• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian pariwisata

Dalam dokumen PANTAI TANJUNG BIRA DI KABUPATEN BULUKUMBA (Halaman 34-49)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

C. Pengertian pariwisata

Secara etimologis pariwisata berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua kata yaitu “Pari” dan “Wisata”. Pari berarti berulang-ulang, berkali-kali atau berputar-putar, sedangkan Wisata berarti perjalanan atau bepergian, jadi pariwisata berarti perjalanan yang dilakukan secara berputar-putar,berulang-ulang atau berkali-kali.

Menurut Soetomo (1994:25) yang di dasarkan pada ketentuan WATA (World Association of Travel Agent = Perhimpunan Agen Perjalanan Sedunia), wisata adalah perjalanan keliling selama lebih dari tiga hari, yang diselenggarakan oleh suatu kantor perjalanan di dalam kota dan acaranya antara lain melihat-lihat di berbagai tempat atau kota baik di dalam maupun di luar negeri.

Undang-undang nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.

Gunawan, M.P. dalam Santoso,(2000 ; 115 ) mengemukakan bahwa pengertian pariwisata adalah kegiatan perjalanan seseorang dan tinggal di tempat lain di luar lingkungan tempat tingganya untuk waktu kurang dari satu tahun terus-menerus, dengan maksud bersenang-senang, berniaga dan keperluan- keperluan lainnya.

Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa pariwisata yaitu suatu kegiatan yang melibatkan orang- orang yang melakukan perjalanan dengan tujuan untuk mendapatkan kenikmatan dan memenuhi hasrat ingin mengetahui sesuatu dalam kurun waktu tertentu dan bukan mencari nafkah.

Suatu perjalanan dianggap sebagai perjalanan wisata jika memenuhi 3 persyaratan yang diperlukan,yaitu :

1. Harus bersifat sementara.

2. Harus bersifat sukarela (voluntary) dalam arti tidak terjadi paksaan.

3. Tidak bekerja yang menghasilkan upah atau bayaran.

Kepariwisataan adalah fenomena politik-sosial-ekonomi-budaya-fisik yang muncul sebagai wujud kebutuhan manusia dan negara serta interaksi antara wisatawan dengan masyarakat tuan rumah, sesama wisatawan, pemerintah dan pengusaha berbagai jenis barang dan jasa yang diperlukan oleh wisatawan.

Menurut Undang-Undang No 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, menyebutkan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidsiplin yang muncul

sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat.

Batasan yang lebih bersifat teknis dikemukakan oleh Prof. Hunzieker dan Prof. K. Krapf, dua guru besar Swiss yang merupakan bapaknya ilmu pariwisata yang terkenal, dimana batasan yang diberikannnya berbunyi sebagai berikut:

"Kepariwisataan adalah keseluruhan daripada gejala-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendalaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan pendalaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara itu”.

Berikut ini adalah beberapa jenis- jenis pariwisata :

1. Wisata Agro ; ragam pariwisata baru yang dikaitkan dengan industri pertanian, misalnya wisata durian pada saat musim durian, atau wisata tani, yakni para wisatawan turun terjun aktif menanam padi dan memandikan kerbau di sungai.

2. Wisata Belanja ; dilakukan karena kekhasan barang yang ditawarkan atau bagian dari jenis pariwisata lain, misalnya bandung dengan pusat Jins di Jl. Cihampelas, Sidoarjo dengan pusat Tas di Tanggulangin.

3. Wisata Budaya ; berkaitan dengan ritual budaya yang sudah menjadi tradisi misalnya mudik lebaran setahun sekali atau ada peristiwa budaya yang digelar pada saat-saat tertentu, misalnya : Sekaten di Surakarta dan Yogyakarta, Ngaben di Bali, Labuhan di Cilacap, pemakaman jenazah di Tana Toraja.

4. Wisata Iklim ; bagi negara beriklim empat, pada saat tertentu benar-benar dilakukan untuk melakukan perjalanan mengunjungi tempat-tempat lain hanya

untuk „berburu‟ panas sinar matahari. Begitu juga untuk masyarakat tropis seperti Indonesia, penduduk kota pantai berwisata ke pegunungan dan sebaliknya.

5. Wisata Karya ; jenis pariwisata yang para wisatawannya berkunjung dengan maksud Dinas atau tugas-tugas lain, misalnya : peninjauan/inspeksi daerah, sigi lapangan.

6. Wisata Kesehatan ; berhubungan dengan maksud penyembuhan suatu penyakit.

7. Wisata Konvensi atau Seminar ; dilakukan dengan sengaja memilih salah satu daerah tujuan wisata (DTW) sebagai tempat penyelenggaraan seminar dikaitkan dengan upaya pengembangan DTW yang bersangkutan.

8. Wisata Niaga ; berkaitan dengan kegiatan perniagaan(usaha perdagangan).

Wisatawan datang karena ada urusan perniagaan di tempat tersebut, misalnya mata niaga atau tempat perundingan niaga ada disana.

9. Wisata Olahraga ; yakni mengunjungi peristiwa penting di dunia olahraga, misalnya pertandingan perebutan kejuaraan, Pekan Olahraga Nasional, Asean Games, Olimpiade, atau sekedar pertandingan persahabatan.

10. Wisata Pelancongan/Pesiar/Pelesir/Rekreasi; dilakukan untuk berlibur, mencari suasana baru, memuaskan rasa ingin tahu, melihat sesuatu yang baru, menikmati keindahan alam, melepaskan ketegangan (lepas dari kesibukan kerja rutin).

11. Wisata Petualangan ; dilakukan lebih ke arah olahraga yang sifatnya menantang kekuatan fisik dan mental para wisatawan.

12. Wisata Ziarah ; dalam katan dengan agama dan budaya. Mengunjungi tempat ibadah atau tempat ziarah pada waktu tertentu, misalnya : waisak di kompleks candi borobudur – Magelang, menyepi di pantai parangkusumo – Yogyakarta,

mengunjungi tempat yang dianggap keramat, ziarah ke makam tokoh-tokoh masyaarakat atau pahlawan bangsa.

13. Darmawisata ; perjalanan beramai-ramai untuk bersenang-senang, atau berkaitan dengan pelaksanaan darma di luar ruangan, atau ekskursi; atau melaksanakan pengabdian kepada masyarakat di luar waktu kerja sehari-hari.

14. Widiawisata (pendidikan) ; perjalanan ke luar (daerah, kampung) dalam rangka kunjungan studi; dilakukan untuk mempelajari seni budaya rakyat, mengunjungi dan meneliti cagar alam dan atau budaya atau untuk kepentingan ilmu selama waktu tertentu, misalnya tugas belajar.

Cohen ( 1984) mengemukakan bahwa dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat local dapat di kategorikan menjadi 8 kelompok besar, yaitu:

1. Dampak terhadap penerimaan devisa 2. Dampak terhadap pendapatan masyarakat 3. Dampak terhadap kesempatan kerja 4. Dampak terhadap harga-harga

5. Dampak terhadap distribusi manfaat/ keuntungan 6. Dampak terhadap pemilikan dan control

7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan 8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah

D. Pengertian Pengelolaan Pariwisata

Pengelolaan pariwisata haruslah mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan yang menekankan nilai-nilai kelestarian lingkungan alam, komunitas, dan nilai

sosial yang memungkinkan wisatawan menikmati kegiatan wisatanya serta bermanfaat bagi kesejahteraan komunitas lokal . Menurut Cox (1985, dalam Dowling dan Fannel, 2003: 2), pengelolaan pariwisata harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

1. Pembangunan dan pengembangan pariwisata haruslah didasarkan pada kearifan lokal dan special local sense yang merefleksikan keunikan peninggalan budaya dan keunikan lingkungan.

2. Preservasi, proteksi, dan meningkatkan kualitas sumber daya yang menjadi basis pengembangan kawasan pariwisata.

3. Pengembangan atraksi wisata tambahan yang mengakar pada khasanah budaya lokal

4. Pelayanan kepada wisatawan yang berbasis keunikan budaya dan lingkungan lokal.

5. Memberikan dukungan dan legitimasi pada pembangunan dan pengembangan spariwisata jika terbukti memberikan manfaat positif, tetapi sebaliknya mengendalikan atau menghentikan aktivitas pariwisata tersebut jika melampaui ambang batas (carryng capacity) lingkungan alam atau akseptabilitas sosial walaupun di sisi lain mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.

Di samping itu, pengelolaan pariwisata harus memperhatikan prinsip-prinsip keseimbangan antar berbagai elemen yang saling berinteraksi dan mempengaruhi.

Prinsip-prinsip keseimbangan yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut (Liu, 1994: 10-11; Buckley, 2004: 5-13):

1. Pembangunan versus konversi

Pariwisata tidak hanya menyangkut bagaimana membangun dan mengelola suatu kawasan menjadi objek wisata, namun mengelolaannya harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan proteksi baik terhadap aspek ekonomi, budaya, dan lingkungan. Keseimbangan antara pembangunan dan konservasi menjadi factor yang esensial bagi keberlanjutan pariwisata

2. Penawaran versus permintaan

Pengelolaan pariwisata harus memperhatikan keseimbangan antara sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand). Penawaran mewakili produk pariwisata seperti taman wisata alam, akomodasi dengan gaya lokal , eko-tur, sarana rekreasi, aktivitas budaya, dan sebagainya. Sedangkan permintaan mengacu kepada pasar pariwisata, yaitu wisatawan tipe apa yang akan disasar, berapa jumlah yang akan berwisata, di mana mereka akan menginap, berapa uang yang akan mereka keluarkan, kegiatan menarik apa yang akan mereka lakukan, dan sebagainya. Menyeimbangkan penawaran dan permintaan merupakan salah satu kunci untuk tetap suksesnya pariwisata. Penekanan salah satu atas lainnya akan membawa masalah di masa yang akan datang.

3. Keuntungan versus biaya

Pengelolaan pariwisata harus memperhatikan dan memastikan bahwa ada keseimbangan distribusi keuntungan dan biaya. Hal ini menyangkut pengembalian investasi yang cukup, pengalokasian fee untuk mengatasi dampak aktifitas pariwisata, pengembalian yang optimal atas biaya sosial, ekonomi dan budaya bagi penduduk lokal , insentif dan besaran pajak yang wajar. Dalam rangka

menciptakan pengelolaan pariwisata yang mampu membiayai diri sendiri perlu disusun kebijakan financial dan fiscal yang wajar disamping juga harus memperhatikan factor non ekonomi seperti biaya dan keuntungan sosial dan lingkungan. Keseimbangan pengelolaan keuntungan dan biaya menjadi salah satu penentu keberlanjutan pariwisata.

4. Manusia versus lingkungan

Tantangan pengelolaan pariwisata dalam mencari keseimbangan antara traditional ways dengan modern practices.Di beberapa kawasan wisata, penduduk lokal kadang belum atau bahkan tidak menerapkan metode konservasi dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya.Hal itu mungkin disebabkan oleh ketersediaan sumber daya yang melimpah di masa lalu. Cepat atau lambat kondisi itu tidak akan dapat bertahan mengingat pertumbuhan penduduk yang begitu cepat yang secara alami akan memerlukan ruang dan sumber daya untuk hidup dan penghidupannya. Keberagaman peristiwa dapat diarahkan sebagai wahana penyeimbang antara kepentingan kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan.

Pariwisata hendaknya menyediakan metode untuk mengelola lingkungan yang lestari baik melalui konsep kawasan konservasi, pembaharuan sumber daya alam, daur ulang, dan sebagainya.

Sebagai respon terhadap adanya perubahn yang bersifat global, maka reformasi birokrasi tata kelola kepariwisataan di Indonesia sudah merupakan kebutuhan yang amat mendesak untuk di lakukan penataan ulang.Reformasi birokrasi kepariwisataan adalah keseluruhan upaya untuk menata ulang, mengubah, menyempurnakan, dan memperbaiki system dan prosedur birokrasi

dibidang kepariwisataan agar menjadi lebih bersih, efisien, efektif, dan produktif serta akuntabel.

Oleh karena itu reformasi birokrasi di sektor kepariwisataan pada hakekatnya memiliki dua tujuan utama yaitu;

1) Menciptakan aparatur kepariwisataan yang bersih, professional, dan bertanggungjawab yang bebas dari praktik KKN dan perbuatan tercela lannya;

2) Menciptakan birokrasi kepariwisataan yang efesien, efektif, dan produktif sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang prima.

Secara keseluruhan kedua tujuan reformasi birokrasi kepariwisataan tersebut adalah untuk mewujudkan pemerintahan dibidang kepariwisataan yang bersih (clean tourism government) dan tata kelola kepariwisataan yang baik (good tourism governance). Beberapa program utama yang dikembangkan dalam reformasi berokrasi kepariwisataan adalah :

1) Program program penataan/restrukturisasi organisasi yang mencakup empat aspek yaitu; (1) modernisasi, (2) pemisahan fungsi organisasi, (3) penggabungan fungsi organisasi, dan (4) penajaman fungsi organisasi.

2) Program program untuk penyempurnaan proses birokrasi kepariwisataan yang mencakup lima aspek, yaitu: (1) penyempurnaan proses kerja yang berbasis pada akuntabilitas jabatan /pekerjaan; (2) penyempurnaan proses kerja guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi; (3) analisis dan evaluasi jabatan; (4) analisis beban kerja; dan (5) penyusunan standar prosedur operasi (SOP).

3) Program program untuk peningkatan manajemen SDM yang mencakup 10 aspek yaitu: (1) peningkatan kualitas SDM; (2) penempatan SDM pada tempat yang tepat (the right man of the right place); (3) system pola karier yang jelas dan terukur; (4) pengelolaan SDM berbasis kompetensi; (5) keakuratan dan kecepatan penyajian informasi SDM sesuai kebutuhan manajemen; (6) penyelenggaran pendidikan dan pelatihan aparatur/pegawai berbasis kompetensi; (7) pembangunan assessment center; (8) penyusunan pola mutasi; (9) peningkatan disiplin aparatur; dan (10) pengintergrasian system informasi manajemen SDM berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

4) Program program untuk perbaiki struktur remunerasi (system penggajian) yang berbasis kinerja/system merit dengan menerapkan penghargaan dan hukuman (reward and punishment) secara adil kepada aparatur.

Secara logik-konseptual, melalui kebijakan pemerintah diharapkan akanada suatu output dan outcome yang jelas dan terukur dalam tata kelola kepariwisataan dari pusat sampai daerah di masa yang akan datang. Sebagai indikator output antara lain adalah:

1) Bebas KKN

2) Pelayanan yang prima 3) peningakatan investasi

4) Dan tidak ada lagi keluhan masyarakat dan wisatawan terhadap pelayanan di sektor kepariwisataan

Sedangkan indikator outcome antara lain adalah peningkatan kesejahteraan rakyat khususya yang terkait dengan keparwisataan yang antara lain ditandai

dengan menurunnya angka kemiskinan dan pengagguran serta aparatur kepariwisataan yang professional dan bermoral.

Sektor Kepariwisataan merupakan kegiatan yang memiliki keterkaitan dan melibatkan banyak sektor, antara lain meliputi sektor kehutanan, sektor kelautan, pertanian dan perkebuna, industry dan perdagangan, telekounkasi, perhubungan, kimpraswil, lngkungan, kebudayaan, pendidikan, imigrasi, dan hubungan luar negeri. Oleh karena itu, harus ada ditempuh langkah-langkah:

1) Pengembangan kebijakan di sektor perhubungan meliputi pengembangan bandara, jaringan jalan, pelabuhan, moda angkutan penerbangan, kapal, dan kereta api.

2) Pengembangan kebijaka di sektor keimigrasian, sebagai contoh: kebijakan bebas visa, penghapusan free untuk visa on arrival bagi Negara-negara tertentu.

3) Pengembanga kebijakan di sektor kehutanan, pertanian/perkebunan, kelautan dan kebudayaan melalui dukungan alokasi ruang/area atau objek bagi pengembangan kegiatan kepariwisataan beserta penyiapan berbagai aturan pelaksanaan yang mendukung.

4) Pengembangan kebijakan di sektor pendidikan yang dapat yang dapat mendukung peningkatan kualitas SDM pariwisata Indonesia dan pengembangan standar pelatihan dan pendidikan untuk menopang industry parwisata, sehigga mampu berkompetisi

dengan SDM asing.

Mengingat karakter hubungan dan interdependensi yang tinggi tersebut maka koordinasi dan integritasi atau keterpaduan program pembangunan yang intensif amat diperlukan untuk mendorong pariwisata agar dapat berperan sebagai

sektor strategis bagi pembangunan ekonomi nasional sakaligus menggantikan peran sektor migas dimasa mendatang.

Melalui koordinasi terpadu yang dijalani antarsektor tersebut, maka dapat disiapkan kerangka pengembangan terpadu yang akan memberikan nilai manfaat yang besar dalam jangka panjang, baik dalam hal penerimaan devisa, penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan produk lokal, pemberdayaan ekonomi rakyat, maupun konservasi lingkungan dan sumber daya alam.

Khusus dalam hal pengembangan destinasi pariwisata nasional yang bersumber pada prinsip borderless Tourism, maka pegembangan lintas sektor harus mengacu pada standar kualitas dan layanan yang berlaku dan disepakati bersama untuk mendukung visi dan misi di tingkat nasional.

Degam menyadari bahwa pariwisata adalah kegiatan yang tidak mengenal batas, baik dalam artian sector kegiatan, ruang (spasial) dan wilayah (regional), maka pengembangan kepariwisataa sangat memerlukan pendukungan dan sinergi program pengembangan keparwisataan secara lintas sektor dan lintas daerah. Oleh karena itu, keterpaduan pengembangan antar pihak-pihak yang terkait di dalamnya harus bangun secara afektif, holistik komplementer.

Pendekatan melalui pola-pola kemitraan lintas sektor dan wilayah dalam upaya pembangunan destinasi wisata merupakan salah satu model yang perlu di bangun dan dirumuskan implementasinya.

Hubungan lintas sektor tersebut antara lain terkait dengan sektor kehutanan, kelautan, pertanian dan perkebunan, industry dan perdagangan,

telekomunikasi, perhubugan, kimpraswil, lingkungan, kebudayaan, imigrasi dan hubungan luar negeri, serta sektor atau bidangterkait lainnya.

Dalam hal ini keterkaitan sektor parwisata terutama menyangkut aspek pemanfaatan sumber daya, dukungan sarana prasaranada infrastruktur, dukunga SDM, dukungan kebijakan kemudahan perijinan, investasi, serta bentuk-bentuk regulas lainnya.

Sementara dalam konteks wilayah atau daerah, hubugan atau keterkaitan yang tinggi terutama dengan keberadaa suatu objek dan daya tark wisata yang pada umumnya mencakup wilayah yang luas atau wilayah pengaruh higga sejumlah kabupaten/kota bahkan provinsi.

Sebagai sektor yang memiliki keterkaitan sektoral maupun regional sangat tinggi, maka pengembangan sektor pariwisata memerlukan koordinasi dan integritas kebijakan yang sangat intensif untuk mendukung pencapaian visi, misi, dan tujuan yang akan dicapai sebagaimana disebutkan diatas. Koordinasi dan sinergis pengembangan tidak saja dalam kerangka kerjasama dan dukungan lintas sektor atau lintas kmenteria, namu lebih jauh adalah koordinasi dan kerjasama antar daerah bahkan antar stakeholdersdengan unsure swasta dan masyrakat sebagai pelaku-pelalaku penting di lapangan.

E. Kerangka Pikir

Pemerintah dalam pengelolaan objek wisata pantai Tanjung Bira sangat ditentukan oleh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah menyangkut pengembangan pariwisata yang mencakup kebijakan pokok, yang menjadi acuan dalam melaksanakan pengelolaan tersebut. Selain itu, menyediakan dan

mengembangkan berbagai sarana penunjangpariwisata, pengembangan SDM, kondisi lingkungan, pembangunan dan pemasaran, memberikan bantuan dana kepada kelompok usaha seni pada objek wisata juga harus di perhatikan oleh pemerintah dalam pengelolaan objek wisata yang baik.

Ketika pengelolaan yang dilakukan berjalan dengan baik, maka hasilnya adalah meningkatnya jumlah wisatawan yang ada di objek wisata Pantai Tanjung Bira. Dan akhirnya akan berimbas kepada pendapatan daerah dan itu menandakan keberhasilan pengelolaan yang dilakukan Swasta dan Pemerintah Daerah dalam upaya pengelolaan objek wisata, khususnya Objek Wisata Pantai Tanjung Bira.

BAGAN KERANGKA PIKIR

Faktor Penghambat 1. Sarana dan

Prasarana Yang Belum Lengkap.

2. Keterbatasan Dana. 1. Kualitas SDM

2. Transparansi Pengelolaan.

3. Akuntabilitas.

Faktor Pendukung 1. Pantai Pasir

Putih Yang Indah dan Asri.

2. Akses Jalan Yang Mudah di Jangkau.

Peningkatan Kunjungan Wisatawan Di Pantai

Tanjung Bira

Tata Kelola Pariwisata ( Good Toursm Governance )

Patai Tanjung Bira Di Kabupaten Bulukuba

F.Defenisi Dan Fokus Penelitian

Yang menjadi deskriptif danfokus penelitian dalam Tata Kelola Pariwisata ( Good Toursm Governance ) di Pantai Bira adalah :

1. Kualitas Sumber Daya Manusia dalam penelitian ini adalah proses rekruitmen yang berkualtas sesuai dengan tujuan yang ingin di capai.

2. Akuntabilitas dalam penelitian ini adanya perencanaan program pembangunan pariwisata dan strategi pembangunan pariwisata dalam pengelolaan serta pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang dapat di eksploitasi.

3. Transparansi Pengeloaan dalam penelitian ini adalah pengelolaan yang di lakukan harus secara terbuka dan di ketahui oleh masyarakat sehingga mencapai tujuan yang di inginkan.

4. Peningkatan pengunjung dalam penelitian ini adalah para wisatawan yang datang dapat menikmati suasana pantai dan keindahannya dengan santai dan nyaman sehingga menunjang peningkatan pengunjung.

BAB III

METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Bulukumba ( Dinas Pariwisata dan Kebudayaan ), Topik yang diteliti adalah tentang Tata Kelola Pariwisata ( Good Toursm Governance ) di Pantai Tanjung Bira. Lokasi penelitian ini yaitu Dinas Parwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bulukumba karena data ataupun dukumen-dukumen dapat di peroleh dari kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bulukumba, penelitian ini di rencanakan akan berlangsung beberapa bulan.

B. Jenis dan Tipe Penelitian

Disesuaikan dengan masalah yang akan dibahas penulis yang menyangkut Tata Kelola Pariwisata (Good Tours Governance)di kabupaten Bulukumba kiranya lebih menggunakan pendekatan kualitatif, jenis penelitian ini yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selain, pemilihan dan penggunaan desain ini terkait dengan tujuan penelitian untuk menggambarkan dengan menghimpun kemudian menganalisis berbagai fakta dan data terkait sejauh mana SDM aparat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bulukumba dalam mengelola obyek wisata Panta Tanjung Bira.

Tipe penelitian yang akan digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif.

Penelitian deskriptifkualitatif mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat mengungkapkan fakta dan

memberikan gambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diteliti.

C. Sumber data

Menurut Arikunto (2010:172) sumber data yang dimaksud dalam penelitian adalahsubjek darimana data dapat diperoleh. Dimana data hasil penelitian didapatkan melalui dua sumber data, yaitu

a) Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara yang diperoleh dari narasumber atau informan yang dianggap berpotensi dalam memberikan informasi yang relevan dan sebenarnya di lapangan.

b) Data sekunder adalah sebagai data pendukung data primer dari literatur dan dokumen serta data yang diambil dari bahan bacaan, bahan pustaka, dan laporan-laporan penelitian

D. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono (2012 : 308) teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian,karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Untuk mengumpulkan data primer dan sekunder peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:

1) Observasi

Observasi menurut Sugiyono (2012: 145) yaitu “observasi sebagai teknik pengumpulan data yang mempunyai ciri spesifik berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam, dan responden yang diamati tidak terlalu besar”. Proses observasi ini, peneliti dapat mengamati situasi-situasi yang ada di lapangan dengan mencatat apa-apa yang dianggap penting guna menunjang

terhadap tujuan penelitian. Observasi ini memberikan kemudahan terutama dalam hal memperoleh data di lapangan.

2). Wawancara

Menurut Sugiyono (2012:186) Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu percakapan itu dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer)yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee)yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

Dalam proses penelitian diperlukan adanya persiapan wawancara. Persiapan wawancara tersebut diperlukan adanya persiapan wawancara.Persiapan wawancara tak terstruktur menurut Moleong (2012: 190) dapat diselenggarakan menurut tahapan-tahapan tertentu yakni sebagai berikut.Tahap pertama, ialah menemukan siapa yang akan diwawancarai. Barangkali pada suatu saat pilihan hanya berkisar di antara beberapa orang memenuhi persyaratan. Tahap kedua, ialah mencari tahu bagaimana cara yang sebaiknya untuk mengadakan kontak dengan responden. Karena responden adalah orang-orang pilihan, dianjurkan agar jangan membiarkan orang ketiga menghubungi, tetapi peneliti sendirilah yang melakukannya.Tahap ketiga, mengadakan persiapan yang matang untuk melakukan wawancara.

3). Dokumentasi

Menurut Arikunto (2010:201) bahwa dokumentasi dari kata “dokumen” yang artinya barang-barang tertulis.Dokumentasi adalah mencari dan mengumpulkan data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen, literatur dan sebagainya.

Dalam dokumen PANTAI TANJUNG BIRA DI KABUPATEN BULUKUMBA (Halaman 34-49)

Dokumen terkait