• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PAPARAN DATA

C. Penyajian Data

1. Gaya Bahasa berdasarkan Pilihan Kata

a. Gaya bahasa resmi, adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi.

1. Bahasa resmi Habib Husein terlihat pada paragraf ke-22 dengan menggunakan semua diksi kata yang resmi.

“Tapi kalau yang ke selatan, itu tidak melalui penaklukan, melalui akulturasi budaya, melalui jalan damai, melalui jalan pena, bukan lagi jalan pedang; jalur perdagangan, dsb.

Sehingga kemudian corak peradaban Islam di Timur Tengah dan di Asia, di Nusantara termasuk Singapura.

Malaysia, dsb, itu jauh lebih kokoh dan jauh lebih saintifik sebenarnya. Karena orang memeluk Islam dengan kesadaran dan sebagai pilihan dan Islam diperkenalkan sebagai satu agama yang gagah secara rasional, gagah secara kebudayaan, dsb. Sehingga sebenarnya Indonesia bisa menjadi kiblat kedua atau kiblat baru untuk memulai revolusi itu, memulai corak Islam yang baru dalam segala hal, dalam sains dan teknologi.”

b. Gaya bahasa tak resmi, merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempatan-kesempatan yang tidak formal atau kurang formal.

48 https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Gita_Wirjawan, diakses pada: 17 April 2023.

1. Paragraf ke-9 menunjukkan contoh pertama penggunaan bahasa tak resmi oleh Habib Husein.

“Jadi dulunya jeda menulis, ngomong, apa yang ditulis diomongkan, tapi sekarang malah jeda nulis betulan. Jadi nggak nulis-nulis. Akhirnya 3 tahun lalu masuk ke YouTube dan alhamdulillah diterima dengan baik karena memang berbasis kurikulum jadi yang dibicarakan itu nggak ngalor- ngidul, nggak seadanya, nggak random, tapi kurikulum yang kemudian saya sebut sebagai "Islam Cinta."”

Kata “ngalor-ngidul” merupakan kata yang tidak formal, karena kata ini berasal dari Bahasa Jawa yang bermakna

“Utara-Selatan”.

2. Paragraf ke-14 menunjukkan contoh kedua penggunaan bahasa tak resmi oleh Habib Husein.

“Kemudian literasi kita yang rendah, itu seharusnya menjadi objek dakwah Islam, dsb. Islam sebagai way of life (pandangan hidup), sebagai worldview, itu yang sekarang tereduksi. Sehingga saya ingin kemudian ayo kita mencoba menjadikan semuanya itu rukun untuk sama-sama memajukan.”

Kata “way of life dan worldview” merupakan kata yang tidak formal, karena kata ini berasal dari Bahasa Inggris yang bermakna “pandangan hidup”.

3. Paragraf ke-34 menunjukkan contoh ketiga penggunaan bahasa tak resmi oleh Habib Husein.

“Itu kan yang dulu dimiliki Bung Karno. Bagaimana kemudian berdiplomasi bernarasi dengan baik. Itu yang dimiliki oleh Agus Salim. Dan mungkin juga soal mentalitas ya, Pak Gita. Kalau Agus Salim itu kan menganggap, "Ah orang Barat, orang luar negeri itu ahh..."

Iya dengan diplomasi ... - Dijabanin.”

Kata “dijabanin” merupakan kata yang tidak formal, karena kata ini berasal dari Bahasa Betawi yang bermakna

“berani atau dilayani”.

4. Paragraf ke-40 menunjukkan contoh keempat penggunaan bahasa tak resmi oleh Habib Husein.

“Karena itu saya misalnya bikin yang namanya Pemuda Tersesat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang senyeleneh apa pun, tapi mungkin ada di kepala orang. Tapi tidak mungkin dia tanyakan di masjid karena khawatir dicurigai apa-apa kalau di masjid, enggak dijawab, malah dimarah-marahin dia.”

Kata “senyeleneh” merupakan kata yang tidak formal, karena kata ini berasal dari Bahasa Jawa yang bermakna

“aneh”.

5. Paragraf ke-51 menunjukkan contoh kelima penggunaan bahasa tak resmi oleh Habib Husein.

“Bukan menutup diri. Kalau kata seorang filsuf Jerman (Jürgen) Habermas itu ya ruang publik perlu. Dia berharap kan ruang digital ini menjadi ruang publik yang sehat, nggak tahunya jadi ruang publik yang toxic akhirnya, itu isu yang perlu diciptakan. Karena saya punya bayangan, Pak Gita, punya ruang publik yang sehat. secara keagamaan, secara kebudayaan, serta kebangsaan. Ada ruang temu.”

Kata “toxic” merupakan kata yang tidak formal, karena kata ini berasal dari Bahasa Inggris yang bermakna “tidak sehat”.

c. Gaya bahasa percakapan, gaya dengan pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan.

1. Paragraf ke-13 menunjukkan contoh pertama penggunaan bahasa percakapan oleh Habib Husein.

“Ketika ditanya kenapa lari dari satu takdir, "Saya lari dari satu takdir menuju takdir yang lainnya." Paling beraninya orang, paling berimannya orang, kita udah keberaniannya biasa saja, kemudian keimanannya cetek, sok-sokan bicara bahwa "Ah gak takut Corona, takut Allah." Ini pola pikir yang salah, yang rentetannya dari pemahaman tentang sains dan agama yang bermasalah.”

Kata “sok-sokan” merupakan kata dalam bahasa percakapan sehari-hari, karena kata ini adalah adjektiva yang bermakna “berlagak” yang tidak baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dan kata “cetek” merupakan bahasa Jawa yang artinya “dangkal”

2. Paragraf ke-18 menunjukkan contoh kedua penggunaan bahasa percakapan oleh Habib Husein.

“Yang penting hasilnya kemudian bisa diverifikasi secara ilmiah. Nah ada masa itu sebenarnya. Di mana orang kemudian menggali, silahkan Al- Qur'an, dari dari mana pun tapi yang terpenting bisa diverifikasi secara ilmiah.

Tapi kemudian lagi-lagi muncul nama-nama seperti Harun Yahya yang cocoklogi. Jadi mencocokkan, menundukkan sains pada pada kitab suci bukan kemudian mencari titik temunya.”

Kata “cocoklogi” merupakan kata dalam bahasa percakapan sehari-hari, karena kata ini bermakna “bias konfirmasi” dalam Bahasa Indonesia.

3. Paragraf ke-26 menunjukkan contoh ketiga penggunaan bahasa percakapan oleh Habib Husein.

“Saya sering bilang sekarang iman dan taqwa orang itu bisa dicek dari F.Y.P. TikTok-nya. Kalau isinya hal-hal yang nyerempet-nyerempet pornografi, berarti iman dan taqwanya sekelas itu. Jadi algoritma itu yang kemudian mendidik kita, bukan kita yang menciptakan algoritma.

Makanya saya mendorong orang untuk tidak digiring oleh algoritma.”

Kata “nyerempet-nyerempet” merupakan kata dalam bahasa percakapan sehari-hari, karena kata ini bermakna

“serempet” tidak baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

4. Paragraf ke-36 menunjukkan contoh keempat penggunaan bahasa percakapan oleh Habib Husein.

“Ada satu Kyai Madura yang sedang talqin mayit. "Kalau datang nanti tiga malaikat," kata dia. Terus dicolek sama santrinya, "Kyai, bukan 3, yang datang 2 malaikat nanti di kubur." "Ah, diam saja," kata dia. "Kalau datang 3 malaikat kepada kamu." "Kyai, dua." "Nggak, diam saja." "Kalau datang 3 malaikat kepada kamu, pastikan yang satu itu palsu, karena seharusnya datang 2." Ini gaya ngeles, kepercayaan diri yang sangat tinggi, sehingga orang madura ada di mana-mana.”

Kata “ngeles” tidak termasuk dalam Bahasa Indonesia dan merupakan kata dalam bahasa percakapan sehari-hari, karena kata ini bermakna “cara seseorang untuk menghindari sesuatu yang menurut dia tidak menarik diperbincangkan.”

5. Paragraf ke-40 menunjukkan contoh kelimat penggunaan bahasa percakapan oleh Habib Husein.

“Karena itu saya misalnya bikin yang namanya Pemuda Tersesat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang senyeleneh apa pun, tapi mungkin ada di kepala orang. Tapi tidak mungkin dia tanyakan di masjid karena khawatir dicurigai apa-apa kalau di masjid, enggak dijawab, malah dimarah-marahin dia.”

Kalimat “malah dimarah-marahin” merupakan kata dalam bahasa percakapan sehari-hari, karena kata “malah”

bermakna “justru” dalam bahasa Indonesia resmi dan kata

“dimarah-marahin” bermakna “terus dimarahi” dalam Bahasa Indonesia yang tidak baku.

2. Gaya bahasa berdasarkan Nada

a. Gaya sederhana, gaya ini digunakan secara efektif, pembicara harus memiliki kepandaian dan pengetahuan yang cukup.

Seperti ketika dosen mengajar di depan mahasiswa dan mahasiswinya.

1) Habib Husein menggunakan gaya bahasa ini ketika menjelaskan beberapa pembahasan ilmiah dan akademis yang menggunakan kalimat dan kata-kata akademis pula pada Paragraf ke-27.

“Sebenarnya kalau secara Islam, memang sering terjadi fenomena-fenomena seperti itu. Sama-sama orang Islam saling mendelegitimasi dengan ayat yang sama. Misalnya kalau dalam sejarah Islam ada konflik antara Sayidina Ali bin Abi Tholib. - Ini bukan di Islam saja, agama lain juga.

Ayat yang sama itu bisa diinterpretasi untuk kepentingan

yang berbeda. - Iya bahkan kita bisa lebih jauh bicara di aspek yang sekuler. Misalnya kalau dalam aspek hukum sekuler UUITE bisa ditarik sekaret mungkin, dan ayat-ayat suci itu bisa lebih melar dari UUITE kalau ditarik oleh nafsu kita. Ada dalam sejarah Islam Sayidina Ali dan Muawiyah, misalnya. Sejarah itu selalu ada. Sekarang apa lagi polarisasi di internal umat Islam atau internal umat beragama masing-masing saling mendelegitimasi dengan ayat dan hadist yang sama. Sebenarnya kalau dalam Islam, konstruksi itu sudah disiapkan.”

2) Kemudian menjelaskan tentang pembahasan proxy yang bermakna sistem yang mengamankan koneksi pada Paragraf ke-32.

“Sejarah kita adalah sejarah anti-proxy. Dan salah satu masalah dunia apa lagi kita bicara masalah konflik Israel- Palestina, Tiongkok-Amerika, perang dagang, kita bicara Timur Tengah itu murni soal proxy. Ada proxy Iran, Tiongkok, dkk. Ada proxy Saudi, Amerika, dkk. Kita punya bekal sejarah, kita non-blok, kita punya bekal sejarah Islam yang tidak terjebak pada aspek politik. Islam kita lebih berorientasi kemaslahatan, tidak politis. Beda dengan Islam di Timur Tengah. Kemudian kita juga tidak punya logika proxy, kita gak terjebak dalam proxy-proxy itu, mau proxy Iran dkk, proxy Saudi dkk, kita gak terjebak, kita dekat dengan semua kelompok, sekaligus bisa jauh dari semua kelompok ketika ada bias-bias proxy di dua kelompok tersebut.”

b. Gaya mulia dan bertenaga, gaya ini penuh dengan vitalitas dan enersi, dan biasanya dipergunakan untuk menggerakan sesuatu.

1) Gaya ini ditunjukkan Habib Husein ketika membahas topik tentang Palestina pada Paragraf ke-32.

Dan sebenarnya isu Palestina itu menjadi menarik bagi politik luar negeri kita karena kita mayoritas muslim, tidak ter-proxy, kemudian bebas aktif politik luar negerinya, sehingga isu Palestina seharusnya bisa menjadi panggung diplomasi politik kita untuk bicara dalam skala yang jauh lebih luas. Itulah sebenarnya posisi daya tawar diplomasi

luar negeri Indonesia. Palestina itu bisa menjadi panggung bagi kita untuk kita bicara tentang Palestina dan banyak hal.”

2) Lebih lanjut gaya ini ditunjukkan Habib Husein ketika membahas topik tentang korupsi untuk mengingatkan para pendengar dengan vitalitas dan sensitifitas pembahasan pada Paragraf ke-44.

“Sebenarnya tegas sikap Nabi kepada korupsi "Arrosi wal murtasi finnar." segala tindak koruptif baik itu materil atau pun immateril, itu tempatnya di neraka. Bahkan Nabi mensifati dalam hadits yang lain korupsi itu kata Nabi menjangkitkan. Dia akan membuat ruang gerak kamu menjadi sempit, nggak bisa kemana-mana. Karena sudah dikunci oleh praktek korupsi itu sendiri. Sehingga ruang gerak kita enggak mudah untuk mengkritik sudah, karena sudah ada jejak korupsi itu.”

c. Gaya sederhana, gaya yang tujuannya adalah menciptakan suasana senang dan damai, maka nadanya juga bersifat lembut-lembut, dan mengandung humor yang sehat.

1) Gaya ini ditunjukkan Habib Husein dengan membawa topik pembahasan tentang TikTok dan Iman dan Taqwa pada Paragraf ke-26.

“Nah masalahnya sekarang teknologi yang secara bias mengontrol kita. Misalnya saya pernah ditegur,

"YouTube isinya dakwah, tapi iklannya porno." Gatal.

Saya sering bilang sekarang iman dan taqwa orang itu bisa dicek dari F.Y.P. TikTok-nya. Kalau isinya hal-hal yang nyerempet-nyerempet pornografi, berarti iman dan taqwanya sekelas itu. Jadi algoritma itu yang kemudian mendidik kita, bukan kita yang menciptakan algoritma.”

2) Paragraf ke-34 menunjukkan pembawaan gaya menengah oleh Habib Husein dengan santai saat menjelaskan tentang Agus Salim dan Ir. Soekarno.

Itu kan yang dulu dimiliki Bung Karno. Bagaimana kemudian berdiplomasi bernarasi dengan baik. Itu yang dimiliki oleh Agus Salim. Dan mungkin juga soal mentalitas ya, Pak Gita. Kalau Agus Salim itu kan menganggap, "Ah orang Barat, orang luar negeri itu ahh..." Iya dengan diplomasi ... - Dijabanin.”

3) Lebih lanjut lagi gaya ini ditunjukkan Habib Husein dengan santai membawakan cerita tentang Mentalitas melalui cerita seorang pemabuk dengan Polisi pada Paragraf ke-37.

“Apa lagi pernah polisi beli di toko kelontongan di pelabuhan Suramadu dulu ketika belum ada jembatan, Polisi ini dia gak berseragam, "Saya mau nyebrang, tapi saya mabuk perjalanan, ada enggak obatnya?" "Oh ada," kata dia, "Ini obatnya anti mabuk." Dia minum.

"Jamin ya nggak mabuk?" "Jamin pulang-pergi." Pas pulang, dia datang, gebrak meja, kata dia (pakai seragam polisi), "Kamu ini gimana katanya jamin gak mabuk, saya minum obat kamu itu tetap mabuk." "Bapak ini gimana saya ini polisi," kata dia, "Jangan remehkan, kamu jangan main-main dengan saya." "Bapak ini justru Bapak karena polisi enggak bilang waktu itu. Ini obat, Pak, baru untuk darat, laut, dan udara, Pak. Belum ada untuk polisi." "Kalau bilang dari awal Anda polisi, nggak saya kasih Bapak. Karena ini baru untuk darat, laut, dan udara, obat anti mabuk." Jadi kita sebenarnya butuh kepercayaan diri, mentalitas.”

4) Gaya ini kemudian ditunjukkan Habib Husein lagi dengan membawakan topik pembahasan tentang

penyebab perceraian yang dihubungkan dengan bermain gawai pada Paragraf ke-39.

“Karena 2019 data yang saya punya dari we are social, itu 58% orang Indonesia tersambung dengan gadget.

Dan rata-rata menghabiskan waktu 8,5 jam dengan gadgetnya, orang Indonesia. Makanya saya sering bercanda, 8 jam kerja, 8 jam tidur, 8 jam main gadget, pantesan banyak yang cerai, karena gak punya waktu untuk keluarganya.

5) Gaya ini kemudian ditunjukkan Habib Husein lagi saat membawakan topik pembahasan tentang bagaimana jika ada yang bertanya padanya tentang dosa dan pahala sama beratnya dengan humoris pada Paragraf ke-40.

“Karena itu saya misalnya bikin yang namanya Pemuda Tersesat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang senyeleneh apa pun, tapi mungkin ada di kepala orang.

Tapi tidak mungkin dia tanyakan di masjid karena khawatir dicurigai apa-apa kalau di masjid, enggak dijawab, malah dimarah-marahin dia. Misalnya ada orang yang membayangkan, "Kalau dosa dan pahala kita 50:50 nanti di akhirat masuk surga apa neraka ya?"

6) Terakhir ada pada Paragraf ke-49 dengan menyindir secara humoris topik tentang orang besar berbicara ide dan gibah.

“Walaupun Steve Jobs didepak sama (John) Sculley. - Iya akhirnya. Makanya saya selalu bilang bahwa orang besar itu berbicara ide. Orang setengah besar itu bicara peristiwa. Orang kecil, ngomongin orang lain. Gibah. Kita ini kan masih sebatas bahkan bicara peristiwa paling jauh. Kita gak bicara ide, apalagi di media sosial.”

3. Gaya bahasa berdasarkan Struktur Kalimat

a. Klimaks, adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.

1) Pada Paragraf ke-9 Habib Husein menempatkan inti pembahasan tentang penamaan kanal Youtube “Jeda Nulis”

pada akhir pembahasan.

“Minat baca kita rendah sekali, nomor dua terbawah di dunia. Tapi saya curiga kayaknya minat mencari ilmunya tinggi, hanya bergeser saja, dari budaya tulis ke budaya audio-video. Akhirnya memutuskan mikirin gimana mengikuti zaman ini. Berpikir untuk bikin YouTube. Tapi karena latar belakangnya penulis, dan penulis itu biasanya di balik layar, introvert, dsb. Akhirnya nyari orang untuk tampil di Youtube membacakan tulisan saya. Karena memang mementingkan tampilan visual. Tapi nggak dapat- dapat setahun, frustasi, jam satu malam memberanikan diri hidupin HP ngobrol di Youtube, langsung diunggah.

Makanya nama Youtube saya "Jeda Nulis".”

b. Antiklimaks, merupakan gaya bahasa dengan suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut- turut ke gagasan yang kurang penting.

1) Paragraf ke-11 menunjukkan peletakan inti kalimat pada awal pembahasan tentang Rahmatan Lil’alamin.

Bagi saya Islam adalah agama yang rahmatan lil'alamin. Rahmatan lil'alamin paling tidak memberikan dua kata kunci yang pertama rahmat bagi semua orang bukan hanya lil muslimin, bukan hanya bagi orang Islam sehingga saya sangat fokus kepada toleransi beragama. Kemudian yang kedua lil'alamin itu bagi semesta alam, artinya bukan hanya kepada manusia, tapi binatang, tumbuhan, sehingga kemudian bukan hanya

rahmat bagi aspek agama itu sendiri, tapi sains, teknologi, ekonomi, sosial, budaya, agama itu menjadi rahmat bagi semua itu.”

2) Paragraf ke-15 menunjukkan peletakan inti kalimat pada awal pembahasan tentang reduksi islam.

Islam tereduksi sedemikian rupa, apa lagi sekarang.

kemudian menjadi agama hukum semata bagi sebagian orang atau bahkan bagi sebagian besar orang. Kalau pun melebar, mungkin hanya ke politik. Itu pun karena pragmatisme bukan pengabdian. Sehingga kemudian tereduksi sedemikian rupa menjadi agama hukum saja.”

3) Paragraf ke-25 menunjukkan kembali peletakan inti kalimat pada akhir pembahasan tentang manusia diciptakan berdaulat, apalagi pada teknologi.

“Oh iya. Tapi tetap saya percaya bahwa kita diciptakan oleh Tuhan sebagai pribadi yang berdaulat, pribadi yang merdeka. Bahkan lebih jauh itu, kata Nabi dalam salah satu haditsnya, "Kullukum Ro'in, Wakullukum Mas Ulun ' Aro'iyyatihi." Kamu ini pemimpin, utamanya kepada diri kamu. Sehingga seharusnya manusia apa lagi muslim tidak teralienasi dari dirinya sendiri apa lagi oleh teknologi, oleh sesuatu yang dibuat oleh dirinya sendiri.”

4) Paragraf ke-36 menunjukkan peletakan inti kalimat pada awal pembahasan tentang humor sebagai medium dakwah.

Pertama soal humor, saya menjadikan humor sebagai medium dakwah saya. Mengajak komika Stand-up Comedy untuk mendampingi saya dalam berdakwah.

Mengapa? Karena humor itu paling tidak selain yang disampaikan Pak Gita tadi, punya 2 keunggulan yang penting sekali untuk dakwah, sebagai medium dakwah.

Yang pertama, humor adalah bahasa yang dimengerti oleh orang seawam apa pun, bahasa ekonomi, tidak dimengerti orang awam, bahasa filsafat apa lagi, bahasa agama pun

tidak semua orang mengerti, tapi humor semua orang bisa tertawa dengan humor dia bahasa yang paling awal dan karena itu dia dibutuhkan untuk jangkauan yang luas dalam dakwah. Kemudian yang kedua, humor itu sangat efektif sebagai medium kritik.”

5) Paragraf ke-44 menunjukkan kembali peletakan inti kalimat pada awal pembahasan tentang segala bentuk korupsi tempatnya di neraka.

Sebenarnya tegas sikap Nabi kepada korupsi "Arrosi wal murtasi finnar." segala tindak koruptif baik itu materil atau pun immateril, itu tempatnya di neraka.

Bahkan Nabi mensifati dalam hadits yang lain korupsi itu kata Nabi menjangkitkan. Dia akan membuat ruang gerak kamu menjadi sempit, nggak bisa kemana-mana. Karena sudah dikunci oleh praktek korupsi itu sendiri. Sehingga ruang gerak kita enggak mudah untuk mengkritik sudah, karena sudah ada jejak korupsi itu.”

6) Paragraf ke-47 menunjukkan peletakan inti kalimat pada awal pembahasan tentang bonus demografi di Indonesia.

Saya melihat begini, ada bonus demografi yang akan kita hadapi di 2030. Beberapa negara gagal dengan bonus demografi ini. Afrika Selatan misalnya. Beberapa negara berhasil dengan bonus demografi ini, Korea Selatan misalnya. Ini kita sedang berada di persimpangan itu. Dan pola pikir, paradigma tokoh agama, tokoh bangsa, pemimpin negara, pemimpin agama harus memberikan orientasi pada visi Indonesia 2045 ini. Yang fokusnya adalah pada generasi muda akhirnya. Karena mempertimbangkan bonus demografi itu.”

c. Paralelisme, gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.

Kesejajaran tersebut dapat pula berbentuk anak kalimat yang bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama.

1) Gaya bahasa ini hanya ditunjukkan Habib Husein pada Paragraf ke-48 yang induk kalimatnya ada pada kalimat

“perubahan paradigma” kemudian dilanjutkan dengan kata dan kalimat paralel yang berkorelasi.

“Jadi akhirnya, menurut saya kuncinya adalah pada perubahan paradigma, perubahan mentalitas, yang itu harus didukung oleh semua pihak dan utamanya pada generasi muda ini menumbuhkan kesadaran paradigmatik, kesadaran mentalistik, untuk kemudian menjadi pribadi baru, pribadi Indonesia yang baru. Manusia pancasila yang baru, manusia Indonesia yang baru, manusia muslim yang baru.”

d. Antitesis, gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau sekelompok kata yang berláwanan.

1) Gaya bahasa ini hanya ditunjukkan Habib Husein pada Paragraf ke-30 tentang Ekonomi.

“Karena visi ekonomi itu sangat penting dalam peradaban dan karena itu di agama menjadi sangat ditekankan. Salah satu dari lima tujuan agama Islam yang disebut dengan maqashid syariah itu adalah hifdzul maal menjaga harta benda. Karena ekonomi ini menjadi salah satu dasar termasuk tindak radikalisme dan terorisme, itu meskipun akarnya adalah ideologi

e. Repetisi, gaya bahasa dengan perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.

Dokumen terkait