PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PERSPEKTIF DEMOKRASI KONSTITUSIONAL
1. Pengertian Toetsingsrecht dan Judicial Review dalam perspektif subyek dan obyek
Pada umumnya istilah ‘toetsingsrecht’99 diartikan sebagai ‘hak atau kewenangan untuk menguji’ atau ‘hak uji’.100 Pengertian tersebut memperjelas bahwa 'toetsingrecht' merupakan suatu proses untuk melakukan pengujian atau menguji dan secara harfiah dapat diartikan sebagai kewenangan untuk menguji.101 Pengertian menguji atau melakukan pengujian merupakan proses untuk memeriksa, menilai, dan memutuskan terhadap obyeknya.
Pemahaman menguji atau melakukan pengujian dalam perspektif ‘toetsingsrecht’ adalah memeriksa, menilai, dan memutuskan terhadap tingkat konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi oleh suatu lembaga negara yang oleh undang-undang dasar dan/atau oleh undang-undang diberikan kewenangan.102
enlarged (London: Oxford University Press, 1975) hlm. 280 yang menyatakan bahwa;
"Judicial review is the power of any court to hold unconstitutional and hence unenforeable any law, any official action based upon a law, or any other action by a public official that it deems - upon careful, normally painstaking, reflection and the line with the canons of the thaught tradition of the law as well as judicial self restraint - to be conflict with the basic law - in the United States its constitution".
99 A. Teeuw, Kamus Indonesia - Belanda (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal.260 dan 842 yang menjelaskan bahwa toetsing diartikan pengujian, toetsen diartikan menguji dan recht diartikan hak atau hukum, sehingga toetsingrecht dapat diartikan sebagai kewenangan untuk menguji atau untuk melakukan pengujian.
100 Jimly Asshiddiqie, Model-model .. loc. cit. , hal. 7.
101 M.Laica Marzuki yang mengartikan toetsingsrecht sama dengan ‘hak menguj’ yaitu, hak bagi hakim (atau lembaga peradilan) guna menguji peraturan perundang-undangan. Lihat M. Laica Marzki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 67.
102 Sri Soemantri Martosoewignjo, Hak Menguji.. op.cit.,halm. 8. Dalam pengertian ini pengujian diartikan sebagai 'materiele teotsingsrecht.' Selain materiele teotsingsrecht, juga ada pengertian ‘formele teotsingrect’ yang diartikan sebagai wewenang untuk menilai, apakah suatu
Pengertian ‘toetsingrecht’ memang cukup luas, sehingga peristilahan yang timbulpun sangat tergantung dengan ‘subyek’
dan ‘obyek’ dalam pengujian tersebut. Jika dikaitkan dengan subyek, maka toetsingsrecht dapat dilekatkan pada lembaga kekuasaan negara yudikatif, legislatif, dan eksekutif.103 Jika hak atau kewenangan menguji tersebut diberikan kepada lembaga kekuasaan kehakiman atau hakim, maka hal tersebut disebut
‘judicial review’.104 Tetapi jika kewenangan tersebut diberikan kepada lembaga legislatif, maka istilahnya menjadi ‘legislative review’105 dan demikian pula jika kewenangan dimaksud diberikan kepada lembaga eksekutif, maka istilahnya juga
produk legislatif seperti UU terjelma melalui cara-cara sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Ibid., hal. 6. Hal senada juga dinyatakan oleh Soedirjo, bahwa toetsingsrecht meliputi ‘materiele teotsingsrecht’ dan ‘formele teotsingrect’ yang keduanya memiliki makna yang sama sebagaimana yang dijelaskan oleh Sri Soemantri Martosoewignjo. Lihat Soedirjo, Mahkamah Agung - Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan Kekuasaannya menurut UU No. 14 Tahun 985, (Jakarta:
Media Sarana Press, 1987), hal. 63. Pengertian yang dijelaskan tersebut mengartikan
‘toetsingsrecht’ dalam pengertian pengujian secara yudisial atau 'judicial review' dimaksudkan sebagai upaya yudisial untuk menilai konsistensi dan harmonisasi normatif secara vertikal, sehingga tidak terjadi konflik normatif secara vertikal untuk mewujudkan kepastian hukum.
103 Jimly asshiddiqie, Model-Model ... op.cit., hal 7. Dalam pengertian yang agak berbeda Paulus Effendi Lotulung mengartikan pengujian peraturan sebagai sebagai kontrol ekstern. yaitu kontrol yang dilakukan oleh badan-badan peradilan (judicial control) dalam hal timbul persengketaan atau perkara dengan pihak Pemerintah. Lihat Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap pemerintah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal.xvi.
104Ibid. Lihat Jerre S. Williams, Constitutional Analysis in a Nutshell, (St. Paul Minn: Weat Publishing co, 1979), hal. 1. yang menyatakan bahwa, ‘judicial review is a shorthand expression for the role court plays as the final authority on most, although not all, issues of the constitutionality of governmental acts.’ Lihat Henry J. Abraham. The Judicial Process .. loc.cit.,
105Ibid., Bandingkan Oemar Seno Adjie, Kekuasaan kehakiman ... op.cit., hal 224-225, yang mengartikan legislative review sebagai peninjauan kembali produk hukum oleh lembaga pembuatanya yaitu, Presiden bersama-sama DPR. Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia legislative review ini pernah dilakukan melalui Ketetapan MPRS No.
XIX/MPR/1966 yang menugaskan kepada Pemerintah bersama-sama DPR untuk mengadakan peninjauan kembali (legislative review) terhadap produk legislatif (Presiden dan DPR) termasuk didalamnya Penpres, dan Perpres yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, termasuk di dalamnya adalah UU No. 19 Tahun 1964 dan UU No. 13 Tahun 1965.
menjadi ‘executive review’.106
Demikian pula pengertian toetsingsrecht jika dikaitkan dengan obyek dan waktu, maka hak menguji tersebut dilakukan secara ‘a posteriori’, dan secara ‘a priori’. Kewenangan untuk menguji secara ‘a posteriori’, jika obyeknya adalah undang-undang atau setelah terjadinya tindakan atau perbuatan pemerintah, maka tindakan tersebut disebut ‘judicial review’. Sedangkan kewenangan untuk melakukan pengujian secara ‘a priori’, jika obyek yang diuji tersebut adalah Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya, maka hal tersebut disebut ‘judicial preview’.107
Uraian di atas menunjukkan bahwa ‘toetsingsrecht’ memiliki makna yang cukup luas, di samping tergantung subyek, obyek, juga tergantung kepada sistem hukum di tiap-tiap negara, termasuk untuk menentukan kepada lembaga kekuasaan negara mana kewenangan dimaksud akan diberikan. Dengan demikian, pengertian toetsingsrecht lebih luas di banding dengan judicial review.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa pengertian toetsingsrecht dalam perspektif ‘judicial review’ dapat diartikan sebagai ‘toetsingsrecht’ dalam arti sempit atau uji judicial yang subyeknya tertentu yaitu lembaga kekuasaan kehakiman dan obyeknya juga tertentu yaitu peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regels). Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas bahwa toetsingsrecht dalam perspektif judicial review, legisltive review dan executive review dilihat dari segi subyeknya. Demikian pula dalam segi obyeknya, maka toetsingsrecht dalam perspektif judicial review obyek yang diuji adalah
106 Ibid. Jimly menggunakan istilah ‘executive review’ untuk menjelaskan tentang kontrol normatif yang dilakukan oleh dan dengan cara-cara executive. Bandingkan Paulus Effendi Lotulung, Beberapa... op.cit., hal xvi. Paulus menggunakan istilah internal control, yaitu kontrol yang dilakukan sendiri oleh instansi pembuat peraturan. lihat John Adler dan Peter English, Judicial Review of the Execuitive, dalam 'Constitutional and Administrative Law' ( London: Macmillan Profesional Masters, 1989), hal. 289.
107 Paulus Effendi Lotulung, Ibid., hal. xvii. Jimly Ashiddiqie, Ibid., hal.8.
peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur.108 Konsep toetsingsrecht dalam arti judicial review selanjutnya akan disebut ‘judicial review’ merupakan bagian dari prinsip kontrol secara judicial atas produk peraturan perundang- undangan agar tidak bertentangan dengan norma hukum secara hierarkis. Seperti yang dijelaskan dimuka, bahwa toetsingsrecht dalam arti judicial review dapat dilakukan, manakala prinsip kekuasaan negara menganut pemisahan kekuasaan atau
‘separation of power’ dan ‘checks and balances’.109
Kedua prinsip ini memungkinkan adanya keseimbangan posisi dan kekuasaan cabang-cabang kekuasaan negara seperti lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dapat berjalan secara horisontal, dan memungkinkan masing-masing cabang kekuasaan negara tersebut dapat melakukan fungsinya sesuai yang diatur dan ditetapkan dalam undang-undang dasar dan/atau undang-undang. Seperti halnya Joseph Tanenhus merumuskan bahwa, judicial review adalah ‘the process with his a body judicial specify unconstitutional from action- what is done by legislative body and by executive head’.110 Rumusan ini menggambarkan bahwa judicial review merupakan suatu proses untuk menguji tingkat
108 Dalam pengertian ini, maka jika obyek yang diuji adalah undang-undang terhadap UUD maka hal itu disebut ‘constitutional review’, tetapi jika peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, maka disebut 'legal review' . Lihat Jimly Ashiddiqie, Ibid.
109 Donald P. Kommers, Cross-National Comparations of Cnstitutional Court Toward a Theory of Judicial Review, Paper - presented at the annual meeting of the American Political Science Association, (Los Angeles, Calif, September 11, 1970). dalam Henry J.
Abraham,The Judicial Process - An Introductory of the Court of The United States, England, and France, Third Edition Revised and enlarged (London: Oxford University Press, 1975) hlm. 281-283, menggambarkan bahwa judicial review sebagai doktrin hukum dapat dilaksanakan karena 5 faktor yakni (1) regime stability; (2) a competitive political party system; (3) significant horizontal power distribution; (4) a strong tradition of judicial indpendent, and (5) a high degree of political freedom.
110 Joseph Tanenhus, Judicial Review, entri dalam " An International Encyclopedia of the Social Sciences", (Macmillan, 1968). Bandingkan dengan Sri Soemantri yang mempersandingkan makna judicial review dengan pengertian hak uji materiel yang dirumuskan sebagai suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sri Soemantri Martosoewignjo, Hak menguji .. op.cit., hal. 9.
konstitusionalitas suatu produk hukum badan legislatif atau badan eksekutif. Rumusan tersebut di atas mengindikasikan 3 (tiga) elemen pokok tentang judicial review yaitu, pertama, badan yang melaksanakan judicial review adalah badan/lembaga kekuasaan kehakiman; kedua, adanya unsur pertentangan antara norma hukum yang derajatnya di bawah dengan norma hukum yang derajatnya di atas; dan ketiga; obyek yang diuji adalah lingkup tindakan atau produk hukum badan legislatif dan ketetapan kepala eksekutif.111
Dengan demikian, kewenangan untuk melaksanakan
‘judicial review’ adalah kewenangan badan kekuasaan kehakiman yang diberi kewenangan khusus untuk itu oleh undang-undang dasar dan/atau undang-undang, untuk menguji tingkat konstitusionalitas atau keabsahan suatu peraturan perundang- undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis derajatnya lebih tinggi.112