• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan dan Pembinaan Profesi Guru

Dalam dokumen KATA PENGANTAR (Halaman 40-48)

BAB II. KOMPETENSI GURU PROFESIONAL

A. Prinsip Guru Profesional serta Hak dan Kewajiban

3. Pengembangan dan Pembinaan Profesi Guru

Sebutan guru sebagai pendidik profesional, sebagaimana dalam Pasal 1 (ayat 1) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, dimaksudkan untuk memberikan fungsi kepada guru untuk meningkatkan martabat bangsa dan peran guru sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dengan demikian, kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat jasmani rohani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara demokratis dan bertanggung jawab.

Hal tersebut sesuai dengan amanat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa`untuk memenuhi per- syaratan sebagai tenaga yang profesional, guru harus ber- kualifikasi S-1/D-IV, memiliki kompetensi dan bersertifikat pendidik (Pasal 8). Sementera itu, kompetensi yang dimaksud pada pasal 8 tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompe- tensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profe- sional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Pasal 10).

Hasil survei yang dilakukan oleh Dirjen PMPTK Diknas menyatakan bahwa jumlah guru saat ini sekitar 2,97 juta (ter- masuk guru Kemenag). Guru yang belum berpendidikan S-1 masih sebanyak 3,9%, dan mempunyai kompetensi yang ren- dah. Di samping itu, sebagian besar di antara mereka belum pernah mendapatkan pelatihan-pelatihan untuk menunjang kompetensi dan profesionalismenya sebagai guru. Hal ini diper- buruk lagi dengan makin banyaknya LPTK yang kurang kredibel sehingga menghasilkan lulusan calon guru yang kurang ver- kualitas, yang selanjutnya akan mempengaruhi kualitas atau mutu pendidikan secara umum.

Berdasarkan gambaran di atas, salah satu faktor untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional dan me- ningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh adalah fak- tor guru. Untuk memenuhi tuntutan ini, guru harus mendapat- kan pendidikan atau pelatihan secara terstruktur dan terus- menerus untuk menunjang peningkatan kompetensinya secara berkelanjutan. Demikian pula, guru harus menyadarinya secara penuh bahwa tugas yang diemban tidaklah ringan sehingga perlu berupaya untuk selalu mengembangkan keprofesiolan- nya secara berkelanjutan. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 ten- tang Guru dan Dosen, bahwa kesadaran untuk berupaya me- ningkatkan keprofesiannya secara terus-menerus adalah

merupa-kan salah satu kewajiban yang dibebankan guru seba- gai tenaga pendidik yang profesional. Hal tersebut dikarena- kan guru mempunyai peran yang sangat penting dan strategis terhadap peningkatan mutu siswa dan pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk menunjang itu semua, guru harus selalu meningkatkan kompetensinya dan bisa me- merankan fungsinya secara profesional. Dengan kata lain, untuk meningkatkan mutu pendidikan secara umum diperlukan profesionalitas guru.

Tuntutan untuk menjalankan tugas keguruan secara pro- fesional telah ditegaskan oleh peraturan perundang-undangan, di antaranya dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan dosen, dan dalam PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.

Dalam UUSPN Tahun 2003 Pasal 39 ayat (2) disebutkan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, mela- kukan pembibingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Selain itu, lebih diperkuat lagi dengan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen yang menyatakan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; ayat (2), pengakuan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Pasal 4 pada undang-undang yang sama, menjelaskan bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud di atas berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru seba- gai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Landasan hukum di atas adalah sebagai sebuah dasar kebijakan dalam bidang pendidikan, yang dapat dipahami seba- gai upaya untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang berorientasi pada semangat untuk membangun manusia Indonesia seutuh- nya. Dengan demikian, menjadi guru yang profesional adalah sebagai tuntutan yang harus dilaksanakan oleh semua guru pada semua jenjang pendidikan formal.

Banyak pendapat tentang ciri-ciri profesi. Menurut Lieber- man dalam Saud (2009:9–12) misalnya, ciri-ciri profesi itu men- cakup hal-hal berikut. Profesi merupakan pelayanan: (1) yang penting, pasti, dan unik, (2) menekankan kemampuan kerja intelektual, (3) membutuhkan pelatihan khusus yang cukup lama, (4) memiliki otonomi individual dan kelompok, (5) memi- liki tanggung jawab personal terhadap keputusan dan tindakan yang diambil, (6) memiliki organisasi yang mandiri, dan (7) memiliki kode etik dalam pekerjaannya.

Berbeda dengan Lieberman, Langford dalam Saud (2009:

9-12) memberikan enam ciri profesi:

1) menuntut kegiatan yang penuh,

2) adanya keterampilan khusus melalui persiapan yang lama, 3) adanya motivasi yang tinggi atau semacam panggilan

sehingga ada ikatan, 4) penuh tanggung jawab, 5) adanya organisasi, dan

6) ada pengakuan dari masyarakat.

Di samping itu, menurut Association for Educational and Technology dalam Saud (2009: 13), bahwa profesi mempunyai tujuh kriteria:

1) adanya suatu tolok ukur dan ikatan etika, 2) adanya kemungkinan karier yang jelas,

3) adanya asosiasi dan terjadinya komunikasi antar anggota seprofesi,

4) adanya pengakuan dari masyarakat terhadap layanan sebagai suatu profesi,

5) adanya tanggung jawab yang jelas,

6) mengadakan hubungan dengan profesi-profesi yang relevan, dan

7) adanya latihan khusus dan sertifikasi.

Dengan bahasa yang hampir sama, Ellis (1995:137) me- nyatakan bahwa profesi membutuhkan beberapa tuntutan sebagai berikut.

1) Memiliki dasar disiplin keilmuan yang mendasari profe- sinya;

2) Masuk ke salah satu organisasi profesi yang terkait;

3) Pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan profesi dan memiliki lisensi sebagai praktis (seperti program Akta IV, dari penulis);

4) Bisa dikenai sanksi atas pelanggaran etika profesinya;

5) Ada usaha menuju ke pengembangan diri sehingga harus memiliki ilmu alat (seperti ilmu bahasa, dan pengetahuan lain yang mendukung profesinya, dari penulis) untuk mendalami keilmuan dan profesinya;

6) Ada kode etik dan pertanggunganjawab atas profesinya tersebut;

7) Memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat;

8) Memiliki saluran komunikasi di antara anggota seprofesi (seperti majalah, dari penulis); dan

9) Ada jaminan mutu (Quality Assuramce) terhadap profe- sinya.

Ciri-ciri dan tuntutan profesi sebagaimana dikutip di atas, profesi mencakup banyak hal, seperti: pendidikan, pelatihan, pengembangan, kode etik, saluran komunikasi, tanggung ja- wab, sanksi, asosiasi, media, dan pengakuan masyarakat.

Dengan demikian, profesi adalah tugas yang multidimensi.

Menurut National Education Assiciation/NEA dalam Saud (2009:16), syarat profesi guru menunjukkan bahwa guru meru-

pakan jabatan yang: (1) melibatkan kegiatan intelektual, (2) menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus, (3) memer- lukan persiapan profesional yang lama, (4) memerlukan ―latihan dalam jabatan‖ yang berkesinambungan, (5) menjanjijan karier hidup dan keanggotaan yang permanen, (6) menentukan baku standard sendiri, (7) mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi, dan (8) mempunyai organisasi yang kuat dan terjalin erat.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Ditjen PMPTK da- lam Baedowi (2009:112) disebutkan bahwa secara umum kebanyakan guru di Indonesia mempunyai kualitas yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa guru-guru di Indonesia belum mampu melakukan inovasi pembelajaran.

Fenomena ini terjadi karena guru-guru di Indonesia belum ba- nyak yang mendapatkan pembinaan dan pengembangan pro- fesi guru. Salah satu bentuk pengembangan profesi guru agar mereka mampu melakukan inovasi pembelajaran adalah dengan melakukan Penelitian Tindakan kelas (PTK). Sementara ini, sebagian besar guru-guru belum atau tidak pernah melaku- kan PTK secara komprehensif yang ditujukan untuk pengem- bangan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Umumnya, kegiatan PTK dilakukan hanya sebatas untuk meme- nuhi persyaratan kenaikan pangkat, sehingga hanya untuk mengejar tujuan pragmatis yang belum berpijak pada para- digma penelitian yang benar untuk mencarai solusi terhadap problem yang muncul terkait dengan aspek-aspek pembelajar- an. Dengan kata lain, hasil yang diperoleh belum bisa dijadikan acuan dalam melakukan perbaikan pembelajaran di kelas.

Ada beberapa sebab mengapa guru-guru masih belum memiliki kesadaran akan pentingnya melakukan PTK, salah satu diantaranya karena guru-guru belum memahami hakikat dan filosofi arti pentingnya pembinaan guru melalui penelitian tindakan kelas (Mulyasa, 2011). Sedangkan menurut (Usman, 2011), kurangnya kesadaran guru-guru dalam melaksanakan

PTK lebih disebabkan kurangnya dorongan pemerintah dalam pembinaan guru terutama guru-guru yang berada di wilayah 3 T, terutama dalam penyediaan anggaran yang memadai untuk mendukung pengembangan guru dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anif (2015), kaitannya dengan kurangnya kesadaran guru untuk melakukan inovasi pembelajaran di kelas melalui penelitian tindakan kelas disebabkan kurang adanya budaya penelitian dikalangan guru-guru di Indonesia, tidak saja penelitian tindak- an kelas namun penelitian pendidikan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena sebelum munculnya Permen PAN dan RB nomor 16 tahun 2009 tentang ―Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya‖sistem regulasi kenaikan pangkat maupun kenaikan jabatan fungsional guru tidak berbasis pada karya guru dari hasil penelitian sehingga budaya penelitian dikalang- an guru termasuk rendah.

Namun setelah tahun 2009 dengan munculnya Permen PAN dan RB tersebut, kenaikan jabatan fungsional guru telah diatur demikian rupa sehingga guru yang akan mengajukan kenaikan jabatan fungsionalnya salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah karya ilmiah hasil dari penelitian, termasuk penelitian tindakan kelas (PTK). Selanjutnya menurut Anif (2015), meskipun telah ada regulasi yang mengatur jabatan fungsional guru tetapi belum diimbangi dengan aktivitas pem- binaan dalam bentuk pelatihan-pelatihan penelitian bidang pendidikan serta masih terbatasnya pendanaan dari pemerintah menyebabkan budaya penelitian di kalangan guru masih rendah.

Selanjutnya Anif (2015) mengatakan bahwa kebijakan Pemerintah tentang 20% anggaran pendidikan dari total APBN dan APBD Propnsi maupun Kota/Kabupaten belum berjalan sebagaimana yang diharapkan dan sebaian besar masih diman- faatkan untuk gaji gaji guru dan pengembangan sarpras pendi- dikan. Dengan kata lain, kebijakan 20 % anggaran pendidikan

tersebut belum menyentuh pemanfataannya untuk peningkatan kualitas personal guru terutama yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan guru dalam melakukan penelitian pendidikan sehingga belum dapat menunjang adanya budaya meneliti dikalangan guru kita, yang selanjutnya akan berimpli- kasi pada rendahnya kualitas pembelajaran.

Budaya meneliti pasti berkaitan dengan budaya menulis ibarat dua sisi mata uang karena kegiatan penelitian pasti akan menghasilkan satu konsep atau pengetahuan baru yang bisa dijadikan sebagai bahan pengembangan materi ajar. Bahkan hasil dari sebuah penelitian dapat di publish melalui jurnal ilmiah yang tentunya harus diimbangi dengan kemampuan menulis artikel jurnal. Dengan demikian kemampuan meneliti dan kemampuan menulis adalah sebuah kompetensi yang komprehensif dan harus dimiliki oleh guru profesional atau guru pasca sertifikasi. Dua kemampuan tersebut dalam PP Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, termasuk dalam ranah kompetensi dari empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yaitu kompetensi profesional.

Usaha-usaha peningkatan kompetensi guru (4 kompe- tensi) yang mestinya menjadi tugas Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tampaknya belum dapat berjalan dengan optimal karena terkendala oleh pendanaan dari pemerintah yang kurang memadai di samping belum menjadi program yang sifatnya prioritas terutama bagi guru profesional (guru pasca sertifikasi).

Guru yang telah lulus sertifikasi yang kemudian menyan- dang sebutan sebagai guru profesional seolah-olah otomatis mereka memiliki kemampuan kompetensi yang baik (terutama kompetensi profesional dan pedagogi) dan akan terpengaruh pada peningkatan kinerjanya. Anggapan dan pandangan ter- sebut ternyata tidak semuanya benar karena dalam berbagai survei menunjukkan bahwa sertifikasi yang dilaksanakan melalui melalui PLPG yang hanya 9 hari tersebut belum mampu me-

ningkatkkan profesionalisme guru secara signifikan , sehingga belum dapat meningkatkan kinerja guru sebagaimana yang diharapkan. Hasil dari berbagai kenyataan inilah yang akhirnya oleh sebagian pakar pendidikan yang menilai bahwa sertifikasi guru yang dilaksanakan pemerintah mulai tahun 2007 tersebut dinilai gagal dan sekarang telah diganti dengan PPG (pendidik- an profesi guru). Artinya, guru yang telah lulus sertifikasi dan menyandang sebagai guru profesional belum tentu kinerjanya meningkat.

Dalam dokumen KATA PENGANTAR (Halaman 40-48)

Dokumen terkait