BAB II. KERANGKA TEORI
D. Pengertian Anak
49
dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti. 26 Berdasarkan keterangan Anda, dalam pencurian tersebut barang bukti sudah hilang, yang ada hanyalah saksi dan pengakuan dari pelaku.
Saksi dan pengakuan dari pelaku merupakan alat bukti, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut. Alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Untuk dapat membuktikan pelaku bersalah atau tidak, dibutuhkan keyakinan hakim yang didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah bahwa terdakwa memang bersalah melakukan tindak pidana tersebut sebagaimana disebut dalam Pasal 183 KUHAP.
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
50
Pengertian anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak dapat diartikan sebagai keturunan yang kedua, anak juga memiliki pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu juga anak pada hakekatnya seorang yang berada pada masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.
Beberapa Hukum Positif di Indonesia memberikan pengertian yang authentik tentang anak, pada umumnya pengertian anak adalah mereka-mereka yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, hal ini dapat dilihat dari beberapa peraturan sebagai berikut :
a. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam pasal 1 butir 1 pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Pasal 1 Ayat 1 pengertian Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berumur 8 tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Dalam Pasal 1 Ayat 2 anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
d. Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa : “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak
51
kawin sebelumnya”. Pengertian pada pasal 330 KUHPerdata menunjukkan kedudukan seseorang yang masih dikategorikan sebagai anak-anak.
Dalam hukum positif Indonesia, Anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age) atau disebut juga orang yang dalam pengawasaan wali. Pengertian itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia, kronologis menurut hukum dapat berbeda beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa. Hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak. Perbedaan pengertian anak disebut dapat kita lihat dalam tiap aturan perundang undangan yang ada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.27
Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “Anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang di bawah umur/keadaan di bawah umur (minderjarigheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij). Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut di atas ternyata hukum positif Indonesia tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak 28(Lilik Mulyadi 2005: 3).
27Abdulsalam, R. 2007. Sistem peradilan pidana. Jakarta : Restu Agung. Hlm. 93
28 Lilik Mulyadi. Pengadilan Anak DI Indonesia (Bandung: Penebit Maju Mundur, 2005) hal. 3
52
Berbagai macam pengertian anak dalam peraturan perundang- undagan sebagai berikut:
1. Anak menurut hukum pidana.
Menurut pasal 45 KUHPidana mendefinisikan bahwa:
“Anak adalah jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh: memerintahkan supaya sitersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya ; walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan, supaya si tersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 492, 496, 497, 503-505, 514, 417, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan; atau menghukum anak yang bersalah itu.
2. Anak menurut Hukum Perdata
Menurut Pasal 330 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata mendefinisikan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin “.
3. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan
53
Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendefinisikan bahwa “seorang pria diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”
4. Anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Dalam pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan :
“Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah; termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingan.”
5. Anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, mendefinisikan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”
6. Anak menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mendefinisikan ; “Anak adalah orang laki- laki dan perempuan berumur 14 tahun ke bawah”
7. Anak Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang peradilan anak
54
Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
8. Anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Walaupun pengertian anak dalam peraturan perundang- undangan beraneka ragam namun dalam Pasal 1 Angka 3 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefinisikan bahwa anak yang berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tidak pidana.
Menurut B. Simanjutak29 berpendat bahwa “usia anak adalah berumur 15 tahun dan dewasa adalah 18 tahun”. Sedangkan batas-batas usia anak menurut Julia D. Gunarsa dan Zakiah Daradjat30 dapat disimpulkan bahwa
“batas umur anak adlah 12 tahun. dengan demikian dewas dimulai setelah usia 21 tahun”.
Beberapa Hukum Positif di Indonesia memberikan pengertian yang authentik tentang anak, pada umumnya pengertian anak adalah mereka-
29 Djoko Prakoso. Hukum Penitensier Di Indonesia. (Jakarta: Liberty. 1988) hal 154
30 Ibid. 154
55
mereka yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, hal ini dapat dilihat dari beberapa peraturan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.Dalam pasal 1 butir 1 pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pengadilan Anak : Dalam pasal 1 Ayat 1 pengertian Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berumur 8 tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Dalam Pasal 1 Ayat 2 anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
d. Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa : “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya”. Pengertian pada pasal 330 KUHPerdata menunjukkan kedudukan seseorang yang masih dikategorikan sebagai anak-anak.
pengertian peradilan anak 1. Pengertian Peradilan Pidana Anak
Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai
56
dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pasal (1) angka 1.
Undang-Undang SPPA menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang tentang Pengadilan Anak tersebut digantikan karena belum memperhatikan dan menjamin kepentingan si anak, baik anak pelaku, anak saksi, dan anak korban. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak hanya melindungi anak sebagai korban, sedangkan anak sebagai pelaku terkadang diposisikan sama dengan seperti pelaku orang dewasa.
Undang-Undang Sistim Peradilan Pidana Anak ini menekankan kepada proses diversi dimana dalam proses peradilan ini sangat memperhatikan kepentingan anak, dan kesejahteraan anak. Pada setiap tahapan yaitu penyidikan di kepolisisan, penuntutan di kejaksaan, dan pemeriksaan perkara di pengadilan wajib mengupayakan diversi berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Sitem Peradilan Pidana Aanak.
Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.
57
Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan. Peradilan Pidana Anak ini menjadikan para aparat penegak hukum untuk terlibat aktif dalam proses menyelesaikan kasus tanpa harus melalui proses pidana sehingga menghasilkan putusan pidana.31 Penyidik kepolisian merupakan salah satu aparat penegak hukum yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Sitem Peradilan Pidana Aanak ini, selain itu ada penuntut umum atau jaksa, dan ada hakim. Dalam Undang- Undang Sitem Peradilan Pidana Aanak ini juga mengatur lembaga yang terkait dalam proses diluar peradilan anak misalnya ada Bapas, Pekerja Sosial Profesional, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), Keluarga atau Wali Pendamping, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang ikut berperan di dalamnya.
2. Prinsip Peradilan Pidana Anak
Prinsip Sistem Peradilan Pidana Anak yang dijelaskan dengan kata asas, karena kata prinsip dan asas memiliki makna yang sama, keduanya dimaknai sebagai suatu dasar hal tertentu. Berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. pelindungan b. keadilan
c. nondiskriminasi
31 Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta : Genta
58
d. kepentingan terbaik bagi Anak 3. Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi Anakyang bermasalah dengan hukum agar dapat menyongsong masa depannya. Selain itu, berkaitan dengan jaminan pemenuhan Hak Asasi Manusia termasuk di dalamnya Hak–hak anak, telah ditetapkan Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal khusus yang mengatur tentang Hak–hak Anak adalah pasal 52-66 dan yang berkaitandengan jaminan perlakuan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum diatur secara khusus pada butir-butir Pasal 66 yang dengan jelas menyebutkan sebagai berikut :
a. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan sanksi yang tidak manusiawi.
b. Sanksi mati atau sanksi seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada pelaku tindak pidana yang masih anak-anak.
c. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
d. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapat perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan
59
pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.
f. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
g. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
Mengenai perlindungan anak, Pasal 64 Undang - Undang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa :
a. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
b. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 dilaksanakan melalui:
1) Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak.
2) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.
3) Penyediaan sarana dan prasarana khusus. d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.
4) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum.
60
5) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga.
6) Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
c. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan melalui:
1) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.
2) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
3) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial.
4) Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, seorang anak yang melakukan suatu tindak pidana disebut anak nakal. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. (Selanjunya disingkat dengan Undang - Undang SPPA) dalam Pasal 1 Angka 2 dan angka 3 menyatakan secara jelas status dan kedudukan anak yang menyebutkan bahwa:
Pasal 1 Angka 2 Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
61
Pasal 1 Angka 3 Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak- Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 Tahun tetapi belum berumur 18 Tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Seseorang dihadapkan ke depan sidang pengadilan pidana, tujuannya adalah untuk membuktikan apakah perbuatan yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan dan pengenaan sanksi hukum pidana yang tepat kepada orang tersebut. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya apabila ia mempunyai kesalahan sehingga perbuatannya patut dicelakakan kepada orang tersebut. Seseorang dikatakan bersalah apabila :
a. Orang tersebut mempunyai kemampuan bertanggungjawab karena keadaan jiwanya normal;
b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa);
c. Tidak terdapat alasan pemaaf atau tidak ada alasan penghapus kesalahan;
4. Pengertian Kejahatan Anak
Dari beberapa literatur yang menerangkan tentang arti kejahatan (delik), maka penulis akan memberikan suatu pengertian. Secara etimologi, istilah kriminologi berasal adri kata “crime” dan “logos”. menyatakan bahwa :
Kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan mengenai kejahatan sebagai gejala sosial, mengemukakan tentang ruang lingkup kriminologi
62
yang mencakup proses perbuatan hukum, dan reaksi sosial atas pelanggaran hukum”.
Demikian pula apa yang diungkapkan oleh Savitri dan John bahwa kriminologi, adalah :
Menurut Andi Zainal Abidin Farid istilah paling tepat adalah delik yang berasal dari bahasa Latin yaitu delictum atau delicta, dengan alasan bahwa:
a. Karena delik bersifat universal, semua orang di dunia mengenalnya;
b. Karena delik bersifat ekonomis karena singkat;
c. Karena tidak menimbulkan kejanggalan seperti peristiwa pidana,
perbuatan pidana (bukan peristiwa pidana, perbuatan pidana yang dipidana tetapi pembuatnya);
d. Karena delik luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh koorporasi, orang mati, orang tidak dikenal menurut hukum pidana ekonomi indonesia.
Unsur-unsur Delik Sebelum dikemukakan pengertian delik pencurian secara Yuridis, terlebih dahulu diuraikan pengertian istilah pencurian. Kata pencurian berasal dari kata dasar curi yang mendapat awalan "p” dan akhiran “an”. Menurut Poerwadarminta, bahwa “Pencurian berasal dari kata dasar curi, yang berarti sembunyi-sembunyi atau diam-diam dan pencuri adalah orang yang melakukan kejahatan pencurian. Dengan demikian
63
pengertian pencurian adalah orang yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi atau diam-diam dengan jalan yang tidak sah.32
Soekanto menyatakan bahwa secara umum pencurian adalah suatu tindakan seseorang dengan melawan hukum mengambil sesuatu barang yang sebahagian atau seluruhnya milik orang lain tanpa sepengetahuan yang berhak33. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa yang dimaksud dengan delik pencurian dapat dilihat dalam pasal 362, yang rumusannya sebagai berikut “.
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk meiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Berdasarkan rumusan pencurian dalam pasal 362 KUHP, maka dapat diketahui pengertian pencurian menurut perundang-undangan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Harus ada perbuatan mengambil;
2. Yang diambil harus sesuatu barang;
3. Barang itu atau seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
4. Dengan maksud untuk memiliki barang dengan melawan hukum (melawan hak).
32 Poerwadarminta, W.J.S. 2004. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
33 Soerjono Soekanto. 2008. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”.
Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
64
Pengertian hendak memiliki menurut Noyon Lengemeyer adalah suatu perbuatan tertentu, suatu niat untuk memamfaatkan suatu barang menurut kehendak sendiri. Sehubungan dengan itu, oleh Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa Pengertian memiliki ialah berbuat sesuatu dengan sesuatu barang seolah-olah pemilik barang itu dengan perbuatan-perbuatan tertentu itu si pelaku melanggar hukum.
Andi Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa, hukum pidana, melawan hukum berarti bertentangan dengan undang-undang, hak orang lain serta bertentangan dengan hukum pidana tertulis (hukum pidana adat).
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, pelaku atau pembuat harus sadar dan mengetahui bahwa barang-barang yang diambilnya adalah milik orang lain, hendak memiliki adalah terwujud dalam kehendak dengan tujuan utama dari pelaku adalah memiliki barang tersebut secara melawan hukum (melawan hak).
5. Terjadinya Kejahatan yang dilakukan Oleh Anak
Sebagaimana kita telah ketahui bahwa Ada beberapa teori tentang sebab musabab terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak, dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) teori, yaitu terjadinya Pencurian yang Dilakukan Oleh Anak
a. Teori Sosiogenecis
Dari berbagai pandangan yang telah kita ketahui, maka kita berpedoman pada teori ini menitik beratkan penelitiannya terhadap faktor-faktor yang bersifat sosiologis (murni) atau sosial psikologis,
65
misalnya struktur sosial, tekanan kelompok dan lain-lain yang bersifat psikologis.
Sebagaimana pandangan Sutherland berpendapat bahwa Anak menjadi deliquent disebabkan oelh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial, yang ide dan teknik deliquent tertentu dijadikan sarana yang efisien untuk mengatasi kesulitannya.
Demikian pula apa yang dikemukakan oleh Alam menyatakan bahwa Orang menjadi jahat karena keadaan lingkungan sosialnya yang mereka jahat. Kalau lingkungan sosialnya baik, maka orang itu menjadi baik pula. Orang atau anak itu menjadi jahat karena bergaul dalam waktu yang lama dengan penjahat, sehingga nilai-nilai yang dimiliki penjahat itu yang dituruti, dan nilai-nilai yang baik dalam masyarakat luas tidak diindahkannya.
Bawengan berpendapat bahwa, faktor lingkungan yang dimaksud disini termasuk kondisi sosial ekonomi, keluarga, serta sarana-sarana imegerasi yaitu fisik dan alam kewijaan misalnya, sex, pendidikan, alkoholisme dan keturunan.
b. Teori Subkultural
Untuk memahami Teori ini lebih banyak memperhatikan aktivitas aktivitas kelompok yang terorganisir dengan sub kulturalnya.
Menurut Kartini Kartono bahwa ada 2 (dua) sebab kejahatan yang dilakukan oleh anak dari segi subkultural, yaitu :
66
1. Bertambahnya dengan cepat jumlahnya kejahatan, dan meningkatnya kualitas kekerasan serta kekejaman yang dilakukan oleh anak-anak yang memiliki subkultural delinquent.
2. Meningkatnya jumlah kriminalitas mengakibatkan sangat besarnya kerugian dan kerusakan secara universal, terutama terdapat di negara- negara industri yang sudah maju, disebabkan oleh meluasnya kejahatan yang dilakukan para pelaku anak-anak.
Sehingga tergambar dalam kaitannya dengan teori sebab-sebab terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak, juga diperlukan sebagai usaha untuk menemukan penyebab terjadinya kejahatan anak, maka masih banyak lagi teori tersebut. Sebagai contoh teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa ada beberapa sebab musabab terjadinya kejahatan secara umum, sebagai berikut :
a. Adanya orientasi pada benda yang menimbulkan keinginan untuk mendapatkan materi dengan jalan mudah;
b. Tidak adanya penyaluran kehendak;
c. Adanya tekanan mental pada orang-seorang;
d. Kurangnya perasaan bersalah, dan adanya keteladanan yang kurang baik.
Berdasarkan dari teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli kriminologi tentang sebab musabab terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak, maka upaya yang dilakukan dalam rangka pembentukan kepribadian anak secara utuh, menurut Simanjuntak antara lain :