BAB II PENGERTIAN UMUM TENTANG IKHLAS
2. Pengertian Secara Istilah
Dalam sebuah riwayat dikatakan : Abû Dzâr ra. berkata,
“ Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang ikhlas. „ Apakah ikhlas itu ?‟ ”, Beliau menjawab, : “ Akan aku tanyakan dulu hal itu kepada Jibril.” Kemudian Rasulullah saw bertanya kepada Jibril tentang ikhlas, maka Jibril menjawab, “ Akan aku tanyakan dulu kepada Mîkâ‟il,” kemudian Jibril bertanya kepada Mîkâ‟il. Maka Mîkâ‟il menjawab, “ Aku akan bertanya dulu kepada Rabbul „Izzah.” Kemudian Mîkâ‟il bertanya kepada Allah swt, Maka Allah swt menjawab :
4Ibn Mandzûr, Lisân al- „Arab, h.1227
“Ikhlas adalah rahasia dari rahasia-rahasia-Ku yang
Aku taruh di hati orang yang Aku
kehendaki dari hamba-hamba-Ku”5
Dalam hadis qudsi yang lain dikatakan :
“Ikhlas adalah rahasia dari rahasia-rahasia-Ku yang Aku taruh di hati orang yang Aku cintai dari hamba-hamba-Ku”
Para Ulama sufi berbeda-beda dalam mendefinisikan ikhlas, akan tetapi pokok tujuannya sama. Menurut ulama sufi yang bernama Sayyid Sâbiq dalam bukunya Islâmunâ sebagaimana dikutip oleh Yunahar Ilyas dalam buku “ kuliah akhlak” ikhlas adalah :
“Seseorang berkata, berbuat, dan berjihad semata- mata hanya mencari ridha Allah; tanpa memperhatikan ghanimah (harta rampasan perang), pangkat, gelar, popularitas, kemajuan, atau kemunduran; agar dia terangkat dari perbuatan yang rendah dan akhlak yang
5Moh. Djamaluddin Ahmad, Mutiara Indah, Jilid.1, (Jombang : Pustaka al-Muhibbîn, 2012), Cet. 2, h. 75-76
6Syaikh Abû „Abd ar-Rahmân „Isham ad-Dîn as-Shâbithy, Jâmi‟
al-Ahâdis al-Qudsiyah,(tt.p: t.p.t.t. ), Juz.1, h.3
hina serta dapat berhubungan langsung dengan Allah swt.”7
Sayyid Abû Bakar ibn Sayyid Muhammad Syathâ‟ ad- Dimyâthi seorang ulama sufi berkata :
“ Ikhlas ialah apabila tujuan manusia dalam semua amal ibadah melulu hanya pendekatan diri kepada Allah swt”.8
Imâm Ghazâlî dalam bukunya Ihyâ‟ „Ulûm ad-Dîn menyebutkan beberapa pendapat para ulama tentang pengertian ikhlas, diantaranya:
a. Imam as-Sûsî berkata: “ Ikhlas adalah hilangnya pandangan keikhlasan. Karena barang siapa melihat keikhlasan di dalam ikhlasnya, maka ikhlasnya memerlukan keikhlasan.”
b. Syaikh Sahl ibn „Abdullah ( 200-283 H) berkata: “ Ikhlas adalah diam dan geraknya hamba hanyalah karena Allah swt semata”.
c. Syaikh al-Junaid (w. 297 H) berkata: “ Ikhlas adalah membersihkan dari kotoran”.9
7Yunahar Ilyas, Kuliah aAkhlaq, (Yogyakarta : LPPI, 1999), Cet.
1, h. 29
8Moh. Djamaluddin Ahmad, Mutiara Indah, Jilid.1, h.77
Imâm al-Ghazâlî berkata : “ Ketahuilah bahwa seandainya kita bayangkan segala sesuatu bercampur aduk dengan selainnya. Apabila sesuatu itu bersih dari campurannya dan terpisahkan darinya, ia disebut murni. Perbuatan yang bersih dan murni ini dinamakan ikhlas.”10
Syaikh al- Junaid ( w. 297 H) juga mengatakan, “ Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dengan hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikitpun mengenainya untuk dapat dituliskannya, setan tidak mengetahuinya hingga tidak dapat merusaknya, nafsu pun tidak menyadarinya sehingga tidak mampu mempengaruhinya.”11
al-Fudhail berkata : Meninggalkan suatu amal karena manusia adalah riya‟, dan mengerjakan suatu amal karena manusia adalah syirik, dan ikhlas ialah jika Allah membebaskan dari keduanya.12
Dikatakan oleh salah seorang yang bijaksanana dari kaum sufi bahwa orang yang ikhlas yaitu seseorang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana ia
9al- Ghazâli, Mutiara Ihya‟ Ulumuddin. terj.Irwan Kurniawan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h. 391
10Yûsûf al-Qardhâwî, Energi ikhlas, (Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2011), h. 103
11Abû al-Qâsim al-Qusyairî, Risalatul Qusyairiyah, terj. Muhamad Luqman Hakim, (Surabaya : Risalah Gusti, 1999), Cet.3, h. 245
12Izza Rahman Nahrawi, ( ed ), Ikhlas Tanpa Batas, (Jakarta : Zaman, 2013), Cet. 2, h. 48
menyembunyikan kejelekan-kejelekannya. Seorang bijak yang lain mengatakan bahwa tanda ikhlas itu apabila seseorang ( didalam beramal ) tidak ingin dipuji oleh orang lain.13
Syaikh Abû Thâlib al-Makki juga mengatakan bahwa
“Ikhlas adalah inti amal dan penentu diterima atau tidaknya suatu amal di sisi Allah Yang Maha Tahu. Amal tanpa ikhlas bagaikan kelapa tanpa isi, raga tanpa nyawa, pohon tanpa buah, awan tanpa hujan, anak tanpa garis keturunan, dan benih yang tidak tumbuh.”14
Menurut sebagian ulama ikhlas itu ada dua yaitu ikhlas amal dan ikhlas memperoleh pahala. Ikhlas amal adalah ikhlas yang semata-mata taqarrub kepada Allah swt, mengagungkan perintah-Nya dan menjawab panggilan –Nya. Orang yang membangkitkan keikhlasan seperti ini benar-benar berakidah shahih sepenuhnya. Kebalikan keikhlasan ini adalah nifaq, suatu taqarrub yang tidak tertuju kepada Allah swt.
Sedangkan ikhlas memperoleh pahala, berarti menghendaki manfaat akhirat melalui amal kebajikan.
Kebalikan ikhlas ini adalah riya‟, yaitu mengharapkan manfaat duniawi dibalik amal ukhrawinya, apakah harapan itu dari
13Nashr ibn Muhammad ibn Ibrâhim as-Samarqandî, Tanbih al Ghafilin, terj.Muslich Shabir, (Semarang : Toha Putra, 1993), Cet.1, h.12
14Izza Rahman Nahrawi, ( ed ), Ikhlas Tanpa Batas, h. 5
Allah swt atau dari manusia. Sebab konotasi riya‟ adalah obyek yang dikehendaki, bukan yang dikehendaki-Nya.
Pengaruh kedua model ikhlas tersebut, jika ikhlas beramal semata karena taqarrub, maka amaliahnya semakin mendekatkan kepada-Nya. Sedangkan ikhlas untuk mencari pahala, akibatnya hanya pada amal yang diterima dan balasan pahala.15
Ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah swt.sebagai satu-satunya sesembahan. Sikap taat dimaksudkan adalah taqarrub kepada Allah swt, mengesampingkan yang lain dari makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia. Dapat dikatakan, “ Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk”. Dikatakan juga bahwa keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu-individu manusia.16
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa ikhlas adalah keinginan mendapatkan ridha Allah swt atas segala niat dan amal perbuatan yang diindikasikan kesungguhan dalam mencapai apa yang diridhoi-Nya terlepas penilaian makhluk.
15Abû Hamîd al-Ghazâlî, Raudhah; Taman Jiwa Kaum Sufi, terj.Muhammad Luqman Hakim, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995), Cet.2, h.85
16Abû al-Qâsim al-Qusyairî, Risalatul Qusyairiyah, h.243