• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Tokoh Etnik Dalam Integrasi

42

wajar. Pada tahun 2014-2015, Mahkamah Agama telah mengadili 803 kasus korupsi di Indonesia (Ayuningtyas, 2016). Indonesia bahkan menempati peringkat ke-88 dari 168 negara dalam survei Lembaga Transparency International (TI) mengenai korupsi (Hafid, 2016).

Fenomena ini sangat mengkhawatirkan karena uang yang dikorupsi adalah uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi hanya segelintir individu dan kelompok yang mendapat manfaat.

Kemakmuran suatu negara tidak akan terwujud jika korupsi masih merajalela. Berbagai kalangan telah terlibat dalam praktik korupsi, termasuk pejabat pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha, wiraswasta, guru, jaksa, dan bahkan hakim. Contoh kasusnya adalah penangkapan Irman Gusman, yang menjabat sebagai Ketua DPD (Rizki, 2015). Yang menyedihkan, tindak korupsi dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi representasi rakyat yang berpendidikan tinggi, yang seharusnya memimpin Indonesia menuju kemajuan, bukan malah terlibat dalam praktik korupsi.

Dampak korupsi tidak hanya dirasakan oleh satu pihak, tetapi berdampak pada seluruh sektor, seperti efek domino yang meruntuhkan. Bukan hanya pembangunan yang terhambat, tetapi juga seluruh aspek pembangunan negara. Pada tahun 2015, kerugian negara akibat korupsi mencapai 31,077 triliun rupiah menurut survei Indonesia Corruption Watch (ICW) (Dwi, 2016). Negara terpaksa berutang untuk menutupi defisit dan melanjutkan pembangunan.

43

menenangkan situasi dan menciptakan kondisi yang kondusif.43 Mereka mampu mengendalikan ketegangan sosial, mengantisipasi konflik, dan menyelesaikan perselisihan. Di masa lalu, tokoh-tokoh etnik inilah yang sering terlibat dalam meredakan pergolakan, konflik, atau tindakan kriminalitas dengan menggunakan pendekatan budaya dan adat istiadat, sehingga tidak semua masalah harus ditangani secara formal oleh hukum.

Para tokoh etnik umumnya memimpin secara informal dalam komunitas etnis mereka. Mereka diangkat dan diakui sebagai pemimpin karena memiliki kelebihan, kewibawaan, dan keistimewaan di mata komunitas etnis tersebut. Paguyuban atau kehidupan bersama yang erat dalam komunitas etnis dibangun atas dasar hubungan batin yang kuat dan alami, yang didasarkan pada rasa cinta dan kesatuan batin yang telah takdirkan untuk bersama-sama. Terbentuknya paguyuban didasari oleh tiga faktor utama, yaitu pertalian darah, pertalian tempat, dan kesamaan jiwa-pikiran atau ideologi.

Tokoh etnik yang berasal secara alami atau otentik sering kali menjabat sebagai kepala suku atau kepala adat. Dulu, dan bahkan hingga saat ini, meskipun dalam tingkat yang lebih rendah, tokoh etnik seperti kepala suku atau kepala adat memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan.

Mereka berperan dalam menjaga kerukunan, persatuan, dan kesatuan di antara etnis atau di wilayah tempat mereka tinggal.

Di Indonesia, dengan keberadaan sekitar 1.340 etnik menurut data BPS 2010, terdapat juga sejumlah tokoh etnik yang berperan sebagai pemimpin informal di komunitas mereka. Dalam model kepemimpinan yang bersifat kolektif, kepala suku atau kepala etnik dapat digabungkan ke dalam satu kepemimpinan yang lebih besar dalam cakupannya. Sebagai contoh, jika ada beberapa suku atau etnik yang tinggal dalam satu wilayah kabupaten, kota, atau provinsi, melalui musyawarah yang difasilitasi oleh pemerintah daerah, kesepakatan dapat dicapai untuk menetapkan salah satu dari mereka sebagai ketua adat. Sebagai pemimpin informal yang mewakili seluruh suku atau etnis di wilayahnya, ketua adat dianggap sebagai figur yang dapat

43 Mochd. Saad, “Relasi Etnik dalam Masalah Integrasi”, Jurnal Industri dan Perkotaan, Vol. 13 No. 24, (Riau: Universitas Riau, 2009), h. 199.

44

memberikan kontribusi untuk menjaga ketenteraman dan keharmonisan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional.

Langkah-langkah pemerintah untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa tercermin dalam kebijakan pendirian Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34/2006. FPK bertujuan untuk mengintegrasikan anggota masyarakat dari berbagai latar belakang ras, suku, dan etnis melalui interaksi sosial dalam berbagai aspek seperti bahasa, adat istiadat, seni budaya, pendidikan, dan perekonomian. Tujuannya adalah untuk memperkokoh identitas kebangsaan Indonesia tanpa menghilangkan keberagaman ras, suku, dan etnis dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembinaan pembauran kebangsaan merupakan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan iklim yang kondusif agar masyarakat menerima keberagaman dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Anggota FPK mewakili berbagai etnik di tingkat provinsi untuk forum provinsi dan di tingkat kabupaten/kota untuk forum kabupaten/kota.

Para tokoh etnik berperan aktif dalam membantu pemerintah dalam menciptakan kondisi yang kondusif. Mereka melakukan upaya preventif dengan melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pembauran bangsa atau integrasi nasional. Jika terjadi perpecahan, peran utama mereka adalah menciptakan rasa nyaman dan damai dengan menyelesaikan masalah secara persuasif dan restoratif, yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan yang rusak tanpa menggunakan tindakan persuasif dan restoratif.44

Pendekatan persuasif berarti melakukan langkah-langkah untuk mengakomodasi dan menyelesaikan masalah melalui musyawarah dan mufakat. Ini sesuai dengan pepatah suku Minang yang mengatakan "bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat," yang menggambarkan bahwa dengan berunding secara damai, kita dapat mencegah kekerasan dan anarki yang

44 Nyoman Suryawan, “Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial dalam Integrasi Antara Etnik Bali dan Etnik Bugis di Desa Petang, Badung, Bali”, Jurnal Kajian Bali, Vol. 7 No. 1, (Tabanan: IKIP Saraswati, 2017), h. 18.

45

hanya akan memperdalam luka dan dendam. Sebaliknya, pendekatan persuasif dapat membantu meredakan pertikaian dan menciptakan harmoni dalam kehidupan.

Pendekatan restoratif di sisi lain mengacu pada penyelesaian masalah di masyarakat yang mengarah pada disintegrasi atau perpecahan dengan memanfaatkan tradisi adat, budaya, dan norma untuk menemukan solusi damai. Ini berbeda dengan memberikan hukuman yang hanya akan meningkatkan ketegangan dan meningkatkan suhu politik karena hukuman yang tidak adil dan tidak mendidik. Namun, jika penyelesaian secara restoratif tidak memungkinkan, langkah selanjutnya adalah melalui proses hukum dan peradilan untuk memastikan keadilan yang seadil-adilnya.45

45 Ricken Sonora, dkk, “Integrasi Sosial Masyarakat Multietnis dalam Perspektif Fungsional Struktural di Desa Durian Kecamatan Sungai Ambawang”, Proceedings International Conference on Teaching and Education, Vol. 2 No. 2, (Pontianak: Universitas Tanjungpura, 2019), h. 330.

46 BAB III

Dokumen terkait