BAB II TINJAUAN PUSTAKA
D. Bayi Baru Lahir
2. Adaptasi Bayi Baru Lahir a. Perubahan Sistem Pernafasan
Sistem pernapasan merupakan sistem yang paling
tertantang ketika mengalami perubahan dari fase intrauterus menuju ekstrauterus. Bayi baru lahir harus mulai segera mulai bernafas. Selama kehamilan organ yang berperan dalam respirasi janin sampai janin lahir adalah placenta. Paru – paru yang bermula dari suatu titik yang muncul dari Pharynx yang bercabang dan kemudian cabang lagi sehingga membentuk struktur pencabangan bronkus. Proses tersebut terus berlanjut setelah kelahiran hingga kira-kira usia anak 8 tahun sampai jumlah bronkhiolus dan alveolus berkembang sepenuhnya. Agar alveolus dapat berfungsi, harus ada surfaktan yang cukup dan aliran darah ke paru-paru.
Surfaktan adalah lipoprotein yang dapat mengurangi ketegangan permukaan dalam alveoli dan membantu dalam pertukaran gas. Bagian ini di produksi pertama kali dari usia kehamilan 20 minggu dan jumlahnya akan terus bertambah hingga paru–paru menjadi dewasa pada minggu 30 – 34 minggu.
Fenomena yang menstimulasi neonatus untuk nafas pertama kali, diantaranya; peristiwa mekanis seperti penekanan toraks pada proses kelahiran pervagina dan tekanan yang tinggi pada toraks tersebut tiba-tiba hilang ketika bayi lahir disertai oleh stimulus fisik, nyeri, cahaya suara menyebabkan perangsangan pusat pernafasan. Pada saat bayi mencapai cukup bulan, kurang dari 100 ml cairan
paru–paru terdapat di dalam nafasnya. Selama proses kelahiran, kompresi dinding dada akan membantu pengeluaran sebagian dari cairan ini dan lebihnya akan diserap oleh sirkulasi pulmonum serta sistem limphatik setelah kelahiran bayi. Neonatus yang dilahirkan dengan SC (Secsio Cesarea) tidak mendapat penekanan thorak sehingga paru–parunya terisi cairan dalam waktu yang lebih lama.
Cairan yang mengisi mulut dan trakhea sebagian dikeluarkan dan udara mulai mengisi sistem pernafasan ini.
b. Perubahan Sirkulasi
Karakteristik sirkulasi janin merupakan sistem tekanan rendah, karena paru – paru masih tertutup dan berisi cairan, organ tersebut memerlukan darah dalam jumlah minimal.
Pemasangan klem tali pusat akan menutup sistem tekanan darah dari plasentajanin. Aliran darah dari palsenta berhenti, sistem sirkulasi bayi baru lahir akan mandiri, tertutup dan bertekanan tinggi. Efek yang muncul segera akibat tindakan pemasangan klem tali pusat adalah kenaikan resistensi vaskular sistemik. Kenaikan resistensi vaskular sistemik ini bersamaan dengan pernapasan pertama bayi baru lahir.
Oksigen dari napas pertama ini menyebabkan otot–otot vaskular berelaksasi dan terbuka. Paru–paru menjadi satu sistem tekanan rendah. Kombinasi tekanan ini yang meningkat pada sirkulasi sistemik tetapi menurun pada
sirkulasi paru menimbulkan perubahan–perubahan tekanan aliran darah pada jantung. Tekanan yang berasal dari peningkatan aliran darah pada jantung kiri menyebabkan foramen ovale menutup. Semakin banyak darah yang mengandung oksigen melewati duktus arteriosus menyebabkan organ ini berkontraksi sehingga membatasi arus pintas yang terjadi melalui duktus tersebut.
Peningkatan aliran darah ke paru-paru akan mendorong terjadinya peningkatan sirkulasi limpe dan membantu menghilangkan cairan paru-paru dan merangsang perubahan sirkulasi janin menjadi sirkulasi luar rahim. Darah yang meninggalkan jantung neonatus menjadi sepenuhnya mengandung oksigen ketika berada dalam paru dan mengalir ke seluruh jaringan tubuh yang lain. Penutupan fungsional foramen ovale dan duktus arteriosus terjadi segera setelah kelahiran.
c. Termogulasi
Bayi baru lahir memilki kecenderungan cepat stress akibat perubahan suhu lingkungan, karena belum dapat mengatur suhu tubuh sendiri. Pada saat bayi meninggalkan lingkungan rahim ibu yang bersuhu rata-rata 37 0C, kemudian bayi masuk ke dalam lingkungan. Suhu ruangan persalinan yang suhu 25 0C sangat berbeda dengan suhu di dalam rahim. Bayi baru lahir dapat kehilangan panas melalui
empat mekanisme yaitu :
1) Konveksi adalah kehilangan panas tubuh yang terjadi saat bayi terpapar udara sekitar yang lebih dingin. Bayi yang dilahirkan atau ditempatkan di dalam ruangan yang dingin akan cepat mengalami kehilangan panas.
Kehilangan panas juga terjadi jika terjadi konveksi aliran udara dari kipas angin, hembusan udara melalui ventilasi atau pendingin ruangan.
2) Radiasi adalah kehilangan panas yang terjadi karena bayi ditempatkan di dekat benda-benda yang mempunyai suhu tubuh lebih rendah dari suhu tubuh bayi. Bayi bisa kehilangan panas dengan cara ini karena benda-benda tersebut menyerap radiasi panas tubuh bayi (walaupun tidak bersentuhan secara langsung).
3) Konduksi adalah kehilangan panas tubuh melalui kontak langsung antara tubuh bayi dengan permukaan yang dingin, meja, tempat tidur atau timbangan yang temperaturnya lebih rendah dari tubuh bayi akan menyerap panas tubuh bayi melalui mekanisme konduksi apalagi bayi diletakkan diatas benda-benda tersebut.
4) Evaporasi adalah jalan utama bayi kehilangan panas.
Kehilangan panas dapat terjadi karena penguapan
cairan ketuban pada permukaan tubuh oleh panas tubuh bayi sendiri karena setelah lahir, tubuh bayi tidak segera dikeringkan. Kehilangan panas juga terjadi pada bayi yang terlalu cepat dimandikan dan tubuhnya tidak segera dikeringkan dan diselimuti.
d. Glukosa
Sebelum dilahirkan kadar darah janin berkisar 60 hingga 70 % dari kadar darah ibu. Dalam persiapan untuk kehidupan luar rahim seorang janin yang sehat mencadangkan glukosa sebagai glikogen terutama di dalam hati. Sebagian penyimpangan glikogen berlangsung pada trimester III.
Pada saat tali pusat diklem, bayi baru lahir harus mendapat cara untuk mempertahankan glukosa yang sangat diperlukan untuk fungsi otak neonatus. Pada setiap bayi baru lahir, glukosa darah menurun dalam waktu singkat (1 hingga 2 jam kelahiran). Bayi baru lahir yang sehat hendaknya didorong untuk sesegera mungkin mendapatkan ASI setelah dilahirkan. Seorang bayi yang mengalami stress berat pada saat kelahiran seperti hipotermia mengakibatkan hipoksia mungkin menggunakan simpanan glikogen dalam jumlah banyak pada jam–jam pertama kelahiran.
I. Keluarga Berencana 1. Pengertian KB
Keluarga berencana merupaakan usaha suami istri untuk emngukur jumlah dan jarak anak yang diinginkan. Usaha yang di maksud termasuk kontrasepsi atau pencegah kehamilan dan perencanaan keluarga (Purwoastuti dan Walyani, 2018).
Dewasa ini banyak sekali masyarakat yang ingin memiliki keluarga yang sejahtera. Salah satu cara yang mereka tempuh itu dengan memperkecil jumlah anak sehingga mereka merasa cukup dan sejahtera dengan keluarga kecil mereka. Adapun faktor ekonomi yakni banyak masyarakat yang merasa jika banyak anak maka kebutuhan ekonomi mereka meningkat sehingga mereka harus bekerja keras lagi. Maka dari itu mulai muncul anggapan orang untuk melakukan program keluarga berecana yang memang merupakan salah satu program pemerintah.
Keluarga berencana merupakan suatu proses pengaturan kehamilan agar terciptanya suatu keluarga yang sejahtera. Adapun menurut Undang Nomor 52 Tahun 2009 pasal 1 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga berkualitas.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 pasal 1 ayat 12 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera menyebutkan bahwa
Keluarga berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera.
Namun dalam islam , keluarga berencana menjadi persoalan yang polemik karena ada beberapa ulama yang menyatakan bahwa keluarga berencana dilarang tetapi ada juga ayat al-qur’an yang mendukung program keluarga berencana . Dalam al-qur’an dicantumkan beberapa ayat yang berkaitan dengan keluarga berencana , diantaranya :
Rلًاْوَق اوُلوُقَيْلَو َ ^اللَّه اوُق^تَيْلَف ْمِهْيَلَع اوُفاَخ اRفاَعِض Rة^يِّرُذ ْمِهِفْلَخ ْنِم اوُكَرَت ْوَل َنيِذ^لا َشْخَيْلَو yاRديِدَس
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan endaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
(Qs.AnNisa : 9).
Ayat-ayat al-quran diatas menunjukan bahwa islam mendukung adanya keluarga berencana karena dalam QS. An- Nissa ayat 9 dinyatakan bahwa “hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah”. Anak lemah yang dimaksud adalah
generasi penerus yang lemah agama , ilmu , pengetahuan sehingga KB menjadi upaya agar mewujudkan keluarga yang Sakinah.
Pandangan Hukum Islam tentang Keluarga Berencana, secara prinsipil dapat diterima oleh Islam, bahkan KB dengan maksud menciptakan keluarga sejahtera yang berkualitas dan melahirkan keturunan yang tangguh sangat sejalan dengan tujuan syari`at Islam yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi umatnya. Selain itu, KB juga memiliki sejumlah manfaat yang dapat mencegah timbulnya kemudlaratan. Bila dilihat dari fungsi dan manfaat KB yang dapat melahirkan kemaslahatan dan mencegah kemudlaratan maka tidak diragukan lagi kebolehan KB dalam Islam.
Para ulama yang membolehkan KB sepakat bahwa Keluarga Berencan (KB) yang dibolehkan syari`at adalah suatu usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan sementara atas kesepakatan suami-isteri karena situasi dan kondisi tertentu untuk kepentingan (maslahat) keluarga.
Dengan demikian KB disini mempunyai arti sama dengan tanzim al nasl (pengaturan keturunan). Sejauh pengertiannya adalah tanzim al nasl (pengaturan keturunan), bukan tahdid al nasl (pembatasan keturunan) dalam arti pemandulan (taqim) dan aborsi (isqot al-haml), maka KB tidak dilarang.Kebolehan KB dalam batas pengertian diatas sudah banyak difatwakan , baik oleh individu ulama maupun lembaga-lembaga ke Islaman tingkat
nasional dan internasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebolehan KB dengan pengertian batasan ini sudah hampir menjadi Ijma`Ulama.
MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga telah mengeluarkan fatwa serupa dalam Musyawarah Nasional Ulama tentang Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan tahun 1983.
Betapapun secara teoritis sudah banyak fatwa ulama yang membolehkan KB dalam arti tanzim al-nasl, tetapi kita harus tetap memperhatikan jenis dan cara kerja alat/metode kontrasepsi yang akan digunakan untuk ber-KB.
Terlepas dari larangan untuk ber-KB , kita harus mengetahui dan memperhatikan jenis dan kerja alat kontrasepsi yang akan digunakan. Alat kontrasepsi yang diharamkan adalah yang sifatnya pemandulan.Vasektomi (sterilisasi bagi lelaki) berbeda dengan khitan lelaki dimana sebagian dari tubuhnya ada yang dipotong dan dihilangkan, yaitu kulup (qulfah bhs.
Arab,praeputium bhs. Latin) karena jika kulup yang menutupi kepala zakar (hasyafah/glans penis) tidak dipotong dan dihilangkan justru bisa menjadi sarang penyakit kelamin (veneral disease). Karena itu, khitan untuk laki-laki justru sangat dianjurkan.Tetapi kalau kondisi kesehatan isteri atau suami yang terpaksa seperti untuk menghindari penurunan penyakit dari bapak/ibu terhadap anak keturunannya yang bakal lahir atau terancamnya jiwa si ibu bila ia mengandung atau melahirkan
bayi,maka sterilisasi dibolehkan oleh Islam karena dianggap dharurat. Hal ini diisyaratkan dalam kaidah :
تاروظحملا حيبت ةرورضلا
“Keadaan darurat membolehkan melakukan hal-hal yang dilarang agama.”
Majlis Ulama Indonesia pun telah memfatwakan keharaman penggunaan KB sterilisasi ini pada tahun 1983 dengan alasan sterilisasi bisa mengakibatkan kemandulan tetap. Menurut Masjfuk Zuhdi bahwa hukum sterilisasi ini dibolehkan karena tidak membuat kemandulan selama-lamanya. Karena teknologi kedokteran semakin canggih dapat melakukan operasi penyambungan saluran telur wanita atau saluran pria yang telah disterilkan. Meskipun demikian, hendaknya dihindari bagi umat Islam untuk melakukan sterilisasi ini, karena ada banyak cara untuk menjaga jarak kehamilan.
Cara pencegahan kehamilan yang diperbolehkan oleh syara’
antara lain, menggunakan pil, suntikan, spiral, kondom, diafragma, tablet vaginal , tisue. Cara ini diperbolehkan asal tidak membahayakan nyawa sang ibu. Jenis Jenis Kontrasepsi sebagai berikut :
NO Jenis
Kontrasepsi Keuntungan Kerugian
1 Suntik Dapat digunaka oleh ibu menyusui, tidk perlu dikonsumsi setiap hari atau dipakai sebelum melakukan hubungan seksual,
Dapat mempengaruhi siklus menstruasi, menyebabkan
kenaikan berat badan
pada beberapa
wanita, tidak
darah mentruasi menjadi lebih sedikit
dan membantu
mengatasi kram saat menstruasi.
melindungi terhadap penyakit menular seksual, harus mendatangu klinik setiap 3 bulan sekali.
2 Kondom Bila digunakan secara tepat kondom dapat mencegah kehamilan
dan penularan
penyakit menular
seksual, tidak
mempengaruhi
kesuburan jika
digunakan jangka panjang, kondom mudah di dapat dan tersedia dengan harga terjangkau
Kondom mudah robek jika disimpan tidak sesuai aturan, dapat menimbulkan alergi, mengganggu kenikmatan
hubungan seksual.
3 Pil Mengurangi resiko
terkena kanker rahim
dan kanker
endometrium, untuk pil tertentu dapat mengurangi timbulnya jerawat atau hirsutism
Tidak terlindungi dari penyakit menular seksual, harus ruin diminum setip hari,
saat pertama
pemakaian dapat timbul pusing dan spotting,
efeksamping yang mungkin drasakan sakit kepala , depresi, letih.
4 Implant Dapat mencegah kehamilan dengan jangka waktu 3 tahun, dapat dgunakan oleh wanita menyusui,
tidak perlu
mengkonsumsi setiap hari
Mempengaruhi siklus mentruasi, tidak melindungi dari penyakit menular seksual, dapat menyebabkan
kanaikan berat badan
5 IUD Dapat digunakan
dengan jangka waktu 5-10 tahun, tingkat keefektifannya tinggi
Tembaga pada IUD dapat meningkatkan darah menstruasi dan Pada intinya Keluarga berencana dalam pandangan islamkram
diperbolehkan apabila dilakukan dengan cara yang sesuai syariat islam , dilakukan dalam konteks pengaturan keturunan bukan
pembatasan keturunan dan dilakukan apabila dalam kondisi yang darurat yang dapat mengancam keselamatan masyarakat itu sendiri.
J. Standar Asuhan Kebidanan Dan Kewenangan Bidan 1. Standar Asuhan Kebidanan
Standar asuhan kebidanan diatur dalam KEPMENKES No.
938/MENKES/SK/VII/2007. Standar tersebut adalah acuan dalam proses pengambilan keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai wewenang dan ruang lingkupnya. Standar asuhan kebidanan yaitu :
a. Standar I (Pengkajian)
Bidan mengumpulkan semua informasi yang akurat, relevan dan lengkap dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.
b. Standar II (perumusan Diagnosa dan atau Masalah Kebidanan)
Bidan menganalisis data yang diperoleh dari pengkajian, menginterpretasikannya secara akurat dan logis untuk menegakkan suatu diagnosa dan masalah kebidanan yang tepat.
c. Standar III (Perencanaan)
Bidan merencanakan asuhan kebidanan berdasarkan diagnosa dan masalah yang telah ditegakkan.
d. Standar IV (Implementasi)
Bidan melaksanakan rencana asuhan kebidanan secara komprehensif, efektif, efisien dan aman berdasarkan evidence based kepada pasien dalam bentuk upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dilaksanakan secara mandiri, kolaborasi dan rujukan.
e. Standar V (Evaluasi)
Bidan melakukan evaluasi secara sistematis dan berkesinambungan untuk melihat keefektifan dari asuhan yang sudah diberikan, sesuai dengan perubahan perkembangan kondisi klien.
f. Standar VI (Pencatatan Asuhan Kebidanan)
Bidan melakukan pencatatan secara lengkap, akurat, singkat dan jelas mengenai keadaan/kejadian yang ditemukan dan dilakukan dalam memberikan asuhan kebidanan. Pencatatan dilakukan segera setelah melaksanakan asuhan pada formulir yang disediakan (rekam medis/ KMS/ status pasien/ buku KIA), ditulis dalam bentuk catatan perkembangan SOAP (Subjektif, Objektif, Analisa dan Penatalaksanaan).
2. Kewenangan Bidan
Wewenang bidan diatur dalam Permenkes RI No. 28 tahun 2017 bagian kedua tercantum pada pasal 18 bahwa dalam penyenggaraan praktik kebidanan, bidan memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan anak dan pelayanan kesehatan reproduksi serta keluarga
berencana.
Pasal 19 ayat (2) dan (3) Permenkes RI No. 28 Tahun 2017 menjelaskan bahwa kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diberikan pada masa sebelum hamil, masa hamil, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui, dan masa antara dua kehamilan. Pelayanan kesehatan ibu meliputi :
a. Konseling pada masa sebelum hamil.
b. Antenatal pada kehamilan normal.
c. Persalinan normal.
d. Pelayanan kesehatan ibu nifas normal.
e. Pelayanan kesehatan pada ibu menyusui.
f. Konseling pada masa antara dua kehamilan.
Kewenangan bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dijelasakan pada Pasal 19 ayat (3), bidan berwenang melakukan:
a. Efisiotomi dan pertolongan persalinan normal.
b. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II.
c. Memberikan penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan.
d. Memberikan tablet tambah darah pada ibu hamil.
e. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas.
f. Memfasilitasi atau membimbing dalan Inisiasi Menyusu Dini dan promosi ASI eksklusif.
g. Memberikan uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum.
h. Memberikan penyuluhan dan konseling.
i. Memberikan bimbingan pada kelompok inu hamil, serta berwenang memberikan keterangan hamil dan kelahiran.
Bidan juga berwenang memberikan pelayanan kesehatan anak yang dijelaskan pada Pasal 20, meliputi :
a. Memberikan pelayanan neonatal esensial.
b. Penanganan kegawatdaruratan, dialnjutkan dengan perujukan.
c. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak prasekolah.
d. Memberikan konseling dan penuyuluhan.
Pasal 21 Permenkes RI No. 28 tahun 2017 menjelaskan wewenang bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana, meliputi:
a. Penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
b. Pelayanan kotrasepsi oral, kondom, dan suntikan
Selain wewenang yang telah dijelaskan pada Pasal 18, bidan juga memiliki kewenangan memberikan pelayanan berdasarkan penugasan dari pemerintah sesuai kebutuhan dan pelimpahan wewenang melakukan tindakan pelayanan kesehatan sencara mandat dari dokter.
K. Manajemen Kebidanan Dan Dokumentasi 1. Pengertian Manajemen Asuhan Kebidanan
Manajemen kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah, temuan, keterampilan dalam rangkaian/ tahapan yang logis untuk mengambil suatu keputusan yang terfokus pada klien. Manajemen kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis mulai dari pengumpulan data dasar dan berakhir dengan evaluasi (Jannah, 2018).
2. Tahap Dalam Manajemen Kebidanan
Proses manajemen terdiri dari 7 langkah asuhan kebidanan yang dimulai dari pengumpulan data dasar dan diakhiri dengan evaluasi. Tahapan dalam proses asuhan kebidanan ada 7 langkah, yaitu :
a. Langkah 1 Pengumpulan Data Dasar
Pada langkah ini dilakukan pengkajian dengan pengumpulan semua data yang diperlukan untuk mengevaluasi keadaan klien secara lengkap seperti, riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhannya, meninjau catatan terbaru atau catatan selanjutnya, meninjau data laboratorium dan membandingkannya dengan hasil study (Rukiah, 2013). Data yang diperoleh untuk kasus
anemia dilakukan dengan cara mengumpulkan data lengkap dari klien dengan menilai keadaan klien melalui anamnese, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (Laboratorium).
Data subjektif yaitu data yang didapatkan dari ibu seperti ibu mengeluh sering merasa lelah dan sering mengantuk, merasa pusing dan lemah, merasa tidak enak badan, mengeluh sakit kepala. Data objektif yaitu merupakan data dari hasil pemeriksaan yang dilakukan seperti, tampak kuku pada tangan pucat, konjungtiva pucat dan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb.
b. Langkah 2. Mengidentifikasi diagnosis atau masalah actual Mengidentifikasi data dengan cepat untuk mengidentifikasi diagnose atau masalah aktual dengan klien berdasarkan data dasar, menguraikan bagaimana suatu data pada kasus diinterpretasikan menjadi suatu diagnose atau secara teori data apa yang mendukung untuk timbulnya diagnose tersebut. Masalah lebih sering berhubungan dengan bagimana klien menguraikan keadaan yang ia rasakan, sedangkan diagnose lebih sering diidentifikasi oleh bidan yang difokuskan pada apa yang di alami oleh klien (Rukiah, 2018).
Dari data subjektif dan objektif yang didapatkan pada saat pengkajian data maka diagnosa yang ditegakkan.
c. Langkah 3. Mengidentifikasi diagnosis atau masalah
potensial
Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah atau diagnosis potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosis yang telah di identifikasi, langkah ini membutuhkan antisipasi bila memungkinkan dilakukan pencegahan sambil mengamati klien, bidan di harapkan dapat bersiap-siap bila diagnosis atau masalah potensial ini benar- benar terjadi.
Adapun Masalah potensial anemia pada ibu hamil dimasa kehamilan, dapat mengakibatkan abortus, dapat menyebabkan persalinan prematur, dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim terganggu (Bothamley, 2017).
d. Langkah 4. Penetapan kebutuhan/ tindakan
Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter dan atau untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan aggota tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien. Langkah keempat mencerminkan kesinambungan dari proses manejemen kebidanan. Jadi manejemen bukan hanya selama asuhan primer periodic atau kunjungan prenatal saja, tetapi juga selama wanita tersebut bersama bidan terus menerus misalnya pada waktu tersebut dalam persalinan (Jannah, 2018).
e. Langkah 5. Intervensi/ Perencanaan tindakan asuhan
kebidanan
Pada langkah ini dilakukan perencanaan yang menyeluruh, ditentukan langkah-langkah sebelumnya.
Langkah ini merupakan kelanjutan manejemen terhadap diagnosis atau masalah yang telah diidentifikasi atau di antisipasi, pada langkah ini informasi atau data dasar yang tidak lengkap dapat di lengkapi (Jannah, 2018).
f. Langkah 6. Implementasi/ pelaksanaan asuhan
Pada langkah ini rencana asuhan yang menyeluruh dilangkah lima harus dilaksanakan secara efesien.
Perencanaan ini bisa dilakukan seluruhnya oleh bidan atau sebagian dilakukan oleh bidan dan sebagian lagi oleh klien atau anggota tim kesehatan lainnya. Jika bidan tidak melakukan sendiri, ia tetap memikul tanggung jawab untuk mengarahkan pelaksanaannya, memastikan langkah-langkah tersebut benar-benar terlaksana.
Dalam situasi dimana bidan berkolaborasi dengan dokter untuk menangani klien yang mengalami komplikasi, maka keterlibatan bidan dalam manejemen asuhan bagi klien adalah bertanggung jawab terhadap terlaksananya rencana asuhan bersama yang menyeluruh tersebut.Implementasi yang diberikan pada ibu adalah hasil pemeriksaan kepada ibu dan jelaskan hal-hal yang di anggap penting, agar ibu dapat mengetahui perkembangan kehamilannya serta merupakan