• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUKUHAN HTISISTEMSILVIKULTURTATA NIAGA DAN PEMASARAN HASIL

HUTAN

Tata cara pelaksanaan Sangsi

PMDH

Besaran royalti/ha Besaran PSDH Sangsi

ROYALTI KEHUTANAN

PSDH, PBB, PPN

PENERIMAAN NEGARA (PAJAK)

Pohon dilindungi AMDAL, UKL, UPL Plasma Nutfah

KONSERVASI/ PELESTARIAN LINGKUNGAN

Batasan Luas Pelaku Lama Pengusahaan Tata Cara Permohonan Tata Cara Lelang Sangsi Penyaluran Dana Reboisasi RKPH, RKL, RKT Pengesahan peta kehutanan Tata ruang HTI

Sistem silvikultur Daur tanaman pokok Tata usaha kayu Kete

ntuan ekspor kayu bulat Gambar 6. Rangkaian Pokok-Pokok Pengaturan Pembangunan HTI oleh Pemerintah

BAGIAN KEDUA: LAHIRNYA HTI DI INDONESIA

c. Situasi Perubahan Produk Hukum HTI di Era Konglomerasi HTI (2011 – 2017)

Berdasakan penilaian KLHK pada Maret 2016 terdapat hutan tanaman industri sebanyak 281 perusahaan dengan luas 10,3 juta ha. Kondisi kinerjanya sebagai berkut:

1. Layak dilanjutkan 96 perusahaan (5,2 juta ha)

2. Layak dilanjutkan dengan catatan 67 perusahaan (1,9 juta ha) 3. Layak dilanjutkan dengan pengawasan 76 perusahaan (2,1 juta ha) 4. Layak evaluasi 16 perusahaan (222 ribu ha)

5. Belum evaluasi 26 perusahaan (859 ribu ha).

Dari 281 perusahaan dengan luas 10,3 juta ha, 104 di antaranya seluas 5,8 juta ha. Ada 66 perusahaan telah mendapat sertifikasi Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) dan Sertifikasi Sistem Verifi- kasi Legalitas Kayu (S-VLK) 53 perusahaan. Terhadap 53 perusahaan hutan tanaman yang telah mendapat Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) itu terdapat:

1. Perusahaan yang layak dengan catatan (LDC) sebanyak 10 perusahaan;

2. Perusahaan yang layak dengan pengawasan sebanyak 2 perusahaan;

3. Perusahaan yang tata batas areal kerjanya belum ditetapkan sebanyak 53 perusahaan dengan luas 2 juta ha;

4. Perusahaan yang belum ada penetapan tata batas areal kerja serta hasil evaluasi KLHK tidak layak dilanjutkan (dengan catatan atau dengan peringatan) sebanyak 12 perusahaan seperti ditunjukkan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Perusahaan yang Belum Ada Penetapan Tata Batas Areal Kerja dan Layak Dilanjutkan dengan Catatan dan dengan Peringatan Namun Mendapat S-LK.

Provinsi Nama Perusahaan Luas (ha) S-VLK Evaluasi

KLHK

1. NAD PT Aceh Nusa Indrapuri 111.000 Memenuhi

2015 LDP

2. Sumatera Utara PT Anugerah Rimba Mak-

mur 49.230 Memenuhi

2015 LDC

3. Jambi PT Lestari Asri Jaya 61.495 Memenuhi

2013 LDC

4. Babel PT Inhutani V 16.730 Memenuhi

2014 LDC

5. Kalimantan Timur PT Belantara Subur 16.475 Memenuhi

2013 LDC

PT Kelawit Hutani Lestari 9.180 Memenuhi

2013 LDC

PT Kelawit Wana Lestari I 22.065 Memenuhi

2012 LDC

T Oceanis Timber Product 16.600 Memenuhi

2015 LDC

Provinsi Nama Perusahaan Luas (ha) S-VLK Evaluasi KLHK 6. Riau PT Citra Sumber Sejahtera 15.360 Memenuhi

2013 LDC

PT Bina Daya Bintara 7.550 Memenuhi

2013 LDC

PT Perkasa Baru 13.170 Dalam proses LDC

PT Peranap Timber/ PT

Uniseraya 33.360 Memenuhi

2013 LDC

Keterangan: LDC = layak dengan catatan; LDP = layak dengan peringatan

Kondisi tersebut setidaknya menginfomasikan tiga hal. Pertama, instrumen berupa sertifikasi (PHPL) dan verifikasi (SVLK) belum dapat menjadi tolok ukur kelestarian hutan yang dikelola bagi usaha kehutanan dalam jangka panjang. Kedua, instrumen itu cenderung menggunakan tolok ukur legalitas secara formal, bahkan perusahaan-perusahaan yang belum mengurus tata batas areal kerjanya dan/atau kinerjanya tidak baik juga mendapat sertifikat. Ketiga, instrumen sertifikasi dan verifikasi tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan kelestarian hutan dan usahanya, karena banyak faktor lain yang menentukan kelestarian hutan dan usaha kehutanan.

Dengan kata lain, bekerjanya instrumen sertifikasi/verifikasi harus disertai dengan bekerjanya instrumen lain, terutama terkait dengan legalitas sekaligus legitimasi usaha kehutanan, baik dari aspek kawasan hutan maupun hasil hutan yang dimanfaatkan. Dengan demikian, regulasi bukan sekadar penerapan syarat admin- istrasi saja, melainkan juga penerapan kegiatan yang mampu memperbaiki fakta di lapangan. Itu hanya bisa dilakukan bila disadari bahwa berbagai upaya pelestarian hutan selama ini tidak bekerja dengan “baik”, karena itu diperlukan cara pikir dan tindakan baru untuk memperbaikinya.

Tinjauan peraturan pada era ini disajikan dalam Lampiran II. Awal periode ini tidak ada perbaikan yang berarti bagi kebijakan HTI. Baru setelah Nota Kesepakatan Bersama Komisi Pemberantasan korupsi (NKB- KPK) bekerja mulai tahun 2013 dan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA-KPK) tahun 2015, terdapat upaya peningkatan efisiensi kebijakan perizinan HTI melalui penyederhanaan pera- turan untuk mengurangi biaya transaksi tinggi. Implementasi kebijakan sistem online untuk pelaksanaan tata usaha kayu dan pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang disertai dengan hilangnya kewenangan kabupaten/kota dalam bidang kehutanan, telah terbukti dapat mengurangi biaya transaksi sampai 60%11.

Pada era ini juga terdapat peninjauan penggunaan kawasan lindung gambut di areal HTI seluas sekitar 2 juta ha dan di Riau terdapat sekitar 900 ha. Ada pro dan kontra dari pemegang izin terhadap kebijakan ini.

Terlihat dalam proses dan pelaksanaan kebijakan, posisi pemerintah lebih netral, dalam arti tidak melaku- kan pemihakan total terhadap perusahaan-perusahaan HTI seperti di era-era sebelumnya.

Sesuai dengan UU No 5/1999, penguasaan produksi barang atau jasa yang dapat menimbulkan praktik mo- nopoli atau monopsoni melalui suatu perjanjian antar pengusaha tidak dibenarkan. Pengaturan kemungk- inan adanya penguasaan dalam pembangunan HTI terdapat dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 UU No. 41/1999.

Pengaturan tersebut bertujuan untuk menjaga asas keadilan, pemerataan dan lestari. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk mengatur izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) termasuk Izin Usaha Peman- faatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)12 akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Namun PP yang mengatur tentang hal tersebut sampai tahun 2014 ini belum terbit. Ketiadaan PP ini akh- irnya berdampak pada terciptanya penguasaan areal dan kepemilikan usaha IUPHHK-HT serta penguasaan pasar kayu HTI oleh kelompok usaha tertentu.

Pembangunan HTI menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya penguasaan produksi, baik melalui pen- guasaan IUPHHK-HT maupun pasar kayu dari HTI. Penguasaan oleh satu atau dua grup besar pengusaha dalam pembangunan HTI dapat dilihat pada distribusi IUPHHK-HT yang sebenarnya.

Kasus di Riau, diantara 58 unit IUPHHK-HT, hampir seluruhnya terafiliasi dengan grup PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Fenomena ini menunjukkan bahwa pembangunan HTI dikuasai oleh kedua perusahaan tersebut dan produksi pulp dari industri pulp PT RAPP dan PT IKPP mencapai 75,9% dari kapasitas produksi industri pulp nasional.

BAGIAN KEDUA: LAHIRNYA HTI DI INDONESIA

Sementara itu kapasitas produksi industri pulp dari PT RAPP dengan grupnya sebesar 35% dan PTIKPP sebesar 40,9%13. Persentase ini melebihi jumlah maksimum suatu industri dan kelompok industri yang dikatakan melakukan praktik monopoli atau monopsoni, yaitu penguasaan produksi yang melebihi 75%14. Kebijakan yang memberi dampak terhadap pembentukan pasar kayu yang monopsoni adalah sebagai beri- kut :

1. Larangan Ekspor Log

Larangan ekspor log merupakan kebijakan yang dimaksudkan untuk mendorong industri kayu (ply- wood) agar mendapatkan bahan baku serta peningkatan nilai tambah kayu (added value) kayu gelon- dongan. Larangan ekspor kayu log ini menyebabkan pasar yang tersedia hanya pasar dalam negeri.

Larangan ekspor kayu log terhadap pengembangan HTI ini berdampak terhadap IUPHHK-HT yang tidak memiliki industri pulp dan kertas. Kebijakan ini akibatkan pemegang IUPHHK-HT tidak memiliki alternatif dalam memasarkan kayu HTI.

2. Keharusan Pemegang IUPHHK-HT Memasarkan Kayu ke Industri Pulp dan Kertas

Keharusan bagi pemegang IUPHHK-HT untuk memasarkan kayu HTI ke industri pulp dan kertas ini terdapat dalam Surat Keputusan penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Ta- naman (IUPHHK-HT). Jaminan pemasaran kayu HTI ini menjadi syarat dikeluarkannya IUPHHK-HT, baik IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan maupun Bupati Kepala Daerah.

3. Perjanjian Kerjasama Operasi (KSO)

Perjanjian kerjasama operasi (KSO) ini diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No P.20/Men- hut-II/2005 jo No P.37/Menhut-II/2009 jo No P.29/Menhut-II/2012. Peraturan Menteri Kehutanan ini merupakan legalitas atas perjanjian kerja sama antara pihak yang memiliki kemampuan teknis dan finan- sial dengan pemegang IUPHHK-HT yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial. Walaupun kerja sama operasi (KSO) ini legal secara hukum, namun secara ekonomi bentuk perjanjian kerja sama ini menyebabkan pemegang IUPHHK-HT tidak memiliki kebebasan untuk melakukan pemasaran kayu HTI.

Disamping itu terdapat sejumlah kebijakan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan yang menyatakan penetapan rendahnya harga log untuk pabrik pulp dan kertas serta menjaga rendahnya iuran/pajak yang dikenakan kepada pengelola HTI menjadi penyebab tidak berkembangnya pembangun hutan, kecuali berasosiasi dengan pabrik-pabrik pulp dan kertas yang dilindungi pemerintah itu. Besarnya tarif yang terkait dengan usaha HTI dan pabrik pulp dan kertas tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah No 12/2014, sebagai berikut:

1. Iuran IUPHHK-HT = Rp 250,- per izin per ha per tahun

2. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk kayu bulat kecil Eucalyptus dan Acasia Mangium = 6%x harga patokan

Berdasarkan Permendag No 12/2012, disebutkan bahwa harga patokan kayu bulat dari HTI sebesar Rp.

782.000,- per ton untuk kayu Eucalyptus dan sebesar Rp. 792.000,- untuk kayu Acasia. Adapun menurut SK Menhut No 68/2014 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Perhitungan PSDH, Gan- ti Rugi Tegakkan dan Penggantian Nilai Tegakan, untuk kayu Acasia dan Eucalyptus sama sebesar Rp 90.000,- per m3. Harga patokan ini hanya sekitar 23% dari harga pasar yang sesungguhnya.

Footnote:

6. Berdasarkan evaluasi penggunaan hutan alam produksi baik untuk HPH, HTI, perkebunan maupun penggunaan lainnya dapat ditunjukkan bahwa dalam hal jumlah luas maupun tingkat kerusakan hutan yang diakibatkannya, HPH mempunyai peran pal- ing besar. Akumulasi pembangunan perkebunan (besar) sampai dengan akhir 1998 sebesar 2,25 juta ha dan untuk HTI sebesar 4,7 juta ha. Sedangkan kawasan hutan alam produksi yang telah dikonsesikan pemerintah dalam bentuk HPH sampai dengan akhir 1998 seluas 69,4 juta ha (Kartodihardjo dan Supriono, 1999). Data DepHutBun tahun 1998 menunjukkan bahwa luas hutan yang telah dikonsesikan kepada pemegang HPH, sebesar 16,51 juta ha telah mengalami kerusakan dan akan dilakukan rehabilitasi seluas 9,5 juta ha, pencadangan areal dan belum ada alokasi seluas 5,1 juta ha, perubahan alih fungsi untuk pem- bangunan HTI seluas 710.000 ha, perkebunan seluas 30.000 ha, dan transmigrasi seluas 80.000 ha. Konversi lahan terbesar yang telah dilakukan yaitu untuk proyek lahan gambut di Kalimantan Tengah seluas 1.090.000 ha yang semula telah diusa- hakan oleh 12 unit HPH. Apabila HPH mengikuti etat luas yang ditetapkan pemerintah yaitu sebesar 1/35 bagian per tahun,

dan apabila diasumsikan bahwa areal yang berhutan rata-rata 70% dari luas HPH yang diusahakannya, maka HPH sebenarn- ya hanya akan selalu menebang sebesar 1/35 x 70% = 2% dari luas hutan yang diusahakannya. Inipun dengan asumsi bahwa selama waktu konsesinya tidak ada pengurangan areal ataupun kerusakan hutan oleh sebab lain, seperti pencurian kayu, kebakaran hutan, dll. Hasil perhitungan lain (Kartodihardjo, 1998) menunjukkan bahwa berkurangnya hutan primer sebesar rata-rata 2,5% per tahun. Dengan kata lain setiap tahun HPH melakukan penebangan lebih (over cutting) rata-rata seluas 2,5 – 2 =0,5% dari luas hutan yang dikelolannya atau setiap tahun melakukan over cutting rata-rata sebesar 0,5/2 = 25% dari luas yang ditetapkan pemerintah.

7. Pada periode 1997—2003, dari 357 kasus konflik, 39% diantaranya terjadi di wilayah HTI, 34% di wilayah hutan lindung dan konservasi dan 27% di wilayah HPH (Wulan, dkk 2004).

8. Perusahaan HTI yang mendapat subsidi Dana Reboisasi berjumlah 26 perusahaan dengan luas kawasan HTI sekitar 2,5 juta ha.

9. Dari 50 butir memorandum RI-IMF 1998, terdapat 8 butir yang berkaitan langsung dengan pengusahaan hutan produksi.

Sasaran memorandum tersebut mencakup tiga instrumen kebijakan. Pertama, dibuka mekanisme pasar bersaing baik terhadap penyelenggaraan pengusahaan hutan maupun pengolahan dan perdagangan hasil hutan. Kedua, penyempurnaan sistem pen- gelolaan/pengusahaan hutan. Ketiga, adanya konsistensi dan transparansi pengambilan keputusan khususnya yang menyang- kut alokasi dan penggunaan sumberdaya (hutan) milik publik. Sasaran pertama untuk mencapai efisiensi dalam pelaksanaan pengusahaan hutan. Efisiensi tersebut harus didukung adanya jaminan pelestarian sumberdaya hutan, sehingga sasaran kedua merupakan syarat cukup (sufficient condition) bagi terselenggaranya pemanfaatan hasil hutan secara berkelanjutan. Agar dua syarat tersebut dapat terlaksana dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat luas, maka sasaran ketiga merupakan agenda pemerintah c.q. Departemen Kehutanan untuk mampu membangun organisasi yang akomodatif terhadap kepentingan masyarakat luas.

10. Sebuah audit independen terhadap Dana Reboisasi yang dilakukan oleh Ernst & Young pada tahun 1999 menemukan kerugian sebesar US$5,2 miliar selama periode lima tahun, tahun anggaran 1993/1994 – tahun anggaran 1997-1998, sekitar 50 persen telah berkurang setelah penerimaan Dana Reboisasi masuk ke rekening Departemen Kehutanan. Namun pada Juni 2009, lapo- ran audit akhir yang dihasilkan oleh Ernst & Young tidak pernah dirilis untuk tinjauan umum maupun didiskusikan. xa.yimg.

com/kq/groups/.../Finding+and+REcommendations+Dana+Reboisasi.doc

11. Hasil tinjuan lapangan Tim Litbang KPK ke Riau dan Kalimantan Tengah, Februari 2017.

12. IUPHHK-HT adalah izin memanfaatkan kawasan hutan dengan membangun hutan tanaman untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu

13. PT RAPP tergabung dalam Raja Garuda Mas Group yang terdiri atas PT RAPP di Riau dan PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) di Sumatera Utara sedangkan PT IKPLihat Pasal 1 angka 2 UU No. 12 tahun 2011.

BAGIAN KETIGA: TEMUAN DAN ANALISIS PERUBAHAN PRODUK HUKUM TERKAIT HTI

BAGIAN KETIGA: TEMUAN DAN ANALISIS PERUBAHAN PRODUK

Dokumen terkait