Pada dasarnya tingkat profesional diharapkan memenuhi 3 (tiga) kriteria yakni : a. kemampuan teknis atau apa yang dikenal denganintelligence quotient (IQ);
b. kemampuan emosional atau apa yang dikenal denganemotional quotient (EQ); dan c. kemampuan spiritual atau apa yang dikenal denganspiritual quotient (SQ).
Etika profesi akan merupakan komitmen pribadi seorang profesional dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya untuk tetap memegang teguh nilai-nilai kepatutan dan kejujuran intelektualnya.
Dengan demikian di samping nilai-nilai keilmuan, nilai-nilai kepatutan dan kejujuran dalam bentuk etika profesi merupakan unsur yang paling penting dalam menjalankan penyelenggaraan jasa konstruksi dan hal tersebut memberikan andil besar dalam mewujudkan tujuan pengaturan jasa konstruksi yakni terwujudnya struktur usaha yang kokoh, andal, bersaing tinggi, dan hasil pekerjaan yang berkualitas, serta terwujudnya tertib penyelenggaraan konstruksi.
Kode etik asosiasi pada dasarnya merupakan penjabaran dari prinsip-prinsip dasar norma dan nilai luhur yang menjadi pegangan dalam melaksanakan kegiatan profesi para anggotanya.
Kode etik tersebut akan merupakan tuntunan untuk para anggota asosiasi yang bersangkutan dalam menjalankan tugas-tugas keprofesionalannya pada penyelenggaraan jasa konstruksi dalambebagai situasi dan kondisi
Pelanggaran terhadap kode etik asosiasi akan berakibat dikenakannya sanksi oleh asosiasi yang bersangkutan.
KODE ETIK HPJI:
1. Anggota HPJI wajib bertindak konsekuen, jujur dan adil dalam menjalankan profesinya 2. Anggota HPJI wajib menghormati profesi lain dan tidak boleh merugikan nama baik serta
profesi orang lain.
3. Anggota HPJI wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan tidak merugikan kepentingan umum khususnya yang menyangkut lingkungan.
4. Anggota HPJI setia dan taat pada perturan dan perundang-undangan yang berlaku.
5. Anggota HPJI harus bersedia memberi bimbingan dan pelatihan untuk peningkatan profesionalisme sesama anggota.
6. Anggota HPJI wajib memenuhi baku kinerja dan tanggung jawab profesi dengan integritas tinggi dan tidak akan menerima pekerjaan di luar bidang keahlian teknisnya.
7. Anggota HPJI wajib menjunjung tinggi martabat profesi, bersikap terhormat, dapat dipercaya, dan bertanggung jawab secara profesional berazaskan kaidah keilmuan, kepatutan dan kejujuran intelektual.
8. Anggota HPJI dengan menggunakan pengetahuan & keahlian yang dimilikinya wajib menyampaikan pendapat dan pernyataan dengan jujur berdasarkan bukti dan tanpa membedakan.
Etos kerja professional diartikan sebagai “seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada kesadaran yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total pada paradigma kerja yang integral.
Jansen H Sinamo (2005) memformulasikan etos kerja sebagai 8 (delapan) paradigma kerja atau 8 (delapan) perilaku kerja yakni:
1. Etos 1 Kerja adalah rahmat;
2. Etos 2 Kerja adalah amanah;
3. Etos 3 Kerja adalah panggilan;
4. Etos 4 Kerja adalah aktualisasi;
5. Etos 5 Kerja adalah ibadah;
6. Etos 6 Kerja adalah seni;
7. Etos 7 Kerja adalah kehormatan;
8. Etos 8 Kerja adalah pelayanan;
Dengan adanya Undang-undang Jasa Konstruksi dimaksudkan agar terwujud iklim usaha yang kondusif dalam rangka peningkatan kemampuan usaha jasa konstruksi nasional, seperti: terbentuknya kepranataan usaha; dukungan pengembangan usaha; berkembangnya partisipasi masyarakat; terselenggaranya pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan oleh pemerintah dan/atau masyarakat dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; dan adanya Masyarakat Jasa Konstruksi yang terdiri dari unsur asosiasi perusahaan maupun asosiasi profesi.
Ruang lingkup pengaturan Undang-undang Jasa Konstruksi meliputi : a. Usaha jasa konstruksi
b. Pengikatan pekerjaan konstruksi c. Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi d. Kegagalan bangunan
e. Peran masyarakat f. Pembinaan
g. Penyelesaian sengketa
h. Sanksi
i. Ketentuan peralihan j. Ketentuan penutup
Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk :
a. Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yangkokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yangberkualitas;
b. Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Mewujudkan peningkatanperan masyarakatdi bidang jasa konstruksi.
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan serta pengawasan yang mencakup pekerjaan :
arsitektural;
sipil;
mekanikal;
elektrikal; dan
tata lingkungan.
Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau pelelangan terbatas. Namun dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa tersebut dapat dilakukan dengan carapemilihan langsungataupenunjukan langsung.
Dengan pemilihan atas dasar prinsip yang sehat tersebut, pengguna jasa mendapatkan penyedia jasa yang andal dan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan rencana konstruksi ataupun bangunan yang berkualitas sesuai dengan jangka waktu dan biaya yang ditetapkan. Di sisi lain merupakan upaya untuk menciptakan iklim usaha yang mendukung tumbuh dan berkembangnya penyedia jasa yang semakin berkualitas dan mampu bersaing.
Dibandingkan dengan UU No. 13/1980, maka dalam UU No. 38/2004 disusun dalam rangka memenuhi perubahan-perubahan paradigma yang terjadi dalam masyarakat seperti desentralisasi kewenangan, terwujudnya otonomi daerah, non monopolistik, peningkatan peran masyarakat serta cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang terbuka, transparan dan akuntabel dengan memuat beberapa perubahan penting yang diatur dalam Undang-Undang No. 38/2004 antara lain adalah pengertian penyelenggaraan jalan, wewenang penyelenggaraan jalan, penyelenggaraan jalan tol, pengusahaan jalan tol, pengadaan tanah, dan peran masyarakat
Sesuai dengan kondisi pelaksanaan tugas penanganan jaringan jalan yang diperlukan maka terminologi pembinaan jalan dalam arti kegiatan menangani jaringan jalan dalam UU No.
38/2004 diperluas dan diubah menjadi penyelenggaraan jalan yang mencakup semua aspek penanganan jaringan jalan yakni pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan.
Wewenang penyelenggaraan jalan tersebut secara tegas diatur sebagai berikut:
1. Wewenang Pemerintah mencakup penyelenggaraan Jalan Nasional, dan penyelenggaraan jalan secara umumyakni penyelenggaraan jalan secara makro untuk seluruh status jalan (nasional, provinsi, kabupaten, kota, dan desa),;
2. Wewenangpemerintah provinsimeliputi penyelenggaraanJalan Provinsi;
3. Wewenang pemerintah kabupaten meliputi penyelenggaraan Jalan Kabupaten dan Jalan Desa;
4. Wewenangpemerintah kotameliputi penyelenggraanJalan Kota;
Pasal 30 ayat (1) angka b. UU No. 38/2004 menyatakan bahwa penyelenggara jalan wajib memprioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk memepertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.
Pengaturan penyelenggaraan jalan tol yang dituangkan dalam UU No. 38/2004 terutama berkaitan dengan tarif tol, pemisahan antara peran pengaturan (regulator) dan peran pengusahaan (operator), pemberian kesempatan lebih luas bagi semua badan usaha untuk ikut serta dalam pengusahaan jalan tol, pemilihan badan usaha yang terbuka dan transparan, dan pengadaan tanah yang dapat mewujudkan kepastian usaha.
Sebagian wewenang penyelenggaraan jalan tol oleh Pemerintah yakni sebagian wewenang pengaturan, pengusahaan dan pengawasan jalan tol dilakukan oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang dibentuk oleh, berada di bawah, dan bertanggungjawab kepada Menteri Pekerjaan Umum.
Dalam peraturan perunfdang-undangan mengenai pertanahan, jalan umum termasuk jalan tol merupakan parsarana untuk kepentingan umum. Dengan pengertian tersebut, dalam UU No. 38/2004 pengadaan tanah baik untuk jalan umum bukan tol maupun jalan tol.
Sesuai dengan tuntutan masyarakat serta untuk meningkatkan dayaguna serta hasilguna penyelenggaraan jalan, maka pengaturan penyelenggaraan jalan dalam UU No. 38/2004 memuat juga peran serta masyarakat sebagai berikut:
1. Hak Masyarakat Masyarakat berhak:
memperoleh informasi menegenai penyelenggaraan jalan;
memperoleh manfaat atas penyelenggaraan jalan sesuai standar pelayanan yang ditetapkan;
memperoleh ganti kerugian yang layak akibat kesalahan dalam pembangunan jalan;
mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pembangunan jalan
memberi masukan dalam penyelenggaraan jalan; dan
berperan dalam penyelenggaraan jalan.2. Kewajiban Masyarakat
Masyarakat wajib ikut serta menjaga ketertiban dalam pemanfaatan fungsi jalan.