UNDANG-UNDANG JALAN
4. Pengelompokan Jalan Umum Menurut Kelas
Berbeda dengan pengertian kelas jalan yang selama ini dikenal dalam peraturan perundang- undangan tentang lalu lintas dan angkutan jalan (UU No. 14/1992 dan PP No. 43/1993) yang membagi jalan dalam beberapa kelas dengan didasarkan pada kebutuhan transportasi, pemilihan moda dengan mempertimbangkan keunggulan karakteristik masing-masing moda, perkembangan teknologi kendaraan bermotor, muatan sumbu terberat kendaraan bermotor serta konstruksi jalan, yakni jalan kelas I, II, III A,III B, dan III C, maka kelas jalan yang dimaksud dalam UU No. 38/2004 tersebut didasarkan pada spesifikasi penyediaan prasarana jalan yang mencakup sifat lalu lintas yang dilayani, pengendalian jalan masuk, jumlah lajur, median, dan lebar jalur lalu lintas.
Pengelompokan jalan sesuai kelas jalan yang berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan tersebut terdiri dariJalan Bebas Hambatan(Freeway), Jalan Raya(Highway), Jalan Sedang(Road),danJalan Kecil (Street).
3.6. KEWENANGAN PENYELENGGARAAN JALAN
Berbeda dengan UU No. 13/1980 yang wewenang pembinaan jalan diberikan kepada Pemerintah (Pusat) dan kemudian sebagian wewenang tersebut kepada pemerintah daerah melalui proses penyerahan wewenang, UU No. 38/2004 telah memberikan wewenang penyelenggaraan jalan secara tegas kepada Pemerintah (Pusat) dan pemerintah daerah tanpa melalui proses penyerahan wewenang, sekalipun UU ini juga mengatur penyerahan sebagian wewenang Pemerintah kepada pemerintah daerah seperti sebagian wewenang pembangunan Jalan Nasional yang dapat dilaksanakan kepada pemerintah daerah. Hal ini merupakan upaya secara nyata desentralisasi penyelenggaraan jalan serta terwujudnya otonomi daerah sesuai amanat peraturan perundang-undangan bidang pemerintahan daerah.. Dengan pembagian wewenang penyelenggaraan jalan antara Pemerintah dan pemerintah daerah secara jelas tersebut dimaksudkan agar diperoleh hasil penanganan jalan yang memberikan pelayanan yang optimal melalui penyelenggaraan jalan yang terpadu dan bersinergi antarsektor, antardaerah dan antarpemerintah serta masyarakat.
Wewenang penyelenggaraan jalan tersebut secara tegas diatur sebagai berikut:
1. Wewenang Pemerintah mencakup penyelenggaraan Jalan Nasional, dan penyelenggaraan jalan secara umumyakni penyelenggaraan jalan secara makro untuk seluruh status jalan (nasional, provinsi, kabupaten, kota, dan desa),;
2. Wewenangpemerintah provinsimeliputi penyelenggaraanJalan Provinsi;
3. Wewenang pemerintah kabupaten meliputi penyelenggaraan Jalan Kabupaten dan Jalan Desa;
4. Wewenangpemerintah kotameliputi penyelenggraanJalan Kota;
Sekalipun pembagian wewenang secara umum telah diatur seperti di atas, namun secara khusus dalam UU ini diatur juga pelaksanaan maupun penyerahan sebagian wewenang penyelenggaraan jalan sebagai berikut:
1. Sebagian wewenang Pemerintah di bidang pembangunan Jalan Nasional yang mencakup perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan pemeliharaannya dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai peraturan perundang-undangan (seperti melalui dekonsentrasi dan atau tugas pembantuan);
2. Dalam hal pemerintah provinsi belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya, pemerintah provinsi dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada Pemerintah;
3. Dalam hal pemerintah kabupaten/kota belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya, pemerintah kabupaten/kota dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah provinsi.
Penyerahan wewenang pemerintah provinsi kepada Pemerintah dan wewenang pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi tersebut bertujuan agar peran jalan dalam melayani kegiatan masyarakat dapat tetap terpelihara dan keseimbangan pembangunan antarwilayah terjaga.
3.7. KEWAJIBAN MEMPRIORITASKAN PEMELIHARAAN JALAN
Pasal 30 ayat (1) angka b. UU No. 38/2004 menyatakan bahwa penyelenggara jalan wajib memprioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk memepertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.
Sesuai dengan ketentuan tersebut maka tujuan utama dari kewajiban melakukan pemeliharan jalan dengan memberikan skala prioritas paling tinggi tersebut adalah dalam rangka mempertahankan tingkat pelayanan jalan yang ditetapkan.
Kenyataan menunjukkan bahwa pemeliharaan jalan yang tidak memadai mengakibatkan penurunan kondisi jalan yang sangat drastis dan dari segi pelayanan kepada masyarakat,
hal tersebut akan mengakibatkan penurunan tingkat pelayanan masyarakat baik aksesibilitas, mobilitas maupun keselamatan masyarakat.
Dari segi pengguna jalan kondisi jalan yang buruk menyebabkan tingginya kerusakan kendaraan, kecepatan tempuh kendaran yang rendah, penggunaan bahan bakar (termasuk minyak pelumas) dan ban yang boros yang berarti semakin tingginya biaya transportasi.
Sedangkan dari segi penyedia prasarana jalan, semakin buruknya kondisi jalan sebagai akibat pemeliharaan yang tidak memadai, akan mengakibatkan lebih mahalnya biaya rehabilitasi dan rekonstruksi terlebih lagi apabila kondisi tersebut diperburuk dengan rendahnya mutu pekerjaan pembangunan, rehabilitasi, rekonstruksi dan pemeliharaan jalan yang kemudian mengakibatkan kenaikan biaya pemeliharaan yang berlipat ganda dibandingkan dengan apabila pemeliharaan dilakukan dengan baik dan benar.
Selama ini pemrioritasan pemeliharaan jalan hanya terlihat dalam kriteria pemrograman yang hanya sekedar pemberian pendanaan pemeliharaan tanpa melihat kecukupan dana yang dibutuhkan, dengan dalih tidak cukupnya ketersediaan dana yang dibutuhkan, maupun cara-cara penanganan pemeliharaan yang benar yang dapat menjamin tercapainya tujuan pemeliharaan jalan itu sendiri yakni terjagnya tingkat layanan kepada masyrakat seperti yang dibutuhkan.
3.8. STANDAR PELAYANAN MINIMAL
UU ini mewajibkan penyelenggara jalan untuk memenuhi tingkat pelayanan jalan sesuai standar pelayanan yang ditetapkan. Standar pelayanan minimal tersebut yang menunjukkan keandalan pelayanan jalan meliputi standar pelayanan jaringan jalan dan standar pelayanan minimalruas jalan.
Standar pelayananjaringan jalan meliputi aspek aksesibilitas (kemudahan pencapaian), mobilitas, kondisi jalan, keselamatan, sedangkan standar pelayanan ruas jalan meliputi aspek kondisi jalan, dan kecepatan tempuh rata-rata.
Aksesibilitasmerupakan indikator pelayanan yang menunjukkan tersedianya jaringan jalan yang mudah diakses oleh masyarakat dengan ditunjukkan oleh jumlah panjang jalan di satu wilayah dalam kilometer panjang jalan per kilometer persegi luas wilayah (km/km2).
Sedangkan mobilitas merupakan indikator pelayanan yang menunjukkan tersedianya jaringan jalan yang dapat menampung mobilitas masyarakat dengan ditunjukkan oleh jumlah panjang jalan di satu wilayah dalam kilometer panjang jalan per jumlah penduduk wilayah tersebut dalam satuan ribuan jiwa (km/1000 jiwa),
Keselamatan yang menunjukkan indikator pelayananan berupa tersedianya jaringan jalan yang dapat melayani pengguna jalan dengan aman adalah jumlah kejadian kecelakaan di satu wilayah per jumlah pergerakan di wilayah tersebut dalam satuan kendaraan, dalam satu tahun kalender (kejadian/kend/tahun).
Kondisi jalanyang merupakan tersedianya ruas jalan yang dapat memberikan kenyamanan pengguna jalan ditunjukkan dengan nilai kerataan permukaan dan dinyatakan dengan IRI (International Roughness Index)
Kecepatan tempuh rata-rata yang merupakan tersedianya ruas jalan yang dapat memberikan kenyamanan pengguna jalan ditunjukkan dengan perhitungan waktu tempuh rata-rata pada panjang ruas jalan yang dilalui (km/jam)
3.9. LAIK FUNGSI
Dalam rangka memenuhi ketentuan tingkat pelayanan jalan kepada masyarakat, maka setiap ruas jalan yang selesai dibangun dapat dioperasikan setelah dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi secara teknis dan administrasi. Ketentuan laik fungsi tersebut juga berlaku untuk ruas jalan yang sudah beroperasi dengan melakukan uji laik fungsi secara berkala dan atau sesuai kebutuhan selama pengoperasiannya.
Laik fungsi secara teknis meliputi antara lain kelaikan perwujudan bagian-bagian jalan, jalan terowongan, jalan lintas atas, jalan lintas bawah, jalan layang, termasuk bangunan pelengkap, dan perlengkapanan jalan.
Laik fungsi adminstrasi meliputi antara lain kelengkapan dan kelaikan dokumen penetapan aturan perintah dan larangan (APIL), dokumen penetapana titik lokasi perlengkapana jalan, status jalan, kelas jalabn, kepemilikan tanah ruang milik jalan, dan dokumen AMDAL.
Prosedur pelaksanaan uji kelaikan funsgsi dilakukan oleh tim uji laik fungsi yang dibentuk oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan dan terdiri dari unsur penyelenggara jalan dan instansi yang bertugas dan bertanggungjawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Penetapan kaik fungsi oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh tim uji laik fungsi.
3.10. PEMBERIAN IZIN, REKOMENDASI, DISPENSASI DAN PERTIMBANGAN PEMANFAATAN RUANG-RUANG JALAN
Dalam rangka pelayanan kepada masyarakat umum, maka ruang milik jalan dan ruang manfaat jalan selain digunakan untuk kepentingan pengguna jalan, dapat juga dimanfaatkan untuk kepentingan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi jalan seperti:
pemasangan papan iklan, hiasan gapura, dan benda-benda sejenis yang bersifat sementara;
pembuatan bangunan-bangunan sementara untuk kepentingan umum yang mudah dibongkar setelah fungsinya selesai;
penanaman pohon-pohon dalam rangka penghijuan;
penempatan bangunan dan instalasi utilitas seperti telpon, listrik, air minum, gas, pipa limbah dan lainnya yang bersifat melayani kepentingan umum.
Izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan pemanfaatan ruang-ruang jalan dilakukan dengan ketentuan yang akan diatur lebih lanjut dalam PP Jalan antara lain sebagai berikut:
tidak mengganggu kelancaran dan keselamatan pengguna jalan serta tidak membahayakan konstruksi jalan;
sesuai pedoman yang ditetapkan Menteri Pekerjaan Umum; dan
sesuai peraturan perundang-undangan;
3.11. PENYELENGGARAAN JALAN TOL
Dalam rangka mewujudkan keseimbangan dan keserasian perkembangan antardaerah sebagai salah satu tujuan pembangunan prasarana, maka bagian-bagian wilayah yang telah mengalami tingkat perkembangan yang tinggi agar perkembangan wilayah itu maupun wilayah pengaruhnya tidak terhambat perlu dilakukan pengembangan prasarana transportasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan wilayah yang harus dilayaninya.
Pembangunan jalan bebas hambatan merupakan salah satu upaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pengembangan prasarana transportasi tersebut. Melihat kenyataan terbatasnya kemampuan Pemerintah dalam penyediaan dana pembangunan jalan bebas hambatan sementara itu terdapat masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membiayai pengadaan jalan bebas hambatan, maka guna memenuhi kebutuhan prasarana transportasi tersebut ditempuh melalui penyelenggaraan jalan tol.
Penyelenggaraan jalan tol merupakan usaha penyediaan jalan bebas hambatan untuk wilayah yang telah mengalami perkembangan yang tinggi melalui peran serta masyarakat atau dunia usaha tanpa membebani dana pemerintah yang sangat diperlukan untuk mengembangkan prasarana jalan lainnya. Dengan penyelenggaraan jalan yang terpadu dan bersinergi antara pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha tersebut akan diperoleh suatu hasil penanganan jalan yang mampu memberikan tingkat pelayanan yang optimal baik bagi wilayah yang tingkat perkembangannya telah tinggi maupun bagi wilayah pengaruhnya yang tingkat perkembangannya masih perlu dipacu.
Untuk mengatasi hal tersebut telah dilakukan reformasi penyelenggaraan jalan tol dengan mengadakan perubahan pengaturan penyelenggaraan jalan tol yang dituangkan dalam UU No. 38/2004 terutama berkaitan dengan tarif tol, pemisahan antara peran pengaturan (regulator) dan peran pengusahaan (operator), pemberian kesempatan lebih luas bagi semua badan usaha untuk ikut serta dalam pengusahaan jalan tol, pemilihan badan usaha
yang terbuka dan transparan, dan pengadaan tanah yang dapat mewujudkan kepastian usaha.
3.12. POKOK-POKOK PENGATURAN JALAN TOL
Pokok-pokok pengaturan mengenai penyelenggaraan jalan tol dalam UU No. 38/2004 adalah sebagai berikut: