BAB I PENDAHULUAN
B. Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Dalam Perkara Pidana Terkait Dengan Akta Fidusia Yang Dibuatnya
Salah satu subyek hukum yang mendapatkan perlindungan hukum yaitu notaris. Perlindungan hukum terhadap notaris berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pejabat umum pembuat akta termasuk dalam pembuatan akta jaminan fidusia. Pembuatan akta jaminan fidusia yang dilaksanakan oleh notaris pada dasarnya sama dengan pembuatan akta otentik yang menjadi tugas dan kewenangan notaris pada umumnya. Berdasarkan hal demikian maka perlindungan hukum yang diberikan kepada notaris dalam pembuatan akta jaminan fidusia oleh peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan perlindungan hukum terhadap tugas dan jabatan notaris sebagaimana ditentukan oleh undang-undang.
Selain perlindungan terhadap tugas dan tanggungjawabnya sebagai pejabat umum, perlindungan terhadap notaris juga merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi para penghadap terhadap akta-akta yang dibuat notaris. Sebagai contoh notaris karena jabatannya memiliki hak ingkar (verschoningrecht), kewajiban ingkar (verschoningsplicht), dan kewajiban memberikan keterangan atas akta yang dibuatnya. Keistimewaan itu diatur dalam Pasal 1909 ayat (3) KUH Perdata dan Pasal 322 KUHP.
Perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya selaku Pejabat Umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan UU No.2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Khusus terkait dengan pembuatan Akta yang dilakukan oleh Notaris, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris memberikan perlindungan hukum kepada Notaris sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Sumpah/Janji Notaris, yang salah satu penggalannya berbunyi:
“bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.” Ketentuan itu lebih lanjut lagi diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f UU No.2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang berbunyi: “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban… e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain.” Akan tetapi batasan “Undang-Undang menentukan lain” ini tidak ditemukan pengaturannya.
Perlindungan Hukum terhadap (Jabatan) Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya selaku Pejabat Umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang secara khusus terkait dengan pembuatan Akta diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) huruf f UU No.2 Tahun 2014 tentang kewajiban Notaris untuk menjaga kerahasiaan atas akta yang dibuatnya adalah untuk
melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta yang dibuatnya. Hal ini disebutkan dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris sebagai berikut: “Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut.”
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notarisdi atas, paling tidak terdapat tiga elemen yang memperoleh perlindungan hukum.
Pertama, alat bukti yang dihasilkan oleh Notaris mengenai perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang dibuat karena memang peraturan perundang-undangan mensyaratkan harus dibuat oleh atau di hadapan Notaris atau mengenai perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang dibuat karena anggota masyarakat meminta kepada Notaris untuk dibuatkan alat bukti yang memenuhi standar kwalitas yang tertinggi atau yang terendah sesuai dengan norma atau kaedah yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Alat bukti itu harus memperoleh perlindungan hukum baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan sesuai dengan standar kualitasnya.
Kedua, anggota masyarakat yang memiliki alat bukti yang dihasilkan oleh Notaris baik yang disyaratkan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku maupun yang diminta oleh anggota masyarakat. Sejak awal anggota masyarakat berhak mengetahui alat bukti yang mana yang memenuhi standar kualitas yang tertinggi dan alat bukti yang mana yang memenuhi standar kwalitas yang terendah
sesuai dengan norma atau kaedah yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 sehingga anggota masyarakat sejak dari awal sebelum datang ke kantor Notaris telah mengetahui kualitas produk yang bagaimana yang akan mereka peroleh. Anggota masyarakat yang memiliki alat bukti dengan standar kualitas yang tertinggi atau standar kualitas yang terendah harus memperoleh perlindungan hukum baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan sesuai dengan standar kwalitasnya.
Ketiga, Notaris sebagai lembaga atau pejabat umum yang menghasilkan alat bukti bagi anggota masyarakat sepantasnya mendapat perlindungan dari kemungkinan adanya orang-orang yang memangku jabatan sebagai Notaris yang melaksanakan tugas dan wewenangnya menyimpang dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang mengakibatkan alat bukti yang dihasilkan tidak memenuhi standar kualitas yang tertinggi yang diinginkan oleh anggota masyarakat, kecuali dari sejak awal anggota masyarakat yang bersangkutan memang menginginkan alat bukti dengan kualitas yang rendah. Orang-orang yang memangku jabatan Notaris yang menghasilkan alat bukti untuk anggota masyarakat harus memperoleh perlindungan hukum baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Notaris wajib membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris. Hal tersebut
dimaksudkan untuk menjaga keotentikan suatu akta. Sehingga apabila ada pemalsuan atau penyalahgunaan grosse, salinan, atau kutipannya dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya.Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan Isi Akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang- undangan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris sebagai berikut: “Dalam memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Notaris dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan kepada: (1) orang yang berkepentingan langsung pada akta; (2) ahli waris; atau (3) orang yang memperoleh hak.
Namun demikian, pengertian tentang “orang yang memperoleh hak” tidak dijelaskan atau diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, sehingga dapat menimbulkan multitafsir. Salah satunya adalah ketika seseorang yang merasa haknya dirugikan akibat adanya dugaan Akta Palsu atau Keterangan Palsu dalam akta, maka orang tersebut membuat laporan/pengaduan ke Kepolisian.
Dengan dibuatnya laporan/pengaduan ke Kepolisian, maka penyidik Kepolisian adalah “orang yang memperoleh hak” untuk melihat dan mengetahui Isi Akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta. Apakah akta tersebut palsu atau apakah terdapat keterangan palsu dalam akta tersebut, akan dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya.
Namun penyidik Kepolisian sebagai “orang yang memperoleh hak” untuk melihat dan mengetahui Isi Akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta tidak dapat dengan mudah untuk melihat dan mengetahui Isi Akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta karena Penyidik harus juga tunduk dan patuh atas ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, terutama sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013 yang membatalkan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut. Sebelum putusan MK tersebut, penyidik dalam mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris harus “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD)”
Berdasarkan hal tersebut, untuk mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang diletakkan pada minuta akta, atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya, atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris, penyidik, penuntut umum atau hakim harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah. Dalam hal pemanggilan Notaris sebagai tersangka, maka sebelum persetujuan pemeriksaan diberikan, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan, penyidik dan meminta pendapat Dewan Kehormatan bila diperlukan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 huruf d Kode Etik Notaris. Dalam hal
pengambilan fotokopi minuta akta dan dalam hal Notaris dipanggil sebagai saksi, maka sebelum persetujuan pengambilan dan atau pemeriksaan diberikan, Majelis Pengawas Daerah harus terlebih dahulu mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 Kode Etik Notaris.
Peraturan selanjutnya mengenai proses penyidikan Notaris, baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi dibuat antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), yakni Nota Kesepahaman Nomor: 01/MOU/PP-INI/V/2006 tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum (selanjutnya disebut Nota Kesepahaman). Nota Kesepahaman pada dasarnya mengatur mekanisme atau prosedur pemanggilan Notaris oleh pihak Kepolisian untuk memberikan keterangan sehubungan dengan akta yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan. Dalam lampiran Nota Kesepahaman diatur bahwa pemanggilan Notaris harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh penyidik dan pemanggilan Notaris tersebut harus sudah memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas. Surat pemanggilan tersebut juga harus jelas mencantumkan alasan pemanggilan, status pemanggilan sebagai saksi atau tersangka, waktu dan tempat serta pelaksanaannya.
Dengan demikian, dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang mewakili serta bertindak untuk dan atas nama negara, maka sudah sewajarnya notaris diberikan hak-hak istimewa seperti hak ingkar dan kewajiban ingkar sebagaimana telah dipaparkan di atas sebagai sarana perlindungan hukum terhadap notaris, khususnya dari proses pemidanaan. Hal ini juga diperkuat dengan Pasal 50 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.” Dengan demikian, sepanjang notaris menjalankan jabatan dan profesinya berdasarkan “standard minimum of service” yang telah ditentukan dalam Peraturan Jabatan Notaris dan kode etik notaris, maka Notaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Untuk meningkatkan efektifitas perlindungan hukum terhadap notaris tersebut, maka aparat penegak hukum harus memiliki pemahaman yang komprehensif tentang dunia kenotariatan, aturan-aturan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, serta tugas dan kewenangan notaris sebagai pejabat umum yang mewakili serta bertindak untuk dan atas nama negara dalam melaksanakan kewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat umum dalam bidang hukum perdata.
Kaitannya notaris sebagai saksi menurut Pasal 1909 KUH Perdata menyatakan bahwa semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, wajib memberikan kesaksian di muka Hakim. Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajiban memberikan kesaksian; 1. siapa saja yang mempunyai pertalian keluarga sedarah dalam garis ke samping derajat kedua atau keluarga semenda dengan salah satu pihak: 2. siapa saja yang mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis ke samping dalam derajat kedua dengan suami atau isteri salah satu pihak; 3. siapa saja yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya diwajibkan undang-undang untuk merahasiakan sesuatu, namun hanya mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan dan
jabatannya itu. Sedangkan Pasal 322 KUHP menyatakan bahwa barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Hak ingkar dan kewajiban ingkar yang dimiliki notaris memberikan perlindungan baik terhadap notaris sendiri maupun akta yang dibuatnya. Hal ini tentunya juga memberikan perlindungan terhadap para pihak yang berkaitan dengan akta. Adanya hak ingkar dan kewajiban ingkar melindungi terbukanya isi akta dari hal-hal yang dapat merugikannya.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman yang semakin tinggi mobilitas kegiatan usaha di semua bidang notaris semakin dibutuhkan masyarakat.
Dewasa ini lembaga notaris semakin dikenal oleh masyarakat dan dibutuhkan dalam membuat suatu alat bukti tertulis yang bersifat otentik dari suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Kebutuhan akan lembaga notaris dalam praktek hukum sehari-hari tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya tingkat perekonomian dan kesadaran hukum masyarakat. Kekuatan akta otentik yang dibuat oleh notaris memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat mengingat akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna. Maka tidak jarang berbagai peraturan perundangan mewajibkan perbuatan hukum tertentu dibuat dalam akta otentik, seperti pendirian
perseroan terbatas, koperasi, akta jaminan fidusia dan sebagainya disamping akta tersebut dibuat atas permintaan para pihak.106
Adanya notaris dan akta-akta yang dibuatnya merupakan upaya terciptanya kepastian hukum bagi masyarakat, khususnya bagi para penghadap yang melakukan perbuatan hukum. Mengingat dalam wilayah hukum privat/perdata, negara menempatkan notaris sebagai pejabat umum yang berwenangan dalam hal pembuatan akta otentik, untuk kepentingan pembuktian/alat bukti.107
Kewenangan yang dimiliki oleh notaris dalam membuat akta otentik merupakan kewenangan yang menyangkut publik. Sepanjang kewenangan notaris dalam membuat akta otentik tidak dijalankan oleh pejabat umum lainnya maka kewenangan tersebut merupakan kewenangan khusus yang dimiliki notaris. Selain itu notaris juga memiliki kewenangan lain yang diatur oleh undang-undang bukan hanya Undang-Undang Jabatan Notaris saja sepanjang kewenangan tersebut bukan merupakan kewenangan pejabat umum yang lain.108
Kewenangan lain tersebut merupakan kewenangan dalam membuat akta otentik pada umumnya, yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum. Pejabat umum tersebut adalah notaris sepanjang kewenangannya bukan merupakan kewenangan pejabat umum lainnya. Adapun kewenangan pembuatan akta otentik tersebut berupa membuat akta otentik terhadap perbuatan, perjanjian atau ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau dikehendaki oleh
106Sulistyono, 2009, Pelaksanaan Sanksi Pelanggaran Kode Etik Profesi Notaris Oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia di Kabupaten Tangerang, Jurnal, Universitas Diponegoro, Semarang.
107Ibid.
108Ibid.
para pihak untuk dinyatakan dalam akta otentik guna menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat umum yang lain yang ditetapkan undang-undang.
Kewenangan notaris sebagai pejabat umum pembuat akta mempunyai kedudukan sangat penting. Peran notaris dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat karena kehidupan masyarakat dalam pergaulannya selalu terjadi perbuatan hukum keperdataan yang kadang memerlukan akta otentik yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keterangan - keterangan para penghadap yang tertuang dalam akta otentik merupakan alat bukti yang kuat dan dapat memberikan perlindungan hukum bagi para penghadap yang terlibat di dalamnya melalui notaris.
Kewenangan notaris sebagai pejabat umum ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyebutkan bahwa notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. selain notaris terdapat kewenangan pembuatan akta otentik kepada pejabat atau instansi, sebagai contoh Kantor Catatan Sipil. Kewenangan yang diberikan kepada pejabat atau instansi selain notaris tersebut, tidak berarti memberikan kewenangan sebagai pejabat umum namun hanya menjalankan fungsi sebagai pejabat umum saja saat membuat akta-akta sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Kedudukan pejabat atau instansi tersebut tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai pegawai negeri.
Ditentukan oleh Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut di atas maka notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para penghadap atau menurut ketentuan peraturan perundang-undangan akta notaris wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Profesi notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya melayani masyarakat menghasilkan produk akhir berupa akta otentik. Pembuatan akta notaris tunduk terhadap ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian.
Berkaitan dengan wewenang tersebut, maka jika notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka akta notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable). Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri.109
Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2 (dua) pemahaman, yaitu :110 1. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak
ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
2. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar
109Ghansam Anand, 2014, Karakteristik Jabatan Notaris di Indonesia (Seri Peraturan Jabatan Notaris), Zifatama Publisher, Jakarta, hlm. 52.
110Syafran Sofyan, Notaris Openbare Amtbtenaren, http://www.jimlyschool.com/read/analisis/384/
notaris-openbare-amtbtenaren-syafran-sofyan/, diakses 30 Juni 2023.
tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris. Sepanjang suatu akta notaris tidak dapat dibuktikan ketidak benarannya maka akta tersebut merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang sebenarnya dari para pihak dengan didukung oleh dokumen- dokumen yang sah dan saksi-saksi yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan konstruksi pemahaman seperti di atas, maka ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, hal ini sebagai perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau merupakan suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan hukum yang berlaku.
Seorang notaris diharuskan berlaku jujur dan adil dalam menjalankan tugas, kewajiban dan kewenangannya mengingat jabatan notaris berkaitan atau berhubungan dengan kepentingan publik yang berkaitan dengan pembuatan akta otentik tersebut. Agar notaris dapat melaksanakan tugasnya secara jujur dan adil guna melindungi kepentingan publik berkaitan dengan akta yang dibuat notaris, maka perlu adanya pengawasan terhadap tugas dan kewenangan notaris.
Pengawasan notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangan yang diberikan undang-undang pada pokoknya bertujuan agar notaris dalam menjalankan tugasnya
senantiasa dilaksanakan dengan baik. Tugas prifesi notaris sesuai amanat undang- undang bukan saja dari aspek hukum tetapi juga didasari moral dan etika profesi demi terjaminnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Notaris saat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya tidak menutup kemungkinan terdapat kesalahan dalam pembuatan akta otentik, baik disengaja maupun tidak disengaja atau karena kealpaan. Jika terjadi demikian tentu akan menimbulkan permasalahan hukum berkaitan dengan pembuatan akta tersebut.
Permasalahan hukum tersebut dapat berupa permasalahan hukum perdata maupun pidana. Pada aspek hukum perdata akta otentik sebagai alat bukti yang kuat dapat diragukan keabsahannya. Sedangkan pada aspek hukum pidana selain akta notaris yang diragukan keabsahannya, notaris dapat pula dipersangkakan telah melakukan perbuatan melawan hukum khususnya mengenai pembuatan maupun pemberian keterangan palsu dalam akta yang dibuatnya.
Bila terjadi hal demikian tentu saja akan menimbulkan keragu-raguan mengenai sangkaan tindak pidana yang dilakukan notaris. Keragu-raguan tersebut berkaitan mengenai apakah perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja atau karena khilaf bersama dengan para pihak yang menghadap atau pihak untuk membuat akta yang sejak awal diniatkan untuk melakukan tindak pidana. Jika dilihat dari kedudukan notaris sebagai pihak di luar dari para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang dituangkan dalam sebuah akta otentik, tidak mungkin notaris melakukan kecurangan dalam membuat akta otentik dengan maksud merugikan salah satu pihak atau untuk melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum. Hal ini mengingat kedudukan notaris tidak lebih hanya memberikan jasa kepada para pihak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan akta yang dibuatnya dan tidak ada keuntungan lain selain dari jasanya tersebut.
Pembuatan akta otentik oleh notaris sebagai pejabat umum terbatas dan dibatasi oleh standar atau syarat-syarat pembuatan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Ketentuan mengenai pembuatan akta notaris tersebut diatur dalam Bab VII Pasal 38 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris. Jika notaris dalam membuat akta otentik telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tentunya notaris akan terbebas dari permasalahan hukum yang berkaitan dengan akta tersebut.
Seorang notaris merupakan juga seorang warga Negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di muka hukum. Perlindungan hukum terhadap notaris sebagai pribadi warga negara sama dengan perlindungan hukum yang diterima warga negara pada umumnya. Selain sebagai pribadi warga negara, notaris sebagai pejabat umum juga mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan tugas jabatannya diatur oleh Undang-Undang Jabatan Notaris.
Sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 Tanggal 23 Maret 2013 perlindungan notaris diberikan oleh ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan