BAB 3 PETANI & PERTANIAN
3.1 Masalah Distribusi Lahan Pertanian
3.1.1 Penguasaan lahan
Agribisnis kelapa sawit masih menjadi primadona pengembangan usaha perkebunan di Indonesia. Hasil riset Lembaga Swadaya Masyarakat Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menyatakan bahwa terdapat 25 goup perusahaan swasta besar kelapa sawit yang menguasai lahan seluas 5,1 juta ha atau 55,74 % dari luas keseluruhan sebesar 9,15 juta, dengan kategori 3,1 juta ha telah ditanam dan 2 juta belum diusahakan.
Menurut Direktur Program TuK Indonesia Rahmawati Indah Lestari, perusahaan perkebunan swasta besar tersebut dikendalikan oleh 29 pengusaha besar di Indonesia yang perusahaan induknya terdaftar di Bursa Efek di dalam dan luar negeri serta menguasai 62% lahan sawit di Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur), 32 % di Sumatera (Riau dan Sumatera Selatan), 4% di Sulawesi dan 2% di Papua (Tempo, 16 Februari 2015).
Cakupan penguasaan lahan dari perusahaan perkebunan swasta besar sangat luas, yaitu diatas 100 ribu ha antara lain Perusahan Golden Agri Resource/Sinar Mas Gruop seluas 508, 40 ha, Astra Agro Lestari seluas 382 ribu ha, London Sumatera Plantation/Indofood seluas 245,63 ribu ha, Sampurna seluas 250 ribu ha, Wilmar Plantation seluas 300 ribu ha dan BW Plantation/Rajawali Gruop seluas 271 ribu ha. Meskipun lahan yang dikuasai perusahaan swasta besar sangat luas, namun banyak yang tidak mendayagunakan seluruh lahannya secara produktif dan optimal lahannya untuk ditanam antara lain Golden Agro Agri Resource (7,26%), Astra Agro Lestari (21,99%), London Sumatera Plantation (59,29), Sampurna Group (52%), Wilmar Plantatation (23,33%) dan BW Plantation (51,66%) (Kontan, 9 Januari 2015).
Tabel 1. Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Dari Beberapa Pengusaha Perkebunan
Perusahaan Luas Lahan (ribu ha)
Lahan yang ditanami (ribu ha)
% Yang Belum ditanami Golden Agri
Resources/Sinar Mas 508.400 471.500 7,29 Astra Agro Lestari 282.000 220.000 21,99
London Sumatera
Plantation/indofood 245.629 100.000 59,29
Sampurno Agro 250.000 120.000 52.00
BW Plantation 271.000 131.000 23,33
Wlimar Plantation 300.000 230.000 51,66 Asian Agri (RGM
Group) 160.000 125.0001) 21,86
Salim Invomas 326.1322) 255.472 21,67 Sumber : Riset Harian Kontan, 9 Januari 2015
Keterangan : 1) Riset Harian Kontan tahun 2013, 2) Data Riset TuK Indonesia
Beberapa holding company mulai mendistribusikan penguasaan lahannya melalui pengembangan kebun plasma kepada petani dan masyarakat sekitar lahannya antara lain PT. Astra Agro Lestari TBK sudah menyerahkan 25% lahannya kepada petani, sedangkan PT Sampurna Agro TBK menyerahkan 40% areal tanamnya sebagai kebun plasma dan diusahakan oleh masyarakat. Adapun PT. Jaya Agri sedang mempercepat pengembangan plasma untuk petani dengan target sebesar 21% dari total penguasaan lahannya (Kontan 23 Oktober 2014).
Yang menjadi tantangan adalah batas maksimal yang diatur maksimal seluas 100 ribu ha untuk perkebunan kelapa sawit dalam Peraturan Menteri No. 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan ternyata dalam Undang-Undang Perkebunan No.
39 Tahun 2014 batasan luas maksimal lahan usaha perkebunan akan diatur kembali dalam Peraturan Pemerintah, yang sampai saat ini belum terselesaikan. Menurut Ketua Komite Pertimbangan Organisasi Indonesia Human Rights Committee Of Social Justice (IHCS) Gunawan, dalam UU tersebut menyebutkan bahwa pelaku usaha perkebunan dapat melakukan aktivitas usaha dengan hanya memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan/atau Hak Guna Usaha atas tanah. Peraturan ini multitafsir sehingga berpotensi menimbulkan konflik agraria di lapangan. Lembaga Serikat Petani Perkebunan telah mengajukan uji materi (yudicial review) kepada Mahkamah Konstitusi terhadap 12 pasal dalam UU Perkebunan (Bisnis Indonesia 28 Oktober 2015).
Pada sisi lain, pembangunan usaha tani pangan menghadapi tantangan ketimpangan pemilikan lahan petani yang sebagian besar adalah petani gurem (55,33%) yaitu memiliki lahan kurang dari 0,5 ha dengan tingkat pendapatan petani masih relatif rendah sebesar Rp 12,5 juta/tahun. Jumlah rumah tangga petani gurem mendominasi penguasaan lahan sebanyak 14,25 juta RT atau 55,33% dari seluruh jumlah petani, dengan rincian : penguasaan kurang dari 0,1 ha sebanyak 3,43 juta RT, antara 0,10-0,19 hektar sebanyak 3,55 ha dan antara 0,20-0,49 ha sebanyak 6,73 RT. Adapun jumlah RT yang bukan gurem sebanyak 11,50 juta RT atau 44,67% (Sensus Pertanian 2013, BPS).
Tantangan dalam kebijakan land reform sangat berat karena situasi penguasaan lahan yang tidak seimbang dalam bidang perkebunan dan pangan. Apalagi dalam Nawacita Presiden Joko Widodo menyatakan akan mengimplementasikan reforma agraria melalui; a) Pendistribusian aset kepada petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui land reform dan program pemilikan lahan petani dan buruh tani serta menyerahkan lahan seluas 9 juta ha; b) Meningkatkan akses petani gurem terhadap pemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektar menjadi 2 hektar per Kepala Keluarga dan pembukaan 1 juta hektar lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali
Dalam rangka mendorong perluasan lahan pertanian di luar Jawa, Kementerian Pertanian menargetkan pengembangan food estate seluas 500 ribu ha di Kalimantan dan Papua pada tahun 2016.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan program tersebut akan melibatkan swasta dan masyarakat dalam pola inti dan plasma.
Pemerintah menjamin 40% dari food estate berupa plasma dan akan diberikan pada petani. Sedangkan swasta sebagai inti (60%) harus melakukan transfer teknologi dan bekerja sama secara sinergi dengan plasmanya (Bisnis Indonesia, 24 April 2015).
Tabel 2. Rencana Proyek Food Estate Kalimantan
Digagas : Tahun 2013
Lokasi : Kalimantan Timur,Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat
Kebutuhan Lahan : 400.000 ha
Komoditas : Jagung,padi dan kedelai
Sulawesi
Digagas : 2015
Lokasi : Sulawesi Tenggara dan Gorontalo Kebutuhan Lahan : 600.000 ha
Komoditas : Tebu, Palawija, dan padi ( Dibangun 10 pabrik gula)
Papua
Digagas : 2010 Lokasi : Marauke Kebutuhan lahan : 2 juta
Komoditas : Pad, Jagung, kedelai, tebu dan peternakan sapi Investor : PT. Medco, PT, Bangun Cipta, PT. Wilmar dan PT. Industri Gula
Sumber : Kementerian Pertanian dan Riset Kontan 2015
Pengaturan penguasaan luas lahan untuk usaha perkebunan dan pangan harus sejalan dengan amanat UUD 1945 untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sehingga tercipta kepastian hukum, perlindungan hukum, keadilan dan kemakmuran bagi semua pihak.
Komitmen untuk menjalankan reforma agraria harus didorong seiring dengan semakin meningkatnya arus liberalisme dan globalisasi ekonomi.
Saat ini, peraturan–perundangan utama yang menjadi dasar kebijakan penguasaan lahan perkebunan dan pangan, antara lain :
a. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok–pokok Agraria (UUPA) yang mengatur mengenai batas minimal tanah yang diberikan Hak Guna Usaha (HGU) dan persyaratan pemberian HGU yang luasnya diatas 25 ha.
b. UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang mengamanatkan bahwa :
1. Perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha perkebunan atau izin usaha perkebunan budi daya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan (Pasal 58)
2. Pemerintah akan menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk usaha perkebunan dengan peraturan pemerintah (Pasal 14).
c. UU No. 58 tahun 2913 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang mengamanatkan bahwa :
1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan jaminan luasan lahan pertanian,
2. Pemberian lahan paling luas 2 hektare tanah negara diberikan bagi petani yang telah melakukan usaha tani paling sedikit 5 tahun berturut-turut (Pasal 58).
3. Kemudahan bagi petani untuk memperoleh lahan pertanian diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan lahan (Pasal 59),
4. Pemberian lahan pertanian diutamakan kepada petani setempat yang tidak memiliki lahan dan telah mengusahakan lahan pertanian di lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan pertanian selama 5 berturut-turut; atau memiliki lahan pertanian kurang dari 2 hektare (Pasal 60).
Sebelum penetapan UU NO. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, telah berlaku Peraturan Menteri Pertanian No.98 tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang mengatur batas maksimal penguasaan lahan pekebunan antara lain untuk kelapa sawit maksimal seluas 100 ribu ha tetapi tidak berjalan secara efektif. Dengan telah ditetapkannya UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan maka pengaturan mengenai batas maksimal penguasaan lahan perkebunan akan diatur kembali melalui peraturan pemerintah. Yang harus diantisipasi adalah aturan batas maksimal penguasaan areal perkebunan diharapkan tidak mengganggu iklim investasi perkebunan, yang berpotensi mengakibatkan perpindahan investasi perkebunan asing ke negara lain. Apalagi Vietnam, Kamboja, India, negara-negara di Afrika dan Amerika Latin mulai mendorong investasi pengembangan kelapa sawit.