”. Menurut Friedmann,

“secara radikal gerakan studi hukum kritis menggugat teori, doktrin atau asas-asas seperti netralitas hukum (neutrality of law), otonomi hukum (autonomy of law), dan pemisahan hukum dengan politik (law politics distinction)”. Selain itu, “gerakan studi hukum kritis menolak perbedaan antara teori dan praktik, sekaligus menolak perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value) yang merupakan karakteristik paham liberal. Karena itu, paham ini menolak

2

41

41

Pengantar Metodologi Penelitian Hukum | 38

pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial yang praktis”.

Samekto mengungkapkan bahwa, “critical legal studies pada hakikatnya menawarkan analisis kritis terhadap hukum dengan melihat relasi suatu doktrin hukum dengan realitas dan mengungkapkan kritiknya. Dalam makna lain, hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi sosial, politik, dan ekonomi, serta hukum tidaklah netral dan bebas nilai”. Ditegaskannya pula bahwa “tujuan utama dari studi hukum kritis adalah untuk menghilangkan halangan atau kendala-kendala yang dialami individu-individu yang berasal struktur sosial dan kelas (dalam masyarakat). Dengan hilangnya kendala-kendala itu (diharapkan) individu-individu itu dapat memberdayakan diri untuk mengembangkan pengertian baru tentang keberadaannya serta dapat bebas mengekspresikan pendapatnya”.

Di Indonesia, “pikiran-pikiran Roscoe Pound dan Eugen Ehlich serta pengaruh paham gerakan studi hukum kritis menjadi titik acuan teoritis bagi Satjipto Rahardjo dalam memformulasikan suatu teori hukum yang dikenal di kalangan ilmuwan hukum dengan nama Teori Hukum Progresif. Hukum progresif sebenarnya lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas empirik khususnya di Indonesia berjalan tidak memuaskan. Gagasan hukum progresif muncul karena keprihatinan terhadap kualitas penegakan hukum. Formalitas hukum disinyalir telah menjadi salah satu sebab ambruknya

36

36

36

93 217

penegakan hukum. Akibatnya muncul gelombang perasaan ketidakpuasan masyarakat”.

Menurut Rahardjo, “hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum. Hukum progresif bekerja sangat berbeda dengan cara berhukum yang positif-legalistik. Dalam cara berhukum positivis semata-mata berdasarkan undang-undang atau mengeja undang-undang, yang berjalan secara linear sehingga cara berhukum sudah seperti mesin otomatis. Sebaliknya, cara berhukum progresif tidak berhenti pada membaca teks dan menerapkannya seperti mesin, melainkan suatu aksi atau usaha (effort). Cara berhukum memang dimulai dari teks, tetapi tidak berhenti hanya sampai di situ melainkan mengolahnya lebih lanjut, yang disebut aksi dan usaha manusia”. Dengan demikian, “cara berhukum secara progresif itu lebih menguras energi baik pikiran maupun empati dan keberanian.

Cara berhukum yang demikian itu bersifat non-linear oleh karena adanya faktor aksi dan usaha manusia yang terlibat di dalamnya.

Masuknya faktor manusia itu menyebabkan bahwa berhukum itu tidak mengeja teks, melainkan penuh dengan kreativitas dan pilihan- pilihan”.

Dengan demikian, “hukum progresif dalam berolah ilmu memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan manusia.

Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih saying serta kepedulian terhadap sesama”. Jadi, “asumsi dasar hukum

13

28

Pengantar Metodologi Penelitian Hukum | 40

Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif, tetapi untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status law in the making (hukum selalu berproses untuk menjadi)”.

Dengan kata lain, “dalam gagasan hukum progresif, hukum itu adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, kendatipun berhukum itu dimulai dari teks, tetapi selanjutnya pekerjaan berhukum itu diambil-alih oleh manusia. Artinya, manusia itulah yang akan mencari makna lebih dalam dari teks-teks aturan dan kemudian membuat putusan”. Romli Atmasasmita menambahkan bahwa “hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu. Lebih dari itu hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making)”.

Dalam perkembangannya, “Teori Hukum Pembangunan dari Prof.

Mochtar Kusumaatmadja dan Teori Hukum Progresif dari Prof.

Satjipto Rahardjo, direkontruksi oleh Prof. Romli Atmasasmita dengan Teori Hukum Integratif-nya. Tak jauh beda dengan dua teori sebelumnya, guru besar Universitas Padjadjaran ini pun bertolak dari realitas keseharian. Argumen akademis Teori Hukum Integratif amat dipengaruhi oleh situasi hukum masa kini yang sarat ketidakadilan, ketimpangan, dan jauh dari kesejahteraan. Memang,

68

160

kalau dibandingkan dengan dua teori itu, titik tolaknya lain:

Indonesia selepas Reformasi 1998, di mana setan globalisasi dan kapitalisme menghinggapi seluruh bidang kehidupan, termasuk hukum. Inti pemikiran teori tidak lain adalah merupakan perpaduan pemikiran dari kedua teori hukum sebelumnya yang

terinspirasi oleh konsep hukum menurut Hart dan disesuaikan dengan tradisi hukum Indonesia yang berparadigma Pancasila”.

Menurut Atmasasmita, “teori hukum integratif memberikan pencerahan mengenai relevansi dan arti penting hukum dalam kehidupan manusia Indonesia dan mencerminkan bahwa hukum sebagai sistem yang mengatur kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kultur dan karakter masyarakatnya serta letak geografis lingkungannya serta pandangan hidup masyarakat.

Keyakinan teori ini adalah fungsi dan peranan hukum sebagai sarana pemersatu dan memperkuat solidaritas masyarakat dan birokrasi dalam menghadapi perkembangan dan dinamika kehidupan, baik di dalam lingkup NKRI maupun di dalam lingkup perkembangan internasional”. Selanjutnya, “dalam konteks tantangan global, teori ini dapat digunakan untuk menganalisis, mengantisipasi dan merekomendasikan solusi hukum yang tidak hanya mempertimbangkan aspek normatif, melainkan juga aspek sosial, ekonomi, politik dan keamanan nasional dan internasional”.

26

105

Pengantar Metodologi Penelitian Hukum | 42

Bab 3

Objek Kajian Dan Pendekatan Dalam

Penelitian Hukum

Bab 3

Objek Kajian Dan Pendekatan Dalam Penelitian Hukum A. Penelitian Hukum Normatif

1. Objek Kajian

Ditinjau dari objek kajiannya, penelitian hukum normatif dapat dibagi ke dalam 7 (tujuh) jenis, sebagai berikut:

a. Penelitian asas-asas hukum:

Penelitian hukum ini merupakan “suatu penelitian hukum yang dikerjakan dengan tujuan menemukan asas atau doktrin hukum positif yang berlaku”. Penelitian terhadap asas hukum dapat juga disebut “penelitian menarik asas hukum atau mencari asas-asas hukum yang dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis, baik yang dirumuskan secara tersirat maupun tersurat”. Dalam studi ilmu hukum, kajian tentang asas hukum menempati posisi penting, karena asas hukum menjadi dasar kelahiran dan fondasi dari banguan peraturan perundang-undangan.

Satjipto Rahardjo memaknai “asas hukum sebagai ratio legis atau jantungnya peraturan hukum. Dikatakan demikian karena asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum”. Hal senada ditegaskan Yudha Bhakti, “asas hukum adalah konsep-konsep dasar pembimbing bagi pembentukan hukum, yang dalam proses pembentukan hukum dijabarkan lebih lanjut dan dikonkritkan. Dengan kata lain, asas hukum adalah dasar normatif pembentukan hukum, tanpa asas hukum, hukum positif tak

49 66

146

191

Pengantar Metodologi Penelitian Hukum | 44

memiliki makna apa-apa, dan kehilangan watak normatifnya, yang pada gilirannya asas hukum membutuhkan bentuk yuridis untuk menjadi aturan hukum positif”.

Lebih lanjut Rahardjo mengungkapkan bahwa “dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan dari peraturan-peraturan, melainkan mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis. Karena itu, asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya”. Bahkan menurutnya, “asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan suatu peraturan- peraturan selanjutnya”. Oleh karena itu harus diakui bahwa asas hukum mengambil tempat sentral dalam hukum positif.

Dalam penelitian ini, “asas-asas hukum itu dipertanyakan, dari manakah asas hukum tersebut ditarik atau berasal? Faktor- faktor apa sajakah yang mempengaruhinya?”. Contoh penelitian ini misalnya penerapan asas contrarius actus dalam sengketa sertifikat ganda atau penerapan asas diskresi oleh kepolisian dalam sistem penegakan hukum pidana Indonesia. Bagi seorang mahasiswa hukum pada tingkatan pascasarjana, penelitian terhadap asas-asas hukum ini penting untuk melakukan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan atau untuk melakukan anotasi terhadap putusan-putusan hakim, apakah telah sesuai dengan asas hukum yang berlaku atau tidak.

41 49

49 103

110

Menurut Amiruddin dan Asikin, kegiatan penelitian hukum jenis ini meliputi:

“(1) memilih pasal-pasal yang berisikan kaidah-kaidah hukum yang menjadi objek penelitian. Misalnya, memilih pasal-pasal yang mengatur tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, seperti Pasal 44, 48, 49, 50, dan Pasal 51 KUHP; (2) klasifikasikan pasal-pasal tersebut, seperti gila, belum dewasa, keadaan terpaksa, melaksanakan perintah atasan, dsb-nya; (3) analisis pasal-pasal tersebut dengan menggunakan asas-asas hukum yang ada, dan kemudian; (4) konstruksikan dengan ketentuan: mencakup semua bahan hukum yang diteliti; konsisten, estetis; dan sederhana dalam perumusannya”.

b. Penelitian sistematika hukum

Penelitian terhadap sistematika hukum dapat dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis.

Fokusnya kata Amiruddin dan Asikin “bukan pada peraturan perundang-undangan dari sudut teknis penyusunannya, melainkan pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam peraturan perundangundangan yang akan diteliti”. Jadi, penelitian terhadap sistematika hukum merupakan penelitian yang mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok/dasar dalam hukum, yang objeknya meliputi subjek hukum, hak dan kewajiban, hubungan hukum, objek hukum atau peristiwa hukum dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut Bambang Sunggono, “penelitian ini penting artinya karena masing-masing pengertian pokok/dasar tersebut mempunyai arti tertentu dalam kehidupan hukum, misalnya; pengertian

27

45 47

138

176

188

Pengantar Metodologi Penelitian Hukum | 46

pokok/dasar peristiwa hukum yang mempunyai arti penting dalam kehidupan hukum, mencakup keadaan (omstandigheden) kejadian (gebeurtenissen); dan perilaku atau sikap tindak (gedragingen)”.

Apabila dikembangkan, keadaan (omstandigheden) misalnya dapat memiliki sifat, yaitu: (i) alamiah, misalnya dalam Pasal 362 dan 363 KUHP; (ii) psikis, misalnya dalam Pasal 44 KUHP; dan (iii) sosial, misalnya dalam Pasal 49 KUHP. Penelitian ini bermanfaat tidak saja bagi pendidikan hukum, tetapi juga untuk menilai peraturan perundang-undangan. Selain itu, penelitian ini juga berguna bagi penegak hukum. Contoh, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri menurut UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri.

Lebih lanjut Philipus M. Hadjon menegaskan bahwa dalam usaha mengkaji sistematika peraturan perundang-undangan, ada 4 (empat) prinsip penalaran yang perlu diperhatikan, yaitu:

pertama, Derogasi, yaitu menolak suatu aturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi; kedua, Nonkontradiksi, yaitu tidak boleh menyatakan ada-tidaknya suatu kewajiban dikaitkan dengan suatu situasi yang sama;

ketiga, Subsumsi, yaitu adanya hubungan logis antara dua aturan dalam hubungan aturan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah; dan keempat, Eksklusi, yaitu tiap sistem hukum diidentifikasikan oleh sejumlah peraturan perundangundangan”.

Dalam tataran aplikasinya, “kegiatan yang pertama adalah mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang menjadi fokus penelitian. Selanjutnya dikalsifikasikan berdasarkan kronologis dari bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut. Kemudian analisis dengan menggunakan pengertian-pengertian dasar dari

89

123

150

sistem hukum, yang mencakup: subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek hukum. Pada titik ini yang dianalisis, hanya pasal-pasal yang isinya mengandung kaidah hukum, kemudian lakukan konstruksi dengan cara memasukkan pasal-pasal tertentu dalam kategorikategori berdasarkan pengertian dasar dari sistem hukum tersebut”.

c. Penelitian taraf sinkronisasi hukum

Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti keserasian hukum positif agar tidak bertentangan berdasarkan hierarki peraturan perundangundangan. Jadi di sini yang diteliti adalah “sampai sejauh mana hukum positif tertulis atau peraturan perundang-undangan yang ada itu sinkron atau serasi satu sama lain”. Pada umumnya teori yang digunakan pengkaji hukum dalam menguji taraf sinkronisasi peraturan perundangundangan adalah stufenbau theory dari Hans Kelsen. Menurut teori ini, “norma hukum itu berjenjang dan berlapis- lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif”.

Telaah atas derajat sinkronisasi dari suatu peraturan perundangundangan ini pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni secara vertikal dan secara horizontal. “Secara vertikal,

2

53

159

Pengantar Metodologi Penelitian Hukum | 48

derajatnya berbeda yang mengatur bidang yang sama. Sementara secara horizontal, di mana yang dianalisa adalah peraturan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama”. Sinkronisasi vertikal misalnya dilakukan untuk menguji keserasian atau kesesuaian norma antara Peraturan Menteri dengan Undang-Undang yang mengatur norma yang sama. Sedangkan sinkronisasi horizontal misalnya dilakukan untuk menguji keserasian atau kesesuaian norma antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain yang mengatur norma yang sama.

Dengan perkataan lain, apabila sinkronisasi peraturan perundangundangan itu ditelaah secara vertikal, berarti akan dilihat bagaimana hierarkhinya. Untuk itu perlu bagi mahasiswa hukum untuk memperhatikan dengan benar asas-asas peraturan perundang-undangan, yaitu: (i) undang-undang tidak berlaku surut (asas retrokatif); (ii) asas lex superior derogat legi inferiori, (iii) asas lex specialis derogat legi generali, (iv) asas lex posterior derogat legi priori, dan (v) asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

Sementara “apabila sinkronisasi peraturan perundangundangan hendak ditelaah secara horizontal, yang diteliti adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten”. Penelitian ini juga “disamping mendapatkan data yang lengkap dan menyeluruh mengenai perundang-undangan tertentu, juga dapat mengungkapkan kelemahankelemahan yang ada pada perundang- undangan yang mengatur bidangbidang tertentu. Dengan demikian,

33

102

peneliti dapat membuat rekomendasi agar perundang-undangan tersebut dilakukan amandeman”.

d. Penelitian perbandingan hukum

Dalam penelitian ini, peneliti membandingkan suatu sistem hukum atau lembaga hukum tertentu dengan sistem hukum atau lembaga hukum tertentu lainnya. Terkait hal ini, Wahyono Darmabrata menjelaskan:

Apabila yang diperbandingkan adalah sistem hukum tertentu, diperbandingkan dengan sistem hukum tertentu yang lain, maka hal itu merupakan perbandingan hukum umum, sedangkan jika yang diperbandingkan adalah lembaga hukum tertentu yang diperbandingkan dengan lembaga hukum tertentu yang lain, maka hal itu merupakan perbandingan hukum khusus.

Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk menemukan unsur-unsur yang merupakan persamaan, sekaligus perbedaannya. Bahkan berkaitan dengan hal tersebut, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa:

“Penelitian terhadap perbandingan hukum ini dapat dilakukan atas dasar keinginan, antara lain untuk: (1) menunjukkan perbedaan dan persamaan yang ada diantara sistem hukum atau bidang-bidang hukum yang dipelajari; (2) menjelaskan mengapa terjadi persamaan atau perbedaan yang demikian itu, faktor-faktor apa yang menyebabkannya;

(3) memberikan penilaian terhadap masingmasing sistem yang digunakan; (4) memikirkan kemungkinankemungkinan apa yang bisa ditarik sebagai kelanjutan dari hasilhasil studi perbandingan yang telah dilakukan; (5) merumuskan kecenderungan-kecenderungan yang umum pada perkembangan hukum, termasuk di dalamnya irama dan keteraturan yang dapat dilihat pada perkembangan hukum

47

187

Dalam dokumen Similarity Report (Halaman 41-52)